Sasuke's Mangekyō Sharingan -->

Like

Your Identity Computer

IP

What time is it?

Thursday, September 15, 2011

Shin Shuikoden 1

Prelude : 108 Bintang, Takdir di Dunia Manusia
WAKTUNYA kira-kira sembilan ratus tahun ke belakang.
Benua kuning Cina pada waktu itu disebut negara Dai Sou dengan ibukota berada di Provinsi Ka Nan, di kota Tou Kei, wilayah Kai Hou. Tampuk pemerintahan Dinasti Sou pada saat itu dipegang oleh Kaisar Jin Sou yang merupakan keturunan keempat.
Saat itu tanggal 3 bulan 3, tahun 3 Ka Yuu.
Hari   itu,   kaisar   muncul   di   Istana   Shi   Shii, mengundang seratus pejabat istana untuk melaksanakan upacara pagi. Upacara pun selesai diiringi musik istana serta seruan "Hidup Kaisar." Lalu tatkala orang yang memakai pakaian sutra dengan sulaman naga itu hendak bangkit dari singgasana bersama pendampingnya Gyoku San, serta Hana Kanmuri sang juru bicara, tiba-tiba terdengar seruan.
"Paduka Yang Mulia, kami mohon untuk menyedia-kan waktu sebentar."
Chou Tetsu, perdana menteri, dan Bun Gen Baku, pejabat tinggi yang terpisah dari barisan, maju bersujud di hadapan singgasana kaisar.
"Kami memberanikan diri untuk mengajukan permohonan kepada Yang Mulia. Sejak zaman dahulu sampai sekarang, pada upacara peralihan musim seperti hari ini, semua orang, tanpa membeda-bedakan rakyat dengan pejabat, bersenang-senang dengan diiringi musik tradisional sambil menyucikan diri dalam semaraknya bunga plum. Kalaulah pada hari yang baik ini Paduka Yang Mulia menunjukkan keberhasilan pemerintahan Paduka hingga ke rakyat kecil, menurut kami kejayaan Dinasu Sou akan berlanjut sampai akhir zaman." Kaisar Jin Sou mengerutkan dahi. "Apa? Jadi pada hari baik seperti ini, rakyat tidak bersenang-senang?"
"Tampaknya seperti itu, Paduka Yang Mulia," kata kedua orang ini sambil terus menyembah-nyembah. "Dalam beberapa tahun ini, tanaman tidak berbuah baik. Selain itu, pada musim semi tahun ini di seluruh wilayah negeri telah mewabah penyakit yang sangat jahat, pesisir utara dan selatan serta ibukota timur dan barat pun tenggelam dalam bau penyakit. Rumah-rumah dipenuhi orang kelaparan, mayat-mayat dibuang ke jalan dan dibiarkan begitu saja, dan malam hari, rakyat melewatinya dengan gemetar ketakutan cemas akan datangnya perampok. Demikianlah keadaannya, Yang Mulia."
"Hmm. Apakah separah itu?"
"Para pejabat di daerah telah mendorong fasilitas-fasilitas kesehatan untuk membuat obat penangkalnya, dan mereka sendiri mati-matian melakukan pertolongan sampai menyisihkan uang dari gaji mereka sendiri, tetapi sayang sekali mereka tidak bisa menghentikan menjalarnya wabah penyakit tersebut. Kalau begini terus keadaannya, dikhawatirkan separuh penduduk negeri ini akan mati."
"Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kita harus segera memerintahkan seluruh wihara dan kuil untuk melakukan doa besar-besaran."
Pada saat negara mengalami musibah atau individu mendapat petaka, orang-orang segera menggantungkan diri pada doa dan lindungan yang mahakuasa. Ini adat kebiasaan yang sama dengan yang dilakukan orang-orang berpengamh pada zaman Dinasti Fujiwara di negara kita. Tidak ada penjelasan yang tepat untuk mengungkapkan kebiasaan tersebut selain sebagai pengetahuan orang-orang yang berusaha memasuki era masyarakat beradab namun masih jauh dari peradaban.
Perjalanan ke Kou Sei sangat jauh. Tetapi, pertengahan musim semi adalah saat yang sangat tepat untuk melakukan perjalanan. Kou Shin, jenderal besar penjaga gerbang istana kaisar, dengan membawa pasukan berkuda dalam jumlah yang sangat banyak, berangkat dari gerbang istana di Tou Kei. Setelah berhari-hari melakukan perjalanan, akhirnya dia tiba di istana Provinsi Shin Shu di Kou Sei.
"la utusan langsung kaisar. Karena itu, jangan sampai ada sedikit pun kesalahan."
Demikianlah, semua perwira tinggi di provinsi, pejabat besar-kecil, tentara hingga rakyat jelata, laki-laki, perempuan, dan para pendeta berderet di jalan untuk menyambut Jenderal Besar Kou.
Tidak perlu dikatakan lagi bagaimana meriahnya pesta penyambutan yang diadakan pada malam harinya. Tak berbeda dengan kebiasaan sekarang, para pejabat daerah pada zaman itu pun selalu menyanjung dan menjilat tamu agung, pejabat dari pusat. Apalagi karena utusan yang datang ini membawa surat perintah langsung dari kaisar, semua pejabat di provinsi mencurahkan seluruh perhatian untuk memberi kesan sebaik-baiknya.
Tetapi, Kou Shin memang seorang tentara. Dia bebas, lugas, dan lapang dada, tidak memedulikan hal-hal sepele. Selain itu, karena dia sudah terbiasa dengan makanan-makanan enak di istana, dan sudah bosan dengan hidangan yang disajikan dalam piring perak dan cangkir batu giok di kota-kota, maka penyambutan yang seperti apa pun tidak akan membuat lidah maupun matanya terkaget-kaget..
"Sudahlah! Sudahlah! Simpan dulu gelasnya. Jangan terus-menerus menyuruhku minum arak. Kedatanganku kali ini mengemban tugas yang sangat penting dari kaisar. Tentunya kalian juga sudah membaca surat perintah yang kukirim sebelum kedatanganku ini."
"Ya. Kami sudah membacanya dengan saksama," kata pejabat provinsi tiba-tiba menunjukkan kekhid-matannya. "Dan karena inti keinginan Paduka Yang Mulia Kaisar sudah kami sampaikan ke Kuil Jou Sei di Gunung Ryu Kou di pedalaman daerah kami, maka tentunya mereka sudah menunggu kedatangan Paduka dengan persiapan yang sebaik-baiknya."
"Baguslah kalau begitu. Malam ini kita menjaga diri agar jangan sampai berbuat yang tidak baik, dan besok pagi kita mandi sebersih-bersihnya, lalu pergi menuju Kuil Jou Sei. Kalian juga, cepatlah tinggalkan tempat ini."
Eajar keesokan harinya, Kou berangkat meninggalkan penginapan menuju bukit tinggi di Sei Nan yang jaraknya dari gerbang provinsi mencapai empat puluh kilometer. Dengan diantar beberapa pemandu yang merupakan pejabat provinsi serta seratus bawahannya yang membawa bendera utusan kaisar, dia terayun-ayun di dalam tandu.
Wilayah   Gunung   Ryu   Kou   merupakan   pusat kepercayaan agama Tao di seluruh negeri sejak dahulu kala.
Sejak zaman To, kepercayaan setiap dinasti terhadap agama sangatlah tinggi dan lukisannya yang dibuat kaisar disembah oleh para penghuni istana merah. Di atds lembah dan ngarai terlihat jembatan batu yang sudah berlumut, dan nun jauh di sebelah barisan gunung membayang dalam kabut tipis pagoda tiga belas tingkat. Pondok serta bangunan tempat tinggal para penganut agama Tao ini menyebar di lembah dan lereng gunung, lalu bunga putih dan kuning yang berada di antara pepohonan cemara serta ek boleh dikatakan sebagai halaman bermain kera dan bangau.
Had itu, tiba-tiba saja dari seluruh penjuru gunung terdengar bunyi genta yang berdentang-dentang. Tempat suci ini seolah-olah baru terjaga dari tidur. Embun di pepohonan berjatuhan, burung bangau ramai mengepakkan sayap, semua satwa yang ada di gunung itu serempak mengeluarkan suara penuh kekagctan. Kehebohan ternyata berasal dari barisan panjang mulai dari Kuil Jo Sei sampai ke jembatan batu besar, terdiri atas pendeta kepala kuil, penganut Tao, pendeta muda, serta pengawal kuil. Mereka membawa dupa yang menyala, membunyikan klenengan dan tambur kecil, hendak menyambut kedatangan Jenderal Kou, utusan kaisar yang datang ke kuil.
"Maaf menyusahkan," kata Jenderal Kou sambil mengangguk memberi hormat, lalu masuk ke bangunan pendeta.
Setelah menghirup secangkir teh yang rasanya tidak biasa, dia segera menyampaikan tujuan kedatangannya kepada pendeta kepala.
"Pada upacara peralihan musim beberapa hari yang lalu, kaisar kita Kaisar Jin Sou sangat prihatin ketika mendengar bahwa penyakit yang sangat jahat sedang mewabah di masyarakat. Maka pada hari itu juga, Yang Mulia mengeluarkan perintah untuk mendirikan gubuk-gubuk pengobatan serta pemberian bubur di setiap sudut jalan. Juga memerintahkan saya, Kou Shin, pergi ke tempat yang jauh seperti sekarang ini, untuk meminta Pendeta Kyo Sei memanjatkan doa menolak penyakit tersebut. Saya kira, tujuan saya datang ke sini sudah Anda ketahui."
"Ya, kami sudah mengetahuinya."
"Saya membawa surat permintaan dari Kaisar. Suratnya ada dalam bungkusan sutra ini dan saya jaga dengan hati-hati. Untuk itu, saya ingin segera bertemu pendeta besar, Pendeta Kyo Sei, untuk menyampaikan surat ini. Di mana Bapak Pendeta sekarang berada?"
"Bapak Pendeta sedang tidak ada. Beliau berada jauh di puncak pedalaman Gunung Ryu Kou untuk menghindari urusan duniawi. Beliau celah membangun gubuk sebagai cempat menempa diri di bidang keagamaan dan menghindari memikirkan hal-hal lain." "Jadi, kalau tidak ke sana, saya tidak bisa bertemu dengannya?"
"Selain itu, kalau mau menemui beliau, hanya satu orang utusan yang diizinkan, itu pun harus melakukan penyucian diri terlebih dahulu"
"Sungguh merepotkan. Padahal ini perintah Kaisar."
"Sekalipun utusan kaisar, aturan di gunung suci ini tidak bisa diubah. Jikalau Yang Mulia Paduka Kaisar Jin Sou benar-benar ingin menghapuskan kesengsaraan rakyat dan mewakili rakyat meminta dilaksanakannya doa besar-besaran, tentunya Paduka, sebagai utusan kaisar, tidak akan kesulitan memenuhi persyaratan itu." "Jangan berkata begitu. Memang siapa yang bilang tidak mau? Saya hanya bilang itu merepotkan. Baiklah, besok seharian saya akan menyucikan diri, dan saya sendiri yang akan pergi ke tempat suci pendeta."
Jendcral Kou sangat bersemangat. Pagi itu, dia membasuh diri sebersih-bersihnya, memakai baju suci dari katun putih, kemudian menggendong bungkusan kain kuning dengan menyimpulkan talinya melewati pundak di dada. Dalam bungkusan itu terdapat surat permohonan, tulisan tangan Kaisar. Dia menggenggam tempat pembakaran dupa dari perak yang ada pegangannya dengan sebelah tangan, dan setiap kali menyalakan dupa di dalamnya, dia melantunkan doa suci untuk naik gunung. Dia tidak membawa satu pucuk pun senjata, dan hanya menggancungkan diri pada sebilah tongkat dari kayu. Dengan diantar pandangan para pemeluk agama Tao, dia berangkat dari Kuil Jou Sei.
Namun, kendati merupakan pahlawan penjaga gerbang istana, Jenderal Kou tetap merasa kesulitan untuk mencapai pedalaman gunung. Malam pertama, dia tidur di lembah ngarai di bawah rimbunnya pepohonan rimba belantara, malam kedua, dia berbaring di puncak gunung tinggi yang tajam bagaikan mata kapak. Walaupun begitu, puncak-puncak gunung yang akan dijelangnya masih tampak terjal.
Kemudian, ketika dia turun gunung, yang terdengar hanya bunyi gemerecik air sungai. Dia tidak tahu lagi apakah saat itu malam hari atau siang. Selama berjalan, dia terus-menerus diganggu kera-kera, tumitnya pun dijilati serigala, dan tidak ada cara lain baginya selain terus berjalan dengan mencari-cari celah di antara akar jalar yang menggantung sebagai penunjuk jalan. Akhirnya, ketika dia merasa sudah keluar dari rimba belantara, ternyata di hadapannya hanya tampak tebing yang menjulang tinggi. Ketika memandangsekeliling, dia terempas kepulan uap air dari air terjun, dan apabila dia berusaha merayap menaiki tebing, dia harus menghadapi batu dan cadas besar yang berlapis-lapis.
Tidak hanya itu, dia juga berpapasan dengan dua ekor harimau, jantan serta betina, dan hampir saja menjadi mangsa mereka. Dia juga melihat seekor ular raksasa yang tidak mungkin ada di dunia ini, dan hanya dengan melihat sisiknya saja jantungnya hampir copot, dan pada saat-saat seperti itu, dia pontang-panting menyelamatkan diri. Entah sejak kapan, baik tongkat maupun tempat pembakaran dupa sudah tidak ada lagi di tangannya. Dengan menyeret kaki, dia terus berjalan untuk menyelamatkan nyawa.
"Wall, ada suara suling logam?" gumamnya.
Setelah beberapa hari perjalanan, untuk pertama kalinya dia mencium bau manusia.
"Paman mau ke mana?"
Si anak gembalalah yang lebih dulu menyapa.
Anak itu duduk menyamping di atas punggung sapi, dan di tangannya tergenggam suling logam yang bunyinya terdengar sedari tadi.
"Hei, Nak. Kau sendiri dari mana?"
"Saya dari kuil tengah gunung di sana."
"Kuil tengah gunung?"
"Kuil Jou Sei tempat Paman menginap itu adalah kuil kaki gunung, dan kuil yang ada di sini adalah kuil tengah gunung, dan yang ada di puncak, yang masih jauh itu disebut kuil puncak. Tapi, meskipun Paman bersusah payah naik ke sana, saya kira upaya Paman akan sia-sia saja."
"Mengapa?"
"Soalnya Pendeta Besar sedang tidak ada di tempat."
"Apa? Tidak ada? Tidak mungkin..."
"Memang tidak ada. Saya tidak bohong. Sepuluh hari yang lalu, beliau pergi naik bangau ke ibukota. Karena masyarakat sedang dijangkiti penyakit yang sangat jahat, beliau diminta Kaisar untuk melakukan doa. Mungkin beliau pikir repot kalau orang datang ke sini, jadi beliau sendiri terbang lebih dulu naik bangau ke Kota Tou Kei di Kai Hou."
"Dari mana kau tahu?"
"Tahu saja. Begini-begini, saya seorang pengawal yang mengabdi kepada Pendeta Besar, berbeda dengan anak-anak penyabit rumput di kampung-kampung sana."
"Oh, begitu. Kalau begitu, tolong antar aku ke sana. Aku mohon."
"Paman tidak percaya, ya? Padahal sudah saya bilang beliau tidak ada di tempat. Kalau tidak cepat-cepat kembali, Paman bisa dimangsa harimau atau ular besar. Cepatlah pulang, Paman!"
Anak gembala itu tersenyum penuh iba, lalu pergi tanpa menoleh lagi.
Dengan setengah percaya setengah tidak, Jenderal Kou kembali melanjutkan perjalanan. Lalu dia berpikir, "Betul juga, tempat ini masih sekitar tujuh puluh atau delapan puluh persen dari seluruh ketinggian Gunung Ryu Kou." Dan tak lama kemudian, dengan berpusat pada pagoda tua yang menjulang tinggi dengan megahnya, tampaklah kumpulan kuil.
Setelah dengan susah payah menyeret kakinya, sampai juga dia di tempat itu.
"Apakah Anda Jenderal Kou?" Seorang pendeta muda bertubuh bak raksasa dan seorang lelaki tua, guru para pendeta yang tinggal kulit dan tulang, muncul menyambutnya di pintu gerbang. Mereka memberikan penghormatan yang sangat khidmat lalu merawatnya.
Kou sangat bersyukur melihat mereka, namun perasaan segarnya kembali sirna. Sang guru para pendeta mengatakan hal yang sama dengan si anak gembala cadi.
"Sayang sekali. Kami juga baru saja mengetahuinya. Pendeta Kyo Sei yang tinggal di puncak gunung sekarang sedang tidak ada di tempat." "Apa benar begitu?"
"Tidak usah mempersoalkan benar atau tidaknya. Anda sendiri di tengah perjalanan tidak melihat sesuatu?"
"Saya bertemu dengan anak gembala yang naik sapi."
"Waduh... waduh! Sayang sekali."
"Apa? Mengapa begitu?"
"Karena pastinya anak gembala itu penjelmaan Pendeta Besar sendiri."
"Astaga! Benarkah?"
"Mungkin karena beliau merasa kasihan membiarkan Anda, utusan kaisar, bersusah payah tanpa akan mendapat hasil, maka beliau terbang kembali sebentar dari ibukota, dan menyarankan kepada Anda agar segera pulang."
"Oh, begitu. Saya sama sekali tidak menyadarinya."
"Tapi sekarang Anda tidak usah khawatir. Jika sudah ada petunjuk seperti itu, pada saat Jenderal pulang ke ibukota, permohonan dari Kaisar pasti sudah terpenuhi dengan kesaktian Pendeta Besar."
Karena merasa terhibur, malam itu Jenderal Kou tidur dengan sangat lelap di salah satu ruang kuil tua yang diselimuti kabut tebal.
"Kalau sudah begini, lebih baik kuminta surat permohonan ini disimpan di ruang utama Kuil Jou Sei, dan aku akan cepat-cepat pulang ke ibukota.'
Setelah mengambil keputusan itu, Kou menyampai-kannya kepada guru pendeta. Sang guru pendeta segera memerintah sepuluh orang muridnya.
"Antarlah Yang Mulia Utusan ke Kuil Jou Sei," dia berkata.
Dengan dikelilingi sepuluh pendeta, Kou pergi meninggalr kan gerbang yang terbuat dari batu. Mereka hanya perlu setengah hari untuk mencapai kuil tersebut. Mengapa bisa begini, pikirnya. Pada saat pergi, dia memerlukan waktu bcrhari-hari dan bermalam-malam melewati tempat-tempat menyeramkan, diserang pula oleh harimau dan ular besar. Meskipun perjalanan ini menuruni gunung, rasanya begitu mudah seolah-olah berjalan di atas padang datar. Dalam sekejap mata, dia tiba di Kuil San Sei, yang atap pagodanya tampak diselimuti kabut.
Keesokan harinya, surat tersebut dimasukkan ke kotak khusus untuk surat-surat dari Kaisar di tempat yang sangat rahasia di Kuil Jou Sei, dan upacara pun usai. Malam harinya dimulailah pesta besar di seluruh wilayah pegunungan. Pesta yang diadakan para pendeta dengan hidangan berupa makanan tanpa daging. Dengan demikian, apabila perjalanan turun gunung lancar, maka tidak akan ada masalah lagi.
Namun, sudah menjadi kebiasaan dan sifat seorang tentara yang apabila sudah minurn arak, muncullah sifat aslinya. Mungkin kalau turun gunung begitu saja, dia merasa reputasinya sebagai tentara akan rusak. Tadinya dia bersikap sangat santun, tetapi ketika mendengar obrolan di sekitar, tiba-tiba dia berkata, "Apa? Ruang Ma Ya yang barusan kaubilang itu ada di kuil mana?"
"Oh. Anda mendengar. Ya, di salah satu ruang dalam di Kuil San Sei juga."
"Hmm. Luasnya wilayah suci ini tidak bisa tuntas dilihat dengan hanya sekejap. Karena tidak mungkin lagi datang ke gunung ini, maka besok aku ingin melihat-lihat seluruh kuil yang ada di daerah sini."
"Baik. Silakan Paduka melihat-lihat sepuas hati Paduka."
Keesokan harinya, pengurus kuil dan para pendeta memandunya berkeliling. Mereka menunjukkan bangunan-bangunan yang terkenal mulai dari zaman To, Go, hingga So di seluruh tempat itu, dan terakhir mereka berjalan di koridor kuil mulai dari Ruang Ku Ten, Shi Bi, sampai Hok Kyoku.
"Sebelah kanan adalah Ruang Tai Itsu, dan sebelah kiri Ruang Ma Ya, yang tadi malam kami sebut," kata pengurus kuil.
Sinar matahari hampir tidak menyoroti ruang-ruang di sekeliling mereka. Suasananya sangat sunyi senyap dan yang terdengar hanya gema cicit burung. Angin dingin berembus menusuk hingga membuat bulu kuduk berdiri.
"Oh, tempat ini sudah memasuki wilayah paling dalam dari Kuil Jou Sei?"
"Betul. Ini merupakan kuil tertua yang letaknya paling dalam di wilayah ini."
"Di sana ada dinding batu yang diikat dengan rantai besi dan dipasangi pula kunci gembok yang sangat besar. Ruangan apa itu?"
"Itu disebut gerbang yang tak pernah terbuka.
"Gerbang yang tak pernah terbuka," ulang Kou sambil berjalan mendekat. Tampaknya dia merasakan sesuatu yang menolaknya. Ketika menengadah, dia melihat dinding itu berupa tebing yang sangat tinggi, dan ruangan tersebut sepertinya dikeruk langsung dari sana. Ketika dia berjalan mendekat, pada pilar batu di sampingnya terukir tiga kata yang berbunyi "Ruang Pengekangan Iblis."
"Hei! Pengurus Kuil! Coba buka ruang ini. Aku ingin melihat bagian dalamnya."
Membaca "Pengekangan Iblis" dan mendengar "gerbang yang tak pernah terbuka" segera memancing kesombongan Kou.
"Astaga! Janganlah bicara yang bukan-bukan, Paduka."
Wajah pengurus kuil dan para pendeta memucat. Mereka semua berkata, "Sebenarnya, semua iblis yang ditempatkan dan dikekang di sini adalah iblis jahat dari seluruh mayapada. Kalau kita menoleh lagi ke zaman lampau, iblis-iblis ini mulai ditangkapi oleh Pendeta Negara Kai San Dou Gen pada zaman To raya dan diteruskan oleh pendeta-pendeta besar daii zaman ke zaman. Setiap iblis yang ditangkap, disekap dalam gua batu ini. Karena itulah, kita tidak bisa seenaknya membukanya."
Kou tertawa mendengarnya dan berkata, "Itu konyol."
"Tidak. Ini bukan sesuatu yang bisa ditertawakan. Kalaulah misalnya gerbang ini terbuka akibat suatu kesalahan, raja iblis di dalam gua pasti merasa mendapat kesempatan yang sangat baik, dan dengan segera dia akan masuk ke dunia manusia. Tidak hanya di jalan kehidupan, dia akan menyelinap masuk sampai ke otak serta isi perut manusia. Konon bila sudah begini, tidak mungkin lagi dikembalikan seperti semula. Selama sembilan generasi di dunia keagamaan, dan saya juga sudah tiga puluh tahun tinggal di gunung ini, belum pernah sekali pun saya melihat orang memegang kunci gembok ini."
"Justru karena itu. Mendengar semua itu, aku semakin ingin masuk ke sana."
"Itu permintaan yang sangat keterlaluan."
"Apanya yang keterlaluan? Dengan keberanianku, aku akan perlihatkan bahwa kalian terlalu percaya takhayul. Apanya yang keterlaluan? Panggil tukang pandai besi dan suruh dia memotong rantai itu."
"Kami mohon, Janganlah Paduka lakukan itu."
"Tidak! Kalau kalian tetap tidak mau, aku akan melaporkan ke istana bahwa di sini kalian menyembah setan, dan laporan tersebut akan diumumkan ke seluruh penjuru negeri. Kalian mau leher kalian dipancang di pinggir Sungai Jou Jou seperti untaian tasbih?"
Jenderal Kou bukanlah orang yang akan menjilat ludah kembali apabila kata-kata sudah keluar dari mulutnya. Sekarang dia kembali seperti panglima yang selalu membentak-bentak anak buahnya di tempat penjagaan di istana.
Pengurus kuil dan para pendeta gemetar ketakutan, mereka kebingungan dan berkumpul di dekat pintu gerbang terlarang. Dari palu besi memancar percikan api, dari kapak batu tercium bau dan terdengar gema yang aneh. Terdengar gema yang sangat menyeramkan, gema derit kiittkiittkiitt yang seolah-olah meremas-remas isi perut. Kou yang dari tadi memerhatikan, segera masuk lebih dahulu ke kegelapan yang sangat pekar begitu gerbang terbuka.
"Bagaimana? Lihatlah! Tidak terjadi apa-apa, bukan? Gerbang terlarang apanya? Apa yang dikekang? Hahaha. Ayo kalian masuk semua!" katanya. Dia mengangkat kedua tangan ke langit-langit, tampak sangat gembira.
Tetapi, karena suasana begitu gelap, dia tak bisa melihat apa pun ketika mencoba melangkah. Dari dalam, dia berteriak lagi. Dan suaranya memantul di dinding gua, sehingga satu kata terdengar menjadi dua.
"Hei! Nyalakan obor. Semuanya, nyalakan obor dan ikuti aku."
Karena bagian dalam gua berbentuk seperti perut Buddha, meskipun gerbangnya kecil, semakin ke dalam gua itu semakin lebar. Di dindingnya terukir gambar-gambar Buddha, Dewi Welas Asih, dan dua belas dewa.
"Aduh!"
Kou terantuk batu nisan.
Ketika obor mendekat, pancaran cahayanya menerangi sebagian tempat saja seperti lapangan yang bulat. Gelap sekali. Tanah terasa dingin karena beratus-ratus tahun tidak pernah sedikit pun terjamah sinar matahari. Di sana, berdiri tegak sebuah papan nisan setinggi dua meter, dan ulciran kura-kura besar dari batu yang menjadi dudukannya, sejak ribuan tahun tidak pernah terjaga dari tidur.
"Wah, ini tidak terbaca. Di bagian depan batu nisan terukir tulisan yang sangat kecil, dan sepertinya huruf kuno. Ah, di belakangnya ada tulisan yang lebih jelas. Coba kulihat."
Dibantu cahaya obor, dengan santai dia memutar ke belakang papan nisan dan mendekatkan wajah. Di situ tertulis empat kata dalam huruf besar. Bunyinya adalah "BERTEMU KOU PINTU TERBUKA".
"Apa? Bertemu Kou dan terbuka katanya? Kenapa? Kou itu aku. Apa artinya bertemu aku dan terbuka?"
Entah apa yang dipikirkannya, dia meregangkan seluruh tubuhnya dan menggeram keras. Lalu, "Robohkan nisan, singkirkan kura-kura batunya, dan gali bagian dalamnya," katanya dengan suara keras bagaikan orang gila.
Tentu saja semua orang yang ada di situ berusaha keras menghentikan kemauannya yang semena-mena. Dengan suara memelas dan sambil tetap bersujud, mereka memohon, "Ini terlalu mengerikan. Kami mohon Paduka menunda dulu keinginan Paduka ini."
"Diam!" bentak Kou. "Apanya yang mengerikan? Coba kalian lihat kata-kata yang ada pada nisan itu. Di situ tertulis 'Bertemu Kou Pintu Terbuka', bukan? Artinya, dewa-dewa zaman dulu sudah meramalkan bahwa pada hari ini aku akan datang ke sini. Yang tidak mau melakukan perintahku, akan kupenggal lehernya."
Di bawah ancaman seperti itu, tidak ada yang bisa melakukan apa pun selain melaksanakan perintah sambil gemetaran.
Didorong bersama-sama, nisan pun roboh, kura-kura batu yang sudah tertidur beratus-ratus tahun pun terbangun karena diguncang-guncangkan. Setelah diangkat dan didorong dua atau tiga kali, bagian perut kura-kura batu itu mulai terlihat, dan seiring debum keras, dari balik kura-kura batu itu terdengar bunyi bergolak bagaikan air mendidih di ketel raksasa.
"Astaga! Ini dalam sekali."
Setelah kura-kura batu tersingkir, tampaklah lubang menganga yang sangat besar. Kedalaman lubang itu tidak terukur, mungkin akan mencapai dasar neraka. Mustah.il bisa dilihat. Tiba-tiba, dari dasar bumi terdengar bunyi menggelegar bagaikan beratus-ratus halilintar yang berbunyi serentak. Baik Jenderal Kou maupun semua orang yang ada di sana menjerit sambil menutup telinga dan berguling-guling di tanah. Apa yang terjadi?
Semuanya berlangsung hanya dalam sekejap. Asap hitam pekat bak tinta cina yang terasa dingin menusuk berdesir, melewati wajah semua orang yang jatuh terbaring di sana.
Asap pekat tak berbau itu tidak terlihat. Namun, nyata sekali asap itu menyembur dari dasar lubang. Selanjutnya tidak salah kalau dikatakan terdengar langkah kaki, suara tawa, serta keributan yang dibuat para iblis. Bunyi gemuruh bumi tidak reda juga, meretakkan dinding di empat sisi serta membuat gunung bergetar. Akibatnya, puncak-puncak gunung yang ada di Ryu Kou bergemuruh, dan air diSungai Shin Koujoujoumeruah, seolah-olah hendak menelan seluruh kaki gunung.
"Aaah, apa yang terjadi?"
Kou terpontang-panting melarikan diri keluar dari gua batu. Tidak. Mungkin lebih tepat dikatakan dia terlempar sampai ke bawah jembatan kortdor Ruang Ma Ya, terpental akibat sesuatu.
Ketika kesadarannya agak pulih, gua batu itu masih bergoyang-goyang bergemuruh. Ketika itu tampaklah ekor segumpal awan hitam naik ke udara, yang tiba-tiba berganti menjadi bersitan kilatan merah yang menusuk mata. Lalu kilatan merah itu menghambur menjadi bintang-bintang yang mengerikan. Bintang-bintang itu kemudian terlihat terbang memencar ke seluruh langit dunia manusia.
Bagaikan oranglinglung, Kou berjalan sempoyongan sambil mengeluh dan mengibas-ngibaskan tangan. Tentu saja, dialah penyebab terjadinya keributan di gunung itu. Tetapi karena pelaku kerusuhan adalah utusan kaisar, dia tidak mungkin dihukum. Dengan wajah muram, kepala pendeta Kuil San Sei berkata kepada Jenderal Kou yang pandangan matanya kosong.
"Tentunya Paduka akan segera pulang. Selanjutnya, kami hanya bisa menunggu dan berharap agar Pendeta Besar Kyo Sei segera kembali ke sini. Tetapi Paduka sungguh telah bertindak buruk. Di dalam gua terlarang itu terikat 36 bintang tenkou dan 72 bintang chisatsu, yang kalau dijumlahkan menjadi 108 bintang iblis. Dan Paduka, meskipun hanya dilandasi keingintahuan, telah melanggar aturan di sini dan melepaskan 108 iblis itu ke dunia manusia. Kalau sudah begini, keadaan apa pun yang akan Paduka lihat nanti di dunia, tentunya akan membuat paduka juga merasa getir. Ya, setidaknya mulai dari sekarang, Paduka sebaiknya mengabdikan diri pada agama."
Agama Tao memandang bahwa alam semesta ini terdiri atas dua unsur, yaitu alam jahat dan alam baik. Penganutnya menyembah bintang-bintang seperti Ursa Major (tujuh bintang utata), Taikyoku, dan 28 rasi bintang lainnya. Yang semuanya berkaitan erat dengan perputaran kedamaian, kerusuhan, kebaikan, keburukan, kebahagiaan, dan kesengsaraan di dunia manusia.
Karena itu, mereka menyembah bintang-bintang kebaikan yang ada di alam semesta, dan memberangus bintang-bintang kejahatan dengan mantra sakti. Sejak zaman dulu, pendeta-pendeta di Kuil Jou Sei di Gunung Ryu Kou melakukan semua itu, dan terus berusaha keras menjaga kedamaian di dunia manusia. Tetapi hari ini, tindakan Kou telah membuat 108 bintang jahat berteriak kegirangan dan mengembalikan mereka ke dunia manusia.
"Sungguh sangat mengerikan."
Pada hari kepulangannya Jenderal Kou berjalan sambil menundukkan kepala, sementara kepala kuil terus-menerus mengeluh sambil meramal apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.
"Yang dimaksud dengan 108 bintang jahat itu adalah bintang pengacau. Di alam semesta yang sudah berumur jutaan tahun ini, beratus juta bintang dengan teratur mengelilingi matahari, dan tidak pernah ada satu pun bintang yang mencoba melanggar aturan itu. Tetapi bintang jahat yang disebut pengacau ini merupakan pengecualian. Mereka tidak mengikuti aturan, dan dengan seenaknya ikut berputar-putar di sekitar matahari, kadang muncul kadang tidak. Kondisi di masyarakat, di dunia manusia, juga seperti itu. Dan Paduka, dengan semaunya telah mengembalikan mereka ke alam yang tidak beraturan itu. Memang benar nafsu manusia memiliki nasib yang tidak ada ujungnya. Silakan Paduka pikirkan. Karena merasa jera dengan peperangan yang terus berlangsung selama lima zaman, semua orang sangat mengharapkan kedamaian. Tetapi baru beberapa puluh tahun memasuki zaman Dinasti So ini, tatkala kehidupan berjalan damai selama beberapa waktu, semua kelihatannya sudah bosan dengan kedamaian tersebut. Bukankah demikian kondisi masyarakat sekarang? Mungkin ini sifat manusia yang tidak mungkin diperbaiki. Dan karena bosan akan kedamaian, maka 108 bintang jahat dilepaskan lagi dari kerangkengnya. Kini dunia akan dipenuhi lagi dengan kekacauan yang tidak ada batasnya, keadaan yang betul-betul tidak ingin sayalihat... Ah.Tamatlah sudah, sekeras apa pun saya berkeluh kesah, tidak mungkin bisa tertanggulangi lagi."
Mendengar itu, bulu kuduk Kou yang pemberani meremang, dan beberapa kali dia merasa ingin menyumbat telinga. Dia melipat bendera utusan kaisar, lalu seolah-olah melarikan diri, dia tergesa-gesa pulang. Ketika akhirnya sampai di Istana Ben Ryo di ibukota Tou Kei, dia bersujud di hadapan Kaisar Jin Sou.
Kaisar menyambut kedatangannya.
"Oh, Kou Shin. Tentunya kau kelelahan setelah nnelakukan perjalanan jauh. Tetapi Pendeta Kyo Sei dari Gunung Ryu Kou tampaknya sudah mengetahui permohonanku dan dia datang dengan naik burung bangau ke ibukota. Kemudian dia melakukan doa selama tujuh hari tujuh malam, dan berkatnya penyakit yang mewabah di masyarakat mereda. Kondisi kota pun mulai kembali ceria. Kemujaraban upaya yang dilakukan pendeta itu sudah terlihat lebih cepat daripada waktu kepulanganmu ke sini. Kau tidak usah khawatir lagi."
Tanpa diduga, demikianlah kata-kata yang keluar dari mulut Kaisar.
Kou berkeringat dingin, tetapi melihat wajah Kaisar yang tampak tulus, dia tidak bisa berprasangka bahwa Kaisar berbohong. Sedikit pun dia tidak mengungkapkan bahwa dirinya telah melanggar larangan di Gunung Ryu Kou. Lalu setelah dia kembali ke istananya, sendirian dia menutup diri dalam ketakutan hingga akhir hayatnya.
Untunglah semasa hidupnya, tidak terjadi satu pun peristiwa yang menghebohkan. Masyarakat sudah terbiasa dengan kehidupan yang aman dan tenteram, dan pada saat itu pemegang tampuk kekaisaran pun telah berganti empat periode, dari Jin Sou ke Ei Sou, dari Ei Sou ke Shin Sou, dan dari Shin Sou ke Tes Sou. Sejak tahun 3 Ka Yuu, waktu telah berlalu tiga puluh tahun.
Di sini, 108 bintang jahat yang telah terlepas dari kekangan turun ke dunia manusia, satu demi satu bintang-bintang itu raenjelma menjadi manusia dan membentuk benteng Ryou Zan Paku, tempat berkumpulnya 108 jawara yang hampir menghancurkan Dinasti Sou. Bermula dari cerita di ataslah, Sui Kou Den, yang merupakan legenda Cina yang berlandaskan konsep kontinental ini muiai diceritakan dari zaman ke zaman.
Jika dibandingkan dengan masa-masa di dalam sejarah Jepang, zaman tersebut merupakan zaman saat Taira Tadamori, Kiyomori yang merupakan kesatria-kesatria yang tidak bernasib baik di bawah Kaisar Toba dan Sutoku mulai membuka zaman Keluarga Taira.
Sejak pengiriman delegasi Jepang ke Cina, sudah terjalin hubungan di antara kedua negara baik dalam bidang kebudayaan, kesusastraan, serta antarmanusianya sendiri. Dengan kata lain, Jepang dan Cina seolah-olah dihubungkan dengan seutas sungai kecil. Lalu meskipun Cina merupakan daratan yang tidak jauh terpisah, kesamaan nasib berdasarkan zamannya mungkin bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan.
Masa kejayaan Kaisar Tes Sou berlangsung selama lima tahun.
Pada masa kedinastiannya, suasana tidak bisa di-katakan selalu aman dan tenteram. Di masa itu terjadi konspirasi di antara para pejabat, pengusiran permaisuri, dan berbagai peristiwa lain yang seolah menunjukkan kedinastian yang akan melemah, bagaikan membusuknya bunga-bunga mekar tua yang akan berguguran ke bumi. Kondisi pembusukan pada masa akhir tersebut, terlihat pula pada kebiasaan anak-anak di seluruh ibukota Ben Ryou Tou Kei.
Namun, rakyat jelata tetap menjalani kehidupan dengan aman dan tenteram. Bagi mereka, berbagai kejadian di istana tidak semenarik pertengkaran suami-istri di rumah tetangga. Tetapi pada hari itu, tampaknya di arah yang mereka tuju dengan tergesa-gesa itu ada peristiwa yang sangat menghebohkan.
"Apa? Seratus kali cambuk?"
"Katanya begitu. Penjahat yang akan dihukum cambuk dan dikirim ke tempat pengasingan itu sekarang sedang diseret para polisi."
Di gerbang kota, orang-orang berkerumun penuh sesak.
Di sana terlihat pemuda berpenampilan ala berandal yang berusia sekitar 25 atau 26 tahun, sedang dipegangi oleh para polisi dan dipukuli dengan batang bambu hijau di bawah hitungan petugas.
"Hei! Bukankah itu Kou Kyu?"
"Wah! betul! Tak salah lagi, orang itu Kou Kyu. Kasihan sekali. Akhirnya Kou harus membayar segala pcrbuatannya."
Kou kyu masih muda. tctapi tampaknya tidak seorang pun yang tidak mengenalnya.
Dia tidak memiliki pekerjaan tetap. Tetapi dia anak laki-laki pedagang turun-temurun di Tou Kei ini, yang kerjanya hanya bersenang-senang. Marganya, Kou, dan namanya Ji Rou. Seperti orangtuanya, yang sudah kehilangan kekayaan keluarga, dia piawai dalam alat musik tradisional. Jika dia bernyanyi suaranya terdengar merdu. Dia juga terampil dalam kaligrafi, ilmu tombak, tongkat, naik kuda, dan banyak lagi. Terutama dia sangat terkenal dengan kecakapannya "bermain bola."
Kegiatannya yang mungkin bisa disebut pekerjaan adalah sebagai mucikari di kawasan rumah bordil. Dia sangat suka berkelahi, namun di sisi lain, dia berwajah tampan. Tentu saja, dia juga sudah banyak melakukan berbagai macam kejahatan. Karena kejahatannya terbongkar, akhirnya hari ini dia mendapatkan hukuman.
Pada saat petugas pencambuk yang melecut punggung Kou sampai pada hitungan keseratus, dan dengan perasaan lega akan mundur, tiba-tiba:
"Hei! Tunggu! Kenapa kalian mengurangi hitungan! Ini belum seratus kali! Jangan-jangan kalian semua menerima uang suap dari Kou!"
Di antara penonton yung menyaksikan pelaksanaan hukuman itu ada orang yang berani menegur petugas. Orang itu perwira bernama Ou Shou, pengawal kaisar, guru ilmu tongkat yang datang ke tempat itu sebagai saksi.
Bagi para petugas, menerima uang suap merupakan sesuatu yang lumrah, dan mereka menganggap uang suap adalah penghasilan resmi, sama sekali bukan kejahatan. Tetapi ketika dikata-katai menerima uang suap secara langsung di tengah siang hari belong, tak urung mereka gugup juga. Mereka mencoba berdalih, tetapi karena lawan adalah orang yang lebih tinggi kedudukannya, Guru Ou dari benteng kekaisaran, maka aparat kepolisian tidak bisa berkutik.
"Baiklah. Kami akan memukulinya sampai Guru Ou merasa cukup. Silakan dihitung."
Akhirnya, punggung Kou mendapatkan lecutan bambu hijau lebih dari empat puluh kali lagi.
"Cukup! Lepaskan dia!"
Setelah Ou Shou berkata seperti itu, barulah tali yang mengikat tubuh Kou Kyu dilepaskan, dan pemuda itu bangkit terhuyung-huyung.
Jika sudah diusir dari gerbang istana, dia akan terbuang dari empat kabupaten, dan tidak akan bisa lagi menginjakkan kaki di ibukota. Sambil mengelus-elus tubuhnya yang penuh bilur bekas pukulan cambuk bambu, Kou menoleh ke arah sosok Ou Shou dengan tatapan penuh kebencian.
Dasar tukang main tongkat tolol! Awas saja nanti. Wujudmu di masa lalu tentunya mengena] siapa Kou ini! hardiknya dalam hati.
Demikianlah, sendirian dia pergi menuju kota perdagangan Rin Wai di Wai Sei (Provinsi An Ki). Selama sekitar tiga hingga empat tahun, dia tinggal di tempat Ryu Sei Ken, pemuka di daerah tersebut.
Pada saat itu, turunlah perintah dari Kaisar untuk memberikan amnesti kepada paia tahanan.
Karena hanya melakukan kejahatan kecil, Kou Kyu mendapatkan amnesti ini. Hal ini membuatnya ingin segera kembali ke Tou Kei. Tetapi, meskipun kembali ke Tou Kei, dia tidak mungkin bisa segera mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu, dia merundingkannya dengan Ryu, bertanya apa yang harus dia perbuat.
Ryu menyarankan, "Kalau begitu, aku akan membuat surat untuk kerabatku Tou. Bawalah surat itu dan pulanglah ke Tou Kei."
Setelah berselang empat tahun, Kou kembali lagi ke sarang lamanya. Sambil membawa surat itu, dia berkeliling mencari alamat orang yang katanya tinggal di dekat Jembatan Kin Ryou di lingkungan istana.
"Tampaknya di sinilah rumah Tou Shou Shi itu."
Di hadapannya terlihat toko obat dengan bangunan megah.
Dia menemui Tou, si empunya rumah, dan menunjukkan surat dan Ryu. Tou, tanpa menanyakan asal-usul dirinya, langsung mengerti.
"Oh begitu, karena sudah empat tahun di Rin Wai, tentu saja tidak aneh kalau kau lupa situasi tempat kelahiran sendiri di wilayah istana ini. Karena kami pedagang, kami sering pula mengunjungi rumah para pejabat. Nanti kucoba carikan lowongan pekerjaan untukmu. Sekarang, silakan istirahat dulu."
Kou berterima kasih atas kebaikan Tou, dan dia menginap di rumahnya selama setengah bulan. Pada saat itu, Tou mungkin melihat bakat serta berbagai keterampilan yang dimiliki Kou, karena suatu had dia menulis surat rekomendasi.
"Sayang sekali kalau terus-menerus menganggur. Bagaimana kalau kaubawa surat ini ke tempat teman akrabku, seorang cendekiawan?"
"Wah, aku sangat berterima kasih. Kalau aku bisa bekerja, itu sudah cukup. Aku tidak akan minta pekerjaan yang aneh-aneh."
Akhirnya Kou tiba di gerbang rumah Cendekiawan Shou So.
Tetapi, ketika melihat Kou, sang cendekiawan mengernyid
Ucapannya sangat tidak bisa diandalkan, tetapi hari berikutnya, Kou tetap berkunjung ke rumah Ou Shin Kei. Begitu berdiri di depan gerbang yang sangat megah itu, dia yang seiama ini tidak pedulian terperangah juga.
Tempat ini istana keluarga kerajaan. Kata orang, Shin Kei adalah menantu kaisar, yang di masyarakat dikenal sebagai "Keluarga istana Jenderal Ou."
"Wah, apa yang harus kulakukan? Cendekiawan Shou So dengan lihai mengusirku untuk tetap menjaga nama baiknya. Oia menyuruhku ke istana kekaisaran seperti ini, yang tidak mungkin didekati... Sudahlah! Kucoba saja. Segala sesuatu harus dicoba dulu."
Setelah membulatkan keberanian, Kou berjalan masuk melewati gerbang, dan dengan sengaja dia menunggu untuk ditegur. Segera saja dia ditangka penjaga, dan begitu pengawal istana muncul, dia menyerahkan surat rekomendasi dari cendekiawan Shou So. Dengan tenang dia berkata, "Saya bukan orang jahat. Saya datang ke sini untuk mencari pekerjaan. Dan untuk masalah pekerjaan, saya memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi. Dipekerjakan atau tidak, bukan masalah, tetapi saya ingin diuji terlebih dulu. Saya mohon agar pemintaan ini disampaikan kepada Paduka Yang Mulia."
Pada saat itu, sang Jenderal sedang berada di ruangan dalam, melewatkan hari di musim semi ini tanpa melakukan apa pun, hanya terkantuk-kantuk. Ini pertanda baik bagi Kou Kyu. Begitu mendengar pesan dan tanpa semangat melihat surat rekomendasi dari Cendekiawan Shou So, Shin Kei berkata, "Hmm. Tampaknya pelajar yang cukup menarik. Apa? Dia tak kelihatan sebagai pelajar? Ya, apa pun tidak masalah. Untuk menghilangkan kesuntukan, aku akan bertemu dengannya, dan akan mengujinya. Biar aku sendiri yang langsung menemuinya. Bawa dia ke sini."
Shin Kei bangkit dari tempat duduknya yang panjang dan indah, lalu membetulkan ikatan mahkotanya.



Nasib baik tukang main bola, Naik ke Langit Sembilan dan bertemi Ki Sou, Kaisar yang Anggun
DI dunia ini terdapat dua jenis jenius. Jenis pertama adalah jenius yang menyebalkan, jenis kedua adalah jenius yang jujur dan tidak banyak bicara.
Kou Kyu tentunya tahu sikap seperti apa yang harus diambilnya. Pada saat mendapat pertanyaan-pertanyaan langsung dari sang Jenderal Ou, dia tidak segera memamerkan penge-tahuannya. Dia berusaha memberikan kesan kepada bangsawan yang baru ditemuinya bahwa dirinya seolah-olah reraaja baik yang selalu bersikap raawas diri seperti pemula.
"Betul juga. Memang tepat rekomendasi dari Cendekiawan Shou So. Pelajar seperti ini tidak akan memalukan jika dijadikan salah seorang pendampingku di istana."
Begitu melihat Kou, Jenderal Ou tampak langsung menyukainya. Lalu dia menebarkan pandangan ke seluruh jajaran perwira pengikutnya.
"Bagaimana menurut kalian? Tidakkah pemuda ini memiliki penampilan yang cukup bagus?" katanya memberikan penilaian. Dengan segera, dia memberi perintah agar Kou diterima bekerja di situ.
Demikianlah, Kou Kyu yang tidak lebih dari seorang gelandangan kota akhirnya menjadi pegawai di istana Ou Shin Kei, menantu kaisar.
Untuk nasib baik yang didapat Kou Kyu ini, tidak ada ungkapan yang lebih tepat selain pepatah "bagai mendapat durian runtuh." Banyak orang yang tidak dapat memanfaatkan nasib baik yang didapat untuk kehidupan. Namun untuk Kou Kyu hal ini tidak berlaku, dia dapat menjalani kehidupan dengan nasib baiknya itu seperti ikan mendapatkan air. Kecemerlangan otaknya semakin lama semakin bersinar. Lalu akhirnya dengan beragam keterampilan yang dimilikinya, dia menjadi salah seorang pejabat kesayangan yang harus selalu berada di samping Jenderal Ou. Sejak saat itu, "Kyu" namanya, diubah dengan huruflain yang berbunyi sama namun artinya berbeda.
Pada suatu tahun tertentu, Ou si menantu kaisar merayakan ulang tahun. Di depan gerbang istananya tampak berderet kereta yang sangat indah. Di balairung tingkat atas, berjajar para pemain musik serta gadis penyanyi, sementara di nampan-nampan perak di meja terhidang berbagai makanan mewah. Para bangsawan istana serta pemuka masyarakat dengan pakaian indah mereka, tampak seolah sedang berlomba penampilan. Salah satu dari mereka adalah pangeran yang sangat mencolok penampilannya, entah dari golongan mana. Dia dielu-elukan oleh orang-orang yang berada di depan dengan panggilan "Pangeran dari Istana Sembilan." Setiap kali mendapatkan tuangan arak terkenal dari Shi Fu ke cangkir bening kecokelatan yang dipegangnya, baik dari keluarga Jenderal Ou, maupun dari tamu laki-laki dan perempuan kehormatan, dengan penuh hormat, dia menerimanya tanpa canggung.
Selain itu, ketampanan sang pangeran bisa membuat bunga dalam pot emas dan pot batu giok kehilangan warna dan keharumannya. Itulah sebabnya, setiap selesai menari, para penari dari sanggar seni, dengan kostum benvarna-warni, mengerubungi pangeran ini seakan bersaing menarik perhatiannya.
"Wah, Pangeran Tan Ou selalu saja bersikap dingin."
"Memang hari ini Pangeran menjadi tamu utama, tapi saya kira sebaiknya tidak perlu menunjukkan wajah serius seperti itu. Mestinya agak santai saja."
Para penari itu seolah kupu-kupu yang beterbangan di sekitar bunga peony.
"Haha.  Oh,  begitu? Wajahku  kelihatan  dingin,
ya?"
Tan Ou, Pangeran dari Istana Sembilan, dengan senyum pahit yang kelihatan anggun, menepis serangan dari kumpulan kupu-kupu itu. Tetapi sepertinya dia memiliki kelemahan dalam bersikap, karena dia tampak kerepotan menutup mulut para perempuan tersebut. Di tambah lagi, para perempuan ini terkadang berteriak-teriak kegirangan sampai bunyi kecapi dan suling para pemusik tidak terdengar, membuat para tamu kehormatan saling pandang keheranan.
Tak lama setelah perayaan ulang tahun.
"Kou Kyu! Bawa hadiah ini ke tempat Pangeran Tan Ou."
Hari itu Kou Kyu diperimah Jenderal Ou sebagai utusan untuk pergi ke tempat kediaman Tan Ou.
Kou Kyu sudah mengetahuinya sejak awal.
Pada perayaan ulang tahun yang berlangsung beberapa hari lalu, tatkala Tan Ou beristirahat di perpustakaan, dia melihat alat tulis berupa tempat kuas berukiran naga dan pemberat kertas berbentuk singa dari batu giok.
"Kalau anda sangat suka dengan benda-benda itu, akan saya kirimkan ke rumah Anda." Pada saat itu, Kou Kyu yang berada di samping Jenderal Ou, mendengar janji yang diucapkan sang jenderal kepadaTan Ou.
Hadiah yang dimaksud pasti kedua benda itu. Pada hari dia bertugas sebagai utusan, Kou Kyu pergi dengan perasaan ceria karena merasa mendapat kesempatan yang sangat sulit diperoleh.
Bagaimanapun, sang pangeran yangbernamaTanOu ini adalah anak laki-laki kesebelas dari kaisar sebelumnya, dan adik dari Tes Sou, kaisar sekarang. Karena itulah, dia diperlakukan sebagai putra mahkota. Tetapi selain itu, Kou Kyu sebenarnya sangat kagum pada pangeran ini. Sudan lama dia mendengar bahwa sang pangeran sangat pandai bergaul, terutama dengan perempuan, seperti yang terlihat ketika para penari perempuan dari sanggar seni berkerubung di sekelilingnya.
Selain pandai bermain catur, melukis, memainkan alat musik, main bola, serta memiliki pengetahuan tentang agama Buddha dan Khong Hu Chu, sang pangeran juga sangat memahami perasaan rakyat. Tak seorang pun yang tidak mengenal reputasinya ini. Oleh karena itu, dalam hati Kou Kyu berharap, "Suatu saat nanti aku ingin mengobrol panjang-lebar dengan beliau. Kalau beliau mau mendengar tentang berbagai pengetahuan di dunia yang aku geluti, tentunya beliau akan menganggapku orang yang sangat pintar tiada duanya, dan pasti beliau akan menaruh perhatian padaku."
Istana Tou Gu berada di satu sudut wilayah istana Ben Ryou. Ketika Kou Kyu tiba di depan gerbang, penjaga bertanya dengan kewibawaan yang berbeda dengan di tempat lain, "Anda utusan dari mana?"
"Saya utusan Jenderal Ou, datang ke sini untuk menyerahkan hadiah kepada Paduka Pangeran di Istana Sembilan."
Mendengar itu, penjaga segera membuka gerbang. Kemudian Kou Kyu memasuki halaman, lalu melenggang ke arah istana. Di gerbang tengah, dia kembali menyebutkan tujuan kedatangannya kepada perwira penjaga yang ada.
Dengan penuh kesopanan, pejabat di sana berkata, "Tentunya Anda lelah, tetapi sayang sekali, Paduka Pangeran sekarang sedang bermain bola di lapangan dengan para pejabat tinggi istana, karena itu sudilah Anda menunggu sebentar."
"Oh. Paduka sedang berada di lapangan bola?"
Mendengar kata "bola", dia tidak bisa berdiam diri begitu saja, karena itu keahlian istimewanya. Tanpa sadar Kou berkata dengan raut wajah antusias, "Saya juga sangat menggemari permainan bola. Kalau boleh, saya ingin melihat situasi di lapangan bola itu meskipun dari jauh."
"Itu mudah. Mari saya antar ke sana."
Setelah melewati halaman yang dipenuhi pepohonan, akhirnya Kou sampai di tempat terbuka yang terang, dan dari situ terdengar bunyi tendangan bola yang seru.
Semua yang ada di sana tentunya para bangsawan, pejabat, serta putri yang sangat menyenangi bola. Mereka mengelilingi lapangan yang cukup luas, ada yang duduk di kursi dan bangku, ada pula yang menjulurkan kaki di atas rumput, menonton pertandingan.
Kou diam-diam bergabung dengan para bangsawan itu dan menonton pertandingan dari jauh.
Saat ini, tampaknya babak pertama pertandingan sudah selesai dilaksanakan, dan setelah sorak-sorai berakhir, sosok Tan Ou terlihat berdiri di bawah tiang yang terpancang. Beliau memakai pakaian bola yang sangat memesona. Rambutnya diikat dengan kain sutra tipis, baju putihnya berhias sulaman bunga ungu, lengan bajunya dihiasi lukisan naga terbang, dan kakinya memakai sepatu burung phoenix. Kemudian, setelah melihat persiapan lawan mainnya, dia berkata, "Sudah siap!"
Begitu selesai mengatakah itu, sang pangeran berjalan ke tengah lapangan menuju bola yang sudah disiapkan oleh hambanya.
Penendangan bola dilakukan berdasarkan tingkatan jabatan, diawali pejabat yang berkedudukan paling tinggi, dilanjutkan pejabat yang berkedudukan di bawahnya, demikian seterusnya. Bola ditendang dengan diarahkan ke delapan tiang pancang pihak musuh. Dan Tan Ou memang sangat piawai, tendangannya sesuai dengan keningratannya. Selain itu, dalam memberikan bola dan menerima bola pun permainannya sama sekali tidak bercacat.
Tetapi kemudian entah karena kesalahan apa, bola yang melenceng dari salah seorang penendang terbang melayang ke arah penonton.
"Awas!"
Orang-orangyang hampir terkena bola bergulingan. Tetapi Kou Kyu yang berada di dekat mereka, dengan sigap menyambut bola, seolah-oiah mendapat kesempatan yang ditunggu-tunggu. Lalu dia menendang bola itu jauh-jauh ke arah Tan Ou.
Dari kejauhan terdengar gema suara, "Wah! Bagus sekali!"
Selanjutnya, si pemilik suara tampaknya melihat sosok Kou Kyu dan memanggilnya.
"Orang yang barusan menendang bola, majulan ke depan."
"Baik," kata Kou Kyu. Dia pun maju ke lapangan.
"Maafkan hamba. Karena hamba sangat suka akan bola, hamba sampai tidak tahu tempat."
"Tidak masalah. Aku bukan akan menyalahkanmu. Tcndaiigan yang kaulakukan barusan kukira salah satu jurus bebek peking paling sulit di antara sepuluh jurus rahasia tendangan bola."
"Pandangan Paduka sangat tajam." "Siapa kau sebenarnya?"
"Hamba Kou Kyu, salah satu pendamping Jenderal Ou. Sebenarnya, hamba datang ke sini karena perintah beliau...," kata Kou, menjelaskan kedatangannyasebagai utusan Jenderal Ou dan dengan segera mengeluarkan kotak yang berisi dua buah pusaka. Tetapi tampaknya Tan Ou jauh lebih tertarik pada kepiawaian Kou Kyu bermain bola daripada kedua pusaka itu.
"Sudahlah. Untuk masalah itu, aku akan mendengar penjelasannya nanri. Yang lebih penting, coba kautunjukkan lagi teknik menendang bola tadi," kata Tan Ou penuh harap.
Tanpa diminta aku juga akan melakukan itu, kata Kou dalam hati. Kesempatan ini tidak mungkin ada dua kali, pikirnya, dan dia merasa sulit menekan perasaan gembira yang muncul di wajahnya. Namun, dia tetap merendah dan beberapa kali menolak. Tetapi karena sudah ada izin dari Tan Ou, maka dia berkata, "Kalau begitu, hamba sebagai amatiran akan mencoba memperlihatkan kebodohan hamba," katanya sambil maju ke tengah lapangan. Lalu dia menunjukkan sepuluh jurus memainkan bola. Dia menunjukkan dasar
permainan bola yang menggunakan kepala, pundak lutut, kaki, yang tcrdiri atas sepuluh teknik, dan selain itu masih ada pula delapan puluh teknik lain yang lebih rumit, serta beragam teknik rahasia.
Pada dasarnya Kou Kyu tidak hanya ahli dalam bermain bola. Pada masa-masa dia tidak memiliki pekerjaan tetap, kerjanya sehari-hari hanya bermain bola untuk berjudi. Karena itulah orang-orang di kota tidak memanggilnya Kou Ji Rou, tetapi menjulukinya Kou Kyu, pemain bola Kou. Teknik yang dikuasainya sangat berbeda dari teknik-teknik ringan pemain bola kelas atas.
Tan Ou dan orang-orang yang ada di sana terpesona.
"Wah hebat sekali! Itu teknik main bola dewa!"
Memang sudah selayaknyalah mereka terpesona dengan permainan bola Kou Kyu.
Di lapangan bola, senja mulai mengembang. Dan di setiap bangunan istana mulai menyala lentera yang terlihat redup. Kou pun secara resmi diterima untuk menghadap Tan Ou.
Tidak perlu dikatakan lagi bahwa Tan Ou sangat senang dengan hadiah alat-alat tulis dari Jenderal Ou. Tetapi pembicaraan segera beralih lagi ke topik permainan bola. Lalu tiba-tiba Tan Ou berkata, "Kou Kyu, mulai sekarang, datanglah setiap pagi dan sore untuk mengajariku bermain bola."
"Maafkan hamba, Paduka. Hamba bukan orang yang tepat untuk mengajari orang seperti Paduka Yang Mulia."
"Dan mulai hari ini, kau tinggal di Istana Timur ini. Kau tidak perlu lagi pulang ke istana Jenderal Ou."
"Wah, itu sangat menyulitkan hamba. Bagi hamba, Jenderal Ou adalah majikan utama. Hamba tidak ingin memiliki majikan kedua."
"Tidak usah cemas soal itu. Tadi aku sudah mengirim utusan ke tempat Jenderal Ou untuk meminta persetujuan agar kau bekerja di tempatku. Jenderal Ou itu kakak iparku, jadi di mana pun kau ditempatkan, kau masih bekerja dalam satu lingkungan keluarga. Memang kesetiaanmu patut dihormati, tetapi meskipun bekerja di tempatku, tidak berarti kau menyimpang dari kebenaran."
"Kalau Paduka menginginkannya, dengan senang hati hamba bersedia bekerja di sini," kata Kou Kyu sambil menunjukkan wajah terharu.
Demikianlah, Kou Kyu menjadi salah satu penghuni IstanaTimur, danseiringberjalannyawaktu, kepercayaan Tan Ou kepadanya semakin besar.
Kou Kyu yang awalnya hanya seorang gelandangan, karena memiliki bakat alam serta beragam keterampilan, bisa mengabdi kepada pangeran di Istana Timur, meskipun pangeran itu tidak tahu situasi dan kondisi masyarakat serta kerjanya hanya memenuhi kesenangan diri. Bisa dikatakan Kou Kyu bernasib baik hanya karena permainan bola yang menjadi kepiawaiannya.
Tetapi sampai kapan permainan bolanya akan memberinya nasib baik?
Setengah tahun berlalu. KaisarTes Sou pun mangkat Namun, karena putra mahkota tidak ada, setelah melalui musyawarah yang sangat alot, akhirnya muncullah nama Tan Ou sebagai pengganti kaisar.
Memang nasib manusia itu tidak bisa diketahui. Sejak saat itu muncullah Kaisar Ki Sou, kaisar kedelapan Dinasti Sou, yang di masyarakat disebut-sebut sebagai kaisar yang bersih, taat agama, dan dianggap sebagai pemegang tampuk keagamaan tertinggi.
Seperti yang diketahui, sejak berada di Istana Timur, Ki Sou sudah memperlihatkan tindak-tanduk sebagai pangeran yang kerjanya hanya bersenang-senang. Setelah dia menjadi kaisar pun, perhatiannya terhadap pemerintahan sangatlah kecil.
Tetapi perkembangan di bidang kebudayaan seperti seni lukis, musik, arsitek, tata busana, dan sebagainya, jauh lebih marak pada masanya. Ki Sou sendiri, kalau memegang kuas lukis, akan menjadi pelukis kelas atas, dan di ruang lukisan Sen Na di istana, banyak sekali lukisan yang terkenal pada zaman itu.
Teknik percetakan pun mulai berkembang, dan penerbitan buku mulai maju di kota, lalu meskipun masih dalam masa-masa transisi, sandiwara mulai muncul. Dengan tanda-tanda itu, bisa dikatakan masa ini merupakan titik puncak kebudayaan yang menjadi ciri khas pemerintahan Dinasti Sou.
Tetapi karena di dalam pemerintahan terus-menerus terjadi perseteruan antara pejabat beraliran reformis ekstrem dari kubu Ou An Seki dan pejabat konservatif, maka pada masa Ki Sou, krisis perseteruan ini mencapai puncaknya dengan terjadinya perpecahan secara intern. Meskipun demikian, Ki Sou tetap merupakan kaisar yang artistik dan romantis.
Dia menjadikan agama Tao sebagai agama negara dengan dia sendiri sebagai pemimpin dan pelindungnya. Dia mengumpulkan berbagai benda serta binatang langka dari seluruh negeri, dan dalam membangun istananya dia sama sekali tidak memerhatikan kesengsaraan rakyat. Tentu saja pada saat itu pajak sangat tinggi, pegawai-pegawai pemerintah yang jahat merajalela, dan jurang antara miskin dan kaya sangat lebar. Seluruh kota dipenuhi teriakan dendam rakyat yang sengsara. Pada masa itu suasana semakin tidak tenteram, dan Kin (suku Man Shuu) yang telah menjatuhkan wilayah Ryou, menguasai pula wilayah Tai Gen dan En Kei. Mereka akhirnya mulai masuk ke ibukota Kai Hou dan memasuki Istana Ben. Mereka menyeret Kaisar Ki Sou, permaisuri, putra mahkota, serta keluarga kaisar ke padang gersang di Man Shuu Utara sebagai tawanan. Di sana, Ki Sou dipaksa untuk bertani seperti tawanan lainnya, dan berakhirlah kehidupannya sebagai kaisar dengan kondisi yang sangat menyedihkan.
Angin Barat yang bertiup sepanjang malam menggetarkan daun pintu bobrok Di gubuk terpencil sepi terlihat samar pelita Gubuk gunung, bila pandangan ditebar ke sekitar, beribu kilometer jaraknya
Bulan menampakkkan wajah di langit Selatan, namun tiada bangau yang terbang
Ini adalah sajak yang menggambarkan nasib akhir Ki Sou sebagai kaisar ketika dia ditawan di Man Shuu Utara.
Ah! Tanpa sadar kisah yang panjang ini sudah terlalu banyak diceritakan.
Kisah tentang akhir kehidupan Ki Sou dan kehancuran Hoku Sou baru akan terjadi 25 tahun kemudian. Sui Kou Den ini, sesuai dengan nama lainnya, yaitu Hoku Sou Sui Kou Den, adalah kisah yang menggambarkan pergerakan rakyat jelata di bawah pemerintahan Kaisar Ki Sou. Dengan demikian sebagai permulaan, kita cukup mengetahui pada masa yang bagaimanakah sungai kisah ternama waktu itu bergulir.
Mari kita kembali ke pokok kisah semula.
Bersamaan dengan dilantiknya kaisar baru, tentu saja Kou Kyu juga ikut memasuki lingkungan kekaisaran  sebagai pejabat pendamping kaisar. Dengan demikian, si "bola" telah naik ke langit kesembilan.
Perhatian Kaisar terhadapnya semakin dalam, dan bagi Kou, untuk bisa mendapatkan jabatan yang lebih tinggi hanya tinggal menunggu waktu. Kemudian tanpa menunggu bertahun-tahun, dia menjadi pejabat tertinggi istana (Jenderal Pendamping Kaisar).
Tak lama setelah dia mendapatkan jabatan tersebut, Kou Kyu memeriksa daftar delapan ratus ribu tentara yang ada di istana. Lalu untuk mengabsen panglima di tiap regu, kavaleri dan prajurit, serta tentara pembawa bendera dan umbul-umbul, dia mengumpulkan mereka di pusat pelatihan tentara di Istana Ben. Pada hari itu, ketika tengah memeriksa, tiba-tiba dia menghentikan kudanya.
"Ada yang aneh...," ucapnya sambil memandangi wajah panglima-panglima yang berbaris rapi dengan pakaian perang mereka. Wajah Kou Kyu menunjukkan keheranan.
"Pencatat!"
"Hamba!"
"Ada yang aneh. Coba bacakan lagi daftar pejabat!"
"Baik, Paduka!"
Salah seorang pengikutnya mengambil daftar dari Inspektur, lalu kembali mengabsen panglima-panglima yang sedang berbaris satu demi satu. Ada seorang panglima yang meslcipun di dalam daftar tertulis hadir, namun dia tidak ada di tempat.
"Lihat! Kurang satu orang. Ini hal yang tidak baik dalam pemeriksaan hari ini!"
"Maafkan kami, Paduka!"
"Justru karena melihat kendurnya ketertiban di dalam ketentaraan seperti inilah, Paduka Kaisar secara khusus memberikan tugas yang berat kepadaku. Janggal sekali jika dalam daftar tertulis hadir namun orangnya tidak muncul dalam inspeksi. Siapa orang itu?"
"Panglima Tentara Kin Rin, Ou Shin, Paduka!"
"Kalau dia pejabat pelatih tentara, situasi jadi lebih buruk lagi, ini tidak bisa dimaafkan. Segera seret orang itu!"
"Sebenarnya, Pelatih Kepala Ou sehari-harinya bukan pemalas. Sudah beberapa hari ini dia sakit."
"Tutup mulutmu! Bagaimana mungkin seorang panglima tidak hadir dalam upacara penting hanya karena sakit. Kalau ini persiapan perang yang sebenarnya, apa yang akan dia lakukan? Menurutku, dia tidak datang karena tidak senang dengan pelantikan jabatanku, atau mungkin dia menganggap enteng perintah. Cepat pergi! Ini waktu yang sangat tepat untuk menanamkan disiplin ketentaraan."
Demikianlah Kou Kyu memberi perintah, lalu dia menjalankan lagi kudanya. Dengan diikuri wakil serta para perwira pengikutnya, dia kembali menginspeksi barisan.
Ou Shin, Si Pelatih Kepala.
Sebagai ahli jurus tongkat, nama Ou Shin tersohor sampai ke tempat yang jauh.
Sejak zaman ayahnya, Ou Shou, dia memegang jabatan di ketentaraan pusat ibukota,   dan   melatih   perajurit   ilmu bela diri. Dia tinggal di rumah dalam lingkungan   istana   dan   hidup   damai bersama ibunya. Tetapi pada hari itu, ketika dia sedang terbaring karena sakit, datanglah perintah tegas dari Kou Kyu yang menyuruhnya segera menghadap.
Para prajurit yang menjemputnya adalah murid-murid yang diajarnya setiap hari. Jika menolak hadir,
mereka akan menghadapi situasi gawat. Maka Ou Shin segera keluar dari kamarnya dan bersiap-siap pergi.
"Ibu tidak usah khawatir. Setelah bangun seperti ini, penyakitku ternyata tidak separah yang diduga. Aku mengerti betul kemarahan panglima baru. Aku akan segera kembali setelah meminta maaf kepada beliau."
Ibunya yang sudah tua berjalan sampai gerbang; mengantar anaknya yang pergi dikelilingi para prajuri dengan tatapan penuh kecemasan.
Di tempat latihan, upacara inspeksi sudah selesai dilaksanakan. Suasana di tangsi dan lapangan tempat latihan  menjadi  meriah  karena arak untuk upacara selamatan    pelantikan    panglima   baru Kou mulai dibagikan.
"Maafkan hamba."
Demikianlah, Ou Shin bersujud di depan Kou Kyu meminta maaf.
"Pada hari yang sangat penting ini, sebenarnya hamba  berniat hadir  dengan  mengabaikan  penyak hamba, tetapi karena ibu hamba sangat khawatir, hambapun terbuai kata-kata Ibu dan tidak menghadir Silakan Panglima hukum sesuai keinginan."
"Tentu saja. Karena aku telah menjadi panglima tertinggi   tentara  istana,   tidak  akan   kubiarkan lagi semangat prajurit mengendur seperti dulu. Pertama-tama,  aku akan meluruskan semangat para ksatria gadungan yang telah mengacaukan disiplin ketentaraan seperti dirimu."
"Jika disebut kesatria gadungan, itu mungkin berlebihan. Selain itu, apa alasan hamba dituduh mengacaukan disiplin ketentaraan?"
"Diam! Begitu disuruh datang, ternyata kau bisa datang dengan berjalan kaki. Kalau bukan pura-pura sakit, apa lagi namanya? Polahmu menjadikan ibumu sebagai dalih agar dikasihani itu sangat memalukan. Lagi pula, aku juga tahu betul siapa sebenarnya ayahmu di masa lalu."
"Jadi, Paduka menyebut hamba sebagai kesatria gadungan karena itu?"
"Ya. Ou Shou, ayahmu, memang dijadikan guru pelatih ilmu tongkat di ketentaraan istana, tetapi bukankah sebelumnya dia hanya penjual obat pinggir jalan, yang menjual obat sambil mempertontonkan jurus-jurus tongkat? Pada waktu itu, kau hanya anak kecil lusuh yang mengumpulkan dan menghitung uang receh di samping ayahmu. Hei! Ou Shin! Angkat wajahmu! Kau rupanya lupa masa lalu dan akhir-akhir ini mulai bertingkah."
Ou Shin diam saja.
"Wah! Benar-benar lucu. Kau tidak bisa berkata-kata, ya? Hei, Pengawal! Sebagai contoh untuk semua orang, pancung leher orang ini!"
Di depan Kou Kyu orang membela Ou Shin, dan dengan masing berusaha meredakan ken memintakan maaf.
"Bersabarlah,    Paduka. menyenangkan ini, bukankah tidak enak melihat orang dipancung?"
"Hukuman  memang harus sebaiknya vonis hukuman yang berat nanti   saja.   Untuk   hari   ini,  kami memberikan kelonggaran kepadanya. Lagi puia, seperti yang Paduka lihat, semua prajurit di lapangan sedang bersenang-senang dengan minum-minum dan bernyanyi mensyukuri pelantikan Paduka."
"Hmm, masuk akal..."
Kou Kyu agak menggerutu. Baginya hari itu perlu disyukuri. Tampaknya dia juga tidak ingin melihat sesuatu yang tidak mengenakkan pada hari pelantikannya.
Untuk sementara Ou Shin dibebaskan dan diperbolehkan pulang.
Namun tetap saja untuk masuk dan keluar rumah dia dijaga oleh prajurit. Dia menjadi tahanan sampai ada pemberirahuan" lebih lanjut.
Di tengah malam yang segelap tinta cina, dengan sembunyi-sembunyi dia keluar dari kamar, laluu membangunkan ibunya.
"Ibu, bangunlah sebentar."
"Oh, anakku. Tampaknya kau juga tidak bisa tidur."
"Tidak juga, Bu. Aku ini tetap Ou Shin yang dulu, yang selalu santai. Kejadian kecil semacam ini tidak akan membuatku tertekan. Tapi aku tahu Ibu sangat khawatir."
"Jangan pikirkan Ibu. Lebih baik pikirkan cara untuk menyelamatkan dirimu sendiri."
"Tapi tampaknya kali ini aku tidak akan selamat. Bagaimanapun, aku tetap akan dihukum mati Kou Kyu."
"Kalau kau mati, Ibu juga tidak bisa hidup. Tapi banyak muridmu yang mengajukan permohonan agar kau dibcri ampun. Lagi pula, dosamu itu bukanlah dosa besar yang harus dibayar dengan kematian."
"Benar, Bu. Kalau dalam keadaan biasa, kita memang bisa berkata begitu. Tetapi untuk kali ini, keadaan tidak mungkin tertolong lagi. Aku punya firasat buruk, Bu."
"Jangan-jangan kau berniat memberontak."
"Sama sekali tidak, Bu. Aku tidak memiliki niat seperti itu. Sebenarnya begini. Ketika aku sedang menduga-duga seperti apakah panglima baru Kou Kyu ini, dari mulutnya muncul berbagai macam hal tentang Ayah, Ou Shou. Aku merasa aneh sekali, mengapa orang yang berada di atas bisa tahu segala macam tentang Ayah. Lalu aku juga terus menatap wajahnya.”
"Apa? Dia tahu latar belakang ayahmu”..
"Pasti dia tahu, Bu. Ketika aku masih kecil, di ibukota Kai Hou ini ada seorang pemuda yang terkenal, kerjanya hanya bermain-main. Pemuda itu sangat pandai bermain bola sepak. Dia pemalas yang kerjanya menjadi mucikari, dan dia dijuluki Kou Kyu. Bagaimana, Bu? Dan sekarang, Kou Kyu inilah yang menjadi panglima tertinggi untuk pasukan yang berjumlah delapan ratus ribu prajurit di istana."
"Astaga.    Berandalan   seperti   itu menjadi panglima?"
"Tatkala berandalan Kou Kyu akan ibukota, ketika dia dihukum seratus kali cambukan di bawah tontonan orang-orang di pintu gerbang kota. Ayah yang sudah menjadi pelatih di ketentaraan istana menyaksikan pelaksanaan hukuman itu. Menurut kabar angin, Kou Kyu sangat tidak senang dengan kebijakan hukuman dari ayah, dan dia sangat dendam kepada Ayah. Konon, ketika akan dilepaskan, dia berkata bahwa suatu saat dia akan membalas dendam. Memang peristiwa itu sudah berlalu belasan tahun, namun ingatan tentaiu, itu muncul lagi di kepalaku. Aku merasa nasibku tidak akan tertolong lagi, dan sepertinya di depanku sudah terlihat dewa pencabut nyawa."
"Anakku! Apa yang akan kita lakukan? Ibu juga pcrnah mendengar cerita itu dari ayahmu yang sudah
meninggal."
"Ibu tidak usah bingung. Umung saja aku diperbolehkan pulang dulu, dan setelah melihat wajah ibu, aku berpikir mengapa harus mad. Aku pun sudah memiliki rencana. Nah, sekarang ibu cepat bersiap-siap. Rumah dari ayah ini memang memiliki banyak kenangan, tetapi mari kita tinggalkan rumah ini dan pergi ke tempat yang jauh."
"Tapi di depan dan belakang rumah kita ada penjaga, bagaimana kalau kau nanti menjadi buronan negara?"
"Kepala penjaga Chou dan Li, keduanya sehari-hari muridku. Aku akan berusaha agar kesalahan mereka dianggap ringan. Kalau kita berpura-pura pergi ke Kuil yang ada di gunung di luar kota dan kembali sebelum subuh, tentunya mereka juga akan pura-pura tidak melihat."
Bahkan dalam benak ibunya yang sudah tua, saat ini mereka memang harus berani mengarnbil risiko. Tanpa mengenakan pakaian mencolok dan, dengan digendong oleh anaknya, dia menyelinap keluar dari pintu belakang.
Kepala penjaga Chou dan Li melepaskan mereka dengan berpura-pura tidak melihat. Ou Shin berlari menembus malam yang pekat dan hampir mencapai gerbang Sei Ka. Penjaga di sini juga muridnya. Lalu dengan  alasan  palsu, dia diperbolehkan lewat dan sekalian meminjam kuda. Dia menaikkan ibunya kekuda dan dia sendiri duduk di depan pelana.
"Rencana berjalan lancar, Bu! Kukira tidak ada masalah lagi. Yang mengejar pun belum kelihatan.”
"Tapi sekarang kita mau ke mana”
"Mari kita pergi ke En An."
"En An di Provinsi Sen Sei?"
"Betul, Bu. Di istananya ada orang Rou Chuu,  dan  dia  bertugas sebagai pejabat pertahanan negara. Dan di antara bawahannya, banyak sekali orane yang kuajari ilmu tongkat di ibukota. Selain itu aku sering berkirim surat dengan Rou Chuu ini.
"En An pastilah sangat jauh."
"Letaknya di sebelah barat Sungai rvou uir ttan di sebelah timur ibukota lama Chou An. Perjalanan kita memang tidak akan  ringan. Jadi, kumohon ibu bersabar."
"Ya.  Kalau berdua dengan anakku, betapapun sulitnya, aku bisa bertahan."
"Aku pun begitu, kalau bersama Ibu, kekuatanku bertambah seratus kali lipat."
Pelarian mereka terus mengalir embusan tertiup angin. Kadang-kadang bersembunyi di padang, kadang-kadang mereka di gunung.
Selagi mereka masih berada di jalan yang bisa dilewati kuda, yang tidak jauh dari ibukota, terus-menerus tersiar kabar bahwa Kou Kyu marah besar mendengar pelarian Ou Shin. Dia bahkan mengeluarkan maklumat resmi yang memerintahkan penguasa jalan di setiap negeri untuk menangkap penjahat bernama Ou Shin. Tetapi setelah memasuki jalan-jalan di padang dan di gunung daratan yang sangat luas ini, kecemasan yang menghantui Ou Shin dan ibunya mulai pergi.
"Hari sudah senja. Di desa mana kita sekarang?" Sambil mengelus kuda yang kelihatan sudah lelah, Ou Shin mulai mencari-cari tempat penginapan.
"Kelihatannya tidak ada penginapan, Bu. Di belakang ladang pohon Iiu itu terlihat gcrbang persegi dari tanah. Bagaimana kalau kita minta izin menginap di rumah itu?"
"Sepertinya itu rumah milik pejabat desa." "Tidak masalah, Bu. Serahkan padaku." Dia mengikatkan kuda pada sebatang pohon iiu, lalu memasuki gerbang.
"Ah. Tempat ini sangat bagus." Tampaknya  ini  milik keluarga  bangsawan yang cukup ternama.
Di bukit di belakang gedung terlihat sebuah gubuk beratap ilalang, dan jalan menuju bangunan itu diselubungi pepohonan Iiu. Terdapat pula sungai kecil dengan air jernih yang mengalir menuju kolam yang tampak bagai cermin di halaman.
Menghadap ke kolam berjajar rumah-rumah kecil di sekitar bangunan induk, dan di dekat permukaan tanah yang agak tinggi terdapat perpustakaan dengan jendela dibiarkan terbuka. Lentera tampaknya baru di dinyalakan, karena dari situ terlihat kelap-kelip yang menyenangkan.
Seorang pelayan menyambut Ou Shin dan segera kembali ke dalam. Dari kejauhan terdengar lenguhan sapi-sapi, dari bangunan dapur dan petak-petak rumah pelayan mengepul asap yang menunjukkan mereka sedang memasak. Dari sana juga terdengar ramai obrolan ratusan pekerja. Sepertinya di tempat itu, baik pekerja, maupun ternak tidak kekurangan makan. Kekayaan rumah ini bisa mencukupi sampai anak-cucu, dan perpustakaannya dipenuhi berpuluh-puluh ribu jilid buku. Demikianlah kesan yang didapat dari bangunan itu.
"Tuan pengelana. Maaf telah lama menunggu. Silakan masuk."
"Oh, apakah kami diizinkan menginap!
"Ya. Begitu saya katakan kepada majikan kami bahwa ada pengelana yang kemalaman dan ibunya yang sudah tua, beliau mengatak tentunya mereka sedang dalam kesuiitan.'"
“Terima   kasih   banyak.   Kalau   begitu,   dcngan penuh rasa terima kasih kami akan menerima kebaikan majikanmu."
Ou Shin bergegas ke  luar dan  kembali  seraya menuntun tangan ibunya.
"Biarkan saja kudanya. Nanti akan saya beri makan," kata si pelayan.
Semua penghuni rumah itu menyambut mereka dengan hangat seperti si pelayan tadi.
Selesai mandi dan makan, Ou Shin menemui pemilik rumah itu. Sang juragan memakai penutup kepala yang terlipat ke samping. Janggut putihnya menjuntai sampai ke lutut. Dia mengenakan pakaian seperti yang digunakan untuk latihan bela diri, serta memakai sepatu yang buatannya sangat halus.
"Saya dengar Anda datang ke En An sebagai pedagang. Tentunya Anda repot sekali karena membawa ibu Anda yang sudah tua."
"Betul sekali, Tuan. Di ibukota saya kehabisan modal."
An. Anda mungkin cemas tidak punya uang untuk biaya penginapan. Tapi saya tidak akan menerima Anda berdua hanya karena uang."
"Memang ini memalukan. Namun jika membawa orang tua, agak sulk juga untuk tidur di tempat terbuka."
"Tidak usah sungkan.  Rumah ini luas, malam ini sebaiknya Anda membiarkan ibu anda beristirahat dengan nyaman."
Selama beberapa saat, mereka berdua berbincang tak tentu arah. Tetapi tatkala Ou Shin akan undur dir juragan tua menyipitkan mata di bawah alis putih seraya mengamati gerak-gerik Ou Shin.
Keesokan paginya, sang juragan tua membuat teh kesukaannya, dan menunggu Ou Shin. Namun yang ditunggu tidak datang juga, dia sendiri pergi ke kamar tamu untuk melihatnya. Ternyata Ou Shin sedant; merawat sang ibu yang penyakitnya kambuh sejak tadi malam. Pagi itu pun sang ibu masih menahan erangan dalam perawatan anaknya.
"Mengapa Anda tidak cepat-cepac memberitahu saya?" kata sang juragan tua ketika melihat hal tersebur. Dia segera menyuruh pelayan mengambil rempah obat-obatan lalu dengan tangannya sendiri, meracik dan menggodok rempah-rempah itu. Tidak hanya itu. dia juga memberitahu mereka agar terus beristirahat di tempatnya selama diperlukan.
"Saya tidak akan melupakan budi baik Anda.
Sekitar tujuh hari kemudian, penyakit ibu Ou Shiii mulai membaik, dan wajahnya mulai terlihat segar Oi Shin pergi ke kandang untuk melihat kudam. berniat meninggalkan tempat itu sepagi mi "
Ketika kabut pagi masih mengambang, ketika embun di daun-daun pohon liu masih terlihat hijau menyegarkan, tiba-tiba di antara pepohonan terdengat teriakan seseorang yang penuh semangat.
Mendengar itu Ou Shin menoleh. Dilihatnya bayangan seseorang bertubuh tegap putih di dalam kabut biru itu.
Orang itu masih berusia sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun. Tetapi bentuk tulang dan ototnya tampak sangat bagus, terlihat amat kuat. Separuh atas tubuhnya telanjang, dari wajah dan tubuhnya yang telanjang itu mengalir keringat, dan keringat itu pun terlihat sangat indah.
Kemudian yang membuat mata Ou Shin semakin terbelalak adalah rajah yang terlukis pada tubuh telanjang putih itu. Sembilan naga yang mengilap dalam peluh, dan naga-naga itu terlihat seolah-olah keluar dari kulit. Di tangan pemuda itu tergenggam sebilah tongkat kayu pohon ek yang panjang. Tongkat itu berdengung di sekitar tubuhnya, berputar-putar bagaikan baling-baling.
"Sepertinya pemuda itu sedang berlatih ilmu tongkat," gumamnya.
Karena tongkat merupakan jalan hidupnya, Ou Shin merasa gembira. Dan tanpa sadar dia tersenyum.
Kemudian, karena mungkin menyadari kehadiran Ou Shin, si pemuda menghentikan permainan tongkatnya.
"Hei, kenapa menertawakan .
"Tidak. Aku tidak berniat n, hanya  kagum  karena  permainan  tongkan bagus."
"Apa? Bagus? Soktahu.Tahudarim., bagus?'
"Tidak usah marah. Mungkin karri kau lekas naik darah. Bagaimana kalau kauperliha;! lagi permainan tongkatmu?"
"Jangan main-main. Permainan tongk;. tontonan! Karena kau bisa menilai permainan tongk.i": . tentunya kau juga cukup  memahami jurus tongi..u. Coba kau terima pukulan-pukulanku. Kalau kau tidak bisa mengelak, nyawamu melayang."
"Maaf,   tampaknya   aku   sudah   menyusahkan     . Maafkan aku kalau sudah menyinggungmu."
"Tidak bisa. Sebelum aku bisa meremukan tulang pipimu atau mematahkan dua-tiga ruas tulang iga, kemarahanku tidak akan reda."
Tepat saat itu terdengar suara sang juragan tua.
"Shi Shin! Apa yang kaulakukan terh kita?"
"Oh, Ayah..."
"Diam kau," Juragan Shi menghardik putranya. Lalu  dia  berkata  kepada Ou Shin,  "Maafkan sikap kurang ajar putra saya. Itu karena dia didikan kampung jadi... maafkan dia."
 "Oh, tidak apa-apa, Tuan. Justru saya yang salah. Saya tadi tanpa sadar tertawa melihat anak muda yang tengah menempa diri dengan serius ini."
"Mungkin ini yang namanya takdir. Bagaimana kalau Anda ajari anak saya jurus-jurus tongkat yang Anda miliki sebagai kenang-kenangan buat kami di sini?"
"Wah, mana mungkin? Saya hanyalah pedagang yang bangkrut. Mana mungkin saya tahu jurus-jurus
tongkat."
"Tidak. Saya melihat dalam diri Anda  terdapat suatu keterampilan."
"Sudahlah, Ayah, jangan menilai dia terlalu tinggi."
Tiba-tiba saja, di depan ayahnya, pemuda yang dipanggil Shi Shin itu mendorong dada Ou Shin dan membentaknya.
"Ayahku barusan bicara yang tidak-tidak. Tapi aku sendiri tidak akan meminta pelajaran darimu, atau menilai pelancong penipu semacammu punya ilmu. Nah, coba terima pukulan-pukulanku, akan kubuktikan apakah kau ini memang punya keterampilan atau hanya seorang penipu."
Shi Shin melompat ke belakang untuk memasang kuda-kuda. Tiba-tiba saja tongkat yang seolah-olah sudah menyatu dengan tangannya itu melesat ke leher Ou Shin. Namun, entah bagaimana, tiba-tiba Ou Shin sudah mengepit ujung tongkat itu dengan ketiak kirinya.
"Tuan, boleh saya bermain-m. sambil tertawa, menatap Juragan Shi.
"Silakan. Beri dia pelajaran sepuas Anda agar dia tahu diri. Karena tidak ada saingan, dia selalu berkata bah tidak ada yang lebih pandai darinya. Anak ini betul-bci sulit diatur. Tolong Anda runtuhkan kesombongannya. Tentu itu akan mendatangkan kebaikan baginya.
"Baiklah. Kalau itu permintaan Anda, saya akan mencobanya."
Mendengar itu, Shi Shin berseru, "Apa?" Sembilan naga yang ada di sekujur tubuhnya tiba-tiba  seolah memunculkan warna darah.
Tetapi bagaimanapun, keahlian yang dimiliki Shi Shin hanya diperoleh dari pelajaran di kampung. Meskipun pemuda ini memiliki tubuh yang hebat serta semangat menggebu, di mata Ou Shin tentu saja semua itu tidak ada apa-apanya.
Pukulannya yang sangat cepat, desingan tongkat semuanya hanya mengenai udara kosong. Suara Shi Shin menjadi serak dan dia merasa begitu lelah sampai seolah-olah hendak memuntahkan isi perutnya. Meskipun demikian, dia tidak mau menyerah, tetapi tiba-tiba saja langit sudah berada di atas kakinya, ternyata dia terlempar.
"Sialan!"
Ketika akan berdiri, dia terlempar lagi, dan tongkat yang tadi berada dalam genggamannya sekarang sudah berpindah ke tangan Ou Shin. Di ujung tongkat Ou Shin, tubuh dengan rajahan sembilan naga itu bagaikan seekor laba-laba yang dipermainkan dengan sapu bambu, sekali terlepas tertangkap lagi, begitu mau lari terperangkap lagi, dan akhirnya dia terbujur seolah-olah sedang sekarat.
"Mungkin ada baiknya seseorang mengambilkan air untuk anakTuan."
Sambil berbicara, Ou Shin mendekati Shi Shin lalu mengangkat tubuh pemuda itu sampai berdiri. Lalu Ou Shin menoleh kepada sang juragan tua, dan dengan wajah prihatin berkata, "Tampaknya perbuatan saya berlebihan. Tetapi karena tidak ada cedera apa pun, Tuan tidak perlu khawatir."
"Tidak usah sungkan. Ini obat yang sangat mujarab bagi anakku."
Meskipun berkata demikian, dia adalah seorang ayah. Juragan Shi diam-diam mengelap keringat dingin yang muncul di dahi dengan ujung baju. Lalu dia berkata, "Tamu yang baik, ada yang ingin saya bicarakan dengan Anda. Saya tunggu di ruangan saya, akan saya buatkan teh untuk Anda. Tolong bawa juga anak ini bersama Anda," katanya sambil berjalan dengan tongkatnya menuju perpustakaan, bagaikan manusia di dalam lukisan.

Melihat Air Mata di Ryoku Rin, Shi Shin Kembali Membebaskan.
DESA   ini   disebut   Shi Ke dan terletak   di   perbatasan   Kabupaten Ka In. Hanya ada sekitar tiga ratus atau empat ratus rumah saja di desa ini, dan semua warganya bermarga "Shi."
Juragan  pemilik bangunan itu secara turun-temurun menjadi penghulu   yang   mengelola tetapi sekarang dia sudah sangat tua. Dia ingin lekas menurunkan tugas tersebut kepada Shin, agar bisa mengundurkan diri.
Dia menceritakan keinginan itu kepada tamunya, Ou Shin. Juragan Shi memohon kepada Ou Shin dan ibunya yang tak lebih dari pelancong sementara, Agar bersedia tinggal selamanya di desa tersebut dan menjadi guru bagi anaknya.
"Wah, saya sangat berterima kasih atas kebaikan juragan, tapi...," Ou Shin kesulitan menjawab. "Akan saya katakan yang sejujurnya. Sebenarnya saya bukan pedagang perantau. Sebelumnya saya adalah pelatih delapan ratus ribu prajurit di istana, tetapi karena ada perselisihan dengan panglima besar baru Kou Kyu, maka saya melarikan diri dari istana. Dengan kata lain, saya buronan negara. Dengan begitu, meskipun Tuan sudah memberikan kebaikan kepada saya, apabila saya tinggal di sini, mungkin suatu saat akan ada musibah yang menimpa keluargaTuan. Jadi, sulit bagi saya untuk bisa menerima maksud yang Tuan ungkapkan tadi."
"Tamuku yang baik, hingga setua ini saya sudah banyak melihat orang. Sejak awal saya sudah menyadari bahwa Anda bukanlah orang biasa. Jadi, saya tidak kaget. Tapi karena saya sangat menyukai Anda, tolong permintaan saya tadi diterima."
Mendengar permohonan ayahnya yang sudah tua, Shi Shin yang berada di samping sang ayah juga menatap penuh permohonan. Dia tampaknya telah menyadari kedangkalan ilmu tongkat yang dibangga-banggakannya.
"Kalau Tuan meminta saya seperti itu...," kata Ou Shin, yang akhirnya bersedia juga menerima permohonan ayah dan anak itu. Dia pun menunda keberangkatannya hari itu, dan mengikat perjanjian untuk menjadi guru bagi Shi Shin.
"Kalau begitu, meskipun saya bukan ahlinya, saya akan mengajarkan jurus-jurus bela diri yang saya miliki kepada anak Tuan. Benarkah nama anak Tuan, Shi Shin?"
"Ya. Karena di punggungku ada rajah sembilan naga, mereka menjulukiku Shi Shin si Naga Sembilan." "Dari siapa kau mempelajari ilmu tongkat?" "Pada saat saya masih kecil, ada seorang perantau bernama Da Ko Sho Ri Chuu yang menginap di rumah kami. Saya belajar darinya. Lalu saya latihan ilmu tongkat sendiri. Sebelumnya saya lakukan sekadar untuk mengisi waktu saja, namun kemudian malah menjadi kegemaran saya. Setelah itu, setiap ada ahli ilmu bela diri yang lewat di desa kami, saya ajak untuk bertanding, dan sekali pun saya belum pernah kalah. Tapi hari ini..."
"Haha, situasinya agak berbeda, ya? Tidak apa-apa. Untungnya usiamu masih sembilan belas atau dua puluh tahun. Kalau kau berniat menjadi pemula lagi, semuanya bisa diluruskan."
Demikianlah, Ou Shin dan ibunya tetap tinggal di rumah keluarga Shi. Ou Shin, yang dulunya merupakan pelatih delapan ratus ribu prajurit di istana, kini setiap hari mencurahkan seluruh jurus rahasia yang dimilikinya dari delapan belas ilmu bela diri untuk anak laki-laki pertama keluarga Shi, si Naga Sembilan.
Yang dimaksud dengan delapan belas ilmu beta diri adaJah: 1. busur, 2. busur bertali kencang, 3. tombak, 4 pisau, 5. pedang, 6. tombak berkait, 7. tameng, 8. kapak 9. kapak besar, 10. tombak mata dua, 11. cambuk bcsi 12. bambu runcing, 13. tongkat, 14. sabit berantai, 15 trisula, 16. tombak bercagak, 17. laso, dan 18. gulat.
Sejak saat itu, setiap hari di ladang pohon liu dibelakang rumah keluarga Shi, selalu terdengar teriakan-teriakan penuh semangat si Naga Sembilan, sang murid beserta gurunya. Saat hari hujan, mereka berlatih di dalam rumah di ruangan aula, dan pada malam hari dengan diterangi lentera, terdengar ceramah mengenai ilmu ketentaraan.
Shi  Shin  yang  masih   muda   menunjukkan   perkembangan  yang  sangat  pesat,   dan   lebih   dari   itu, dia mendapat pengaruh yang sangat besar dari sifat Ou,  gurunya.  Dia juga sangat antusias  apabila Ou bercerita tentang ibukota. Dia yang selama ini hidup dipegunungan baru sadar betapa dangkal pengetahuannya.
Tak ayal lagi darah mudanya pun mulai bergejolak, ingin mengetahui dunia yang lebih luas dan besar. Tanpa terasa, setahun pun berlalu.
Akhir-akhir  ini  Ou  Shin  mulai  berpikir,  kalau begini   terus   keadaannya,   sungguh   merepotkan.   Si Naga Sembilan sangat berbakat. Dia sudah menguasai delapan belas ilmu bela diri yang kuajarkan. Namun, ayahnya mengharapkan anak ini melanjutkan tugas di Desa Shi sebagai penghulu, karena beliau ingin cepat mengundurkan diri agar dapat hidup tenang. Sedangkan si Naga Sembilan malah mulai bernafsu melihat dunia. Jika dia tidak ingin melanj utkan tugas ayahnya serta tidak mau lagi bekerja sebagai petani, jalan hidup yang telah kutanamkan kepadanya justru akan menjadi sesuatu yang tidak baik bagi keluarga Shi.
Setelah mempertimbangkan semua itu, maka pada suatu hari Ou Shin menemui Juragan Shi. "Saya sudah di sini lama sekali, mendapackan kebaikan dari Tuan," dia berkata kemudian meminta izin untuk pamit dengan alasan yang bersifat pribadi.
"Ibu saya berkatakan selagi tubuhnya masih bisa bergerak, dia ingin cepat pergi ke En An dan hidup di sana. Untuk anak Tuan sendiri, saya sudah mengajarkan seluruh ilmu dasar yang saya miliki. Semoga seluruh anggota keluarga di sini selalu sehat adanya."
Mendengar kata-kata perpisahan yang sama sekali tidak terduga, sang Juragan terkejut, dan anaknya, Shi Shin pun merasa sedih. Tetapi rnereka tahu akan sia-sia saja menahan keberangkatan anak dan ibu tersebut. Maka saat pesta perpisahan, mereka memberikan barang-barang dari emas dan perak, serta uang kepada keduanya. Lalu pada hari keberangkatan mereka, Juragan Shi memberikan kuda serta menyertakan anak buahn untuk   menemani   dan   mengantar   mereka   sarnn ' kabupaten sebelah yang menuju jalan Kan Sei.
Tetapi setelah itu, Shi Shin yang ditinggal perm tenggelam  dalam  kehampaan.  Rasa sepi yane am sangat akhirnya membawa dirinya ke dunia minuman keras. Tak lama kemudian, kekosongan yang lebih besat melandanya pula. Pada musim gugur, secara tiba-tiba ayahnya meninggal karena sakit.
Mungkin akibat kejadian yang bertubi-tubi itu, sifat Shi Shin yang semaunya kini malah diimbuhi sikap-sikap penghancuran diri. Sejak awal dia sudah menyatakan bahwa dia tidak cocok menjadi petani dan akhirnya, dia memang tidak lagi memerhatikan pekerjaan rumah. Sekarang di rumahnya banyak berkumpul orang yang tidak kelihatan seperti petani, yang kerjanya membangga-banggakan kehebatan serta hanya tertarik pada kesempatan mencari lawan untuk berkelahi. Bahkan akhir-akhir ini, jika diancam dengan hama Shi Shin si Naga Sembilan dari Desa Shi Ke, anak-anak yang menangis pun akan reda tangisannya.
Bayangan  pegunungan  terlihat dikejauhan sedikit pun tak terlihat adanya pedesaan. Di Kabupaten Ka In, di antara gunung dan gunung, terdapat gunung yang disebut Shou Ka yang sangat jauh di pedalaman.
Bumi di bawah langit adalah milik manusia dan manusia adalah mahlukyang hidup di dalamnya. Begitu pula bila kita lebih mendekat ke Gunung Shou Ka, ke perut gunung itu. Di sana akan terdengar ramainya percakapan serta asap yang mengepul tanda kesibukan hidup sehari-hari penduduknya, orang-orang yang bangga berkata, kami memang hidup di dalam benteng dan perlindungan gunung, apa anehnya itu?
"Hei, You Shun. Sepertinya keadaan akhir-akhir ini tidak begitu baik. Apa Chin Tatsu masih tidur di gua?" "Kelihatannya begitu. Tiga had yang lalu dia pergi ke Kabupaten Ho Jou, berkeliling mencari pekerjaan yang bagus, namun semalam dia pulang dengan tangan kosong. Tampaknya di dunia bawah, tahun ini juga paceklik."
"Apakah memang begitu? Sampai musim serni lalu, enam hingga tujuh ratus orang yang hidup di benteng perlindungan gunung ini, bisa hidup mewah bagaikan raja berkat upeti dari dunia bawah sana. Namun sejak beberapa hari yang lalu kita sampai mengalami kekurangan daging dan arak. Ini betul-betul aneh."
"Chin Tatsu juga bilang ini mungkin diakibatkan pengumuman yang disebarkan di puri Kabupaten Ka In. Katanya, mereka akan memberikan hadiah sebesar 3000 kan bagi yang bisa memenggal tigakepak kita, pemimpin
di sini. Mereka memasang papan pengumuman di tempat-tempat yang penting, melarang pelancong berjalan malam hari, serta menggalakkan penjagaan oleh orang sipil."
"Menyebalkan sekali. Kalau di kantor pemerintah ada uang sebesar itu, mengapa tidak langsung saja diberikan kepada kita. Dengan begitu, selama setengah tahun kita tidak perlu turun gunung dan mengganggu mereka. Hahaha."
Meskipun saat itu musim panas, kabut di gunune terasa dingin menggigit. Di dekat gerbang besar benteng perlindungan, beberapa pria berpenampilan aneh berke-1 rumun, dan di sana-sini terlihat kepulan asap dari api unggun. Pada undakan batu di belakang bangunan besar berupa gua batu itu terlihat sekelompok orang yang sedang minum arak. Di situlah kepala perampok gunung yang mengepalai tujuh ratus orang perampok bercakap-cakap, di antaranya Shu Bu yang merupakan pelatih para anggotanya dan You Shun si Hakka Da.
Tak lama kemudian, muncul seorang lagi.
"Kukira kalian sedang membicarakan apa. Tahunya minum-minum saja."
Sambil menggeliat, dengan santai dia menurum undakan batu. Dialah si Harimau Terbang, Chin Tatsu, yang baru saja dibicarakan kedua orang tadi. Dan tentu saja, dia adalah salah satu kepala perampok di gunung itu.
"Oh, Chin Tatsu. Kalau dikatakan minum-minum saja, memang memalukan. Tapi bukankah justru kau yangmeninggalkan gunung selama tiga hari, lalu kembali tanpa membawa oleh-oleh sama sekali?"
"Memang benar. Tetapi aku membawa kabar yang cukup bagus." "Kabar apa?"
"Dalam perjalanan pulang ke sini, aku menangkap pemburu kelinci yang bernama Ri Kichi. Kabar ini aku dengar darinya."
"Kautangkap si tukang menguliti kelinci, lalu kaukuliti juga dia?"
"Dasar tolol. Mana mungkin Chin Tatsu ini mengganggu pemburu dan rakyat biasa yang lemah? Bukankah saat mengucapkan sumpah, kita bertiga sudah berikrar? Bahwa meskipun kita perampok, kita tidak akan membuat susah orang-orang lemah. Ri Kichi memberiku informasi mengenai target selanjutnya, yang tentunya bukanlah orang kecil seperti dia."
"Hmm. Lalu dengan panduan Ri Kichi, kau mau memasuki rumah siapa?"
"Gedung besar di Desa Shi Ke. Rumah tua itu katanya memiliki kekayaan yang jauh lebih banyak daripada yang sekadar terlihat."
"Saudaraku, sebaiknya jangan. Desa Shi Kc itu menyeramkan."
"Mengapa?"
"Kepala di desa itu, si Naga Sembilan, bukan? Mana mungkin kita bisa melawan dia. Selain itu, kau juga tahu di kantor pemerintah terdapat hadiah sebanyak 3000 kan untuk kepala kita. Kita juga harus bersiap-siap untuk menghadapi itu."
"Menurut Ri Kichi, reputasi kehebatan si Naga Sembilan memang begitu tinggi sehingga tidak ada yang bisa menandinginya di empat kabupaten. Tetapi bagaimanapun dia anak gedongan yang tidak tahu dunia luar. Siapa pun yang rela merendah, boleh saja bertamu dan menginap semaunya, Selama di sana kita akan dijamu arak dan ketika akan meninggalkan tempatnya, kita akan diberi uang bekal. Dengan kata lain, sungguh santapan yang lezat bagi ronin tak bertuan. Lagi pula mungkin kehebatannya terlalu dibesar-besarkan."
"Tapi kalau hanya kata-kata, tidak bisa dijadikan pegangan. Apa Ri Kichi sendiri pernah mencoba menginap di sana?"
"Memang tidak. Meskipun demikian, aku, Chin Tatsu, memiliki kepercayaan diri yang besar. Di tempat kelahiranku, Gyou Jou, aku dikenal sebagai si Harimau Terbang bertombak panjang. Aku tidak sudi jika kita, tiga pemimpin Gunung Shou Ka, dianggap takut pada anak dua puluh tahun yang rnasih bau kencur. Lagi pula dia orang kaya, kan? Mana mungkin kita biarkan begitu saja."
Chin Tatsu terus berkoar-koar. Semakin keras upaya Shu Bu dan You Shun mencegahnya, keinginannya justru semakin kuat.
"Kalau begitu, biar aku pergi sendiri saja. Kalian, saudara-saudaraku, minumlah arak sepuasnya."
Demikianlah, dia segera memerintahkan dua raws anak buahnya untuk bersiap berangkat. Dia sendiri pun mempersiapkan diri seolah akan menuju medan perang.
Dia mengenakan topi perang dari besi berhias jumbai merah, serta baju zirah dari tembaga yang dari dalamnya, meskipun sudah agak lusuh, tampak berkibar-kibar lengan baju sutra dari daerah Shokkou. Dia juga memakai sepatu kulit berbentuk bulan sabit. Tatkala dia duduk di atas kuda putih yang sudah terbiasa dengan jalanan terjal gunung, dengan pedang besar terselip di sabuk kain, tampak jelas dia memang layak dipandang sebagai jenderal perampok Gunung Shou Ka seperti yang dibicarakan orang.
Dia mengepit tombak panjangnya, lalu mengibaskan tombak itu sehingga ujungnya menuding ke arah kaki gunung sebelah barat.
"Ayo. Saat kita menuruni gunung, pasti senja sudah menjelang. Yang menganggap dirinya laki-laki, ikuti aku."
Oiu ratus anak buahnya memukul-mukul tambur, dan ketika tiba di gerbang bentcng perlindungan, serentak mereka berteriak memompa semangat. Tak lama kemudian, barisan yang bagaikan ular hitam besar itu menghilang di kaki gunung.
"Sungguh  merepotkan.   Akhir-akhir   ini   Chin Tatsu sering bertindak gegabah."
"Memang dia yang paling tua di antara kita bertiga. Lagi pula dia merasa dirinya pemimpin tertinggi di sini, jadi dengan kondisi di benteng perlindungan yang memburuk seperti ini, tentunya dia merasa tidak bisa hanya berpangku tangan."
"Kalau begitu, meskipun enggan berurusan dengan orang yang akan kita hadapi ini, kita berdua juga tidak bisa tinggal diam."
Shu Bu kelahiran Gen, di Provinsi Tei En, saat berperang dia selalu menggunakan pedang ganda. Tetapi dia sendiri berpendapat, keahliannya lebih kepada ilmu dan strategi perang.
Sementara itu, si Ular Bunga Putih, You Shun, berasal dari Kai Ryou Provinsi Ho, dan ahlt memainkan tombak besar. Pinggangnya ramping, lengannya sangat panjang. Sesuai dengan julukannya, dia bagaikan ular siluman, berwajah putih kebiruan.
Baik Chin Tatsu maupun kedua orang ini dulu adalah orang baik-baik atau kcsatria di Daerah E Ko. Tetapi pada saat pemerintahan Dinasti Sou, di bawah Kaisar Ki Sou yang sewenang-wenang, kekacauan dan kebusukan merambah ke seluruh penjuru negeri. Orang-orang mulai merasa bodoh apabila melakukan pekerjaan yang benar dan wajar, yang pada gilirannya membuat mereka berkeinginan menghirup udara dunia liar semau mereka. Terbentuknya sarang perampok di Gunung Shou Ka ini tentunya juga akibat kebusukan pemerintahan Kaisar Ki Sou tersebut.
Beberapa saat kemudian, kedua pemimpin perampok ini juga turun gunung ke Desa Shi Ke dengan membawa banyak anak buah. Malam semakin larut, dan akhirnya di dasar kabut malam yang menghitam terlihatlah cahaya merah. Cahaya itu menunjukkan arah ke Desa Shi Ke. You Shun menghentikan kuda lalu memanggil Shu Bu yang ada di belakangnya.
"Mereka sudah mulai. Lihat api itu. Tampaknya Chin Tatsu sudah tiba di rumah si Naga Sembilan. Kita tidak mungkin membiarkan kakak kita daJam kesulitan, bukan? Ayo, kita segera ke sana."
Namun, sebelum mereka mencapai kaki gunung, tampak anak buah Chin Tatsu pontang-panting melarikan diri dengan kondisi kepayahan.
Ada apa?" tanya You Shun kepada mereka. Mereka bilang, di desa itu telah ada persiapan yang sangat matang, dengan aba-aba pukulan kentongan dan tambur. Para petani dan anak muda serta para penduduk desa berkumpul di rumah si Naga Sembilan, bagaikan pasukan tentara yang sudah terlatih dan memperketat penjagaan.
Tetapi para perampok di bawah pimpinan Chin Tatsu juga tidak mau kalah. "Mereka hanya petani!" pekik mereka. Mereka menerobos gerbang dengan membunyikan tambur dan kentongan besi. Tetapi ternyata lawan mereka sangat kuat. Dalam hujan anak panah dan lemparan bola api, terjadilah pertempuran yang sengit. Tak lama kemudian, si Naga Sembilan sendiri yang muncul. Dia mulai bertarung dengan :man mereka, Chin Tatsu. Mereka mengira akan lerjadi pertarungan alot, tetapi dengan sangat cepac dan mudah tombak panjang Chin Tatsu dijatuhkan si Naga Sembilan, dan Chin Tatsu pun menjadi tawanan.
"Aku memang sudah dengar mengenai kehebatannya. Tapi apakah ilmu si Naga Sembilan begitu tingginya?"
"Pemimpin Chin Tatsu sama sekali bukan tan-dingannya."
Demikianlah, anak buah Chin Tatsu kehilangan semangat bertempur.
Namun, Shu Bu dan You Shun juga tidak mungkin melarikan diri kembali ke gunung. Kalau mereka kabur, kepercayaan tujuh ratus anak buahnya akan hilang. Meskipun demikian, sejak awal mereka sudah tidak memiliki kepercayaan diri untuk bisa melawan si Naga Sembilan. Wajah pucat You Shun semakin biru. "Apa yang harus kita lakukan, Kak?" "Kalau begini kondisinya, tak ada cara lain. Serahkan padaku."
Tampaknya tebersit suatu ide di kepala Shu Bu yang piawai dalam soaJ taktik strategi. Shu Bu segera
memerintahkan semua anak buahnya untuk tinggal di tempat, dan dia sendiri beserta You Shun pergi mendekati Desa Shi Ke. Pasukan desa segera melihat mereka, lalu mengepung, menangkap, dan menggelandang mereka ke balik gerbang. Di halaman luas yang ditumbuhi pohon liu itu terlihat api unggun di beberapa tempat, dan di sebatang pohon di tengah-tengah halaman, Chin Tatsu yang ditangkap hidup-hidup terikat erat. Sepertinya mereka kini sedang minum-minum arak kemenangan dengan menjadikan Chin Tatsu tontonan.
"Apa? Shu Bu dan You Shun dua pemimpin lainnya datang untuk menyerahkan diri? Apa tujuan mereka? Fasti mereka punya niat tersembunyi."
Shi Shin duduk di tong arak yang terbuat dari tembikar. Dia mengenakan baju zirah dengan sisik-sisik merah mengilap, dan di baJiknya terlihat baju jubah biru dari sutra serta sepatu sebetis berwarna kuning. Di sampmgnya tegak sebuah busur, di pinggangnya terselip pedang panjang bermata dua dan berujung segitiga dengan delapan ali-aJi di pinggirnya. Wajahnya terlihat berseri-seri, mimgkin karena keringat yang muncul akibat perterapuran yang sudah lama tidak dialaminya atau raungkin karena pengaruh arak.
"Apa pun niat mereka, bawa mereka ke sini! Bisa jadi mereka Shu Bu dan You Shun palsu, tapi ada baiknya kita dengarkan dulu kebohongan mereka. Perbesar lagi api unggunnya dan bawa mereka ke hadapanku."
Sebelum melihat langsung Shu Bu lalu You Shun, Shi Shin sudah memiliki kecurigaan besar. Tapi kalau mereka berdua memang Shu Bu dan You Shun asli, itu lebih bagus. Dia akan dapat memenggal kepala tiga pemimpin perampok itu sekaligus dan menjadikan mereka tontonan. Demikianlah niat si Naga Sembilan.
Namun, ketika dia mendengarkan semua yang dikatakan Shu Bu dan You Shun, mabuknya lenyap sedikit demi sedikit dan akhirnya dia mengucurkan air mata. Shu Bu mengucapkan sepatah demi sepatah kata dengan memelas.
"Silakan Anda ikat kami berdua, juga Chin Tatsu, dan serahkan kami ke petugas di kabupaten. Untuk kepala kami bertiga ada hadiah sebesar 3000 kan. Kami akan sangat senang jika uang itu dibagikan kepada penduduk kampung sekitar yang sedang sengsara. Kami, Chin, You, dan Shu, meskipun menjadi perampok, telah berikrar untuk menjadi perampok yang budiman, dan kami sudah berjanji untuk terus bersatu kendati saat menghadapi kematian. Dengan demikian, kalau kakak kami Chin Tarsu tertangkap seperti ini, kami berdua pun tidak lagi dapat tetap hidup. Lagi pula, kalaupun tetap melawan Anda, kami sudah tahu tidak akan bisa menang. Nah, sekarang silakan Anda putuskan hukuman untuk kami.
Tampaknya hati Shi Shin yang polos sangat tersentuh kata-kata Shu Bu. Dia juga kagum mendengar masih ada perampok yang berhati mulia serta mau menjadi pembela rakyat miskin. Akan tetapi karena Shi Shin pada dasarnya sangat tegar, dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan orang-orang desa.
"Hei! Lepaskan tali ikatan Chin Tatsu! Kemudian, beri ketiga orang ini arak."
Kemudian, kepada ketiga orang yang sama sekali tidak mengeluarkan suara lagi, Shi Shin berkata dengan gagah, "Aku pernah mendengar bahwa pencuri juga memiliki pertalian yang sangat kuat, tapi keeratan hubungan kalian betul-betul membuatku kagum. Kalian tenang saja. Aku sendiri sangat benci menjadi kepanjangan tangan pejabat pemerintah yang busuk. Aku juga sama sekali tidak menginginkan uang hadiah. Nah, sekarang kalian minum arak dulu dan selagi hari masih terang, kembalilah ke Gunung Sho Ka atau ke mana pun yang kalian inginkan. Tapi ingat, jika kudengar kalian mengganggu petani-petani di tiga kabupaten ini, mungkin saja Naga Sembilan ini akan mendatangi dan meminta kepala kalian."
Ketiga orang itu mengantukkan dahi ke tanah, menyembah-nyembah si Naga Sembilan. Kemudian mereka bertiga pun minum arak sambil berlinang air mata Mereka seperti binatang yang memiliki budi setelah dibebaskan dari tangan manusia. Lalu sebelum fejar menjelang, mereka meninggalkan Desa Shi Ke dan kembali menuju tempat asal mereka, Gunung Shou Ka.

Si Shin Tinggalkan Kampung Halamannya Menuju I Sui, Bertemu Polisi Militer Ro di kota
DI kalangan mereka ada peribahasa yang berbunyi "Harimau tidak akan makan mangsa yang sudah menyerah." Seperti itulah si Naga Sembilan. Demikianlah sejak saat itu, You Shun, Chin Tatsu, dan Shu Bu benar-benar mengagumi sifat Shi Shin.
Shi Shin sendiri malah sudah lupa sama sekali dengan kejadian malam itu. Namun suatu sore, ada anggota perampok yang datang ke tempat Shi Shin seraya memanggul kiriman.
Persembahan ini sama sekali tidak sebanding dengan apa yang disebut balas budi, namun terimalah sebagai niat baik kami. Sebelum lupa, kami sampaikan juga salam dari ketiga pemimpin kami di gunung."
Kemudian   anggota   perampok   itu   cepat-cepat berlalu.
Ketika kiriman dibuka, di dalamnya terdapat kulit binatang, sayuran gunung, serta lempengan emas kira-kira sebanyak tiga puluh ryou. Shi Shin tertawa.
"Tidak enak juga menerimanya. Ini mungkin upaya keras untuk menunjukkan maksud baik mereka. Sudahlah, kuterimasaja. Emasnya nanti dapat digunakan saat diperlukan. Simpanlah," katanya kepada anak buahnya.
Tetapi ternyata tidak sekali itu saja, selanjutnya berkali-kali datang kiriman dari gunung. Terkadang mereka juga mengirimkan batu permata.
Shi Shin merasa malu kalau hanya terus menerima. Oleh karena itu, dia menyuruh anak buahnya membuat tiga jubah tenun sutra merah yang merupakan kesenian turun-temurun di desanya, memasukkan daging domba bakar yang gurih berlemak ke dalam wadah besar, lalu menyuruh anak buahnya mengantarkan barang-barang itu ke gunung, sebagai ucapan terima kasih atas kebaikan mereka hingga saat ini.
Di rumah keluarga Shi, ada seorang kepala abdi bernama Ou Shi. Untuk mengantarkan kiriman tadi, Shi Shin menyuruh Ou Shi ditemani seorang petani. Ketika kedua suruhan ini tiba di kaki gunung, mereka ditangkap penjaga di situ. Tetapi setelah mendengar mereka berkata, "Kami suruhan Tuan Naga Sembilan," para penjaga segera memandu mereka ke gunung. Di sana, Shu Bu serta kedua kepala perampok yang lain menjamu Ou Shi dan temannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menghidangkan arak serta makanan.
"Tak pernah sehari pun kami melupakan budi baik Saudara Shi Shin," kata mereka. Tatkala kedua pesuruh ini pulang pun, mereka diberikan uang perak sebanyak sepuluh ryou.
Ketika mendengar laporan dari Ou Shi yang sudah kembali dari gunung, Shi Shin berkata, "Oh, ternyata mereka senang dan berkata seperti itu tentang diriku?" Tentu saja Shi Shin gembira mendengarnya.
Demikianlah, seiring semakin eratnya hubungan mereka, Shi Shin tidak lagi menganggap mereka perampok. Baginya, hubungan tersebutadalah hubungan antarlelaki sejati.
Memasuki pertengahan musim gugur, Shi Shin berniat mengadakan pesta sambil menikmati indahnya bulan. Alangkah menyenangkan jika bisa menikmati keindahan bulan purnama di tengah musim gugur sambil mengobrol dan minum arak bersama Shu Bu, You Shun, dan Chin Tatsu, pikirnya. Oleh karena itu, dia kembali menyuruh Ou Shi mengantarkan surat undangan ke Gunung Shou Ka.
Tentu saja Shu Bu dan kawan-kawan merasa senang.
"Kami pasti datang," katanya dalam surat balasan yang diserahkan kepada Ou Shi, ditambah uang jalan sebanyak lima ryou. Ou Shi juga kegirangan karena diberi minum arak sebanyak sepuluh gelas.
Ketika sedang menuruni gunung dengan langkah sempoyongan, dia bertemu anggoca perampok yang sudah dikenalnya.
"Hai, Jenderal," sapa Ou Shi sambil memeluk orang itu. Si anggota perampok juga dalam keadaan mabuk.
"Wah, Saudara Ou," kata si anggota perampok sambil menggosokkan wajahnya yang berewok ke pipi Ou Shi. Mereka mengobrol tak tentu arah khas orang mabuk. Kemudian, dua pasang kaki yang terkadang berantukan itu melangkah lagi ke arah warung arak yang ada di kaki gunung.
Pastinya mereka sudah kebanyakan minum.
Malam itu, setelah berpisah dengan si perampok, di pertengahan jalan Ou Shi tertidur di padang ilalang. Kalau masalahnya hanya sampai di situ, tidurnya akan sangat menyenangkan. Tetapi pada saat itu lewatlah seorang pemburu. Dialah Ri Kichi, si pemburu kelinci, orang yang telah memberi petunjuk kepada Chin Tatsu untuk menyerang Shi Shin. Karena itulah dia dibenci penduduk desa. Ri Kichi memang sangat licik. Dia tersandung tubuh Ou Shi di padang ilalang.
"Eh. Bukankah ini Ou Shi dari keluarga Shi Shin? Kenapa dia?"
Dia mendekati tubuh yang bau arak itu, lalu sambil pura-pura bersikap ramah, Ri Kichi mengelus-elus sabuk kain yang dipakai Ou Shi. Kemudian dia meraba uang dan surat yang ada di dalamnya. Dengan tatapan selicik rubah, dia memandang berkeliling.
Keesokan harinya, dengan membawa surat yang dicurinya dari Ou Shi, Ri Kichi pergi ke kantor pemerintah kabupaten untuk melapor, sementara itu Ou Shi dengan wajah muram kini sedang menghadap majikannya, Shi Shin.
"Saya sudah pergi dan menyampaikan surat dari Tuan. Ketiga kepala di Sana dengan gembira akan menghadiri undangan Tuan."
"Kau baru datang, Ou Shi? Lama sekali perjalananmu." "Maafkan  saya,  Tuan.  Di gunung,  saya dijamu besar-besaran, jadi..."
"Memang, kau ini kalau sudah disuguhi arak, pasti lupa diri. Sudahlah. Sekarang pergilah ke dapur, suruhlah orang-orang menyiapkan masakan dan mengeluarkan piring-piring saji dari gudang."
Hari berikutnya adalah pertengahan musim gugur. Sejak siang hari, para pekerja dan pelayan di rumah keluarga Shi sibuk menggelar tikar untuk persiapan pesta. Mereka menyembelih berpuluh-puluh ekor kambing, bebek, dan ayam. Masakan yang sudah dibuat sejak sehari sebelumnya dihidangkan dengan berpuluh-puluh nampan perak, dan bertong-tong arak dikeluarkan dari gudang untuk disuguhkan.
Tak lama kemudian, Shu Bu, Chin Tatsu, dan You Shun tiba tepat waktu. Mereka mengenakan baju sutra merah di bawah baju zirah mereka, hadiah dari Shi Shin beberapa waktu lalu.
Mereka dilayani para remaja setempat. Shi Shin menempatkan mereka pada tempat duduk tamu kehormatan.
"Terima kasih atas kedatangan kalian. Sejak dulu ada pepatah bahwa laki-laki yang baik akan mengenal laki-laki yang baik pula. Malam ini bulan sangat indah. Marilah kita berbincang sepuas had kita di bawah bayang-bayang bunga katsura. Ayo, jangan sungkan, santai saja," kata Shi Shin.
Mereka mulai saling menuang arak. Ketika malam semakin larut, cahaya bulan semakin terang, dan titik embun menghiasi daun-daun pohon katsura, membuat kegembiraan di antara tamu dan pengundangnya seolah tidakakan pernah berakhir. Setiap kali kelakar penuh tawa berakhir, kosong pula sebuah tong arak. Pembicaraan di antara mereka berlangsung begitu hangat.
Tiba-tiba Shi Shin dan ketiga tamunya terperangah. Di sekeliling tembok bagian luar terasa ada pergerakan orang dan kuda yang menyerbu bagaikan ombak. Mereka menajambn pendengaran, dan tak lama kemudian-terdengar teriakan.
"Hei, Shi Shin! Buka gerbangnya! Kalau tidak, akan kami dobrak! Di tempatmu ada perampok-perampok dari Gunung Shou Ka. Kami tahu karena ada laporan kepada kami. Kalian tidak akan bisa melarikan diri karena sudah kami kepung. Sekarang silakan pilih. Serahkan para perampok itu baik-baik, atau kami akan memaksa masuk!"
"Petugas-petugas dari kabupaten datang menyerang kita karena ada yang melapor. Memang ada pepatah yang berbunyi, bagaimanapun suatu saat bunga-bunga akan berguguran karena angin, dan bulan akan kelam karena tertutup awan, tetapi untuk kali ini, rasanya terlalu cepat," kata Shi Shin sambil berdecak.
"Saudara-saudaraku, kalian tidak usah panik. Silakan minum terus dengan santai."
Shi Shin pun meninggalkan tempat pertemuan. Dia menaiki tangga dan dari atas tangga, dia meneriakkan sesuatu ke arah para petugas yang berada di luar gerbang. Di situ terlihat banyak sekali obor yang menyala. Dia juga dapat melihat beragam tombak tegak terpancang serta alat-alat pengikat.
"Kau Shi Shin, pemilik tempat ini? Kami petugas dari kabupaten. Kalau kau menangkap para perampok itu dengan tangan sendiri dan menyerahkan mereka kepada kami, itu lebih baik. Tapi kalau tidak..."
"Astaga, jangan berisik. Aku sengaja mengundang ketiga kepala perampok itu ke sini untuk membuat mereka mabuk berat."
"Jadi, kau tidak berkawan karib dengan perampok-perampok itu ?"
"Yang benar saja. Mungkin kedengarannya sombong, tapi seperti yang kalian ketahui, kami keluarga tertua di Desa Shi Ke, dan secara turun-temurun menjadi penghulu di desa ini. Apa untungnya bagi kami berkawan dengan perampok? Omong-omong, kalian akan memberikan uang hadiah yang 3000 kan itu,
bukan?"
"Tentu saja. Itu sudah diumumkan. Tetapi itu kalau kau segera membawa perampok-perampok itu ke hadapan kami."
"Kalau begitu, jangan ribut. Tunggulah di tempat yang agak jauh. Aku akan membuat mereka minum sampai mabuk, lalu akan kuikat mereka bertiga. Setelah itu, aku akan membuka gerbang ini."
Begitu kembali ke tempat pesta, Shi Shin segera memerintahkan anak-anak muda di sana untuk membungkus semua harta kekayaan berupa uang dan emas permata yang ada di gudang. Kemudian dia menyuruh beberapa puluh orang yang memiliki tenaga besar untuk mengangkut bungkusan itu, demikian juga para perempuan dan anak-anak. Kemudian dia menyuruh   orang  untuk  membakar  dangau  berarap ilalang yang ada di belakang gedung. Ketiga kepala perampok terkejut. "Mengapa kau membakar rumah ini? Apa karena akan melindungi kami?"
"Bukan. Aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku tidak terlibat dengan semua ini. Kejadian malam ini membuatku seolah telah menjebloskan kalian ke dalam perangkap."
"Jangan bercanda. Apa pun yang terjadi, kami tidak akan berpikir bahwa Saudara Naga Sembilan-lah yang telah memasang perangkap untuk kami. Tunggu. Jangan dulu dibakar."
Sambil berteriak, mereka meletakkan tangan di belakang punggung untuk menunjukkan bahwa mereka sudah pasrah.
"Kami sudah menyusahkanmu yang telah berbuat baik dan mau berteman dengan kami kaum perampok. Sekarang waktunya bagi kami untuk menyerah. Silakan ikat kami dan serahkan kami kepada petugas kabupaten."
"Jangan berkata yang tidak-tidak. Kalau aku berbuat begitu maka selama hidup, nama Shi Shin ini akan dilecehkan. Jika kalian menyuruhku melakukan hal semacam itu, sama saja kalian menyuruhku menjadi pengemis. Lihat, api sudah menjalar. Untuk saat ini, pesta kita sudahi dulu, dan man kita melarikan diri ke gunung tempatperlindungan kalian."
Melihat api yang berkobar d. dalam gedung, di bar gerbang pun terdengar teriakan. Karena Shi Shin sudah membuka palang pintu gerbang dan berlari ke bar, maka Shu Bu, You Shun, dan Chin Tatsu juga terpaksa ikut keluar.
Asap segera berubah menjadi awan hitam yang membubung tinggi dengan cepat, dan bulan purnama
pun berubah warna menjadi merah darah, menyaksikan hujan kilatan pedang serta teriakan-teriakan. Tidak lama kemudian, bagaikan guguran dedaunan yang disapu kuda para petugas kabupaten serta orang-orang yang tadinya berniat menangkap ketiga perampok itu lari terpontang-panting.
Sebaliknya, ada juga barisan yang terus berlan menuju Gunung Shou Ka. Lalu setelah semua menghilang, ketika fajar menyingsing d. Desa Shi Ke yang sepi, di rumah besar keluarga Shi yang dihum secara turun-temurun selama seratus tahun lebih, serta pepohonan di sekitar gudang-gudang, api mas.h terus berkobar marak.
Aku ini sungguh tolol, pikir Shi Shin menertawakan diri sendiri. Tentunya nenek moyangku akan menangis sedih. Tetapi beginilah sifat yang kubawa sejak lahir, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ketimbang pada harta kekayaan yang ada, hatiku lebih condong pada rasa tanggung jawab dan keadilan terhadap ketiga perampok itu. Kesalahan nenek moyangkulah yang telah melahirkanku sebagai anak yang seperti ini.
Tapi tidak ada gunanya pula terus-menerus berada di gunung seperti ini, tanpa ada sesuatu yang bisa dilakukan. Sekarang aku orang bebas yang tidak lagi memiliki rumah. Sebaiknya aku pergi ke En An menemui guru Ou yang beberapa tahun lalu meninggalkanku, pikirnya lagi.
Sejak melarikan diri ke Gunung Shou Ka, waktu sudah berlalu kira-kira satu bulan. Shi Shin, si Naga Sernbilan menyampaikan niatnya kepada ketiga pemimpin perampok.
"Aku minta tolong agar para abdiku dan pemuda yang ikut melarikan diri ke sini, dapat kembali memiliki pekerjaan yang layak, setelah kalian mendapat waktu yang tepat. Kemudian tolonglah bagikan harta kekayaan yang kami bawa waktu itu. Aku hendak melakukan perjalanan ke Kan Sei mengunjungi guruku, Ou Shin."
Tentu saja para pemimpin perampok dan orang-orang yang ada di desa tersebut merasa sedih dengan perpisahan itu dan berusaha menghentikan niat Shi Shin. Tetapi kondisi memaksa Shi Shin dan takdir membuatnya mengemban salah satu di antara 108 bintang yang ada. Maka, perpisahan pun tidakterelakkan Dia memang merupakan perintis pertama yang nantinya akan bergabung dengan 107 bintang tenkou chisatsu pahlawan-pahlawan lainnya dalam benteng Sui Kou (Ryou Zan Paku) yang akan berjuang di balik bayang-bayang ilalang, berselimut jarum-jarum es di pinggir-pinggir perahu yang dingin menusuk, berjuang melawan penguasa.
Akhirnya Shi Shin meninggalkan Gunung Shou Ka. Sosok Shi Shin yang berjalan tegap benar-benar sosok dambaan anak-anak muda pada zaman Dinasti Sou. Pada lipatan topi Han You yang terbuat dari kulit kambing, berkibar ikatan benang berwarna bunga mawar. Pada kain penutup rambut di kepalanya juga dipasangi hiasan berwarna kuning telur. Mungkin karena dia tidak menyukai warna-warna mencolok, pakaian yang dikenakannya hanya berupa kain kasa putih lengan pendek, dengan sabuk berupa tali dari tenunan Kou Bai di mana dengan anggun tergantung pedang panjang, pelindung kakinya bergaris-garis biru dan putih pun tampak sangat ringan. Tentu saja, sesuai dengan perjalanan jauh yang akan dilakukannya, dia memakai sepatu dari kain kasa tebal berlapis kulit yang tahan lama.
Meskipun pakaian yang dikenakan di tubuhnya sangat indah, dalam hal tempat menginap dan makanan, dia tidak pilih-pilih. Dia tidur di padang rumput
atau berbaring di gunung begitu saja. Perjalanan itu berlangsung selama dua puluh hari. Tak lama kemudian, dia tiba di sebuah kota yang bernama I Shu.
"Seperrinya di sini juga ada puri pemerintahan daerah. Kalau begitu, mungkin saja aku bisa mendapat informasi tentang Guru Ou."
Di dalam benteng, kotanya cukup ramai. Di sudut keramaian kota terdapat warung teh. Dia memasuki warung itu dan berkata, "Hei, tolong beri aku secangkir teh."
"Baik, baik. Tuan seorang pelancong?" tanya pemilik warung.
"Benar. Aku sedang mencari orang yang bernama Guru Ou Shin, dia berasal dari ibukota Kai Hou Tou Kei. Kau kenal dia?"
"Yang mana, ya? Soalnya di sini ada beberapa orang bermarga Ou. Kalau nama marga saja, saya tidak bisa yakin."
Pada saat itu, seorang laki-laki bertubuh tinggi besar masuk dengan langkah lebar-Iebar. Dia menutupi tubuhnya yang gempal dengan pakaian perang warna hijau tua, dan mengenakan kain penutup kepala hitam berbentuk swastika di kepalanya. Di atas penutup kepala itu bertengger lencana keemasan yang mengilap.
Matanya berkilat-kilat, wajahnya yang bulat kemerahan dipenuhi jambang yang sangat tebal. Di pinggangnya melilit sabuk tebal, di mana tergantung pedang   dengan   hiasan   ali-ali   emas.   Tidak   peri dipertanyakan lagi, yang dikenakannya adalah pakaian tentara. Selain itu, tubuhnya sangat jangkung sehinee untuk  melihat wajahnya,  orang harus  nienengadah Lingkar pinggangnya mungkin dua kali lipat ukuran orang biasa.
"Ternyata Tuan Polisi Militer. Tepat sekali waktu kedatangannya kemari. Silakan Anda tanyakan orang yang Anda cari itu kepada Tuan Polisi ini."
Shi Shin berdiri dari kursinya, lalu dengan penuh hormat berkata, "Maafkan ketidaksopanan saya, saya ingin bertanya sesuatu kepada Tuan."
"Ada apa? Apa ada urusan dengan saya?" "Saya Shi Shin, dari Kabupaten Ka In, Provinsi Ka Shu. Saya ingin bertanya tentang seseorang bernama Ou Shin, yang dulu tinggal di ibukota Tou Kei dan bekerja sebagai pelatih di ketentaraan istana. Atau mungkin Tuan pernah mendengar kabar angin tentang dirinya?" "Tidak pernah," kata si polisi militer sambil meng-gelengkan wajah berewoknya. Lalu dengan tajam dia menatap Shi Shin. "Pelatih Ou tidak ada di sini, tetapi jangan-jangan, Anda ini Shi Shin dari Desa Shi Ke? "Bagaimana Tuan bisa tahu?" "Ternyata memang sesuai dengan yang saya dengar. Sudah lama saya mendengar tentang Anda. Begitu juga mengenai Pelatih Ou Shin yang Anda tanyakan, sedikit-banyak saya tahu."
"Maaf, nama Tuan siapa?"
"Saya polisi militer yang bekerja di kantor pemerintahan di puri ini. Marga saya Ro dan nama saya Tatsu."
"Polisi militer bernama Ro. Rasanya Idea bukan baru pertama kali bertemu. Maafkan saya."
"Ya. Pertemuan kali ini tidak boleh Idea lewatkan begitu saja. Kalau cuma minum teh rasanya kurang layak, bagaimana kalau kita minum arak di tempat yang tepat?"
"Terima kasih banyak. Tetapi, Pelatih Ou sebenarnya berada di mana?"
"Penguasa Provinsi 1 adalah anak laki-Iaki Paduka Chu, kepala polisi militer di En An. Saya kira Pelatih Ou yang Anda cari itu adalah orang yang mengunjungi Paduka Chu. Saya kira sekarang pun beliau masih ada di En An."
"Lega saya mendengar mendengar kabar ini. Kalau begitu, dengan penuh hormat saya uerima ajakan Anda."
"Pak! Uang tehnya, catat saja di catatan utangku," kata Ro kepada si pemilik warung sambil menunjukkan wihawa seorang polisi militer.
Berdampingan mereka berjalan ke luar. Badan Ro latsu yang besar dan penampilan Shi Shin yang anggun tampak sangat mencolok di antara orang-orang yang mondar-mandir di sana.
Setelah berjalan beberapa ratus meter, mereka tiba di tempat yang cukup sepi. Di sana terlihat orang-orang berkerumun menyaksikan sesuatu.
Karena ingin tahu, mereka berdua melongokkan kepala melewati pundak-pundak orang yang ada di depan. Tampaldah di situ seorang pedagang keliling sedang berceloteh menawarkan dagangan.
Pedagang keliling banyak macamnya, tetapi pedagang yang berkoar penuh semangat dengan suara serak ini adalah laki-laki seperti ronin tak bertuan yang sangat kurus. Di bajunya yang lusuh akibat daki, melilit sabuk lebar menyerong, dan di situ terselip sepucuk pedang melengkung dengan gagang dari gading gajah. Dengan cepat dia menggerak-gerakkan ujung sepatunya yang berbentuk bulan sabit ke kiri dan ke kanan. Selama berceloteh, dia terus-menerus menyedot ingus dan terkadang membersit ingus dengan jarinya.
Bukan hanya kakinya yang bergerak-gerak, di setiap tangannya dia memegang tongkat. Sambil berteriak-teriak keras, dia memutar-mutar kedua tongkat itu di atas kepala, seolah-olah membentuk payung. Tepat ketika dia berkata, "Hari ini akan saya pertunjukkan jurus rahasia yang belum pernah saya perlihatkan," Shi Shin bergumam, "Wah, wah! Kebetulan sekali."
Mendengar gumaman Shi Shin, Ro mengarahkan matanya yang besar pada teman barunya itu.
"Kebetulan? Apakah Anda mengenal pedagang keliling itu?"
"Bukan kenal lagi. Dia Ri Chu, sijenderal Penggebuk Harimau. Sewaktu kecil saya mendapat pelajaran jurus-jurus tongkat darinya."
Tepat saat itu, Ri Chu juga menyadari kehadiran Shi Shin.
"Wah! Bukankah kau Juragan Kecil Shi?"
"Kau benar, guruku. Bisa-bisanya kita bertemu di tempat yang tidak diduga-duga seperti ini."
"Ah, aku malu sekali kalau dipanggil guru. Aku hanya seorang Ri Chu yang telah menyusahkan keluarga Shi dalam waktu yang sangat lama."
Ro Tatsu ikut bersuara, "Sudahlah, tidak usah membicarakan itu. Kami hendak pergi ke tempat minum. Bagaimana kalau kau juga ikut?"
"Tunggu sebentar. Saat ini aku sedang membagikan obat olesku ke penonton. Setelah uangnya terkumpul, aku akan ikut menemanj kalian."
"Payah. Kau ini penjual obat oles yang sama sekali tidak manjur. Cepatlah."
'Tunggulah sebentar. Aku kan pedagang, jadi harus menghormati pembeli. Jadi, aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja. KaJau mau, Juragan Kecil dan Tuan Polisi pergi duluan saja."
"Hei, kalian!" Tiba-tiba saja Ro Tatsu menunjukkan wibawanya sebagai polisi militer. "Jangan cuma diam dan pasang wajah bcngong. Cepat lempar uang kalian pada pedagang ini. Jangan petit kalau tidak mau kuhajar."
Melihat kepalan tangan Ro Tatsu yang besar berbulu, segala urusan pun langsung beres. Tanpa sempat melemparkan uang sepeser pun, orang-orang yang menonton, baik laki-laki maupim perempuan, malah langsung berhamburan meninggalkan tempat itu.

Pagi Hari Mengantar Sui Ren, Sang Penambang
DI Provinsi I terdapat tempat minum bernama Waning Han Han. Letaknya di sekitar Jembatan Shu Kyo. Yang pertama memasuki warung adalah Ro Tatsu.
"Hei! Ada meja kosong di lantai dua?"
"Ah, Tuan Polisi. Selamat datang. Silakan naik." Ke mana pun pergi, dengan kewenangan sebagai polisi militer serta pembawaannya, semua orang pasti merasa takut pada Ro Tatsu. Sambutan dari meja resepsi pun tidak dia acuhkan. Bersama Shi Shin dan Ri Chu, dia naik ke lantai atas lalu mereka duduk mengelilingi meja dengan posisi duduk segitiga.
"Hei!   Cepat   keluarkan   araknya.   Jangan  lupa makanan pembuka. Pokoknya apa pun yang enak bawa ke sini."
Sambil  minum  arak,  mereka  duduk bertopan siku sambil memandang berkeliling. Pada sebuah tiang terpasang papan bercat keemasan yang di permukaannya terukir kata-kata berikut.
Angin mereda, dengan damai minum arak dibawah bayangan pokon liu,  Arak mengurai kemelut di kati orang baik Bunga plum terasa manis, namun tekad belum membulat
Untuk sementara kami akan terus bernyanyi tinggi. dan masuk dunia mabuk
Cerita-cerita tentang kesengsaraan masyarakat maupun canda ringan terus berlanjut di antara mereka bertiga. Lalu dalam suasana yang menyenangkan itu, mereka menjadi akrab. Entah sudah berapa guci arak yang mereka minum. Tetapi kadang-kadang, terdengar isakan yang membuat saraf Ro seolah tertusuk-tusuk jarum, yang membuatnya terbangun dari mabuk. Yang didengarnya adalah suara isakan perempuan entah dan mana. Akhirnya Ro naik pitam. Dia mengentak-entak keras sebelah kakinya ke lantai dan berteriak, "Hei, Pelayan!"
"Ya, mau tambah araknya, Tuan?" "Dasar tolol! Berapa pun arak yang kuminum, aku tidak akan mabuk! isakan apa yang terdengar dari kamar sebelah itu?"
"Maaf sekali. Apakah Tuan terganggu?" "Tentu saja. Apa kau tidak punya telinga? Aku jadi merasa tidak enak terhadap teman-temanku. Apakah suara itu isakan perempuan?"
"Benar. Seorang gadis dan ayahnya, penyanyi keliling di warung-warung arak, Tuan."
"Pasti kau yang mengganggu orang-orang lemah itu, sampai mereka menangis!"
"Ah, tidak begitu, Tuan. Malah saya telah berbaik haci kepada mereka dengan mengizinkan mereka tinggal sementara di kamar itu dan memberi mereka kue manis sejak semalam, karena saya pikir waktu untuk buka warung juga masih agak lama. Baiklah, sekarang juga saya akan menyuruh mereka pergi."
"Tunggu! Mana tega aku mengusir orang, sementara kau sendiri iba kepada mereka. Lagi pula rasa arakku belum tentu akan lebih enak kalau mereka pergi. Coba bawa mereka ke sini."
"Apakah tidak akan mengganggu Tuan? Gadis itu bersama ayahnya."
"Dasar tolol! Aku tidak sedang berpikir mesum!" Ayah dan gadis penembang itu keluar melewati kain penyekat yang sudah berminyak. Rupa mereka memang pengamen jalanan miskin yang sering terlihat dikota pada malam hari. Si ayah membawa bambu pengetuk, sedangkan anak perempuannya membawa rebab petik.
Cadis itu memakai baju atasan putih tipis yang pastinya tidak akan mampu menahan udara dingin, dengan celana lebar merah yang diseret-seret. Pipinya yang dilapisi bedak putih tampak tirus, bahunya melorot lemas. Akan tetapi, jepit sanggul permata giok yang menghiasi rambut gadis yang tidak dapat dikatakan cantik itu membuatnya tampak manis, seperti kupu-kupu yang terbang di musim gugur.
"Kau masih juga menangis di sini. Tolong jangan menangis lagi. Sebaiknya kauceritakan apa alasanmu bersedih."
"Baiklah, Tuan." Gadis itu menurunkan lengan baju yang digunakannya untuk menyeka air mata. Lalu bersama ayahnya yang dari tadi meminta maaf, dia mulai bercerita.
"Kami berasal dari Kai Hou Tou Kei, namun karena tidak tahan dengan pajak berat yang dibebankan, kami tidak bisa melanjutkan usaha dan akhirnya mengembara ke Provinsi I ini. Namun karena tidak ada kerabat yang bisa ditumpangi di sini, maka kami berpindah tinggal dari satu losmen ke losmen lain. Ibuku yang sudah lama mengidap penyakit akhirnya meninggal karena tak tahan. Kami sudah tak punya apa-apa lagi untuk dijual. Kemudian, atas usul seseorang kami mendapat bantuan dari seorang tuan. Di situlah kesalahan kami sehingga kini kami terikat kesengsaraan dan karma seperti ini."
Kemudian dengan terbata-bata gadis itu mulai bercerita tentang terperangkapnya mereka oleh laki-laki jahat yang biasa disebut dengan "kutu busuk kota."
Memang hal seperti ini sering terjadi. Mendengar ada ayah dan anak yang tinggal di losmen dalam keadaan putus asa, muncullah orang yang sangat ramah, yang bagi mereka tampak seperti dewa penolong.
Ternyata di dunia ini masih ada orang yang berhati mulia seperti ini, begitulah pikiran ayah dan anak yang percaya kepada laki-laki tersebut. Lalu, mefnanfaatkan mulut pemilik losmen, laki-laki itu dengan setengah mengancam menyuruh si gadis menjadi simpanannya. Kalau si gadis bersedia, si laki-laki berjanji akan menyediakan rumah beserta isinya, yang artinya si laki-laki menanamkan modal yang sangat besar pada tubuh si gadis. Gadis itu pun disuruh menulis surat perjanjian bahwa pada tubuhnya memang telah ditanamkan modal sebanyak 3000 kan.
Akan tetapi ketika mereka tinggal di rumah si laki-laki, istri pertamanya bersikap sangat galak dan menakutkan seperti harimau tua. Sehingga tak sampai tiga bulan, si gadis dan ayahnya sudah terusir dari rumah.
Bukan hanya itu, mereka bahkan tidak dibekali sehelai pun pakaian, apalagi uang seperti yang tertulis dalarn surat perjanjian. Sepeser pun tidak mereka terima.
Bahkan selanjutnya dengan surat perjanjian kosong tersebut, si laki-laki memaksa mereka mengembalikan uang yang katanya sudah diberikan sebelumnya. Si pemilik losmen pun ikut bersekongkol, meskipun dia tahu semua itu bohong belaka. Karena sudah menjadi sekutu si laki-laki, dia ikut membuat ayah dan anak ini semakin sengsara dengan meminjami mereka uang harian dengan bunga tinggi. Meskipun setiap malam ayah dan anak ini berkeliling di Kota I Shu, menembang diiringi ketukan bambu dan petikan rebab serta hidup pas-pasan, begitu kembali ke tempat menginap mereka, tujuh puluh persen penghasilan setiap malam akan diambil si pemilik losmen yang jahat. "Sepertinya tidak ada jalan lain selain kematian, begitulah pikiran pendek kami," demikian mereka mengakhiri cerita.
"Ada juga orang sejahat itu. Omong-omong, siapa nama Bapak? Dan anak gadis Bapak, berapa usianya?"
Si polisi militer Ro ternyata mudah terharu. Meskipun wajahnya menampakkan amarah, matanya sekali-sekali bekerjap menunjukkan kesedihan.
"Marga saya Kin dan anak saya bernama Sui Ren, usianya sembilan belas."
"Di mana losmen tempat kalian menginap?"
"Di losmen murah bernama Ro Ke, dekat gerbang sebelah timur."
"Ah, Losrnen Ro Ke itu. Tapi yang jadi inti masalah bukan si pemilik losmen, melainkan laki-laki jahat yang telah pura-pura berbaik had dan mempermainkan anak gadis Bapak. Ditambah lagi seal dia memeras penghasilan malam kalian yang sudah sangat sedikit. Siapa dan orang mana sebenarnya laki-laki berengsek itu?"
"Kalau saya katakan, saya mungkin bakal mendapatkan perlakuan yang lebih mengerikan."
"Jangan konyol. Aku Ro Tatsu yang dikenal sebagai polisi militer provinsi ini. Kalian tidak usah takut. Aku akan melindungi kalian."
"Sebenarnya, orang itujuragan BesarTei." "Juragan Besar Tei?"
"Ya. Orang paling terkenal di Kan Sei pemilik toko daging yang sangat besar di daerah barat dekat Jembatan Jou Gen."
"Bah! Tei itu rupanya," kata Ro berapi-api. "Kusangka siapa karena dengan sikap hormat tadi, Bapak bilang orang itu juragan besar. Dia cuma laki-laki gendut penjagal babi. Baiklah. Setelah mendengar ini, aku tidak bisa tinggal diam."
Lain Ro berkata kepada kedua temannya, "Kalian berdua, tetaplah minum-minum di sini. Aku akan pergi dulu ke sana untuk membuat jera bajingan itu."
Shi Shin terperangah melihat kemarahan Ro. "Jangan terburu-buru. Bagaimana kalau besok saja? Jarang-jarang kita dapat berkumpul seperti ini dalam suasana yang menyenangkan. Lagi pula arak serta pembicaraan kita baru saja dimulai."
"Betul juga." Ro mengurungkan niat. "Kalau begitu, aku akan mengeluarkan uang lima ryou yang kubawa, dan maaf, kalau tidak keberatan dapatkah kalian menyumbang juga? Anggap saja kita sudah menyuruh seniman keliling ini bernyanyi di warung-warung arak yang menyedihkan. Aku ingin dengan uang itu mereka bisa kembali ke kampung halaman."
"Gagasanmu bagus sekali."
Shi Shin segera mengeluarkan uang 10 ryou. Tetapi bagi Ri Chu, si penjual obat oles, situasinya agak sulit. Dengan enggan dia menyodorkan 2 ryou ke atas meja, dan melihat itu Ro menjentikkan uang itu kembali ke arah Ri Chu.
"Astaga, kau pelit sekali. Masa cuma 2 ryou? Ya sudahlah. Pak, dengan 15 ryou ini, Bapak bisa membayar uang sewa losmen dan menggunakan sisanya untuk ongkos pulang ke kampung halaman. Wah, dia mulai terisak-isak lagi. Tolong hentikan. Kukatakan sekali lagi, menunjukkan kesedihan di hadapanku itu tabu. Nah, sekarang bawalah uang ini, dan untuk malam ini Bapak tidak usah bekerja lagi, langsung saja kembali ke losmen dan bersiap-siap melakukan perjalanan pulang. Apa pun yang dikatakan si pemilik losmen, Bapak tidak usah khawatir. Besok, pagi-pagi sekali aku akan datang ke Losmen Ro Ke."
Kemudian setelah melakukan semua itu, Ro tampak leea. Bapak Kin dan anak gadisnya Sui Ren meninggalkan tempat setelah beberapa kali membungkuk berterima kasih hingga dahi mereka menyentuh lantai. Ketiga orang itu terus minum arak dalam suasana gembira sampai lampu-lampu dipadamkan. Mereka berjalan kaki dengan langkah sempoyongan, lalu ketika tiba di perempatan, Shi Shin, Ri Chu, dan Ro berpisah ke tujuan masing-masing.
Keesokan harinya, dengan tubuh besar berbalut pakaian polisi militer yang biasa dikenakannya, Ro muncul di pinggiran kota, berdiri di depan pintu losmen murah Ro Ke.
Di bawah talang air losmen terdapat gerobak dorong yang memuat bungkusan kecil, keranjang peralatan makan, serta bungkusan pakaian usang.
Tentunya ini barang-barang yang akan dibawa Sui Ren dan ayahnya, pikirnya lega. Namun, rasa lega itu hanya berlangsung sesaat. Daxi dalam terdengar bentakan pemilik losmen disertai ucapan permintaan maaf atau jeritan Sui Ren dan ayahnya.
"Hei! Pak Kin, Sui Ren, cepatlah. Kita berangkat sekarang!"
Mendengar suara Ro Tatsu di luar, si pemilik losmen melompat keluar dan mengganti sasaran omelannya ke polisi milicer itu. "Sui Ren memiliki surat perjanjian utang dan aku diminta Juragan Tei untuk menagihnya. Mana mungkin aku membiarkan mereka pergi begitu saja? Atau kau akan membayar utang mereka di sini sebanyak 3000 kari!" katanya dengan wajah merah.
"Jangan main-main denganku, kau pengisap darah! Dasar nyamuk selokan!"
Ro mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan menendang dada si pemilik losmen. Dia hanya berniat menendang pelan-pelan, tetapi tetap saja si pemilik losmen berguling-guling tiga sampai empat kali seperti bola.
"Sialan!" Begitu si pemilik losmen bangkit, ujung sepatu Ro kembali menendangnya sehingga dia tercebur ke selokan. Bersama dengan kejadian itu, cairan kotor bercampur lumpur hitam pekat pun muncrat keluar.
"Polisi sialan! Beraninya kau menendang juragan kami sampai masuk selokan!"
Tampaknya yang bicara adalah seorang pemuda yang dirawat si pemilik losmen itu. Dengan berani, dia menyerang dengan menggunakan kayu bakar yang dipegangnya. Tanpa mengelak Ro Tatsu mencengkeram tubuh si pemuda. Bersamaan dengan terdengarnya teriakan di udara, si pemuda kemudian mendarat di atap.
Kemudian ketika atap losmen tersebut runtuh, tubuh si pemuda pun kembali jatuh berdebam ke tanah.
"Sui Ren dan Pak Kin, cepat dorong getobak itu dan pergi dari sini. Kenapa kalian gemetar seperti itu? Aku akan mengawasi kalian. Jangan membuang waktu berpikir lagi. Pergilah sekarang juga!"
Ro Tatsu melambai kepada ayah dan anak yang pergi menjauh, menembus kabut pagi dari pinggiran Kota I Shu, sambil terus-menerus menoleh ke arahnya. Sementara dia sendiri dengan santai melangkahkan kaki di persimpangan jalan pinggiran kota, menuju jaJan besar kota.
"Hai, Jenderal! Sibuk seperti biasa? Bungkuskan aku setengah kilo daging yang sudah dipotong kotak-kotak."
Di pinggir Jembatan Jou Gen, Ro Tatsu masuk ke toko daging besar yang menjual partai besar juga eceran, lalu dengan santai duduk di kursi. Matanya yang besar kemudian menebarkan pandangan ke arah kira-kira sepuluh orang vang bekerja di depan talenan besar tempat memotong daging, ke arah belakang mereka tempat bergamungnya banyak babi yang sudah dikuliti, )l'ga ke arah kasir tempat si Tei yang juga mirip babi sedang berjongkok sambil memegang kuas.
"Wah, rupanya Tuan Polisi," Tei menyapa ramah setelah dia melihat Ro, lalu beranjak meninggalkan kasir. "Tumben Tuan sendiri yang datang ke sini untuk membeli daging.'
"Tak usah banyak omong. Hari ini aku diundang ke gedung Tuan Muda Pejabat Chu, majikanku. ]adi tolong potongkan daging yang sama sekali tidak ada
lemaknya."
"Baik, Tuan, dipotong kotak-kotak ya. Hei, kau!
Cepat potong setengah kilo daging kualitas istimewa."
"Tunggu dulu! Kau kan majikan toko daging ini. Selain itu, kau juga disebut-sebut sebagai orang yang memiliki pengaruh di daerah Kan Sei ini. Apakah tidak pernah terpikir, bahwa kau dapat menjalankan usaha dengan tenang dan berhasil seperti ini berkat perlindungan Tuan Muda Chu sang pelindung wilayah? Harusnya daging itu kaupotong sendiri."
"Betul juga. Maaf sekali. Mestinya saya manfaatkan waktu seperti ini untuk membalas kebaikan Tuan Muda Chu. Kalau begitu..." Tei langsung berdiri di hadapan talenan pemotongan. Lalu dengan pisau besar pemotong daging yang sudah biasa dipakainya, dia memotong daging dengan cekatan, memilih daging yang paling bagus.
"Sudah    saya    potong.    Maaf   membuat   Tuan menunggu lama," katanya sambil menyodorkan daging yang sudah dibungkus dengan daun teratai besar. Ro Tatsu mengangguk.
"Simpan di situ. Sekarang potong setengah kilo lagi. Kali ini dagingnya harus penuh lemak."
"Baik. Tapi mau diapakan daging yang penuh lemak itu, Tuan?"
"Jangan banyak tanya. Potong kotak-kotak juga." "Itu agak sulit. Tapi baiklah." Kali  ini pemotongan memakan waktu kira-kira setengah jam. Lalu ketika Tei menyodorkan daging yang juga sudah dibungkus, Ro Tatsu meminta dia memotong lagi tulang rawan babi sebanyak setengah kilo, juga dengan bentuk potongan yang sama.
Mendengar permintaan itu, kali ini wajah Tei agak memberengut, namun berhasil dia sembunyikan dengan senyuman.
"Wah, Tuan keterlaluan juga. Mempermainkan saya seperti ini."
"Tak perlu mengornel. Kenyataannya. wajahmu memang tercipta untuk dipermainkan."
"Apa?" Wajah Tei serta-merta memerah karena marah. "Coba katakan sekali lagi. Kau tahu, sedari cadi aku menahan marah karena masih menghormati dirimu sebagai polisi militer provinsi ini."
"Oh, begitu? Aku juga sedari tadi sudah menunggu-minggu kau menunjukkan sifat aslimu. Coba sekarang perlihaikan sifat aslimu lebih jelas lagi."
Setelah berkata demikian, Ro Tatsu mengambil dua bungkusan daging dengan daun teratai tadi, lalu melemparkannya ke mukaTei. Begitu mendapat guyuran hujan daging, Tei segera menyambar pisau pengerat tulang yang sangat tajam, lalu melorapat melewati meja talenan.
"Berani sekali kau!"
Bagaikan kilat, dia merundukkan tubuhnya yang besar bulat, lalu menyeruduk Ro Tatsu. Terdengar bunyi "plak" bergema, ternyata itu tamparan tangan Ro Tatsu yang mendarat di pipi Tei. Tei langsung sempoyongan.
"Lawanmu kali ini agak berbeda dengan yang sudah-sudah, babi," kata Ro sambil menendang pinggang Tei sampai dia terpental ke jalan.
Tei bangkit dengan seluruh tubuh merah padam. Tetapi begitu dia berdiri, wajahnya segera disambut kembali dengan pukulan Ro Tatsu yang membuat mulutnya mengeluarkan erangan aneh. Jembatan Jou Gen yang ramai pun langsung dipenuhi orang-orang yang menonton. Suasana sekitar penuh teriakan, caci maki, dan ledekan. Sebagai orang yang berpengaruh di daerah Kan Sei, dalam kondisinya yang seperti sekarang, Tei tidak mungkin dapat kabur dari perkelahian. Dengan ngotot, dia memeluk pinggang Ro Tatsu yang besar, tidak mau melepaskannya.
"Hei, kutu busuk kota. Tega bctul kau sengsarakan ayah dan anak penembang yang seharusnya dikasihani. Yang kaualami saat ini cuma balasan dari kelakuanmu itu.”
Sepertinya pukulan telak Ro telah meremukkan dagu Tei. Dia terjengkang, darah pun menyembur dari wajahnya. Kemudian dia tak sadarkan diri.
"Rasakan," kata Ro Tatsu sambil menambahkan injakan di dada Tei. Perlawanan Tei berakhir sampai di situ. Ketika diperhatikan, ternyata sebelah mata Tei keluar dari rongganya, dan giginya menggigit lidah. "Wah. Mungkinkah dia mati?" Ro Tatsu tampak agak menyesal. Lalu dia menyelinap di antara penonton, bermaksud meninggalkan tempat itu. Lalu ketika dia menoleh kembali, dengan sengajadia berkoar, "Cih! Dasar pengecut. Pura-pura mati segala!" Begitu dia melewati Jembatan Jo Gen, langkah kakinya semakin cepat.
Astaga. Aku sudah berbuat semena-mena. Polisi militer yang semestinya menjaga keamanan masyarakat justru menghabisi anggota masyarakat. Tentunya ini tidak akan selesai begitu saja, sesalnya. Dalam hatinya, Ro dikejar-kejar perasaan bersalah.
Begitu kembali ke pemondokannya, dia segera mengemasi barang-barang dan memasukkan uang ke kantong. Hanya menyisakan uang pemondokan untuk bulan itu di kamarnya, Dia kemudian pergi tak tentu arah. Dengan sebatang tongkat di tangan, penampilan Ro bagaikan si manusia kera Son Go Ku yang sedang terbang di atas awan.
Kemudian siang itu juga, pejabat pengawas dari provinsi bernama Ou mendatangi pemondokan Ro disertai beberapa pengawal yang akan menangkapnya, tetapi Ro sudah melarikan diri.
Meski kalah cepat, keluarga serta anak buah Tei yang berpengaruh di Kan Sei memiliki keuangan serta kekuatan besar. Pada saat bersamaan, keluarga pemilik pemondokan Ro juga mengadu ke pejabat pemerintah.
Dengan demikian, gubernur pun tidak bisa tinggal diam.
Dikeluarkanlah maklumat untuk polisi militer Ro Tatsu yang melarikan diri: "Segera lakukan penangkapan jika dia ditemukan, tak peduli di mana pun dan kapan pun."
Tentu saja beserta maklumat itu, gambar yang sangat terperinci tentang penampilannya pun dibagikan ke seluruh kabupaten yang ada di penjuru provinsi.

Bunga Anggrekpun Berlinang Air Mata
ADA ungkapan bahwa untuk memegang sumpit   pada   waktu   makan   tidaklah memerlukan  tenaga.  Di  luar dugaan, jawara pun apabila sudah  kehilangan pekerjaan, sangat lemah dalam menjalani kehidupan. Ro Tatsu yang berada dalam pelarian, kini biasa tidur di gunung dan berbaring  di  padang,  serta  tak asing dengan perut kosong. Berbulan-bulan  dia melakukan perjalanan tanpa tentu tujuan. Tak lama kemudian, sosoknya muncul di kota di Kabupacen Gan Mon di Provinsi Dai (wilayah utara Kabupaten San Sei). Kota itu dikelilingi tembok sepanjang delapan kilometer. Gerbang Gan Mon yang berada di  Gunung Gan  Mon  selalu siaga  terhadap serangan dari Bangsa Utara. Hingga kini pun, di kota ini masih terlihat sisa bayang-bayang menyedihkan akibat luka sejarah yang ditimbulkan serangan Bangsa Utara yang berlangsung berkali-kali.
"Wah, di sini orang-orang juga berkumpul melihat maklumat itu. Padahal kusangka di sini aku akan aman."
Dengan santai Ro Tatsu ikut berkerumun dengan orang-orang yang melihat papan pengumuman orang yang dicari, memerhatikan gambar dirinya.
Kantor Kepolisian Kkbupaten Can Mon, Provinsi Dai mengumumkan:
Barang siapa melihat buronan jahat bernama Ro Tatsu yang telah melakukan pembunuhan di Provinsi I Shu berkeliaran di daerah ini, segera laporkan ke kantor polisL Apabila ada orang yang melindungi dan atau menyembunyikannya, yang bersangkutan akan dianggap memiliki dosa yang sama. Apabila ada orang yang melapor sesuai pengumuman ini, kepadanya akan diberi hadiah sebesar 1000 kan.
Ro Tatsu dikelilingi berbagai macam orang. Ada laki-laki yang membaca pengumuman tersebut dengan dilafalkan tepat di dekat telinga Ro Tatsu. Ada kakek yang menopang dagunya yang sudah bercambang putih pada tongkat penyangga. Ada pula pelajar yang mencatat isi pengumuman. Tampak juga perempuan, buruh, dan pedagang keliling.
Ro Tatsu melihat pengumuman itu seolah bukan tentang dirinya.
"Hei,  kau  mau  apa?"  katanya sambil  menoleh garang kepada lelaki tua di belakangnya yang sedari tadi terus menarik-narik lengan bajunya. Namun kemudian dia tersadar bahwa lelaki itu ternyata ayah Sui Ren. "Ssst... Kesini, kesini..."
Si lelaki tua dengan cepat menarik Ro Tatsu ke tempat tidak ada orang. Kemudian dia menghela napas panjang, lega.
"Dari tadi saya memerhatikan karena merasa mengenal Anda. Ternyata Anda memang Tuan Ro Tatsu yang telah menanamkan budi kepada kami. Tapi Anda beranisekali..."
"Bapak Kin! Tak kusangka bisa bertemu di sini. Aku kira Bapak sudah pulang kampung."
"Sebenarnya begini. Ketika melakukan perjalanan, di tempat ini kami bertemu seorang kaya bernama Chou, dan dengan kebaikannya, sekarang Sui Ren sudah memiliki rumah di sini."
Hei, hei. Jangan-jangan kalian tertipu lagi oleh laki-laki jahat bermulut manis."
"Oh, sama sekali tidak, Tuan. Berbeda dengan Tei, orang ini benar-benar baik. Setiap hari Sui Ren selalu berkata bahwa kehidupannya sekarang ini adalah berkat kebaikanTuan. Karena itu, penting bagi kami agar Tuan bersedia melihat kehidupannya sekarang. Silakan ikuti saya."
"Aku  mau  dibawa  ke   mana?   Ke   rumah   istri
simpanati? Wah, aku tidak bisa melakukan itu."
"Jangan bilang begitu," kata Kakek Kin seraya memaksa Ro ikut ke rumah anaknya. Mendengar kedatangan Ro Tatsu, serta-merta Kin Sui Ren berlari dari dalam rumah ke depan.
"Astaga... Tuan Ro Tatsu."
Matanya yang indah berkaca-kaca. Bertemu orang yang telah berbuat baik kepadanya namun kini berada dalam keadaan terpuruk, membuat perasaan iba Sui Ren tertumpah seluruhnya.
"Sekarang sebaiknya Tuan mandi dulu."
Sui Ren mempersilakan Ro Tatsu mandi. Sementara tamunya mandi, dia menyuruh para pembantu menyiapkan hidangan yang bisa cepat dibuat seperti ikan segar dan ayam muda. Tak lupa dia juga mengeluarkan cangkir, botol arak dari perak, buah-buahan, kue, dan sebagainya, yang lalu ditatanya di meja.
"Silakan Tuan minum. Kemudian silakan Tuan beristirahat sesantai-santainya."
"Wah, semua hidangan ini bisa membuatku pening. Bagiku sekarang, makanan seperti ini adalah sesuatu yang berlebihan."
"Kalau dipikir-pikir, kamilah penyebab kesengsaraan yang Tuan alami sekarang ini."
"Sudahlah. Jangan berkata seperti itu lagi. Nanti arak ini tidak enak rasanya."
"Baiklah. Kami tidak akan mengungkitnya lagi. Tapi izinkan kami menyampaikan satu hal saja. Sejak hari itu, kami menuliskan nama Tuan di kertas merah. Lalu setiap pagi dan sore kami membakar dupa untuk mendoakan Tuan. Karena itulah kami yakin pertemuan hari ini sudah ditakdirkan oleh yang di atas. Sui Ren, tentunya kau juga sangat senang, kan?"
"Saya tidak bisa mengucapkan apa pun. Rasanya saya ingin menangis terus..."
"Wah, itu tidak bagus. Aku sangat senang dengan kebaikan kalian. Tapi aku tidak bisa menerima isakan Sui Ren."
"Maaf sekali. Saya lupa Tuan sangat membenci air mata, meskipun ini tangis kegembiraan. Saya tidak akan menangis lagi. Sekarang, silakan Tuan bersenang-senang saja."
Akan tetapi menjelang senja terdengar orang-orang membuat keributan di depan pintu. Karena sangat sensitif dan waspada, Ro Tatsu pun mengintip dari jendela. Ui luar terlihat orang yang tampak makmur sedang menunggang kuda dan membawa dua puluh sampai tiga puluh pemuda yang masing-masing memegang tongkat, mengawasi bagian dalam dan luar rumah sang istri simpanan.
Akhirnya datang juga, pikir Ro Tatsu, karena firasatnya sudah mengatakan demikian. Dia baru saja berniat keluar dari atap belakang ketika Kin melihatnya dan segera saja memegangi sabuk pinggang Ro Tatsu.
"Tuan Ro, tunggu dulu. Yang di luar itu Majikan Chou yang mengurus Sui Ren. Waktu itu, saat mendengat cerita Sui Ren, Juragan Chou merasa tersentuh atas rasa keadilan Tuan. Pasti beliau hanya salah sangka terhadap Anda. Karena itu tunggulah sebentar, orang tua ini yang akan bicara dengannya."
Terburu-buru Kin menuruni tangga. Tidak lama kemudian, tampaknya masalah sudah terselesaikan. Para pemuda pun pergi meninggalkan tempat itu, tinggal Chou sendiri dibawa masuk si lelaki tua.
Chou menyapa Ro Tatsu. "Hahaha. Tampaknya aku sudah berprasangka buruk dan bertindak tidak sopan kepadamu. Aku Chou yang mengurus Sui Ren. Kau tentunya Ro Tatsu yang sudah kudengar ceritanya."
"Betul. Hampir saja terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di antara kita tadi. Benar, saya Ro Tatsu, mantan polisi militer. Maaf saya datang ke sini ketika Anda tidak ada di tempat."
"Tidak perlu sungkan. Tentunya ini sudah takdir. Sui Ren, malam ini mari kita minum-minum dalam suasana menyenangkan bersama orang yang telah berjasa kepadamu. Sebaiknya arak dan makanannya segera diganti."
Meskipun sudah berusia lima puluhan, Chou tampak berpembawaan santai dan lapang dada. Mungkin memang begitulah karakter orang berada, atau barangkali dia berusaha melayani orang yang memiliki rasa kebenaran dengan rasa kebenaran pula.
Ketika lentera menyala dengan terang dan suasana minum-minum mencapai puncaknya, Chou berkata, "Saudara Ro, tentunya kau merasa tidak tenang di kota seperti ini. Bagaimana kalau kau pergi ke kampungku dan tinggal di sana dengan santai?"
"Terima kasih banyak. Di kampung mana letak rumah Anda?"
"Ada di pinggiran kota, kira-kira empat puluh kilometer dari sini. Namanya Desa Sichi Hou, kampung yang sangat tenang."
"Saat ini saya seperti tidak memiliki tujuan hidup. Jadi, dengan senang hati saya menerima tawaran Anda."
Sui Ren dan ayahnya pun merasa senang, seolah-olah tawaran ini ditujukan kepada diri mereka sendiri. Demikianlah keesokan harinya, Chou dan Ro Tatsu menunggang kuda berdampingan memasuki Desa Sichi Hou, kampung yang dikelilingi birunya pegunungan dan jernihnya air sungai.
Rumah milik Chou sangat mewah. Bagi Ro Tatsu, kemewahan ini begitu berlebihan, sehingga membuatnya merasa jengah. Melihat Ro Tatsu yang tampak segan, Chou tertawa.
"Kau tidak usah sungkan seperti itu. Seperti kata pepatah, semua orang dari seluruh penjuru laut adalah saudara."
Meski semestinya begitu, kenyataan dalam masyarakat tidaklah begitu adanya. Karena merasa tidak enak berlama-lama di sana, maka pada hari kesepuluh Ro berniat pamit. Lalu pada malam harinya, ketika mereka sedang minum-minum, Chou mengungkapkan sesuatu.
"Mungkin ini saran yang sangat aneh, namun mungkin juga ini sudah takdir. Apakah tidak ada niat bagimu untuk memasuki dunia kependetaan?"
"Menjadi pendeta? Ide itu benar-benar di luar dugaan saya. Anda orang pertama menyarankan saya menjadi pendeta. Padahal sedikit pun saya tidak tahu tentang dunia kependetaan."
"Tentu saja aku tidak berniat memaksamu melakukan apa pun yang tidak kauinginkan. Hanya saja, aku mendengar kabar angin bahwa perintahku yang menyuruh para pemuda kota ikut menyerbu rumah Sui Ren karena mencurigaimu beberapa waktu lalu, telah memulai omongan tidak enak di kota. Aku pun ikut merasa bersalah, jangan-jangan nanti akan terjadi sesuatu yang buruk pada dirimu."
"Saya juga akan sangat merasa bersalah apabila rnenyusahkan Anda lebih dari ini. Karena itulah sebaiknya saya segera meninggalkan tempat ini."
"Oh, sama sekali tidak rnenyusahkan. Namun sebelumnya, bagaimana kalau kaupikirkan juga saranku untuk mengubah jaJan hidup menjadi pendeta barusan? Tjka kau setuju, seluruh biaya prosedur dan surat izin dari pemerintah dengan cap akan kuurus."
"Jika saya harus masuk Kuil, kira-kira di Kuil manakah?"
"Sekitar seratus dua puluh kilometer dari sini ada pegunungan terkenal bernama Go Dai. Di salah satu gunung, ada tempat latihan besar yang disebut Mon Ju In dan tempat latihan ini betul-betul megah. Taman serta pagoda di tujuh Kuilnya sangat indah seolah-olah semuanya mengeluarkan sinar kehijauan. Cendekiawan yang menjadi pemimpin tujuh ratus pendeta di sana bernama Chi Shin Chou Ro. Dia sudah seperti saudara sendiri bagiku."
Begitu. Kedengarannya menyenangkan." Ditambah lagi, sejak zaman kakek dan ayahku, secara turun-temurun kami meniadi donatur besar bagi Kuil tersebut. Bila ada rencana perbaikan atau upacara Kuil, tentu saja kami memberikan sumbangan serta selalu diajak berunding.  Hanya saja masih ada satuharapan kami yang belum terpenuhi, yaitu belum ada seorang pun kerabat kami yang menjadi pendeta, Begitulah. Nah, bagaimana Saudara Ro?"
"Tampaknya perlu saya coba."
Chou tertawa. "Kalau hanya coba-coba, itu tidak baik."
"Memang tidak. Baiklah, saya akan menjadi pendeta dengan niat serius. Mungkin ini juga petunjuk dari ayah dan ibu saya yang sudah tiada, agar saya kembali ke jalan hidup yang sama dengan manusia lain. Untuk itu, saya mohon Anda mengurus persiapannya."
Bagi Ro, langkah ini merupakan perubahan yang ingat besar. Meskipun tampak sedikit rona sedih di ijahnya, niat sudah diputuskan.
Diperlukan waktu beberapa hari untuk segala persiapan. Pada hari keberangkatan, buruh-buruh pengangkut barang serta dua kereta tandu berbaris menuju Gunung Go Dai. Segala sesuatunya, seperti upacara masuk dunia Buddha, upacara sedekah, serta selamatan setelahnya, sudah dibicarakan dengan tetua Kuil serta para pendeta.
Kereta tandu melaju melewati barisan pendeta dan berhenti di depan ruang pendeta kepala. Pertama-tama mereka mendapatkan jamuan secangkir teh, lalu mereka membersihkan diri di sumur di belakang ruangan. Tidak lama kemudian, diiringi suara genta, sambil dibimbing pendeta pemandu, mereka berjalan di koridor yang panjang berkelok-kelok, dan akhirnya tiba di ruang utama yang diterangi tiga lentera megah yang menunjukkan tiga unsur Buddha.
Ketika masuk, Ro Tatsu melihat sebuah kursi kosong, maka dengan tenang dia duduk di sana. Melihat . chou menjadi panik. Dia membatalkan duduk dan mendekat ke Ro Tatsu untuk membisikkan sesuatu ke telinganya.
"Kau datang ke sini untuk memohon dijadikan pendeta. Jadi tidak boleh duduk sejajar dan berhadapan langsung dengan tetua Kuil ini."
"Oh, begitu."
Ro Tatsu pun mundur, lalu bagaikan murid baru, dia berdiri bersama-sama Chou. Di depan duduk tetua di tempat utama, dan di sisi kanan juga kirinya berbaris secara berurutan pendeta-pendeta berpakaian ungu dan merah gemerlap menyilaukan. Mereka adalah pembantu umum pendeta,  pendeta penjaga,  pendeta pengawas Kuil, pendeta kepala administrasi, pendeta penerima tamu, dan pendeta juru tulis. Semuanya menutup mulut rapat-rapat, menatap namun seolah-olah tidak melihat, memandang tajam pendeta baru Ro Tatsu. Pada wajah mereka terlukis paras yang menunjukkan kebingungan, seolah-olah berkata, hendak apa dia di sini? Semua pendeta menyimpan pertanyaan seperti itu dalam hati mereka.
 Dilihat dari sudut mana pun, orang ini kelihatan kasar  atau "apakah dengan penampilan seperti itu, dia betul-betul mau menjadi pendeta?" Atau "dia mernan orang yang direkomendasikan Donatur Chou, tapi kalau melihat penampilannya, betul-betul menyebalkan dan tidak sopan" dan "tapi, kalau sudah diterima oleh tetua apa boleh buat."
Begitulah kata-kata dalam hati yang tidak terungkapkan, mengalir bagaikan angin sepoi-sepoi pada wajah-wajah yang berjajar di sana. Tetapi Ro Tatsu tidak mengacuhkan semua itu. Suasana agung serta dinginnya udara gunung membuatnya ingin bersin. Sejak tadi hidungnya bergerak-gerak berkedut.
Entah apa yang membuatnya terkesan, Ro Tatsu terus berdiri tegak seolah terpaku. Tampaknya Chou menyadari hal ini. Dia pun menarik-narik lengan baju Ro yang berdiri sebelahnya, memperingatkan.
"Rangkapkan    kedua    tanganmu.    Kau    hams merangkapkan kedua tangan  dan  memberi hormat. Sebentar lagi pendeta akan melakukan upacara potong rambut untukmu." "Oh, begitu."
Dengan tergesa-gesa Ro Tatsu merangkapkan kedua tangannya. Tampak pendeta tetua mengibas-ngibaskan kipas bulu, lalu duduk di kursi. Tungku dupa besar mengepulkan asap tebal. Lalu dengan penuh khidmat, pendeta memberikan penghormatan demi uang dupa, kain, dan barang-barang yang dibawa Chou pada han itu. Lalu, setelah berdeham satu kali dengan nyaring, dia membacakan surat permohonan Ro Tatsu untuk menjadi pendeta.
Setelah selesai, pendeta yang wajahnya tertutup umpalan asap dupa entah sejak kapan sudah memasuki dunia semedi. Di pahanya terikat tali dan sejenak dia menutup mata. Lalu, seolah-olah kerasukan, dia berkata seperti ini, "Bagus! Bagus! Laki-laki ini ditakdirkan menjadi salah satu bintang di langit. Hatinya keras dan jujur.Tindakan kasarnya hanya dilakukan ketika melihat sesuatu yang tidak adil. Pada suatu saat nanti, dia akan mendapat pencerahan, dan kehidupan yang luar biasa akan menunggunya. Hup!"
Begitu selesai, segera saja tambur kependetaan dan genta dipukul bertalu-talu. Dua pendeta kecil maju ke depan, menyuruh Ro Tatsu membuka topi yang dipakainya kemudian memegang tangannya dan membimbingnya ke arah tempat duduk pendeta, lalu menyuruhnya berjongkok.
Pendeta pembantu umum berdiri memegang pisau cukur. Pendeta pengawal memegang baskom air, pendeta kepala administrasi memegang sisir, lalu menyisir rambut Ro Tatsu menjadi sembilan bagian dan mengikatnya sebagian demi sebagian. Pisau cukur mulai oergerak berkerik-kerik dari pipi ke atas seolah sedang menggambar bulan sabit.
Ro Tatsu merasakan kejanggalan. Dia cemas. Jadi seperti apakah nanti wajahnya apabila potongan rambutnya sudah berubah, pikirnya bertanya-tanya Tetapi ketika kepalanya terasa dingin karena sernua rambutnya sudah tercukur habis, lalu pisau cukur itu mengarah ke kumisnya, dia panik.
"Tunggu sebentar.  Bisakah  bagian  ini  disisakan sedikit?"
Semua pendeta yang berkumpul tertawa. Untuk menghentikan tawa mereka, Pendeta Kepala Chi Shin melantunkan doa dengan suara yang sangat keras.
".. .tak menyisakan sehelai rambut pun agar seluruh jiwa raga bersih. Demi dirimu kucukur seluruh rambutmu agar kau terlepas dari persaingan dan persengketaan. Ayo, potong semua."
Ro Tatsu tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sekarang, mewakili Chou, tetua membawa sertifikat ke-Buddha-an ke tempat duduk utama, lalu berkata, "Kumohon berilah Ro Tatsu nama kependetaannya."
Tetua pendeta sekali lagi membacakan doa dengan penuh khidmat. Setelah itu dia menyerahkan sertifikat kepada juru tulis, dan juru tulis menorehkan nama kependetaan pada sertifikat tersebut. Di sana tertulis:
“Satu titlk sinar kejiwaan bernilai ribuan
Untuk dunia Buddka yang luas kubevi nama Chi Skin.”
Dengan demikian nama kependetaan orang yang baru masuk dunia Buddha itu adalah Chi Shin (pengetahuan dalam). Setelah juru tulis menyerahkan sertifikat di secara resmi Ro Tatsu telah menjadi seorang pendeta.
Kemudian pendeta tua meletakkan tangan di atas kepalanya yane membiru, lalu menyampaikan aturan-aturan dalam dunia Buddha.
"Satu, berlindung kepada ajaran Buddha. Dua, mengabdi kepada kebenaran Buddha. Tiga, hormat kepada guru dan teman. Ini disebut Trisila Kepatuhan. Lima aturan berikutnya adalah tidak membunuh, tidak mencuri, tidak melakukan maksiat, tidak minum arak, dan tidak berbohong. Kau bisa memenuhinya?"
"Ya. Saya akan menaatinya."
Ketika Pendeta Ro Chi Shin menjawab, semua orang yang ada di sekitar tertawa. Di dunia keagamaan Zen, sudah menjadi etika untuk menjawab pertanyaan dengan satu kata saja: "ya" atau "tidak." Muka Chi Shin memerah karena malu.
Pada malam harinya diadakan pesta besar di Balairung Awan. Barang-barang dan uang tanda terima kasih dari Chou dibagi rata. Keesokan harinya, pada saat Chou akan turun gunung, dia memanggil Ro Chi Shin sendman ke bawah sebatang pohon, lalu dengan penuh kesermsan berkata, "Karena belum terbiasa, mungkin di awal-awal kau akan merasa kerepotan, tetapi kuharap kau giat menempa diri. Aku juga sudah meminta pendeta kepala untuk memerhatikanmu."
"Tampaknya saya sudah sangat merepotkan Anda Tapi Anda tidak usah khawatir. Kalau kepala saya sudah begini, tidak ada cara dan jalan lagi selain menggant; haluan hidup dan menjadi orang yang dewasa dan baik," kata Ro Chi Shin sambil menepuk-nepuk kepala.
Tetapi, setelah mengantar kepergian Chou dengan kereta tandu dan kembali ke kamarnya di antara rumpun pepohonan, Ro Chi Shin sudah melupakan kata-kata Chou. Dia langsung saja berbaring.
Dua atau tiga orang yang sedang menempa diri mengintipnya.
"Hei, orang baru, kenapa kau tidak melakukan semedi?"
Ro Chi Shin mengangkat tubuh dengan malas dan sambil merenung, dia bertopang dagu dengan kedua tangan dan berkata, "Dalam Trisila Perlindungan dan lima aturan, tidak ada yang melarang orang berbaring, kan?"
Pendeta-pendeta itu melongo. Mereka pun melaporkan ini kepada pendeta tetua, namun pendeta tetua juga tampaknya tidak bisa berbuat apa-apa.
"Orang luar biasa itu, menurut pendeta kepala, adalah salah seorang yang ditakdirkan mengemban satu bintang di langit. Jadi untuk sementara waktu, tidak ada cara selain membiarkannya."
Tingkah laku Chi Shin seolah-olah binatang buas yang mendapat tempat yang tepat. Dia meman-featkan keadaan ketika orang lain tidak bisa ikut campur urusannya. Ketika tidur, dengkurannya bagaikan halilintar. Ketika bangun, di belakang kuil ataupun di bawah pohon hutan suci, dia buang air kecil seenaknya. Demikianlah tingkahnya.
Dalam waktu lima bulan, dengan cepat musim panas di Gunung Go Dai berlalu. Saat  ini  sudah memasuki akhir musim gugur, saat dedaunan berwarna merah menyala.
Karena rindu pada perkampungan, Ro Chi Shin mengganti pakaiannya dengan baju hitam dan mengenakan sabuk warna biru tua. Sepatu pun digantinya dengan yang baru, lalu dari Mon Ju In, dia berjalan ke kaki gunung.
"Ah. Ini betul-betul membuatku rindu. Hmmm. Aroma yang sudah lama tidak kuingat menyentuh hidungku kini datang terbawa angin."
Aroma yang dimaksudnya bukanlah wangi bunga-bungaan melainkan bau arak.
Beberapa langkah dari arah bawah terlihat seorang laki-laki mendaki gunung sambil membawa sepikul arak. Bagi Ro Chi Shin, ini bagaikan pertemuan dengan kekasih yang tak diduga-duga.
Hei. Tunggu sebentar!" katanya sambil memegangi galah pikulan laki-laki itu.

Rajah Seratus Bunga Membara Dikulit Merah
GUCI-GUCI arak di kedua sisi galah pikulan yang dibawa laki-laki itu berayun-ayun. Tentu saja arak yang tumpah dari celah-celah tutup guci ke kaki si laki-laki dan merembes ke tanah menguarkan aroma yang sangat wangi.
"Wah. Sayang sekali." Sambil tetap memegangi sebelah galahnya, si tukang arak kaget dan curiga karena Ro Chi Shin bertingkah seolah-olah mengejar arak yang tumpah dengan hidungnya.
"Eh,  kenapa Pendeta? Ada urusan apa Pendeta menghentikan saya?"
"Yang ada dalam guci ini arak, kan? Tampaknya arak yang bagus. Mau dibawa ke mana?"
"Di Gerbang Ni Ou di atas gunung sana, ada yang sedang memperbaiki bangunan. Saya akan menjual arak ini pada tukang cat, tukang genteng, tukang ukir patung, dan yang lain-lain yang bekerja dan menginap di sana."
"Hmmm...," gumam Chi Shin sambil terus mengendus-endus. "Mereka bisa minum yang enak-enak. Menyebalkan." Kalimat "Tolong jual juga arak ini kepadaku," sudah hampir mencapai tenggorokannya, namun dia menelan kembali kata-kata itu. Akhirnya dia berkata, "Menjadi pendeta itu tidak praktis. Tapi apa boleh buat? Aku seorang pendeta. Pasrah saja. Anggap saja aku sudah mati... Hei, tukang arak."
"Ya?"
"Kaupikul baik-baik ya. Jangan sampai tumpah. Meski kauberi minum jalan yang berbatu ini, dia tidak akan berubah warna dan menjadi senang."
"Terima kasih atas kebaikan Pendeta."
"Jangan bercanda. Aku sudah maumenangis. Kenapa aku harus bertemu orang menyebalkan sepertimu? Sana, cepat pergi!"
Sambil menutup mata, Ro Chi Shin berlalu dengan langkah-langkah lebar. Akhirnya, tampaklah pemandangan kaki gunung yang terang dan terbuka di depannya. Tetapi kali ini dari arah bawah terdengar suara nyanyian santai.
Wilayah ini merupakan medan perang kuno, tempat nenek moyang Kan mengalahkan tentara besar So. Juga bekas tempat peristirahatan malam di Sungai U Kou ketika Kou U yang terkenal itu, sambil berpelukan dengan Gu Bi Jin, mengalirkan air mata kepedihan terakhirnya. Karena itulah anak-anak gembala di sekitar Sana, juga orang-orang desa, sekarang pun masih menyanyikan peristiwa-peristiwa itu.
Katanya rerumputan di Gunung Ku Ri tahu bahwa
tempat ini bekas medan perang
Akupun pernah memungutnya, pedangberkarat,
tombakyang sudah jadi tanah
Pada saat angin bertiup kencang, air Sungai U Kou
Akan memperlihatkan
Kepedihan antara Putri Gu dengan Kou U yang tidak mau berpisah
"Wah, Lagi-lagi ada yang memikul sesuatu. Astaga. Ternyata yang mendekat tukang arak lagi. Tampaknya hari ini nasibku tidak baik."
Mungkin karena merasa takut begitu duluan melihat pendeta yang mencurigakan, tukang arak itu menghentikan senandungnya. Mereka berdua hampir berpapasan. Namun sayangnya, di tempat itu jalan menanjak. Dari guci yang bergoyang itu tumpahlah sedikit arak dan Ro Chi Shin dilanda rasa pening.
"Uh, uh. Hei, tukang arak, tunggu sebentar. Tampaknya kau kurang hati-hati. Kenapa kau menumpahkan arakmu?"
"Wah, maafkan saya. Apakah sudah mengotori jubah Pendeta?"
"Ah, tidak. Sebenarnya justru aku ingin dikotori. Juallah arak dalam tong itu kepadaku!"
"Wah, tidak mungkin. Menjual arak kepada pendeta adalah larangan. Jika saya berbuat seperti itu, saya tidak akan lagi bisa tinggal di sini."
"Tidak masalah. Aku sudah tidak tahan." "Bagi Anda memang tidak masalah, tapi bagi saya masalah besar. Saya punya anak-istri juga. Jadi tidak mungkin menjualnya kepada Anda." "Astaga, repot sekali." "Aduh!"
Meskipun Ro Chi Shin menepuknya dengan ringan, tetap saja tepukan itu mengakibatkan pikulan di pundak si tukang arak terlepas. Lelaki itu pun jatuh terduduk.
Satu guci terguling dan yang satu lagi selamat. Serta-merta Chi Shin berusaha menyelamatkan guci yang terguling terlebih dahulu, lalu mengarnbil guci satunya lagi. Kemudian sambil menjinjing guci arak yang berat dan yang ringan di kedua tangannya, dia berlari ke arah dangau yang memiliki pemandangan bogus. Nih, uangnya."
ILmah apa yang dilemparkan Chi Shin ke arah tukang arak yang sedang mengusap-usap pinggang. Setelah melemparkan sesuatu sebagai pengganti arak, dengan gerakan cepat, tahu-tahu dia sudah memegang penutup tong arak. Lalu bagai b'matang besar kehausan yang membenamkan hidungnya pada aliran air, dia menenggak arak  sampai  kerongkongannya  berbunyi keras. Glek... Glek... Glek...
Kadang-kadang dia menengadah dan menjilati arak yang menempel di bibirnya, atau menggoyang-goyangkan  kepala  menjatuhkan   titik-titik  arak  dari dagunya.
"Wan. Enak sekali."
Isi guci arak yang berat icu hampir dihabiskannya. Arak di bagian bawah guci tampaknya agak menyulitkan.
"Di dasarnya masih tersisa sedikit. Baiklah."
Ro Chi Shin menanggalkan pakaian pendetanya. Ketika bajunya terbuka, tampaklah tubuh Chi Shin yang memerah karena arak. Di punggungnya yang berotot, membara warna musim semi dari rajahan seratus bunga dan burung yang katanya digambar oleh tukang rajah dari I Sui selama seratus hari.
"Wah, betapa indah pemandangan di sini. Betul-betul indah. Cacing-cacing di perutku pun tampaknya ikut menari-nari.Tunggu... tunggu... masih ada."
Dia mencengkeram pegangan guci yang sudah ringan dengan kedua tangan. Begitu dari perutnya
yang penuh Inilu terdcngar bunyi berkeruyuk, dia menuangkan arak dari guci ke mulutnya seakan-akan sedang minum air tcrjun. Tentu saja sebagian kccil arak ada yang memercik ke tubuhnya. Arak pun mengalir di sana seperti air sungai kecil yang mengalir di permukaan bebatuan, membasahi bulu di dada serta bajunya, yang akhirnya terjatuh dan diisap bumi.
"Hmmm. Dengan ini, cukup puas, cukup puas..." Tampaknya segera saja Chi Shin terselimuti perasaan bahagia luar biasa. Seakan-akan scluruh benda yang ada di bumi dan langit ini adalah miliknya. Lalu dia memandang guci arak yang tiba-tiba menggelinding dekat kakinya.
"Wah, wah. Kalau sudah kosong, guci ini sama sekali tidak raenarik. Anggaplah doa dari pendeta Chi Shin sebagai kebahagiaan di dunia ini. Hup!"
Dia menendang kedua guci itu ke arah kaki gunung. Guci yang satu melayang di udara dan jatuh ke hutan, sedangkan yang satu lagi terjatuh ke arah sekelompok sapi yang sedang berada di dekat situ. Sapi-sapi yang kaget pun berpencar akibatnya, meski selanjutnya mereka cuma mengeluarkan lenguhan panjang yang malas. Chi Shin mengibas-ngibaskan tangan sambil tersenyum. Lalu dengan terhuyung-huyung dan tubuh dipenuhi debu, dia kembali ke Gunung Go Dai.
"Cih! Dasar lintah darat, k-k-kenapa tidak boleh Ro Chi Shin masuk gunung?"
"Astaga, murid Buddha yang kacau. Hei, Chi Shin! Di sini tempat para pendeta!"
"Memang betul. Ini gerbang masuk ke Kuil Mon Ju
In di Gunung Go Dai."
"Orang mabuk tidak diperbolehkan memasuki gunung. Di sana ada papan pengumuman yang bertuliskan seperti itu, bukan? Apabila ada pendeta yang melanggar ketentuan ini, yaitu minum arak, aturannya adalah dipukul dengan bambu muda empat puluh kali dan dikeluarkan dari dunia kependetaan."
"Menarik   sekali.   Cocok   untuk   menggantikan tukang pijat. Hei, Penjaga, coba kaulakukan!"
Karena mendengar keributan, para pendeta pejabat seperti pendeta pengawas, pendeta penerangan, pendeta pengurus gudang, dan pendeta perairan, sampai tukang-tukang yang sedang berada di situ berdatangan untuk menyaksikannya. Segera saja mereka bersatu dengan pendeta-pendeta penjaga.
"Orang yang kasar dan sudah melanggar aturan adalah orang yang tidak suci lagi, karena itu jangan sekali-kali mengizinkannya masuk. Coba siram dia dengan air."
Mereka pun menolak Chi Shin. Mereka mendorong tubuhnya yang besar hingga berguling-guling di tangga batu di depan gerbang.
Tindakan ini tak ayal lagi mengundang sesuatu yang tidak diinginkan. "Berani ya!" teriak Chi Shin sambil
merayap dan mendelik ke atas. Lalu seundak demi seundak, perlahan-lahan bagaikan gajah raksasa, dia bergerak ke atas. Karena ketakutan, baik para pendeta pejabat maupun tukang-tukang mundur menghindar. Sebaliknya Chi Shin mulai merasa senang. Seakan-akan mereka datang berkumpul ke tempat itu untuk menjadi lawan dalam permainannya.
"Hei kalian! Kalian akan kuangkat dan kulempar satu-satu!"
Begitu Chi Shin bergerak, benarlah, manusia-manusia beterbangan begitu saja bagaikan sampah dari kedua tangan dan kakinya. Dia mengejar orang-orang yang melarikan diri ke segala penjuru tempat, termasuk ke aula kuil. Di taman pun terdengar gema bagaikan gempa bumi serta jeritan-jeritan. Akhirnya, begitu memasuki ruangan di pergudangan, dia segera tertidur dengan tangan dan kaki terentang. Dengkurannya seolah menggetarkan seluruh bukit dan lembah di sekitar.
Tidak hanya terperangah atas kejadian itu, pendeta-pendeta juga kebingungan bagaimana cara menyelesaikan masalah ini. Para pendeta penjaga bersama pendeta pengawas kuil dan pendeta pembantu umum menghadap Pendeta Kepala Chi Shin.
Belum pernah terjadi yang seperti ini sejak dibukanya Kuil Mon Ju di Gunung Go Dai. Selain itu kami tidak pernah mendengar ada aturan dari yang s"a Shakamuni yang memerintahkan kita memelihara binatang setan di tempat suci. Karena itu, kami pikir sebaiknya orang itu segera diusit dari sini."
"Jangan terlalu keras. Bagaimana kalau untuk kali ini saja kita beri pengampunan?" kata Pendeta Kepala, berusaha meredakan kemarahan mereka. "Lagi pula kita juga hams menjaga kehormatan Saudara Chou yang adalah donatur besar kita. Besok aku yang akan langsung menasihati Chi Shin agar tidak lagi mengulanginya."
Suara-suara protes terdengar nyaring, namun karena kata-kata dari Pendeta Kepala sudah diucapkan, mereka undur diti meski tetap menggetutu.
Keesokan paginya, begitu bangun dari tidur, Chi Shin pergi menuju hutan bambu di belakang gudang, lalu dengan seenaknya buang air kecil di sana. Tepat pada saat itu datang utusan dari Pendeta Kepala yang menyuruhnya cepat menghadap. Tergesa-gesa dia meng-ikuti mereka dan dengan sungkan menghadap Pendeta Kepala.
"Chi    Shin,    kau    benar-benar    menyusahkan.
Tampaknya kau mengidap penyakit."
"Oh sama sekali tidak. Seperti yang terlihat, tubuh saya jauh lebih kuat daripada orang kebanyakan."
"Bicara apa kau ini? Yang kumaksud adalah penyakit pelupa. Apakah kau lupa pada saat upacara pengangkatan sebagai pendeta, kau sudah diberitahu tentang Trisua Kepatuhan dan lima aturan larangan?"
"Oh. Itu yang Pendeta maksudkan?"
"Kalau mengingat aturan-aturan itu, kau sebut apa perbuatanmu tadi malam? Tmdak-tandukmu sudah melanggar kesucian dan aturan Kuil ini."
"Saya tidak akan melakukannya lagi."
"Sungguhkah? Di masa depan, kau tidak akan lupa lagi pada aturan-aturan itu?"
"Ya. Saya akan mengingatnya."
Dengan lunglai, Chi Shin kembali ke ruang semedi. Dia menjadi pendiam, seakan di wajahnya terpasang kunci gembok yang mengungkapkan tekad bahwa dirinya tidak akan mengejek atau menertawakan orang lagi, serta tidak akan marah.
Tahun itu pun berakhir. Saat musim semi, yang kemunculannya di gunung dinanti-nantikan sejak lama dan akhirnya tiba juga pada bulan Maret tahun berikutnya, Chi Shin memandangi langit di kaki gunung sambil terpana. Saat itu bunyi pukulan palu pandai besi terbawa angin. Entah apa yang ada dalam pikirannya, dia segera memasukkan seluruh uang yang dimilikinya ke kantong di pinggang, lalu meninggalkan kuil. Hari ini dia memilih jalan yang agak berbeda dengan yang biasa. Dia melewati gerbang kuil raksasa yang bertuliskan Tempat Lima Kebahagiaan Besar", lalu dengan cepat menuruni jalan sebelah timur yang biasa digunakan orang-orang yang akan berziarah.
Ramai sekali di sini. Sampai hari ini aku tidak di sini ada kota. Bodoh betul aku. Mengapa sampai tidak terpikir olehku bahwa di bawah Gunung Go Dai ada pusat keramaian seperti ini? Tetapi tidak mengapa katena meskipun agak terlambat, ini juga berkah dari Buddha."
Dia   melangkah   dengan   hati   berbunga-bunga.
Matanya sibuk melihat ke kiri dan ke kanan. Ada tukang daging, ada warung arak, ada jeritan manja perempuan, tangisan bayi, juga musik seniman jalanan yang penuh kenangan, penjual baju bekas, tukang sayur, losmen, sampai nenek-nenek pedagang mi. Semua membuatnya senang dan mengingatkan dirinya pada daerah pinggiran I Sui di masa lalu.
"Betapa menyenangkannya dunia manusia." Ketika dia berjalan sambil merenung, diselimuti kehangatan kota yang penuh bau manusia itu, tiba-tiba dia berhenti.
"Oh, dari sini asalnya," katanya sambil memasuki pintu bengkel pandai besi.
Yang menggema sampai ke gunung itu tentunya bunyi palu dan alas tempa besi ini. Tiga pandai best sedang beristirahat, wajah mereka menghitam sampai ke bulu hidung dan tahi mata. Mereka memerhatikan sosok Chi Shin. Lebih tepatnya, menengadah untuk melihat Chi Shin.
"Selamat  siang.  Apa  di  sini  ada  pedang yang kualitasnya bagus?"
"Wah,    apakah    seorang    pendeta    memerlukan pedang?"
"Jangan konyol. Tidak ada aturan yang melarang pendeta membawa pedang. Aku ingin kau buatkan aku sebatang tongkat besi. Yang harganya terjangkau."
"Begitu. Tapi kalau dibuat dulu, harganya agak mahal. Bagaimana kalau yang sudah jadi?"
"Belum pernah aku melihat tongkat sudah jadi yang sesuai dengan tanganku ini. Jadi aku tidak memilikinya. Karena itu, tolong buatkan segera untukku. Beratnya kira-kira seratus kin saja."
"Jangan bercanda, Pendeta. Tongkat yang beratnya seratus kin tidak mungkin dibawa-bawa manusia. Pedang bulan sabit milik pahlawan Kan U di zaman tiga negeri saja beratnya hanya delapan puluh satu kin."
"Kalau begitu, beratnya samakan saja dengan pedang Kan U. Delapan puluh satu kin."
"Jangan memaksakan diri. Pendeta ini bukan kerabat maupun anak buah Ryu Bi Gen Toku di zaman tiga negeri, kan? Jangan coba-coba, nanti kerepotan. Danpada tongkat itu, di sini ada pedang yang kualitasnya bagus, dengan tempaan air, beratnya kira-kira enam Puluh satu kin. Bagaimana?"
Hmm.   Bagaimana   ya?   Baiklah.   Aku   setuju. Sekarang, kau ikut aku."
"Eh? Ke mana?"
"Demi   mensyukuri para pengembus api, aku akan mentraktirmu minum. Bawalah aku ke tempat langgananmu.'
"Wah, tidak usah repot-repot. Silakan Anda pergi sendiri saja. Omong-omong, harga tongkat itu lima ryou. Kami harap Anda raembayar uang muka dulu." "Astaga, kau tidak percaya padaku?" Chi   Shin   melemparkan   beberapa   keping   uang perak lalu keluar dari bengkel pandai besi diiringi asap membubung. Lalu dia memandang berkeliling.
Dia memasuki dua atau tiga warung arak, namun di mana pun dia ditolak tanpa kecuali. Akhirnya dia sampai ke pinggir kota dan di situ masih terdapat warung yang atap cucurannya sudah compang-camping, Di atap itu terpasang umbul-umbul yang bertuliskan arak. Ketika mendekat ke warung itu, pada dindingnya yang bercampur kotoran sapi, Chi Shin menyadari tertulis di sana coretan-coretan yang berbunyi "lukisan raabuk Ri Haku", entah siapa yang main-main menuliskannya.
"Lukisan yang menarik. Kalau bisa, aku juga ingin mabuk seperti itu," Chi Shin berbicara sendiri sambil memasuki warung.
"Hei, pemilik warung. Aku bukan pendeta dari Gunung Go Dai. Karena itu kau tidak usah khawatir. Beri aku secangkir arak."
"Baik. Baik. Anda datang dari mana?"
"Aku pendeta musafir yang mengelilingi seluruh negeri dan sekarang sedang berada di tengah perjalanan.
Meskipun begitu aku bukan pendeta pengemis. Aku punya uang. Cepat beri aku arak dengan mangkuk besar
Dengan lahap,  Chi  Shin  menenggak arak sampai kerongkongannya      berbunyi.      Segera      saja      dia menghabiskan    belasan    mangkuk.    Selanjutnya    dia berdiri dan pergi menuju dapur yang agak gelap, lalu mengambil sebongkah daging seperti paha kelinci yang sudah dibakar dari atas tungku masak. Tapi pada saat dia akan menggigitnya, si pemilik warung berkata, "Wah, Pendeta. Jangan! Itu tidak cocok untuk Anda." "Kenapa kau melarangku makan ini?" "Itu daging anjing. Jadi bagaimanapun..." "Daging anjing? Ya, tidak mengapa. Meskipun ini daging anjing, kita tidak boleh memandang rendah. Perutku adalah Buddha penolong, jadi mau kera, mau kijang, semuanya akan diperlakukan secara adil. Tidak boleh ada diskriminasi. Wah, ini enak juga."
Dengan bumbu adonan kacang dan bawang putih, daging itu segera saja tinggal tulang. Lalu Chi Shin membuang tulang tadi ke dekat kakinya dan mengambil sepotong paha lagi.
Kalau Cuma makan, tidak enak juga, Hei tolong ambilkan guci itu dan letakkan di sini. Itu arak beras kuning, kan? Hmm! Enak ...enak". Akhirnya, pada saat hari menjelang senja, seperti dewa yang turun dan akan pulang ke awan, Chi Shin berjalan sempoyongan menuju Gunung Go Dai. Di tengah jalan dia hampir bertabrakan dengan sepasang laki-laki dan perempuan. Lalu sambil menatap mereka yang akan melarikan diri, Chi Shin tergelak.
"Tuan Chi Shin mau lewat! Apa kalian tidak tahu ada peribahasa yang berbunyi 'Untuk orang yang sedang mabuk, kaisar pun akan membuka jalan ? Ayo minggir! Minggir!.
Keesokan paginya, di sebelah barat lima puncak Gunung Go Dai masih terlihat sinar bulan temaram, permukaan tanah di bawah pohon-pohon cemara baru akan mulai terlihat jelas.
"Uh, dingin sekali. Eh? Mengapa aku tidur di tempat ini?"
Chi Shin tidak ingat apa yang telah terjadi dan berusaha bangkit. Dia kedinginan karena tertidur di atas lempengan batu. Selain itu, yang dia peluk saat tidur ternyata patung dewa pelindung yang besarnya dua kali lipat tubuhnya. Pasti itu patung dewa pelindung di gerbang Gunung Go Dai.
Ketika menengadah, gerbang gunung yang biasa dilihatnya telah porak-poranda bagaikan habis dilanda angin topan. Patung gerbang yang sebuah lagi juga sudah tidak terlihat berada di tempatnya. Seiring dengan semakin terangnya hari, semakin jelaslah betapa bongkahan tangan serta leher patung dewa pelindung, genteng, pecahan-pecahan dinding batu, dan sebagainya, kini dalam kondisi berantakan. Semua ada mengelilingi tubuh Chi Shin.
Tak lama kemudian, seorang pendeta penjaga datang ke tempat itu dan berteriak, "Hei, Chi Shin! Akhirnya kau bangun juga. Pendeta kepala dan yang lainnya sedang menunggumu. Segera kau pergi ke aula besar!"
Tampaknya kepala Chi Shin belum jernih benar. Dia berjalan sempoyongan. Ketika dilihat, di sana ada Pendeta Kepala Chi Shin beserta jajarannya. Di koridor aula besar berbaris semua pendeta pejabat dengan wajah angker. Begitu melihatnya datang, pendeta pembantu umum bangkit dari duduknya.
"Chi Shin! Dengarlah baik-baik. Kabarnya tadi malam lagi-lagi kau pergi ke kaki gunung dan melanggar larangan minum arak, lalu kau kembali ke gunung dalam keadaan mabuk berat. Tidak hanya itu saja, di gerbang gunung kau melakukan kekerasan dan melukai belasan pendeta penjaga, sampai-sampai kau juga merobohkan patung dewa pelindung yang menjadi pusaka Mon Ju in, menghancurkannya serta mengencinginya sambil bertenak senang. Setelah melakukan perbuatan tersebut, tidur seenaknya di tempat itu sampai pagi ini. Semua merupakan perbuatan di luar batas. Maka, berdasarkan alasan tersebut, mewakili semua pendeta di gunune ini dan setelah meminta pertimbangan Pendeta Kepala, kami memutuskan untuk mengusirmu dari tempat suci ini" katanya menjatuhkan vonis dengan penuh kemarahan. Mulanya Chi Shin mendengarkan seakan kata-kata itu bukan ditujukan kepada dirinya, tetapi begitu menyadari dialah yang dimaksud, dia terperangah, "Apa?
Aku telah melakukan semua itu?"
Mendengarnya, para pengawas kuil, juru tulis, tetua pendeta, pendeta bagian keuangan serentak mencaci-maki.
"Pura-pura tidak tahu! Beraninya kau bersikap seperti itu. Coba kautengok ruang para pendeta di sana, pendeta-pendeta yang cedera karena kakinya kaupatahkan sekarang sedang terbaring mengerang kesakitan!"
"Tidak hanya itu. Ketika pulang menuju gunung, kau menghancurkan dangau yang pemandangannya bagus. Juga ketika melihat anak gadis di sekitar situ, kau mengejar-ngejarnya seperti serigala memburu ayam.
"Kalau disebutkan satu demi satu perbuatanmu, tidak akan ada habisnya. Kau sudah bertindak di luar batas namun berani sekali berpura-pura tidak tahu.
Chi Shin tidak mampu berkata-kata lagi. Lalu ketika dengan lunglai meninggalkan tempat itu, dia dipanggil lagi oleh Pendeta Kepala.
"Lagi-lagi  kau  membuat kekacauan.   Kalau  kau berada di sini, tentunya akan lebih menyusahkan saudara Chou yang telah menanamkan budi kepadamu.
Untuk itu, sebaiknya kautinggalkan tempat ini dengan lapang dada."
Di hadapannya sudah disiapkan penutup kaki dan tutup tangan warna biru, satu setel baju pendeta, sepasang sepatu, dan uang sedekah sebanyak sepuluh ryou.
Chi Shin pun mengalirkan air mata. Lalu seperti kucing dia memohon, "Saya tidak tahu apa yang mesti saya katakan, selain minta maaf. Saya sendiri merasa bahwa saya tidak mampu mengendalikan diri. Meskipun demikian, saya juga tidak berniat menggantung diri. Kehidupan seperti apa yang sebaiknya dijalani oleh saya, Pendeta?"
Pendeta Kepala Chi Shin bersemedi cukup lama seolah mencari ramalan, lalu dia menggumamkan doa sutra, "Akan muncul setelah menemukan hutan, akan kaya setelah menemukan gunung, akan bangkit setelah menemukan air, dan akan berhenti setelah menemukan sungai. Perubahan setelah bertemu dengan keempat unsur tersebut merupakan karma dari takdir yang kaumiliki sejak lahir. Ro Chi Shin! Sekarang kaujalani saja kehidupanmu seperti yang ada saat ini. Pergilah ke manapun kau mau pergi."
Baik, Pendeta. Saya akan mengikuti saran Anda." "Meski begitu, jika tidak punya tempat untuk menenangkan diri sementara ini, tentunya kau akan kesusahan. Kebetulan beberapa waktu lalu adik seperguruanku berada di Kuil negara Dai Sou di Tou Kei, Kaihou, dan masyarakat di sana menyanjung-nyanjungnya sebagai Chi Sei Zen Shi. Bawalah surat ini dan pergilah ke Kuil negara Dai Sou. Cobalah kau memohon kepada Zen Shi."
"Terima kasih untuk segalanya, Pendeta. Kalau begitu, meskipun sebenarnya saya enggan meninggalkan tempat ini, saya mohon pamit."
Ketika Chi Shin menundukkan kepala dengan wajah penuh keseriusan, pendeta-pendeta pejabat yang ada di situ tertawa.
"Enggan bagaimana?" Bagi mereka, tentunya kepergian Chi Shin sangatlah melegakan.
Pada hari itu, dengan wajah lesu Chi Shin turun menuju kota di kaki gunung. Lalu dia tidur di penginapan di sebelah bengkel pandai besi, menunggu selesainya tongkat yang dipesannya. Setengah bulan kemudian tongkat itu selesai dibuat. Tongkat seberat 62 kin dengan tempaan air itu hasilnya cukup bagus.
"Bagus! Dengan tongkat ini, semua yang ada "' bumi ini akan menjadi bawahanku."
Segera saja kemuraman di wajah Chi Shin lenyap berganti keceriaan. Kemudian dia berangkat menuju Kai Hou Tou Kei.


RO CHI SHIN menjadi perantau, berkali-kali tidur di gunung dan berbaring di padang. Mungkin karena takut, tidak seekor pun binatang buas atau burung pemangsa yang mendekati tempatnya tidur mengorok. Dengan sendirinya tempat itu menjadi surga semalam baginya. Tanpa gangguan apa pun.
Bagaimanapun Chi Shin sama sekali tidak memiliki bekal makanan, uang pun tidak ada dalam kantong P'nggangnya. Jadi, penyerang jenis apa pun tidak akan wsa mengambil apa-apa darinya. Malam itu, dengan Perut berkeruyuk, akhirnya dia tiba di sebuah desa di pegunungan.
"Banyak sekali pohon plum di tempat ini. Tentunya sekarang bunga-bunganya sedang bermekaran. Sebaiknya malam ini aku tidur di hutan plum itu saja. Anggap saja aku berada di dunia impian."
Tiba-tiba muncul seorang lelaki tua berpenampilan seperti bangau. Dia muncul dari hutan yang hendak dituju Chi Shin.
"Selamat siang, pendeta musafir. Maaf, di tempat kami sekarang sedang ada kesibukan. Lagi pula saya khawatir Anda mendapat cedera tanpa sengaja, jadi sebaiknya Anda pergi ke tempat lain saja."
"Anda siapa?"
"Saya kepala keluarga Ryu, keluarga tua di desa bunga plum ini." Wajah tua berwarna tanah liat itu mendadak berkedut seolah hendak menangis.
"Ada apa?"
Ketika ditanya seperti itu, si tua Ryu betul-betul menangis terisak-isak. "Sebenarnya..." Dia menjelaskan malam itu adalah malam pernikahan anak gadis kesayangannya.
"Apa? Pernikahan anak gadis yang hanya satu-satunya?"
Karena penasaran, Chi Shin terus mengorek informasi dari lelaki tua itu. Menurut si lelaki tua, di Gunung Tou Ka yang adalah daerah pedalaman tempat itu, tinggal sekelompok perampok yang sudah menyusahkan tentara kabupaten di Provinsi Sei tersebut.
Lalu yang akan menjadi calon suami anak gadisnya adalah Shu Tsu yang dianggap adik oleh sang pemimpin perampok. Dengan demikian, tentu saja pernikahan itu bukanlah keinginan pihak si lelaki tua.
"Pada saat bunga plum bermekaran, kami akan datang bersama sang calon pengantin laki-laki. Tentu saja dengan mengirim utusan dari gunung sebelum kedatangan. Di malam calon pengantin laki-laki datang, sebaiknya calon pengantin perempuan sudah membersihkan diri. Lalu arak dan makanan juga harus dipersiapkan supaya pernikahan ramai," demikian pesan Shu Tsu. Apabila keinginan mereka ditentang, dalam semalam Desa Tou Ka akan dibakar hangus sampai rata dan semua penduduknya akan dibantai sampai habis. Si lelaki tua gemetaran membayangkan semua itu.
"Di zaman ini masih ada orang yang menggunakan cara lama. Baiklah. Jadi perampok dari Gunung Tou Ka itu akan datang mengantar calon pengantin laki-laki di tengah malam? Bapak Ryu, Anda tidak usah khawatir lagi."
"Meskipun Pendeta berkata seperti itu..."
"Sebenarnya saya Ro mantan polisi militer di I Sui. Saya sudah terbiasa menangani hal-hal seperti mi. Sebaiknya antarlah saya ke kamar anak gadis Bapak."
"Sejak kemarin putri saya terus menangis, tidak mungkin dia mau bertemu siapa pun."
"Tidak mengapa. Yang penting sekarang, cepat sembunyikan anak gadis Anda di suatu tempat. Saya akan menggantikan gadis itu tidur di ranjang dengan kelambu terjuntai. Nanti saat Shu Tsu datang, buatlah seolah-olah memang sedang diadakan pesta besar, lalu kelabui dia supaya minum arak sebanyak-banyaknya dan bawa ke kamar. Tapi saya pastinya akan bosan menunggu di kamar anak Anda sendirian, jadi jangan lupa pula membawa arak ke kamar."
Si rua Ryu lebih merasa takut daripada bimbang. Tetapi, karena semakin banyak keluarga berdatangan, akhirnya dia bersedia mencoba rencana Chi Shin. Seperti peribahasa tiada rotan akar pun jadi, maka dia mulai menggantungkan diri pada taktik Chi Shin.
Malam itu Chi Shin bersembunyi di kamar pengantin perempuan dan membiarkan kelambu di ranjang dalam keadaan terjuntai. Dia sendiri berbaring di tempat tidur. Lalu tentu saja, karena disediakan arak dan makanan untuknya, dia pun makan sepuasnya dan tertidur.
Kadang-kadang dia terjaga. Dia tidak tahu pukul berapa itu. Di depan, mungkin rombongan pengantin laki-laki sudah tiba, terdengar bunyi tambur dan gendang. Terdengar pula ramainya nyanyian desa penyambutan pengantin laki-laki.
"Tampaknya upacara selamatan akan segera dimulai."
Sampai di situ dia masih sadar, tetapi tak lama kemudian dia tertidur lagi. Malam semakin larut dan ketika bayangan seperti raja setan mendekat dari luar kamar dengan dipandu cahaya lilin, dia sama sekali tidak menyadarinya.
Lalu, tampaknya si tua Ryu, dengan suara lirih berkata, "Menantuku, aku mengantar sampai sini saja. Aku mohon pamit."
Bersama dengan itu, si tua Ryu cepat-cepat berlalu. Setelah memastikan langkah kaki lelaki tua itu sudah menjauh, Shu Tsu si perampok, perlahan-lahan masuk ke kamar.
"Gelap sekali. Oh, gadis itu malu rupanya."
Sambil berbicara sendiri, dengan meraba-raba, Shu Tsu mendekati tempat tidur pengantin perempuan. Lalu kembali lagi dia bergumam, "Wah, di sini bau araknya menyengat sekali. Rupanya di kamar pengantin perempuan mungkin juga ada kebiasaan minum-minum arak. Hei, gadis—bukan—istriku. Kau tidak usah malu-malu seperti itu."
Tetapi sebenarnya tidak sesuai dengan profesinya, Shu Tsu sendiri yang agak gugup. Dengan malu-malu dia menerobos masuk ke tempat tidur, lalu mengulurkan tangan ke bagian dalam pakaian pengantin perempuan. Pada saat itu teraba olehnya sesuatu yang kasar. Rasanya seperti pusar, tapi ada bulunya.
"Wah! Mereka mengganti pengantin perempuannya!"
Ketika Shu Tsu terjatuh karena terkejut dari tempat tidur dengan suara berdebum keras, barulah Chi Shin terjaga. Dia cepat-cepat bangkit, dan dengan tetap roemakai gaun pengantin perempuan dia berseru, "Suamiku, tunggu. Tega benar kau kabur meninggalkan diriku," katanya sambil mengejar ke arah hutan pohon plum yang ada di belakang.
Begitu melepaskan kudanya yang terikat di pohon lilt, dan dengan menjadikan ranting pohon liu itu sebagai cambuk, Shu Tsu melarikan diri. Chi Shin melompat menaiki kuda anak buah Shu Tsu dan mengejarnya. Ha] itu tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah keributan di keluarga Ryu setelahnya.
Ketika para anak buah perampok yang tertinggal di situ menyadari adanya keanehan, segera saja mereka mengikat si tua Ryu dan menyeretnya pergi. Pagi berikutnya, mereka tiba di sarang mereka di Gunung TouKa.
Tetapi, apa yang terjadi? Di sana yang tampak malah kepala perampok bersama Ro Chi Shin tertawa-tawa dengan akrab sambil minum arak. Sedangkan si pengantin laki-laki—yaitu Shu Tsu yang adalah adik angkat kepala perampok, berada di samping mereka dengan wajah yang kelihatan lemas dan lesu.
"Pak tua Ryu. Kasihan sekali Anda ditangkap. Hei, pengantin laki-laki, cepat buka ikatannya!"
Sambil tertawa terbahak-bahak, Ro Chi Shin menceritakan segalanya dengan terperinci.
Malam tadi ketika mengejar si pengantin laki-laki sampai ke gerbang persembunyian perampok, yang muncul untuk membantu adik angkatnya itu ternyata si penjual obat oles di kota I Sui—Ri Chu si Jenderal Penggebuk Harimau.
"Mereka memang orang-orang tolol, menjadi perampok di tempat seperti ini segala. Padahal menjadi penjual obat oles bakal jauh lebih menguntungkan."
Ro Chi Shin menasihati mereka.
Masalahnya bagi Ri Chu, si Jenderal Penggebuk Harimau, dan laki-laki yang bernama Shu Tsu yang menjadi adik angkatnya, kehidupan seperti ini cocok dengan sifat bawaan mereka. Meski begitu, di hadapan Chi Shin mereka tidak banyak tingkah, mereka menjadi penurut sekali.
"Ya. Untuk ke depan, kami tidak akan mengganggu anak gadis Bapak Ryu lagi."
Dia berjanji seperti itu, namun kelihatannya tidak sungguh-sungguh.
Ketika Chi Shin tertawa, Ri Chu merasa sedikit mendapat angin dan berkata, "Chi Shin, aku pergi merantau setelah menjual tanah di I Sui, dan ini sebenarnya gara-gara dirimu. Karena kau membunuh Tei, orang yang berpengaruh di Kan Sei Go Ro, maka kami juga menjadi incaran polisi. Mereka mulai menangkapi orang-orang kami serta memasukkan mereka ke sel penjara. Tidak hanya aku, Shi Shin juga meninggalkan I Sui, dan menghilang entah ke mana."
"Oh, begitu. Memang kalau dipikir-pikir, aku hams bertanggung jawab. Tapi sebaiknya kalian menghendkan pekerjaan-pekerjaan kuno yang remeh, seperti mengancam rakyat jelata atau menculik gadis kampung. Kalau mau, sebaiknya lakukan pekerjaan yang jauh lebih besar dan lebih terhormat sebagai laki-laki. Raihlah cita-cita yang tinggi."
Tampaknya Chi Shin berpikir tidak baik untuk berlama-lama di tempat itu. Dia pun meminta mereka berdua untuk berjanji tidak akan melakukan balas dendam kepada keluarga Ryu dan Desa Tou Ka. Kemudian setelah melihat mereka mematahkan anak panah dan bersumpah, dia menyuruh si tua Ryu pulang ke desanya. Dia sendiri berlalu tanpa tujuan.
Chi Shin melanjutkan lagi perjalanan yang sudah dimulainya berkali-kali dengan tujuan Tou Kei. Tanpa disadarinya, dia tiba di kuil yang sangat aneh dan sudah bobrok. Dia mampir di kuil tersebut dengan niat menginap semalam di sana, menghindari hujan serta embun yang dingin. Di sinilah dia melihat sosok manusia yang tidak mungkin ada di dunia.
"Pada zaman kuil ini didirikan, tentunya ada utusan kaisar, ada sekumpulan pendeta, asap dupa mengepul, kain sutra yang melilit, dan sebagainya. Tentunya dulu kuil ini sangat megah. Tetapi sekarang bisa sebobrok ini."
Chi Shin melangkah ke halaman Kuil Ga Kan dan terperangah melihat pemandangan yang begitu menyedihkan.
Pagoda tempat genta dan cucuran kuil berada daJam keadaan hampir roboh. Kuil utama pun sekarang tampaknya sudah menjadi sarang burung gereja. Ketika melongok ke dalam, patung Dewi Kan On sudah diselimuti rumput jalar dan pada atap menganga lubang besar. Jejak kaki yang ada di dalam semuanya adalah tapak kaki rubah atau cerpelai, di sana-sini terlihat pula kotoran burung dan binatang lainnya. Betul-betul seperti berada di dunia lain.
"Oi! Apakah tak ada seorang pun manusia di sini? Apa tidak ada yang tinggal di sini?"
Tiba-tiba dari ruang belakang muncul seorang pendeta yang tinggal kulit dan tulang. Pendeta itu berkata, "Kau pendeta musafir? Di sini tidak ada makanan untuk orang yang menginap. Sebaiknya cepat pergi dari sini."
"Tidak ada makanan? Kalau begitu, asap apa yang mengepul di belakang itu? Lagi pula makanan yang kalian makan juga sedekah dari orang-orang desa, bukan? Aku lapar sekali. Aku juga ingin dapat bagian."
"Sama sekali tidak mungkin. Kami sudah sangat kekurangan. Kalau kau mengeluarkan suara keras seperti itu, kulit di tubuh pendeta kepala pun dapat terlepas. Cepat pergi dari sini!"
"Apa Pendeta mengusirku karena keinginan sendiri atau karena merasa tidak enak pada seseorang?"
"Ada pendeta jahat bernama Sai Dou Sei dan pengelana kejam bernama Kyu Shou Ichi yang menguasai daerah ini, dan mereka telah menguasai Kuil kami. Kami di sini harus dapat hidup dengan hanya menyeruput kuah bubur."
"Hmm. Sai dan Kyu. Apa kalian takut pada orang-orang seperti itu? Coba ceritakan lebih terperinci. Namun, sebagai imbalannya, beri aku semangkuk bubur gandum itu."
Ketika pergi ke bagian dapur, Chi Shin melihat pendeta-pendeta yang sudah seperti kerangka sedang makan bubur dengan lahap mengelilingi tungku hitam berbara merah yang seperti tempat pembakaran mayat.
Karena Chi Shin mengulurkan tangan ke panci di atas tungku itu, mereka mundur ke belakang. Lalu ketika Chi Shin menyeruput bubur di mangkuk ketiga, mereka mernerhatikannya dengan iri lalu mengalirkan air mata. Meskipun Chi Shin berperangai buruk, jika melihat hal seperti ini, makanan pun tak mungkin bisa lewat di tenggorokannya. Maka, meskipun masih lapar, dengan perasaan tidak enak, Chi Shin menyisihkan mangkuk gompal yang dia pegang.
Pada saat itu dari luar tiba-tiba terdengar nyanyian kampung, tetapi dinyanyikan dengan suara yang cukup bagus. Chi Shin melihat seorang pemuda berpenampilan pendeta musafir sedang lewat dengan memikul sesuatu. Di dalam pikulan itu terlihat daging sapi berwarna merah yang dibungkus daun teratai, arak, sayuran, dan lain-lain. Melihat itu, mata Chi Shin berbinar-binar.
"Diakah? Orang yang bersarang di Kuil ini, yang tidak memberi makanan kepada kalian?"
"Benar. Dia Kyu Shou Ichi yang dijuluki iblis terbang."
"Jadi masih ada seorang lagi, si pendeta jahat yang disebut Sai Dou Sei. Baiklah. Daging sapi yang baru kulihat tadi, akan aku rebut."
"Jangan! Jangan melakukan yang tidak-tidak. Nyawamu dapat melayang. Tidak hanya itu, mungkin kami juga bakal ikut menderita akibatnya."
"Mengapa kalian gemetar begitu? Pokoknya perhatikan saja. Malam ini kalian akan kuberi daging sekerat-sekerat sebagai sedekah."
Bagaikan macan kumbang, Chi Shin melompat ke luar. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat mengilat yang baru dibuat dan masih mengeluarkan bau besi.
Ketika tiba di halaman yang dulunya mungkin pekarangan Kuil, si pendeta musafir yang tidak menyadari keberadaan Chi Shin menurunkan pikulannya, lalu mengobrol dan tertawa-tawa dengan dua orang yang menunggunya. Ketika dilihat lebih jelas, ternyata di bawah pohon pagoda yang besar, Pendeta Sai sedang duduk menghadap meja sambil mencumbu seorang perempuan muda.
Tampaknya mereka berniat minum-minum sambil mengapit perempuan itu. Mereka mulai menjajarkan wadah keramik dan mangkuk arak di meja. Pada saat itu, Ro Chi Shin mendekat ke arah mereka.
"Siapa kau? Dapat izin dari siapa kau datang ke sini?"
"Apa tidak boleh datang ke sini? Tunggu dulu. Perempuan itu. Kau ini tentunya istri orang atau gadis yang diculik ke sini. Di sini berbahaya. Cepat minggir." "Apa? Bahaya?"
Seorang begundal bisa mengenali sesama begundal. Begitu Sai bangkit, dari tangannya sebilah pedang menyambar beberapa senti di depan dada Chi Shin bagaikan air mancur. Namun Chi Shin tidak perlu menghindar. Tongkat di tangan Chi Shin mendesing ke arah Kyu Sho Ichi yang berada di samping Sai. Kyu mundur, dan dengan cepat, dia juga mencabut pedangnya. Semangat serta sorot liar mata keduanya tidak kalah dengan Chi Shin.
Tetapi Chi Shin adalah orang yang tidak kenal takut. Selain itu dari dulu dia belum pernah mengalami kekalahan. "Uuuuoooo!" Sudah lama Chi Shin tidak berteriak seperti itu. Lalu dia memasang kuda-kuda seolah-olah mengundang lawan agar menyerang. Mereka mengapit dirinya. Ujung pedang mereka menyusur tanah sedikit demi sedikit mendekatinya. Seakan-akan memiliki mata, sekecil apa pun gerakan Chi Shin, kedua ujung pedang itu terus mengikutinya.
Chi Shin mulai sedikit berkeringat. Apa karena perutku lapar? pikirnya. Tampaknya bukan juga. Aura kedua pedang itu seolah-olah mengeluarkan sejenis mantra yang mengikat. Akhirnya Chi Shin mulai wawas diri. Astaga. Repot juga. Sudah lama aku tidak bertemu orang-orang lihai seperti ini, pikirnya.
Setiap kali Chi Shin menggerakkan tongkat untuk memecah kebekuan, Kyu Shou Ichi melompat ke udara dan mengarahkan pedang bulan sabitnya ke kepala Chi Shin, sementara Sai Dou Sei merunduk rendah menyabetkan pedang menyusur tanah mengincar kakinya. Satu di atas, satu di bawah, teriakan-teriakan terus silih berganti, namun kedua belah pihak belum meneteskan setitik darah pun. Hanya kelebatan bayangan-bayangan hitam yang terus berputar bagaikan angin puting beliung. Kemudian ketiga sosok itu terdiam kembali, saling menatap tajam.
Akhirnya, yang pertama-tama merasa lelah adalah Ro Chi Shin. Kenyataannya, perutnya kosong dan lawannya orang-orang kuat yang beium pernah dia hadapi. Sedikit demi sedikit dia mulai terdesak. Tak lama kemudian tampaknya dia menyadari batas kemampuannya. Karena itu dia segera berbalik dan melarikan diri. Karena tubuhnya sangat besar, maka pada saat melarikan diri dia terlihat lucu. Bagaikan bola api yang terus berputar, dia meloncati gerbang, berlari melesat di jalan, menyeberangi jembatan batu. Ketika dia mengambil napas sejenak dan menengok ke belakang, mungkin karena di situ sudah memasuki batas wilayah, Sai dan Kyu yang mengejarnya sedang bersandar di langkan jembatan batu, beristirahat dengan santai seolah-olah berkata, "Hei, Pendeta. Kalau sudah istirahat, serang lagi kami."
Dari balikpersembunyiannya, Chi Shin memerhatikan mereka.
"Memang dunia ini luas sekali. Jika ada manusia semacam mereka, aku pun harus wawas diri. Aku sungguh penasaran, namun untuk kali ini biarlah aku mengalah. Kalau menyerang mereka lagi, kematianku akan sia-sia. Tapi tunggu dulu. Wah, sial!"
Chi Shin sadar kantong pendeta yang sangat penting sudah tidak ada lagi di lehernya. Mungkin jatuh, pikirnya panik. Tetapi setelah dipildr-pikir, dia ingat kalung itu ketumpahan buburselagi makan di dapur Kuil, sehingga dia melepasnya dulu.
"Ini gawat. Di dalam kantong itu ada surat dari Pendeta Kepala Chi Shin yang ditujukan kepada Chi Sei Zen Shi, pengurus Kuil negara. Jika kembali untuk mengambilnya, aku pasti tertangkap mereka di jembatan batu itu. Tapi kalau tidak membawa surat itu, tidak ada gunanya lagi aku pergi ke Tou Kei."
Apakah tidak ada jalan lain untuk kembali ke sana tanpa melewati jembatan? pikirnya. Lalu terlihat olehnya jalan yang menurun ke arah sungai. Chi Shin menuruni jalan itu dan ketika mendaki lagi, dia muncul di sebelah utara Kuil Ga Kan. Di sekelilingnya terdapat hutan cemara merah. Ke arah mana pun dia memandang, hanya ada cemara merah. Tapi tak lama kemudian, dia tiba di tempac yang seperti hutan kematian. Mungkin ini bekas kebakaran, pikirnya. Sebatas mata memandang tidak ada setitik pun warna hijau, yang ada hanya pohon-pohon yang sudah ranggas.
Pada saat itu, mungkin karena mendengar langkah kakinya, dari balik batu sekitar sana mendadak muncul sosok berpakaian serbaputih memandang ke arahnya. Seperti orang yang sudah akrab, dia mendekati Chi Shin. Namun, begitu melihat Chi Shin dengan jelas, sosok putih itu berdecak. "Huh! Cuma pendeta kotor." Lalu tanpa menoleh lagi dia berlalu di antara pohon-pohon ranggas. Chi Shin tidak senang mendengar orang itu mengeluarkan suara seakan meludah. Dia melompat mengejarnya dengan tongkat melintang di tangan.
"Hei tunggu! Mengapa kau barusan tertawa mengejekku?"
"Aku tidak tertawa. Cuma mengatakan 'pendeta kotor'."
"Di sini tidak ada manusia lain. Artinya kata-katamu itu ditujukan pada diriku."
"Silakan berpikir sesukamu. Mungkin dugaanmu tepat. Karena akhir-akhir ini, aku belum pernah lagi melihat pendeta sejati di dunia ini."
Kata-kata lelaki itu sangat lugas, penampilannya pun anggun. Pakaian putihnya seperti pakaian musafir. Mungkin dia salah seorang teman Kyu Shou Ichi.
Matahari hampir tenggelam. Lelaki itu tampaknya tergesa-gesa menuju puing-puing bekas kuil di sebelah sana. Sambil tertawa sinis sekali lagi, dia mulai berjalan. Memanfaatkan kelengahannya, Chi Shin mendadak berteriak keras "Hyaaa!" Dia menduga lelaki yang diserangnya itu akan langsung merunduk. Tapi lelaki itu hanya melompat ke samping dan dengan tenang menggenggam gagang pedang di pinggangnya.
"Pendeta, jangan salah lihat. Aku bukan dewa kematian. Tidak ada gunanya aku meminta nyawamu."
"Kau congkak sekali."
Kali ini lawan tidak lagi menunggu ayunan tongkat. Dengan secepat kilat dia mengayunkan pedang. Jika Chi Shin tidak mengayunkan tongkat melintang untuk melindungi diri, mungkin kepalanya sudah terbelah dua seperti semangka. Chi Shin melompat ke belakang memegang tongkatnya erat-erat.
Kemudian, dari pandangan yang menerobos kegelapan senja serta melalui kilatan mata pedang yang terdiam, terdengar suara yang tenang.
"Hei! Tunggu. Tunggu dulu!"
"Kau mulai takut, musafir?"
"Tidak. Sejak tadi aku memikirkan sesuatu. Kalau ridak salah kau Polisi Militer Ro, bukan?"
"Apa? Sebenarnya siapa kau yang tahu masa laluku?"
"Astaga! Hampir saja..."
Si musafir segera memasukkan pedang ke sarungnya, lalu datang mendekati Chi Shin.
"Aku Shi Shin, si Naga Sembilan yang berpisah denganmu di I Sui. Memang penampilanku seperti ini, tetapi perubahanmu itu betul-betul luar biasa. Bahkan sekalipun kita bertabrakan, aku tidak akan mengenalimu. Dari seorang polisi militer menjadi pendeta, betul-betul perubahan yang luar biasa."

Pesta Arak Dibawah Pohon Liu
"INI kebetulan yang luar biasa. Kapan manusia berpisah dan bertemu lagi, tidak pernah bisa kita ketahui," kata Ro Chi Shin. Shi Shin si Naga Sembilan pun merasa pertemuan ini ikatan takdir yang tidak akan putus. Kemudian sambil berjalan berdampingan mereka kembali ke Kuil Ga Kan. Di perjalanan, Chi Shin bercerita kepada temannya mengapa dia mendadak menjadi pendeta. Si Naga Sembilan pun berkisah bahwa setelah meninggalkan I Sui, dia berkeliaran di En An dan Hoku Kei, dan betapa sampai saat ini dia belum bertemu gurunya, Ou Shin. Akhirnya untuk sementara, dia melewatkan hari-harinya di reruntuhan Kuil yang terletak di hutan meranggas ini.
"Tampaknya nasib kita mirip, banyak mengalami kemelut hidup. Aku berniat pergi ke kuil besar negara di Tou Kei. Shi Shin, bagaimana denganmu?"
"Aku berada di tempat ini sekarang, berpura-pura menjadi musafir juga hanya untuk melewatkan hari-hari. Untuk sementara ini, aku tidak memiliki tujuan ke mana pun, tapi kudengar kabar Shu Bu berada di Gunung Shou Ka, maka aku berencana pergi ke Sana untuk mengunjunginya."
"Itu juga mungkin ide bagus. Karena bagaimanapun, dalam kondisi masyarakat yang membusuk seperti sekarang ini, kita yang sama-sama tidak seperti otang kebanyakan, takkan dapat menjadi orang saleh. Aku kira kita akan kesulitan tinggal bersama mereka. Hei, hei, tunggu dulu. Mereka masih ada di sana."
"Ada apa, Pendeta?"
"Mereka itu, yang bersandar di langkan jembatan itu. Pendeta Sai dan si musafir Kyu Shou Ichi yang tadi membuatku kerepotan. Mereka masih berkeras mengawasiku."
Si Naga Sembilan tertawa. "Rupanya penjahat-penjahat yang tinggal di Kuil Ga Kan. Pendeta, kali ini kau tidak perlu takut. Sekarang sudah ada penolong yang bernama si Naga Sembilan."
Ketika Shi Shin berkata seperti itu, di atas jembatan di sebelah sana, Musafir Kyu dan Pendeta Sai sudah melihat mereka. Dari kejauhan, terlihat mata besar mereka bersinar-sinar tajam menunjukkan sikap akan menyerang.
Tetapi kali ini keadaannya berbeda dengan jika menghadapi Chi Shin sendiri. Sungguh malang nasib mereka berdua. Meskipun mereka sendiri yang datang menantang, akhirnya nyawa mereka melayang begitu saja di bawah pedang si Naga Sembilan dan tongkat Chi Shin.
"Karena sudah membereskan mereka, aku harus segera kembali ke dapur kuil untuk mengambil kantong pentingku yang terlupakan. Shi Shin, kau tunggu di sini."
"Tidak. Aku juga ikut."
Ketika tiba di dapur, beruntung sekali kantong itu masih ada di sana. Tetapi pendeta tua dan rekan-rekannya yang selama ini menjalani kehidupan melarat, serta perempuan yang tidak diketahui asal-usulnya tadi, semuanya sudah mad dalam keadaan tergantung di palang kuil. Mungkin mereka tahu Chi Shin mengalami kekalahan dan dikejar-kejar Sai dan Kyu. Mereka pun takut akan apa yang bakal mereka hadapi nanti. Mungkin juga mereka merasa putus asa dengan kehidupan yang mereka jalani saat itu, lalu memilih kematian.
"Astaga mereka semua... Betapa menyedihkan. Tapi roh-roh yang melayang-layang di sini, tolong jangan salah sangka, ini bukan gara-gara diriku."
Tidak seperti biasanya, Chi Shin menangkupkan kedua telapak tangan lalu membaca doa sutra yang sedikit dihafalnya. Melihat itu, si Naga Sembilan yang berdiri di sebelahnya berkata, "Kuil ini tidak menunjukkan fungsinya sebagai kuil, malah menjadi sarang penjahat. Maka beginilah jadinya. Untuk itu, demi masa depan, sebaiknya sekalian saja kita bakar kuil ini."
"Benar. Kita akhiri semuanya, kita doakan arwah-arwah yang ada di sini, lalu kita turun dari gunung."
Pada tungku yang beberapa saat lalu menyediakan bubur bagi orang-orang itu, masih tersisa bara kecil yang menyala seperti api roh. Chi Shin mengambil kayu bakar yang masih menyala lalu membakar dapur. Selanjutnya kedua orang itu dengan cepat menurum jalan menuju kaki gunung.
"Pendeta, kaulihat vvarna merah di atas gunung itu?"
Chi Shin menoleh. Di langit terlihat kobaran serta percikan-percikan bunga api yang indah. Pada awal zaman Dinasti Sou, Kuil Ga Kan yang terkenal itu masih bersinai dipenuhi orang-orang yang berziarah, dengan aroma dupa yang semerbak serta genta yang berbunyi nyaring. Namun sekarang, setelah waktu berlalu seratus tahun lebih, seiring dengan membusuknya pemerintahan, sinar Buddha pun sirna dalam sekejap. Kini di hari akhirnya, tanpa rasa sesal, kuil itu menyinari kegelapan dunia dengan cahaya apinya.
Selama dua hari Chi Shin dan si Naga Sembilan melakukan perjalanan bersama. Akhirnya ketika tiba ke persimpangan jalan menuju Ka Shu dan Kai Hou, mereka berpisah setelah berjanji akan bertemu lagi.
Tidak sampai satu hari kemudian Chi Shin tiba di Kai Ho Tou Kei, yang merupakan ibukota pada saat itu. Tanpa menunda waktu lagi, dia mengunjungi pendeta negara Chi Sei Zen Shi di Kuil Dai Sou Koku.
"Saya Chi Shin salah seorang murid di Gunung Go Dai. Saya disuruh pendeta gunung Go Dai untuk lebih menempa diri di bawah bimbingan pendeta di sini. Untuk itu saya dititipi surat untuk Pendeta. Saya mohon surat ini disampaikan kepada beliau."
Chi Shin mengeluarkan surat dari Pendeta Kepala Chi Shin dan menyerahkannya pada pendeta pejabat, lalu duduk di sebuah ruangan, menunggu berita.
"Bisa-bisanya Pendeta Kepala Chi Shin di Gunung Go Dai mengirim orang 'hebat' seperti dia ke kuil ini." Setelah membaca riwayat Chi Shin dalam surat itu, pendeta negara Chi Sei menunjukkan wajah agak suram. Meski begitu, mungkin karena dia pendeta Zen, dia merasa agak tertarik.
Di kalangan pendeta, memang banyak yang memiliki riwayat aneh, tetapi yang seperti Chi Shin memang sangat langka. Mantan polisi militer di Provinsi I, memiliki rasa kebenaran, tetapi suka berkelahi dan gemar arak. Lelaki yang menjadi pendeta karena pernah melakukan kejahatan, yaitu membunuh orang.
"Tentunya pendeta-pendeta di Gunung Go Dai sudah putus asa menanganinya. Pendeta Kepala Chi Shin adalah temanku sejak dulu. Jadi kalau aku tidak bersedia menerimanya, temunya dia akan menertawaiku, pendeta Zen yang penakut, begitu pasti katanya. Nah, sekarang apa yang harus kuperbuat?"
Semua pendeta pejabat dikumpulkan dan rapat dilangsungkan.
"Tamu kali ini sama sekali tidak kelihatan seperti pendeta. Penampilannya sangat sangar."
"Begitu melihat wajahnya, kita tahu dia bukan orang baik-baik. Ada sesuatu yang menakutkan pada dirinya. Saat menyambut kedatangannya tadi, dia sama sekali tidak tahu tata cara kependetaan Zen. Tidak hanya itu, dia juga canggung menggunakan alat-alat pedupaan, alat duduk, dan tidak tahu cara berpakaian."
"Kurasa akan lebih bijaksana untuk kuil ini jika kita menolaknya secara baik-baik."
Semua pendeta pejabat mengeluarkan pendapat yang sama. Tak ada seorang pun bersedia menerima Chi Shin dengan senang had. Karenanya Pendeta Chi Sei merasa gundah. Tetapi kemudian pendeta bagian umum mengemukakan gagasan bagus.
"Gunting pun akan bermanfaat di tangan otang bodoh apabila tahu cara menggunakannya. Orang semacam dia juga, kalau kita tempatkan di bagian pengurusan ladang sayuran, munglcin saja cocok."
"Benar juga. Kalau dia dijadikan pengawas di ladang sayuran, mungkin akan berguna."
"Ladang sayur di luar gerbang San Sou sangat luas. Para tentara dari tangsi di dekat sana sering mencuri sayuran kita. Selain itu, yang paling menyulitkan kita adalah berandalan-berandalan di luar gerbang kuil. Sepanjang tahun mereka banyak mencuri ketimun dan lobak, juga memakan kuda dan sapi pengolah lahan pertanian. Penjaga dan para pendeta tidak bisa melakukan apa-apa. Orang-orang itu sangat kejam."
"Itu gagasan bagus. Bagaimana menurut Pendeta? Sebagai percobaan kita tempatkan Ro Chi Shin sebagai pengawas di ladang."
"Jika semua setuju, tidak ada masalah." Berdasarkan rembukan seluruh pendeta pejabat, maka keputusan itu diberitakan kepada Chi Shin melalui pendeta tetua. Wajah Chi Shin agak memberengut. Tampaknya dia berharap bisa menjadi pejabat meskipun untuk jabatan paling rendah sekalipun, seperti kepala pendeta musafir atau kepaia pemandian.
"Jangan kecewa. Nanti jika hasil penempaan dirimu bagus, kau bisa menjadi kepala upacara minum teh, kepala pengurus aula, kepala gudang, pengawas kuil, dan sebagainya. Tetapi untuk saat ini, cobalah menjadi pengawas ladang."
Sambil terus dihibur, meskipun enggan akhirnya Chi Shin bersedia ditempatkan di ladang yang berada di luar gerbang San Sou. Istilah "kantor pengurus ladang" atau "ruang pengawas ladang" memang kedengaran hebat, namun begitu tiba di sana, yang dimaksud hanyalah dangau besar untuk penjaga kebun.
"Menyebalkan! Baiklah. Kalau sudah menempatkanku sebagai orang-orangan pengusir burung, jangan harap orang lain bisa campur tangan dengan tindak-tandukku di sini. Aku akan hidup senang." Demikianlah sifat liarnya mulai muncul lagi. Pendeta Chi Shin telah mengangkat diri sendiri sebagai tuan tanah di sana.
Beberapa hari kemudian, di lingkungan berandalan kota terjadi perubahan besar. Orang yang masuk untuk mencuri sayuran di ladang kembali dari sana dan bercerita.
"Ketika aku pergi ke sana, ternyata penjaganya sudah diganti. Kali ini seorang pendeta menakutkan dengan wajah seperti ubi bertanduk delapan. Selain itu, di depan dinding gerbang dia memasang pengumuman yang sulit dimengerti."
"Diganti? Seperti apa dia? Mari kita lihat wajahnya. Apa pula isi pengumuman itu?"
Berandal-berandal itu berdiri mengelilingi tonggak pengumuman. Dalam pengumuman itu tertulis kata-kata seperti berikut:
Mulai sekarang kami menugaskan Pendeta Chi Shin untuk mengurus ladang. Seluruh aturan yang berkaitan dengan petani dan pemasukan sayuran ke dapur kuil diserakkan kepada yang bersangkutan.
Orang yang tidak berkepentingan dilarang masuk.
Apabila melanggar aturan tersebut di atas, pelaku dipastikan akan mendapat hukuman
Bagian Umum Kuil Negara Dai Sou
"Apa ini? Cuma kata-kata kosong. Mari kita lihat dulu seperti apa Pendeta Chi Shin itu. Apakah dia ada di pos jaganya?"
"Ada. Sedang apa dia? Perutnya terbuka sampai terlihat pusarnya. Wajahnya melongo seperti pura-pura tidak tahu apa-apa."
"Pasti dia takut kepada kita. Karena kita ramai-ramai menghampirinya, dia pura-pura tidak melihat."
"Tapi kalau tidak menggertaknya lebih dulu, dia bisa menganggap enteng kita. Bagaimana kalau kita memakai cara yang biasa kita lakukan setiap kali pergantian penjaga?"
"Mandi di kubangan kotoran? Ya, kalau kira pakai cara itu, siapa pun takkan banyak omong lagi. Baiklah, kita coba. Kalian semua siap-siap."
Ketika begundal-begundal itu mendekat, Chi Shin bersikap seolah-olah tidak tahu. Dia menguap lebar-lebar, menuruni tangga dangau, dan berjalan santai ke arah ladang.
"Selamat siang. Bukankah Anda pendeta penjaga baru?"
Ri Shi si Ular Sawah dan Chou San si Tikus Tanah mengangguk-angguk di depan Chi Shin, setelah menyuruh tiga puluh rekan mereka bersembunyi di belakang rumpun semak. Lalu, untuk menunjukkan ketangguhan, mereka coba-coba memperkenalkan diri.
"Kami warga sederhana yang tinggal di dekat sini. Setelah melihat papan pengumuman, kami menyadari pendeta penjaga di sini sudah diganti. Karena itu, kami datang untuk memperkenalkan diri. Mulai saat ini, kami mohon kerja sama dan persahabatan dari Anda."
"Mau apa kalian?" kata Chi Shin sambil melotot. "Aku kira kalian barisan pengantar jenazah dari kampung, yang salah mengambil jalan."
"Lucu juga kata-kata pendeta ini. Hei kalian semua, tampaknya pendeta penjaga kali ini bisa diajak bicara. Keluar kalian semua, beri salam kepada pendeta!"
"Tidak perlu, tidak perlu. Aku tidak butuh penghormatan murahan seperti itu. Tapi kalau kalian datang untuk mempcrkcnalkan diri,  tentunya kalian membawa arak."
"Astaga, ini terbalik. Jika mengikuti aturan siapa yang mesti memperkenalkan diri, seharusnya kaulah yang menghadap kami. Jadi jangan bicara seperti orang yang tidak tahu aturan. Hei, Meppa!" Chou berseru kepada salah seorang rekannya. "Pendeta ini ingin minum-minum bersama kita. Sekarang kau cepat pergi ke kota, ke tukang arak dan tukang daging. Katakan untuk pendeta penjaga."
"Baiklah." Lalu dua atau tiga orang bergegas ke kota.
Mereka  menjadikan  keberangkatan   orang-orang itu sebagai isyarat, lalu begundal-begundal itu saling memberi kode dengan gerakan mata dan mengelilingi Chi Shin. Kemudian, sambil mengoceh untuk mengalihkan perhatian, mereka menggiring Chi Shin ke arah kubangan kotoran. Chi Shin tidak menyadari muslihat mereka dan tidak tahu bahwa di belakang tempatnya berdiri ada kolam kotoran. Jika dilihat sekilas, takkan ada yang tahu bahwa itu kubangan kotoran karena di atasnya dipenuhi lalat bertumpuk-tumpuk seperti kedelai hitam yang dihamparkan tebal-tebal. Warna kotoran pun tidak terlihat serta baunya tidak tercium. Sejenak Chi Shin bisa melupakan kebosanannya karena sikap manis serta perbincangan mereka, sehingga dia merasa gembira.
Tiba-tiba salah seorang begundal berkata, "Wah, di kaki Pendeta ada lalat pengisap darah yang sangat besar!" Lalu dia merunduk ke arah kaki Chi Shin berpura-pura akan memukul lalat itu, padahal dia berniat mengangkat kaki Chi Shin. Kalau kaki Chi Shin terangkat, pasti dia akan jatuh ke kubangan. Tapi bahkan sebelum si begundal menyentuh kakinya, Chi Shin sudah merunduk dan menendang. Lalu seolah menempeleng anak kecil, dia menempeleng pipi seorang begundal lain yang sedang berusaha mengangkat kakinya yang sebelah lagi. Kedua tubuh begundal itu melayang bersamaan ke kubangan. Karena jatuhnya mereka, sontak berkoarlah bunyi dengungan seperti genta yang dipukul. Serta-merta lalat beterbangan ke segala arah, sampai-sampai sinar matahari pun menjadi suram. "Hei! Tangkap dia!"
Terdengar perintah yang sama itu diulang beberapa kali. Namun tak lama kemudian tubuh para begundal yang berkerumun mendekati Chi Shin beterbangan seperti lalat-lalat di sana. Selesai mengurus mereka, dengan cepat Chi Shin kembali ke dangau, sendirian dia tertawa tergelak-gelak sambil memegangi perut.
Dia tidak tahu bagaimana mereka pulang setelah mengangkat rekan-rekan mereka yang cimbul-tenggelam di dalam kolam kotoran tadi. Hanya dengan membayangkannya, Chi Shin ingin tertawa lagi. Pada awalnya Chi Shin menganggap pekerjaan menjadi penjaga ladang sangat membosankan, tapi ternyata dia menemukan sesuatu yang sangat menarik hatinya. "Sekali-sekali datanglah lagi untuk mencuri sayuran di sini. Kadang-kadang aku punya rasa belas kasihan juga." Sejak saat itu Chi Shin menunggu-nunggu kedatangan mereka dengan penuh harap.
Begundal-begundal kota itu pun terus berembuk mencari cara membuat Chi Shin jera.
"Kalian harus tegar. Kurasa penjaga ladang kali ini bukan hanya berbeda bentuk kepalanya, tapi isinya juga. Apa pun caranya, kita harus berusaha membuatnya jera karena sudah mempermainkan kita. Kalian punya gagasan?"
Beberapa belas hari kemudian, mereka sudah menyusun rencana matang-matang. Ri si Ular Sawah dan Chou si Tikus Tanah mendatangi pos jaga untuk meminta maaf.
"Kami mohon maaf sebesar-besarnya atas kejailan anak buah kami beberapa waktu lalu," kata mereka penuh khidmat sambil menyentuhkan dahi ke lantai berkali-kali. Lalu mereka berkata ingin mengajak Chi Shin minum-minum di suatu tempat sebagai tanda permintaan maaf.
Karena Chi Shin kehausan akibat panasnya udara di sana, tanpa banyak bicara dia menerima tawaran itu. Dia mengikuti mereka sampai ke tepi kolam penampungan air untuk ladang. Di bawah pohon dedalu yang kelihatan teduh di sana, tampak tergelar tikaryangdi atasnya sudah dipersiapkan guci arak, serta masakan daging dan buah-buahan dalam keranjang. Sekitar tiga puluh begundal yang terlihat tempo hari, berkumpul di situ menunggu kedatangan Chi Shin dengan hormat.
"Mulai sekarang kami takkan lagi mencuri sayuran di ladang. Lalu apabila Anda memiliki keperluan apa pun yang berhubungan dengan urusan ladang, silakan panggil kami. Pokoknya, sejak saat ini silakan perlakukan kami seperti petani bawahan Pendeta."
"Hari ini kelakuan kalian baik sekali. Sayur-sayuran itu juga tidak akan termakan habis di kuil, jadi kalian boleh ambil secukupnya. Namun sebagai imbalan, jangan lupa bawakan upeti untukku."
Tanpa sungkan Chi Shin makan dan minum sepuasnya. Para begundal terheran-heran melihat jumlah arak yang diminum Chi Shin. Sampai tiga kali mereka puiang-pergi ke warung arak.
"Apa ini?"
Dari atas pohon dedalu, ada yang jatuh beberapa kali ke pundak dan kepala Chi Shin. Meraba-raba dengan tangannya adalah kesalahan. Itu kotoran burung gagak atau burung heron.
"Huh! Tidakadalawan yang yang lebih menyebalkan selain yang tidak bisa melawan," Chi Shin bergumam, lalu dia pindah tempat duduk. Semua begundal dalam suasana had riang, ada yang bernyanyi, ada pula yang bertepuk tangan. Lalu lagi-lagi dari atas pohon dedalu, di balik dedaunan, burung gagak ikut ribut berkaok-kaok. Kali ini bertaburan sesuatu seperti bubuk jerami ke leher Chi Shin dan ke dalam mangkuk arak yang sedang dipegangnya. Chi Shin kesal, lalu berdiri.
"Ini menjengkelkan. Tampaknya di pohon siluman ini ada sarang burungnya."
"Maafkan kami, Pendeta. Kami akan membawa tangga untuk mengambil sarang itu."
"Tidak usah buang waktu. Gagak-gagak di sini juga kelompok yang suka mencuri sayuran di ladang. Aku akan buat mereka kapok."
Serentak para begundal berreriak terkagum-kagum ketika Chi Shin membuka pakaian bagian atasnya. Mata mereka terpana menatap rajah seratus bunga di tubuh Chi Shin yang memerah karena arak.
Bukan hanya itu yang membuat mereka tercengang. Chi Shin membungkuk dan memeluk batang pohon dedalu yang besar itu, kemudian mendadak tanah di sekitar akar pohon mulai bergerak-gerak. "Hup!" teriak Chi Shin. Dari tubuh Chi Shin terlihat asap mengepul dan dari dalam tanah, mulai terlihat akar induk pohon besar itu. Ketika akar-akar bulu pohon telah menunjukkan diri, tak lama kemudian pohon itu pun tumbang. "Bagaimana pertunjukan tambahanku tadi?" Chi Shin bermaksud bercanda, tapi dia harus kecewa. Ketika dia menoleh, begundal-begundal yan tadi ada di sekitarnya sudah lebih dulu dan lebih cepat kabur daripada burung-burung gagak. Mereka terkejut bukan karena kagum, tapi ketakutan setengah mati sampai-sampai rencana yang sudah mereka buat sama sekali terlupakan. Tampaknya mereka langsung melarikan diri ke kota.
Sejaksaat itu, mereka sudah tidak mau lagi membalas dendam karena benar-benar ketakutan. Selanjutnya, meskipun ada di sekitar ladang Kuil, mereka hanya akan berkumpul di suatu tempat di kejauhan bagaikan sekumpulan laba-laba. Mereka memuja-muja Chi Shin dengan sebutan Yang Mulia Pendeta, Yang Mulia Lelaki Berbunga, dan sebagainya, namun sama sekali tidak mau mendekat.
"Kalau begini caranya, aku jadi kesepian," gerutu Chi Shin. "Aku harus mengundang mereka untuk membalas budi."
Maka dia menyiapkan arak juga daging dan kali ini mengundang mereka ke ladang. Dengan senang had, para begundal pun berdatangan. Pada saat seperti itu, Chou si Tikus Tanah maupun Ri si Ular Sawah yang sehari-harinya terlihat sangar, di luar dugaan sangatlah ceria. Mereka minum, menari, bernyanyi, tidak bosan-bosannya menunjukkan kebolehan mereka.
"Omong-omong, Pendeta Bunga, hari ini kami mempunyai satu permintaan. Apakah Anda mau mendengarkan?"
"Minta apa padaku yang miskin ini?" "Anda   memiliki   tongkat   yang   bagus   sekali. Bagaimana  kalau Anda  tunjukkan  kebolehan  Anda bermain tongkat? Ini permintaan kami semua."
"Jadi kalian minta aku mempertunjukkan keahli-anku? Itu bisa kulakukan dengan gratis. Permintaan yang sangat murah."
Sudah lama dia tidak memainkan tongkat kesayangannya yang terbuat dari besi seberat 62 kin. Begitu memegangnya, dia langsung pergi agak menjauh dari tempat minum arak. Pertama-tama dia menggerak-gerakkan tongkat dengan sebelah tangan, lalu dia mempertunjukkan jurus membabat ke delapan penjuru, pukulan dari atas dan sodokan. Selanjutnya dia praktekkan jurus belah embun, jurus puting beliung, jurus pukul ombak, jurus tusukan dari langit, jurus sodokan dari dasar bumi. Akhirnya bagi yang hadir di sana, tidak lagi terlihat manusia maupun tongkat, hanya ada bunyi pusaran angin yang meraung-raung seperti kincir serta sinar putih yang membentuk lingkaran.
Tiba-tiba pada saat itu, dari celah dinding benteng yang pecah terdengar komentar seseorang, "Wah, hebat sekali. Bagus sekali."
Karena suara itu konsentrasi Chi Shin buyar. Lalu kepada kumpulan begundal yang terbengong-bengong, dia bertanya, "Siapa yang mengintipku dari tempat itu.”
"Oh, beliau adalah orang hebat dalam ilmu bela diri. Beliau salah seorang pelatih di ketentaraan istana Ben, namanya Rin Chu."
"Pelatih Rin? Permainanku disaksikan orang hebat. Aku harus memberi salam kepadanya. Tolong salah seorang dari kalian susul dia dan undanglah dia ke sini dengan baik-baik."


Angin Topan Runtuhkan Sarang Pasangan Bebek Peking.
RIN CHU memiliki julukan si Kepala Macan Kumbang. Dahi sempit yang merupakan bawaannya sejak lahir memang seperti dahi milik macan kumbang. Matanya agak kecokelatan serta dagunya tajam bagai burung walet. Ciri-ciri inilah yang menyebabkannya dijuluki demikian, Dari penampilannya, dia benar-benar terlihat seperti ahli ilmu bela diri dari ibukota. Pakaiannya pun terlihat mewah. Jubah yang dipakainya dihiasi gambar bunga-bungaan dan di sabuk peraknya terselip sebilah pedang yang bagus. Sepatunya pun anggun, seperti sepatu yang selalu dipakai kalangan istana. Usianya mungkin 34 atau 35 tahun. Kini sosoknya yang sangat besar tampak mendatangi tuan rumah.
Chi Shin menyambutnya dan mempersilakannya duduk. Lalu setelah saling memperkenalkan diri, mereka minum bersama. Seperti kata pepatah, sesama laki-laki sejati akan selalu dapat mengenali satu sama lain, dan bahwa jalan yang ditempuh mereka akan selalu bersinggungan. Dengan segera mereka berdua merasa cocok.
"Pendeta Bunga, mulai sekarang aku akan meng-hormadmu sebagai kakak angkat. Karena bila dilihat dari keahlian maupun usia, kau jauh lebih senior daripadaku."
Mendengar itu, Chi Shin berkata, "Bagiku sangat berlebihan memiliki adik sepertimu. Namun karena kau sudah berkata begitu, marilah kita minum bersama sebagai tali pengikat persaudaraan."
Demikianlah, mereka berdua lupa akan berlalunya waktu. Angin sepoi yang berembus dari balik pepohonan yang menghijau pun sangat menyegarkan, seolah diciptakan untuk mereka berdua.
Tetapi tak lama kemudian, terdengar seruan perempuan yang mencari-cari Rin Chu. "Juragan! Juragan!" Rin Chu segera bangkit dari duduknya, kemudian menoleh ke arah tembok yang hampir runtuh. Di sana tampak sosok perempuan yang berpenampilan pelayan.
"Hei, Kin Ji! Aku di sini. Ada urusan apa?"
"Gawat, Juragan. Nyonya..." Kin Ji si pelayan itu mengoceh tidak keruan. Lalu setelah dekat ke tempat juragannya berdiri, sambil menangis dia melapor. Setelah mendengar berita itu, dahi Rin Chu yang seperti macan kumbang berkerut marah dan khawatir.
"Sudahlah.Janganmenangis/'katanyamenenangkan Kin Ji. Lalu kepada Chi Shin dia berkata, "Ada sesuatu yang mencemaskan terjadi pada istriku. Aku mohon pamit, Pendeta Bunga, kapan-kapan kita bertemu lagi." "Apa yang terjadi dengan istrimu?" "Ketika pulang ziarah dari Pemakaman Tou Gaku di dekat sini bersama Kinji, dia diganggu pemuda-pemuda dari istana dan sekarang dia dalam kesulitan. Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Aku pamit."
Selesai mengucapkan itu, tubuh Rin Chu melesat terbang melewati tembok yang runtuh. Bayangannya tarnpak seperti macan kumbang yang terbang membelah angin.
Rin Chu mencemaskan istri yang baru dinikahinya setelah beberapa tahun mereka memadu cinta. Ketika tiba di langkan jalan antara Pemakaman Tou Gaku dan Puri Go Gaku, dia melihat pemuda-pemuda seperti tentara sebanyak kira-kira sepuluh orang sedang duduk-duduk di sana. Mereka memainkan tabung sumpit, busur, seruling, sementara kelompok lainnya menutup jalan   undakan,   sepertinya  sedang  melakukan   suatu permainan.
"Astaga. Mereka adalah anak buah putra angkat Kou."
Memang benar. Di bawah selasar panjang beratap melengkung tampak kuda putih dengan pelana emas yang biasa dilihatnya sehari-hari. Pengurus kuda pun bakal tahu jika ditanya siapa yang paling berkuasa di Istana Ben di bawah Kaisar Ki Sou. Dia Jenderal Kou Kyu, menteri istana. Kou Kyu memiliki putra angkat. Pemuda itu berasal dari keluarga Kou, anak paman Kou Kyu yang bernama Kou Saburou. Setelah diurus oleh Kou Kyu, dia pun menjadi salah seorang keluarga istana, putra Jenderal Kou yang sedang naik daun.
Sang putra angkat ini memanfaatkan kekuasaan ayahnya hanya untuk bersenang-senang. Teman-temannya pun kelompok berandalan anak-anak pejabat tinggi. Orang-orang di kota menyebut mereka "pemburu perempuan". Masyarakat menjelek-jelekkan sang putra dengan mengatakan, "Sifat buruknya memang sudah turunan."
Tidak sedikit di antara penduduk kota yang masih Ingat bahwa Kou Kyu, si anak emas kaisar, dulunya tidak lebih dari seorang berandalan, suka berkelahi, berjudi, meski jugaahli melukis, berkesenian, dan sebagainya. Dia memang memiliki bakat luas. Suatu ketika dia disukai oleh penguasa dan karena kepandaiannya bermain bola, akhirnya dia dikenal oleh Kaisar Ki Sou. Setelah itu, kedudukan tinggi diraihnya dengan sangat cepat. Itulah sebabnya apabila sang putra memburu perempuan atau istri orang, orang-orang tidak akan heran karena mereka menganggap itu sudah sifat turunan dari ayahnya. Kita tunda dulu kisah yang satu itu. Istri  baru  Rin  Chu  memegang  erat-erat  pintu gerbang yang ada di Puri Go Gaku, tampak sedang beradu mulut dengan putra Kou yang mengotot.
"Tidak mau. Aku istri orang. Aku tidak mau masuk ke ruang penyimpanan patung Buddha karena ajakan kalian yang tidak kukenal. Lepaskan aku. Lepaskan!"
"Tidak apa-apa. Kau memang tidak mengenalku, tapi betapa aku sudah sering memimpikanmu. Berkat Makam Tou Gaku inilah kita akhirnya dapat bertemu. Ah, bibir dan matamu itu..."
"Dasar lelaki mesum! Mau apa kau?" "Semua perempuan memang sama, awalnya saja galak. Coba kenali dulu lelaki lain. Aku jamin kau pasti akan ketagihan setelahnya."
"Sungguh kurang ajar! Dasar buaya darat!" "Aduh!   Kenapa   kaupukul   aku   dengan   kipas tanganmu? Kalau begitu, bersiaplah kubalas dengan kekerasan juga. Kekerasan cinta bagaikan api!" "Tolong!"
Rin Chu berlari menaiki jembatan, menyerbu para anak buah putra Kou yang berdiri menutupi jalan sampai mereka terpental.
"Manusia bejat! Mau kauapakan istri orang?" teriaknya sambil mendorong putra Kou keras-keras. Sebelum orang-orang sepenuhnya sadar akan apa yang teriadi, dia menarik istrinya menuju tikungan. Kemudian dari sana, dia memasang sikap waspada, bersiap-siap menghadapi serangan balasan.
Tapi saking terkejutnya, tidak ada di antara mereka yang bergerak untuk menyerang.
"Astaga, dia Pelatih Rin!"
"Si Kepala Macan Kumbang!"
Mereka saling bergumam. Lalu dengan cepat mereka berlari menuruni tangga, menaikkan putra Kou ke pelana emas pada kuda putih, lalu pontang-panting melarikan diri.
Sejak saat itu, rumah tangga baru Rin Chu selalu terselubung bayangan hi tarn yang menakutkan. Pasangan pengantin muda yang malang itu terus-menerus dihantui mimpi buruk berupa tangan-tangan setan yang tidak diketahui wujudnya.
Keadaan lebih mengerikan lagi karena mereka tahu ini akibat hasrat terpendam dan cinta bertepuk sebelah tangan yang dialami putra Kou. Putra Kou adalah keluarga istana yang memiliki kedudukan tertinggi. Sedangkan Rin Chu hanyalah pelatih tentara. Tidak mungkin bisa melawan putra Kou.
"Istriku, jika aku tidak ada di rumah atau kau sedang bepergian, berhati-hatilah."
"Akhir-akhir ini aku sudah tidaklagi pergi berbelanja. Semua kuserahkan kepada Kin Ji. Ke luar rumah pun aku tidak pernah."
Meskipun berada di dakm rumah, Rin Chu dan istri mudanya bicara dengan suara pelan. Mereka kini merasa cemas apabila mendengar ada sesuatu yang berbunyi di pagar sekalipun. Alchir-akhir ini si istri memang terkadang diserang seseorang. Atau ketika Rin Chu sedang minum-minum di rumah teman, di rumahnya akan terjadi sesuatu yang di luar dugaan. Seolah-olah rumahnya dikutuk keanehan misterius.
"Bukan hanya aku yang diincar. Jika kau men-cintaiku, kumohon jaga dirimu. Terutama saat pulang dan pergi ke pusat ketentaraan di istana."
Setiap kali Rin Chu meninggalkan gerbang rumah, istrinya selalu mengucapkan itu dengan mata berkaca-kaca. Tetapi seorang laki-laki tidak mungkin terus tinggal di rumah. Rin Chu hanya membalasnya dengan senyum.
"Jangan khawatir. Aku tidak akan apa-apa. Biar begini juga, dalam ilmu bela diri, takkan ada musuh yang bisa berdiri di depan si Kepala Macan Kumbang."
Pada suatu hari, kebetulan dia bertemu Ro Chi Shin di perempatan Etsu Bu Bo. Mereka sudah beberapa kali minum bersama sehingga hubungan pertemanan mereka semakin akrab.
"Ada apa denganmu, Kepala Macan Kumbang? Setiap kali bertemu denganmu, kulihat wajahmu selalu kelihatan muram. Bagaimana kalau kita minum di suatu tempat?"
Rin Chu pun menerima ajakan Chi Shin dan mereka masuk ke warung arak. Jika mengobrol dengan si Pendeta Bunga, dia dapat melupakan segalanya. Meski begitu, dia tetap tidak mau bicara sedikit pun mengenai masalah istrinya. Rekannya pun tidak bertanya.
Senja hari, mereka meninggalkan warung arak di Etsu Bu Bo, lalu berjalan di kota. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara berbisik menawarkan sesuatu dan ada laki-laki mengikuti mereka.
"Dunia ini memang bebal. Begitu banyak manusia di ibukota ini, tapi tak satu pun yang punya mata. Menyedihkan sekali, tidak ada yang menyadari betapa bagusnya pedangku ini."
Chi Shin dan Rin Chu hanya menoleh sejenak, lalu mereka kembali asyik mengobrol.
"Aku berbeda dengan penjual pedang jalanan biasa. Padahal pedang ini terpaksa kujual karena alasan tertentu. Kalau tidak dibeli sekarang, selama hidup kalian tidak akan pernah bertemu lagi dengan pedang pusaka seperti ini."
Pada saat itu, kedua orang yang dibuntutinya berpisah di perempatan jalan. Ro Chi Shin berkata, "Sampai jumpa lagi" dan Rin Chu mengikutinya dengan pandangan mata.
"Memiliki teman sejati adalah kebahagiaan," gumam Rin Chu.
Ketika dia akan melangkah pergi, tiba-tiba laki-laki tadi menghampirinya. Lelaki itu berusia empat puluhan, mengenakan pakaian katun biru dan penutup kepala segitiga seperti seorang prajurit. Dia mendekati Rin Chu sambil memegang pedang pusaka yang sangat bagus, ada sejumput rumput diikat di gagangnya, menandakan pedang itu dijual.
"Bagaimana? Ini cuma 3000 kan. Murah." "Di pinggangku sudah ada pedang. Di rumah juga. Aku tidak memerlukannya."
"Tampaknya kesatria seperti Anda juga buta." "Apa?"
"Ini sangat berbeda dengan pedang-pedang biasa yang ada. Jika Anda punya mata, saya akan perlihatkan kepada Anda."
"Kelihatannya memang bagus." "Anda seperti amatiran saja. Saya tidak menjual gagangatau ukiran di sarung pedang. Anda perlu melihat bilahnya."
Tanpa sadar tangan Rin Chu terulur, lalu menceng-keram gagang pedang itu. Si laki-laki melepaskannya. Rin Chu menimbang-nimbang. Bobotnya mantap, terasa enak pegangannya. Ketika pedang dilepas dari sarungnya, ditimpa cahaya petang, bilah pedang itu tarapak berselimut embun yang berkilauan. Rin Chu memandangi-nya. Matanya seolah-olah ditarik oleh jiwa pedang pusaka yang langka itu dan dia tergoda keinginan untuk memilikinya.
"Kenapa kau berniat melepaskan benda pusaka ini?"
"Kenapa? Jika Anda melihat pakaian saya yang compang-camping ini, tentunya Anda mengerti. Saya ditunggu anak-istri yang kelaparan. Anda tidak perlu bertanya lebih jauh lagi."
"Tidak akan. Berapa?"
"Kemarin dan hari ini saya memasang harga 3000 kan, tapi sama sekali tidak ada yang beli. Karena saya melihat Anda mengerti pedang, maka saya berikan setengah harga saja."
"Aku mau. Tapi uangku tidak cukup."
"Seribu kan saja. Tidak kurang lagi seperak pun. Bagaimana?"
"Boleh. Tolong kauikuti aku ke rumah."
Akhirnya Rin Chu mendapatkan pedang itu. Istrinya pun merasa senang.
Mereka tidak hanya mendapatkan bcnda pusaka naniun juga penolak bala, karena menurut k-genda, pedang yang terkenal itu bisa pula mengusir setan siluman jahat. Dengan mendapatkan pedang itu, mereka juga mendapatkan ketenangan.
Tiga hari kemudian, datang utusan Riku Ken, ajudan JenderaJ Besar Kou Kyu, yang membawa surat. Di surat tersebut tertulis kata-kata sebagai berikut:
Menurut berita yang kami dengar beberapa waktu lalu, Anda beruntung mendapatkan sebilah pedang yang sangat iangka. Meski demikian, sebagai kesatria tetaplah Anda rendah hati menaati jiwa kekesatriaan. Paduka yang mulia Jendera! Kou juga merasa senang atas keberuntungan Anda ini.
Isi suratnya berupa ucapan sclamat, yang kemudian ditutup dengan kata-kata sebagai berikut:
berkaitan dengan itu, paduka yang mulia jenderal berkeinginan melihat langsung pedang tersebut, dan membandingkannya dengan pedang pusaka yang tersimpan di ruang rahasia keluarga Kou.     Karena ituiak besok kami akan mengutus orang   untuk menjemput Anda. Kcdatangan Anda sangat kami harapkan.
Hormat kami.      
Ajudan jenderal Riku  
"Siapa yang tahu dan bercerita tentang pedang ini? Tapi karena aku membeli pedang ini di jalanan, mungkin saja ada yang melihat."
Rin Chu curiga, istrinya pun merasa ada udang di balik batu. Tetapi karena surat itu ditandatangani Wakil Jenderal Riku, permintaan itu sama saja dengan undangan resmi. Tidak mungkin ditolak. Kemudian jika memang isi surat tersebut benar, undangan ini dapat dianggap sebagai kehormatan. Apa pun yang menunggunya, Rin Chu tetap harus pergi. Keesokan harinya, dengan mengenakan pakaian resmi, Rin Chu membawa pedang pusakanya dan pergi bersama utusan menuju istana jenderal.
Ketika memasuki gerbang istana yang dikawal penjaga, utusan yang menjemput berkata, "Masuklah melalui gerbang tengah itu, lalu berjalanlah ke timur melalui selasar di sana. Di jembatan itu tentunya petugas atau wakil jenderal sudah menunggu kedatangan Anda."
Mengikuti petunjuk yang dikatakan sang utusan, Rin Chu terus masuk. Tetapi di situ tak ada seorang pun yang menunggu.
Ketika menoleh, di kejauhan, penjaga yang tidak dikenalnya menunjuk ke selasar di sebelah utara tanpa mengatakan apa pun. Apakah utusan tadi salah memberitahu atau aku sendiri yang salah dengar, pikir Rin Chu. Dia pun berjalan ke arah utara dan menemukan sebuah gerbang lagi. Tampaknya di balik gerbang tersebut adalah wilayah terlarang, karena di sana berdiri tegak penjaga dengan pakaian prajurit yang gagah memegang tombak. Namun begitu melihat Rin Chu, dia mengangguk tanpa berucap seperti orang bisu. Rin Chu, meskipun seorang pelatih tentara di istana, belum pernah masuk ke tempat ini.
Rin Chu kebingungan, tidak tahu harus pergi ke mana. Ketika dia menaiki tangga sebuah gerbang indah dan melongok ke dalam, di sana terlihat pekarangan tengah. Kemudian di pekarangan tersebut hanya tampak sebuah bangunan yang dikelilingi pagar hijau.
"Mungkin aku harus ke sana. Tampaknya di situ ada orang."
Setelah menyeberangi jembatan, dia mengintip sebuah ruangan yang pintunya ditutupi kain berjuntai. Ketika melihat ke dalam, pada papan di bawah atap ruangan di hadapannya tertulis empat kata besar-besar yang berbunyi "Ruang Hyaku Kou Setsu." Melihat itu, Rin Chu terperanjat.
"Wah, aku tidak boleh ke sini. Ini ruang rahasia tempat tentara mengadakan rapat. Kudengar selain perwira-perwira tinggi yang penting, tak ada yang diizinkan memasuki ruangan ini. Mengapa aku tersasar ke tempat yang menakutkan seperti ini?"
Dia berniat cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Tetapi terlambat. Bersamaan dengan bunyi langkah sepatu yang nyaring, pintu lain di ruangan itu terbuka. Dari sana muncul seorang jenderal. Inilah orang yang dulu dikenal sebagai pemain bola andal, Kou Kyu, yang dengan pesatnya mendapatkan jabatan tinggi di kedinastian Ki Sou. Kini dia telah menjadi jenderal panglima tertinggi.
"Hei! Siapa kau? Berani sekali kau mengintip ruang rahasia ini!"
"Oh, Paduka Yang Mulia Kou. Saya Pelatih Rin Chu yang mendapat undangan dari Paduka."
"Apa? Undangan dariku? Kapan aku mengun-dangmu? Aku tidak pernah mengundangmu. Jangan memberikan dalih yang tidak-tidak!"
"Betul, Paduka. Saya didatangi utusan dari wakil Paduka, Ajudan Jenderal Riku."
"Hei! Di mana Riku Ken? Cepat tangkap orang ini! Ada orang yang mau mencoba membunuhku di sini!
"Saya tidak berniat membunuh Paduka!"
Namun saat itu Rin Chu sudah dikelilingi para prajurit yang bersiaga bagaikan tonggak-tonggak besi. Di antara mereka terlihat sosok yang dikenalnya, Ajudan Jenderal Riku Ken. Rin Chu berseru kepadanya, "Bukankah Anda yang mengirimkan utusan kepada saya? Buktinya di rumah saya ada surat Anda. Mengapa Anda menjebak saya seperti ini? Jangan hanya tertawa.
Cepat jawab!"
Meskipun Rin Chu berteriak penuh kemarahan, Riku Ken sama sekali tidak memedulikannya. "Jangan bermimpi! Mana mungkin Paduka Yang Mulia Kou mau mengundang pelatih rendahan macam dirimu. Tentunya kau menyusup masuk untuk mencuri rahasia ketentaraan demi negara musuh, atau mungkin kau berniat membunuh Paduka Yang Mulia karena menaruh dendam. Tujuanmu pasti salah satu di antaranya. Tangkap dia! Jangan sampai dia menggunakan pedang pusaka itu!"
Seketika para prajurit mengerubungi Rin Chu dan mengikat kaki serta tangannya. Lalu pada hari itu juga, dia dijebloskan ke penjara.
Penjara berada di lingkungan kantor pengadilan Kai Hou. Keluarga Kou yang dihormati menuntutnya agar segera dipancung. Namun sang hakim, sebagai penguasa di pemerintahan daerah itu, tidak mungkin begitu saja menjatuhkan hukuman. Dia menyerahkan penyelidikan kasus ini kepada Song, seorang petugas hukum. Rin Chu masih memiliki waktu sampai bukti-bukti didapat.
Bagi Rin Chu, situasi ini keberuntungan dalam musibah. Mungkin juga ini berarti bahwa tugasnya di dunia belum selesai.
Di antara masyarakat umum dan para tahanan, petugas hukum Song sangat dihormati sebagai orang yang adil dan baik hati. Dia dijuluki Song San sang Buddha dan tidak ada orang yang tidak mengenalnya.
Song sangat mengenal Rin Chu dan dia juga meyakini bahwa peristiwa di ruang rahasia adalah jebakan keluarga Kou. Oleh karena itu, dia mengajukan diri untuk menyidik peristiwa ini secara saksama.
Dari hasil penyidikannya, dia mengetahui bahwa putra Kou jatuh cinta kepada istri Rin Chu, tetapi cintanya tidak berbalas. Selain itu diketahui pula bahwa orang-orang di sekeliling putra Kou, seperti Riku Ken dan Fu An yang adalah pejabat penjilat, telah secara lihai memerangkap Rin Chu. Semua ini sesuai dengan pembelaan Rin Chu yang diungkapkan di depan sidang pengadilan.
"Teka-teki ini sudah bisa saya pecahkan. Ini ulah putra Kou yang berniat membunuh Rin Chu dan merebut istrinya. Selama ini putra Kou sudah sering mengancam dan menyusahkan istri, serta rumah tangga Rin Chu."
Hakim yang menjadi ketua sidang menyetujui hal itu. Sayangnya, sang hakim takut terhadap kekuasaan Kou. Sehingga meskipun bisa menunjukkan bukti dan saksi yang menyatakan Rin Chu tidak bersalah, hakim tidak mungkin menyatakannya tidak bersalah. Namun dia juga takut memberi hukuman yang lebih ringan daripada hukuman mati.
Pada hari penjatuhan vonis, melenceng dari sifatnya yang biasanya tenang, petugas hukum Song maju ke depan hakim dengan wajah merah. "Apakah pengadilan ini hanya ada untukkeluargajenderal Kou? Bukan untuk rakyat dan pemerintah?" tukasnya berapi-api.
"Song Tei, bicara apa kau? Kata-katamu keterlaluan!"
"Tapi melihat sikap Anda sckarang, rakyat akan menganggap pengadilan ini seolah-olah fasilitas pribadi keluarga Kou. Lagi pula, meskipun tidak membicarakannya, rakyat tahu semua kebusukan keluarga Kou dan berandal macam apa putra Kou."
"Kalau begitu, sebaiknya hukuman apa yang harus diberikan kepada Rin Chu?"
"Jangan sekali-kali Anda jatuhkan vonis mati pada dirinya. Meski saya tahu Kou dan putranya tidak akan senang jika Rin Chu mendapat hukuman ringan. Bagaimana dengan hukuman pengasingan ke tempat terpencil?"
"Apakah keluarga Kou akan menyetujui hukuman itu?"
"Tidak usah khawatir. Di pihak keluarga Kou juga ada keteledoran. Dalam penyelidikan, saya menemukan surat dari Ajudan Jenderal Riku Ken di rumah Rin Chu. Jika surat itu diumumkan, segera akan diketahui bahwa ini perangkap. Sebesar apa pun kekuasaan keluarga Kou, saya sangat yakin mereka tidak akan menuntut."
Di akhir masa Dinasti Sou yang penuh kekeruhan, masih ada pejabat yang baik seperti ini. Pada hari itu juga diputuskan bahwa Rin Chu akan menjalani hukuman pengasingan.
Sebagai kebiasaan pada saat itu, orang yang dijatuhi hukuman akan ditelanjangi dan punggungnya akan dipukul dengan tongkat sebanyak dua puluh kali. Wajah mereka pun akan diberi rajah. Kemudian saat digiring ke tempat pembuangan, di leher mereka akan dipasangi pasung kayu yang dilapisi logam dengan kunci disegel.
Tempat pembuangan bagi Rin Chu adalah penjara Sou Shu di Provinsi Ka Hoku. Yang dimaksud dengan penjara di sini adalah tempat para penjahat dari seluruh provinsi menjalani hukuman yang sangat berat. Keluarga Kou tidak bisa menentang keputusan pengadilan. Tanpa mengucapkan apa pun mereka membubuhkan cap keluarga pada surat keputusan itu.
Akhirnya hari pemindahan Rin Chu pun tiba. Sosok Rin Chu keluar dari gerbang pengadilan. Hanya dalam tempo sebulan, tubuhnya telah menjadi kurus kering, tulang pipinya menonjol, dan langkahnya terlihat lemas tidak bertenaga. Laki-laki dan perempuan yang berkerumun di jalan serta kerabat yang mengantar keberangkatan Rin Chu, hampir semua mencucurkan air mata melihat keadaannya. "Apakah ini benar-benar Pelatih Rin Chu yang dulu?" ratap mereka.
Dianrar ratusan pandangan mata, Rin Chu menye-berangi jembatan provinsi. Di luar gerbang pos penjagaan ibukota sudah menunggu sekumpulan orang. Di antara kerumunan itu, istri serta ayah mertua Rin Chu melangkah ke depan.
"Menantuku, kami sudah menunggumu. Mari kita masuk dulu ke warung arak itu untuk saling melepaskan rindu."
Sang mertua membimbing Rin Chu masuk ke warung arak yang sangat sederhana. Tentu saja setelah memberi uang suap yang cukup banyak pada pengawal pengantar. Meskipun sudah diberi kesempatan sangat terbatas untuk menumpahkan rindu, istri Rin Chu tetap tampak tak ingin berpisah. Tanpa memedulikan orang-orang di sekitar mereka, dia terus membenamkan wajah di dada Rin Chu dan menangis. Kendati di luar pengawal pengantar berteriak, "Waktunya habis!" tetap saja dia tidak mau melepas suaminya.
Rin Chu memejamkan mata dan menguatkan hati. Kemudian dengan sangat tenang dia berkata, "Sampai kapan pun kita menangisi perpisahan ini, tidak akan ada akhirnya. Setelah kupikirkan secara mendalam, kasih sayang tidak hanya dapat ditunjukkan dengan menangis pilu. Jika aku tidak ada, tentunya putra Kou akan kembali mengganggu dirimu juga ayah mertua. Maka sebaiknya secepat mungkin kalian menyembunyikan diri ke suatu tempat. Lalu karena kau masih muda, kalau ada jodoh yang baik, menikahlah dengan orang itu dan berbahagialah. Lupakan diriku."
Kemudian dia meminjam kuas dan tinta dari lelaki tua pemilik warung arak, menulis surat cerai, dan menitipkannya kepada sang mertua.
"Menyedihkan sekali. Kau menyangka aku perempuan seperti itu. Aku tidak mau. Meskipun harus mati, aku tidak mau melakukan hal seperti itu."
Istrinya histeris, terus memegangi kaki Rin Chu dan menangis pilu. Pada saat itu pengawal pengantar mengetuk-ngetuk pintu warung dan berteriak, "Ayo cepat!"
Akhirnya si ayah mertua dengan paksa menarik putrinya yang menangis keras, lalu keduanya berdekapan sambil bertangisan. Tanpa memedulikan itu semua, rantai yang diikatkan ke pinggang Rin Chu terus ditarik-tarik, mendesaknya tanpa ampun untuk segera menuju tempat pembuangan yang masih sangat jauh.
Pengawal yang bertugas mengantar Rin Chu adalah Tou Chou dan Setsu, petugas rendahan. Sebagaimana kebiasaan pada zaman Dinasti Sou, tcrdapat ketentuan bahwa pengawal yang mcngantar terhukum tidak usah membayar biaya penginapan selama perjalanan. Karena itu, setibanya di penginapan mereka segera menyalakan api scndiri dan memasak makanan. Mereka menjadikan biaya perjalanan yang hanya sedikit sebagai keuntungan bagi mereka. Makanan untuk terhukum hanya mereka berikan agar si terhukum tidak mati kelaparan.
Dua hari telah berlalu sejak mereka meninggalkan gerbang ibukota Ton Kei. Petang harinya mereka tiba di dekat penginapan. Di sana telah ada laki-laki yang menunggu mereka dengan kudanya di sebuah warung arak desa. Laki-laki itu memakai jubah hitam, penutup kepala berhiaskan swastika Buddha, penutup kaki dari kulit berwarna kuning, serta sepatu khusus untuk naik kuda.
Sambil mengepit cambuk, dia berkata, "Pengawal-pengawal, kalian baru tiba. Tentunya kalian lelah."
Tampaknya mereka sudah melakukan perjanjian untuk bertemu di tempat itu. Ketika isyarat dengan gerakan mata diberikan, kedua pengawal pergi ke penginapan, lalu mengikatkan rantai di pinggang Rin Chu ke tiang di dalam ruangan. Kemudian mereka segera kembali ke warung arak tadi.
Si laki-laki bertopi sudah menunggu mereka di meja yang di atasnya sudah disajikan arak dan makanan. Lalu di meja, di depan tempat duduk kedua orang itu, juga sudah disiapkan dua tumpuk uang yang masing-masing berjumlah 20 ryou.
"Ayo. Jangan sungkan-sungkan, minumlah. Dari sini kalian akan melakukan perjalanan jauh ke Sou Shu yang jaraknya masih beratus-ratus li', lagi pula kalian tidak akan menemukan warung seperti ini lagi."
"Ya. Terima kasih, tapi kami mcrasa kikuk di depan Wakil Panglima Besar."
"Tidak usah begitu. Ini kan pertemuan tidak resmi. Jadi tidak usah sungkan. Aku juga dalam penyamaran. Kalian paham perintah yang kuberikan melalui utusan yang kukirim ke rumah kalian sehari sebelum kalian meninggalkan pengadilan, bukan?"
"Um, untuk masalah itu, Paduka, kami dalam posisi terjepit. Kami berdua sudah mencoba membicarakannya, tetapi pihak pengadilan mewanti-wanti agar menjaga keselamatan si terhukum sampai di tempat buangan. Jadi kalau terjadi apa-apa dengan si terhukum, kami juga akan mendapat ganjaran."
"Aku juga tahu soal itu. Karena itulah atas nama keluarga Kou, aku minta tolong kepada kalian dengan sembunyi-sembunyi. Kalau kalian tidak bisa melakukannya, aku Riku Ken sebagai wakil panglima pun tidak dapat pulang begitu saja. Apakah kalian keberatan?"
"Sa-sama sekali tidak, Paduka. Jika ada permintaan rahasia langsung dari Panglima Besar kepada kami yang rendahan, tentu saja kami tidak mungkin menolak. Tapi gaji kami sehari-hari sangat kecil dan di rumah kami memiliki istri dan anak-anak, serta orangtua yang setiap hari kelaparan. Apabila kami kehilangan pekerjaan, maka mulai hari itu..."
"Sudah kubilang, jika sebelum sampai di Sou Shu, kalian bisa membunuh Rin Chu dengan tangan kalian sendiri tanpa menimbulkan kecurigaan, selain mendapat hadiah uang, kalian akan diurus dan dipekerjakan seumur hidup sebagai pengurus halaman atau di posisi apa pun di rumah keluarga Kou. Aku tidak akan membuat kalian kesulitan makan."
"Ya, untuk itu kami berterima kasih sekali. Saya juga sudah memberitahu teman saya ini bahwa kami akan memperoleh pekerjaan seumur hidup, tapi..."
"Tampaknya tekad kalian belum bulat. Apa lagi yang membuat kalian bimbang?"
"Kalau si terhukum adalah rakyat jelata, kami akan mengerjakannya dengan mudah. Tapi ini si Kepala Macan Kumbang Rin Chu, pelatih tentara kekaisaran. Kalau kami gagal.
"Tolol kalian! Pasung papan di leher dan rantai di pinggangnya itu menurut kalian untuk apa? Kalian bisa saja memukulnya dengan galah di pedalaman gunung pada saat tidak ada orang. Atau kalian dapat jerumuskan dia ke sungai jika kalian sedang berjalan di tepinya. Lalu tinggal kalian pastikan saja kematiannya. Meski begitu, sebagai bukti bahwa kalian sudah membunuh Rin Chu, kalian harus menguliti wajahnya yang dirajah dan membawanya pulang. Mengerti? Nah, kalau sudah mengerti, silakan sekarang bersenang-senang dan minumlah sepuas kalian. Ambil saja uang 20 ryou yang ada di hadapan kalian itu sebagai uang muka."
Bagi mereka pegawai rendahan, uang suap adalah makanan sehari-hari dan mereka anggap sebagai pemasukan tambahan, tetapi untuk kali ini penyuap serta jumlah uangnya sangatlah berbeda. Mereka merasa kesepakatan ini bisa memberi mereka keuntungan seumur hidup.
Keesokan harinya, setelah berpisah dengan Riku Ken, keduapegawai rendahan itu melanjutkan perjalanan jauh mereka sambil mendorong-dorong punggung Rin Chu dengan tongkat, menuju Sou Shu yang berada di balik bayang-bayang pegunungan. Tekad mereka saat itu tampaknya sudah bulat.

Seperti Kelokan-kelokan Jalan di Dunia.
PERJALANAN menuju Sou Shu merupakan perjalanan sekitar 2000 li dan jaian menuju tempat itu curam juga berbelok-belok tajam. Kedua pengawal memegang ujung tali yang mengikat Rin Chu, menyuruhnya melangkah dengan cepat.
"Di mana kita akan bunuh dia? Kalau dia orang biasa, tidak akan sulit, tapi dia biasa melatih delapan ratus ribu tentara istana. Meskipun di lehernya ada pasung, jika kita gagal membunuhnya, justru kepala kitalah yang bakal terpisah dari leher.
Tanpa mereka sadari, mereka sudah berjalan belasan hari. Karena pembunuhan harus dilakukan dengan sangat hati-hati, mereka merasa sulit mendapat kesempatan.
"Hei, Setsu," salah seorang pengawal, Tou, berbisik pada rekannya. "Kalau begini terus setiap hari, tidak akan ada akhirnya. Bagaimanapun caranya, kita harus segera melakukannya."
"Aku tahu, tapi bakal sulit jika harus langsung membunuhnya. Mulai besok kita buat kaki Rin Chu sakit sebagai oleh-oleh menuju dunia sana. Kalau sudah begitu, kita tidak akan kesulitan membunuhnya dan tidak mungkin gagal."
Malam itu, begitu tiba di penginapan di gunung, Setsu si pengawal pergi menuju bagian belakang penginapan dan kembali lagi membawa sebaskom air mendidih.
"Pelatih Rin Chu, sebaiknya cuci kaki dengan air ini. Untuk kaki yang pegal, tidak ada yang lebih baik selain air hangat. Kau akan bisa tidur nyenyak di malam hari."
"Terima kasih."
"Oh ya, pasung di lehermu menghalangi sehingga kau sulit membungkuk. Baiklah, kalau begitu, biar aku yang melepaskan sandalmu."
"Jangan. Masa petugas membukakan sandal tahanan?"
"Tidak masalah. Selonjorkan kakimu. Kalau di ibukota memang tidak mungkin terjadi seperti ini, tapi karena sekarang kita sedang sama-sama melakukan perjalanan jauh, maka tidak usah sungkan."
Karena keramahan sikap para petugas, tanpa menyadari air itu mendidih, Rin Chu mencelupkan kakinya ke baskom.
"Aaaa!" Rin Chu terlambar menarik kakinya dan pergelangan kakinya pun melepuh. Sambil memegangi kaki, dia berguling-guling akibat rasa sakit yang dapat membuatnya pingsan.
"Ah, kau berlebihan," ejek para pengawal.
Kedua pengawal itu lalu sama sekali tidak mengacuhkannya. Seperti biasa mereka mulai memasak sesuai dengan anggaran untuk penginapan, kemudian bersenang-senang minum arak. Tentu saja mereka memberi makan Rin Chu juga, tapi hanya berupa bubur kuning yang dituang ke cawan kayu dan diletakkan di atas pasung kayu seperti memberi makan kuda.
Karena luka bakarnya terasa sangat menyakitkan, Rin Chu sama sekali tidak memiliki selera makan. Lalu di malam hari pun dia tidak bisa tidur. Esok harinya, karena dia diberi sandal jerami baru, baru berjalan beberapa li saja tali jerami sandalnya sudah berlumuran darah. Darah yang mengering serta debu yang menempel pun mengoyakkan kulit kakinya.
"Hei! Ada apa denganmu, Pelatih Rin? Kalau berjalan seperti itu, kita baru tiba setengah tahun lagi di Sou Shu. Ayo cepat jalan!"
"Aku tidak mampu berjalan lagi. Kakiku sakit sekali."
Setsu mengangkat tongkat untuk memukul, namun Tou menghentikannya.
"Sudahlah. Kau tidak usah naik pitam. Nanti juga kakinya sembuh. Ayo kita berjalan lagi."
Mereka menusuk-nusuk punggung dan pinggang Rin Chu dengan ujung tongkat mereka. Ini jauh lebih menyakitkan daripada dipukuli.
Tiga hari setelah itu, mereka memasuki hutan Ya Chou yang berupa belantara. Karena setiap malam kurang tidur serta menderita kelelahan yang amat sangat, Rin Chu yang kuat sekalipun terkadang tertidur sambil berdiri dan saat melangkah tubuhnya sempoyongan. Kedua pengawal saling bertukar pandang.
"Wah, capek sekali rasanya. Bagaimana kalau kita tidur siang dulu sejenak?"
"Boleh saja. Tapi bagaimana dengan tali yang mengikatnya? Kalau Pelatih Rin Chu melarikan diri saat kita tidur, kita bakal repot."
Karena Rin Chu juga ingin beristirahat, niaka dia berkata, "Jangan khawatir. Ikatlah tubuhku seerat-eratnya pada batang pohon."
"Kalau begitu, untuk sementara kami akan mengikatmu seperti yang kauminta."
Rin Chu pasrah menuruti apa yang mereka lakukan. Mereka berdua mengikat kaki dan tangan Rin Chu erat-erat pada batang pohon. Begitu selesai, tiba-tiba mereka berkata, "Nah, sekarang kau sudah tidak berkutik."
Melihat perubahan raut mereka, Rin Chu bertanya tcrkejut, "Kalian mau apa?" Namun terlambat, kedua pengawal itu telah siap menyerangnya dari dua arah dengan tongkat.
"Rin Chu, jangan menaruh dendam pada kami. Hidupmu memang sudah ditakdirkan hanya sampai di sini. Bagi kami, ini pintu gerbang keberhasilan. Jika kami membunuhmu lalu membawa pulang kulit wajahrnu yang berajah itu, keluarga Jenderal Kou menjanjikan kami hidup senang seumur hidup. Ini perintah Wakil Panglima Riku Ken. Kalau kau ingin mendendam, dialah sasaranmu sesungguhnya."
Begitu selesai bicara, kedua tongkat di tangan mereka mendesing di udara, bertujuan memecahkan kepala Rin Chu. Tetapi tiba-tiba salah satu tongkat melayang ke udara dengan suara berkeretak dan sebuah tongkat lagi terpelintir bersama lengan yang memegangnya. Dalam seketika, kedua pengawal itu terjungkir ke tanah.
Orang yang muncul adalah Ro Chi Shin, si Pendeta Bunga, yang begitu mendengar kesulitan yang dialami Rin Chu, segera menyusul dari gerbang ibukota Kai Hou.
"Kalau aku sudah ada di sini,  kalian pengawal rendahan sama saja dengan budak-budakku."
Chi Shin melangkah menuju pepohonan, kemudian dia memperlihatkan keahlian permainan tongkatnya. Pohon-pohon yang terkena hantaman tongkat Chi Shin mengelupas kulitnya dan tumbang seolah habis diinjak-injak gajah raksasa. Kedua pengawal terdiam sambil gemetaran.
"Pelatih, keadaanmu sangat menyedihkan." Si Pendeta Bunga memang mudah terharu. Sambil menghibur Rin Chu, dia melepaskan ikatannya dari batang pohon.
"Apa yang akan kaulakukan sekarang, Kepala Macan Kumbang? Apakah kau akan melarikan diri atau tetap menuju Sou Shu diantar pengawal-pengawal ini?"
"Terima kasih, Pendeta Bunga," kata Rin Chu dengan agak terisak karena begitu senang dapat bertemu lagi dengan temannya. "Aku seorang laki-laki. Jadi, aku tidak mau memikirkan keselamatan diri sendiri saja. Jika sekarang aku melarikan diri, artinya sama saja dengan mengorbankan istri dan mertuaku yang ada di Tou Kei. Aku akan tetap pergi ke Sou Shu untuk menjalani hukuman."
"Memangharusbegitutampaknya. Kalau begitu, aku akan mengantarmu sampai ke dekat Sou Shu. Sekarang, naiklah ke punggungku. Aku akan membopongmu."
"Mana mungkin. Aku hanya seorang tahanan."
"Jangan sungkan. Bukankah kita sudah mengikat persaudaraan di ladang sayuran Kuil negara Dai Sou? Kau adik angkatku. Jadi dengarlah kata-kata kakakmu."
Demikianlah, dalam beberapa hari perjalanan, Rin Chu digendong si Pendeta Bunga. Sementara itu kedua pengawal hanya bertugas sebagai pembawa barang dan pesuruh, lalu di setiap penginapan, mereka diperlakukan seperti budak.
Kaki Rin Chu berangsur-angsur sembuh dan karena setiap hari cukup makan, kesehatannya pun pulih seperti sediakala. Mendapatkan teman seperjalanan yang adalah sahabat karib dan dengan kedua pengawal berperan sebagai budak, Rin Chu melupakan nasib yang menunggu di tempat tujuan dan lupa akan rasa lelah selama perjalanan jauh itu. Dalam beberapa hari berikutnya, dia pun berjalan dengan penuh ceria.
"Saudaraku, sebenarnya aku masih ingin menemanimu, tapi besok kita sudah akan memasuki Kabupaten Sou Shu. Untuk itu, malam ini marilah kita minum bersama demi perpisahan kita."
Malam itu, si Pendeta Bunga mengadakan acara perpisahan sederhana di penginapan. Mereka minum-minum sepuasnya, saling mengisi cangkir arak, namun mereka berdua tidak bisa mabuk karena sedih.
"Kepala Macan Kumbang, kau tentu mencemaskan istri dan ayah mertuamu di ibukota. Selang beberapa lama, aku masih akan berada di ladang sayuran Kuil negara Dai Sou, jadi aku akan menjaga mereka meskipun dari kejauhan. Kau tidak perlu cemas. Selain itu, aku membawa sedikit uang. Seperti kata pepatah, kesengsaraan di neraka pun akan ringan jika ada uang, jadi bawalah uang ini," kata si Pendeta Bunga sambil menyerahkan 20 ryou kepada Rin Chu. Kepada kedua pengawal itu pun dia melemparkan beberapa keping uang perak.
"Hei! Kepala sapi dan kepala kuda!"
"Ya."
"Meskipun mulai besok aku tidak ada di sini, jangan coba-coba lagi menyakiti Pelatih. Kalian akan kembali ke Kai Hou Tou Kei setelah melaksanakan tugas, bukan? Ingatlah baik-baik wajahku ini."
"Kami mengerti sekali."
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Chi Shin mengucapkan kata perpisahan kepada Rin Chu. Lalu bagaikan angin, dia kembali ke Kai Hou Tou Kei.
Pada hari itu rombongan ini memasuki Kabupaten Sou Shu. Perkampungan di sana menunjukkan bahwa mereka sudah mendekati kota. Gadis-gadis dan anak-anak yang berkeliaran di jalan tampak terdidik. Ketika tiba di dekat jembatan sungai yang airnya digunakan untuk mengairi sawah dan ladang kampung itu, terdengar pembicaraan penduduk setempat.
"Hei! Hei! Juragan Sai tampaknya baru pulang berburu."
Semua laki-kki dan perempuan yang sedang menangkap ikan di pinggir sungai, juga petani-petani yang sedang mengangkut hasil ladangnya dengan gerobak, semua berkumpul di sisi jalan. Mereka bersikap seolah hendak menyambut seorang tuan tanah.
Salah satu pengawal bertanya kepada seorang penduduk, "Di seberang jembatan terlihat bangunan yang sangat megah, apakah itu rumah keluarga Sai?"
"Ya. Kau tidak kenal Juragan Sai Shin? Padahal kau pengawal yang selalu mengantar tahanan ke Sou Shu."
"Aku jarang bertanya, jadi aku tidak tahu. Apakah beliau sangat terkenal di daerah ini?"
"Bukan di daerah ini saja. Namanya mernang Sai Shin, namun beliau lebih dikenal dengan julukan Angin Beliung Kecil. Beliau sangat baik pada orang-orang miskin dan selalu mempersilakan orang-orang yang tidak bermajikan raenjadi tamu di rumahnya. Tamunya bisa berpuluh-puluh. Bahkan tahanan buangan seperti dia juga, jika mampir di depan rumahnya pasti akan diberi sedekah atau disuruh menginap dulu untuk menghilangkan rasa lelah. Pokoknya beliau adalah orang kaya yang sangat bijaksana."
"Ah, aku ingat sekarang," kata Rin Chu. "Aku pernah dengar bahwa di dekat Sou Shu ada keluarga terkenal yang memiliki benda pusaka turunan yang telah disahkan oleh kaisar pertama dinasti Sou, Kaisar Bu Toku."
"Itulah beliau. Sang Angin Beliung Kecil. Wah! Beliau sudah kelihatan. Itu yang duduk di punggung kuda."
Terlihat serombongan pasukan dengan beberapa orang yang naik kuda datang dari arah hulu sungai.
Dengan sekali pandang, dapat dilihat bahwa rombongan itu baru pulang berburu. Di antara pengikut Sai Shin ada yang memikul babi hutan, rusa, burung berekor panjang, dan sebagainya sebagai hasil buruan. Sedangkan Sai Shin sendiri duduk di atas pelana yang sisi-sisinya dilapisi logam pada kuda putih bersurai ikal. Di kepalanya bertengger penutup kepala dari kain katun. Jubahnya berwarna dasar ungu dihiasi bunga-bunga bundar dengan sabuk bertatahkan mutiara, celananya bergaris-garis hijau, sedangkan sepatunya sepatu khusus berkuda dari kulit berwarna merah. Usianya kira-kira 34 atau 35 tahun. Alisnya mencuat ke atas, matanya tajam, bibirnya merah, benar-benar penampilan lelaki tampan pesoiek namun memiliki keberanian. Di punggungnya tergantung tabung anak panah dan tangannya menggenggam busur yang dililit tali rotan.
Ketika lewat, Sai Shin tiba-tiba menoleh, lalu berkata kepada pengikutnya, "Coba kaupanggil orang yang dipasung lehernya di pinggir jalan itu, yang akan dikirim ke Sou Shu, tapi minta izin dulu kepada pengawalnya. Rasanya penampilannya bukan seperti orang biasa. Sehari-hari aku sering melihat tahanan yang akan dikirim ke Sou Shu, tapi aku belum pernah melihat orang yang berpenampilan seperti laki-laki itu."
Pengikutnya segera berlari. Tidak lama kemudian dia membawa Rin Chu beserta kedua pengawalnya ke hadapan Sai Shin.
Bahwa pertemuan ini akan mengubah nasib Rin Chu, si Kepala Macan Kumbang, baru dapat diketahui di kemudian hari. Tetapi, pada saat itu, setelah mereka saling menyebutkan nama, Sai Shin berkata, "Ternyata pandangan mataku tidak salah. Sampai beberapa waktu yang lalu kau adalah Rin Chu yang sangat masyhur dalam ilmu bela diri, yang bertugas sebagai pelatih di ketemaraan istana. Dari tamu-tamu serta pemuda-pemudayang tinggal di tempatku, sering kudengar cerita bahwa saat berada di ibukota, mereka pernah mendapat pelajaran darimu. Kumohon malam ini kau menginap semalam di tempatku."
Demikianlah, akhirnya Rin Chu memasuki gerbang kediaman keiuarga Sai disertai pemilik rumah. Tidak hanya itu, pada malam harinya pun diadakan pesta penyambutan. Di antara anggota keiuarga serta tamu-tamu yang ada di sana, terdapat seorang ahii ilmu bela diri yang sombong dan angkuh yang dipanggil "Guru Kou." Dia terus-menerus minum arak dan karena Sai Shin kerap menyanjung dan memuju-muji kehebatan Rin Chu, juga karena Rin Chu disediakan tempat yang
lebih tinggi darinya, tampaknya Guru Kou sangat tidak senang.
Sai Shin, yang tidak menyadari hal itu, berkata dengan riang, "Tolong kedua pengawal itu juga diberi minuman. Juga beri uang dan kain atau apa pun yang mereka mau. Tapi untuk malam ini aku yang bertang-gung jawab untuk Saudara Rin Chu."
Tentu saja uang yang diberikan kepada kedua pengawal adalah suap untuk membuka pasung di leher Rin Chu. Kedua pengawal tidak berani membantah, lagi pula mereka mendapatkan pemasukan tidak terduga. Maka malam itu Rin Chu bisa menikmati hidangan sepuasnya tanpa pasung di leher.
Guru Kou jengkel melihatnya. Pandangannya seolah-olah berkata dengan penuh hina, "Setinggi apa ilmu bela diri Rin Chu? Lagi pula dia hanya tahanan."
Pada saat itu bulan di atas pelataran sangat terang dan jernih bagaikan cermin, seakan-akan ingin melukis pelataran dengan cahayanya yang menembus malam. Pesta semakin meriah dan lama-kelamaan akhirnya Sai Shin menyadari sikap Guru Kou.
"Guru Kou, sehari-hari kau hanya melatih anak-anak muda di rumah ini dan ahli-ahli pedang kampung saja," kata Sai Shin. "Jadi tidak ada kesempatan untuk mempertunjukkan ilmu yang scbenarnya yang kaumiliki. Kebetulan di sini sekarang ada man tan pelatih di ketentaraan istana, Saudara Rin Chu. Ini keuntungan yang  tidak  disangka-sangka.   Bagaimana   kalau   kau bertanding dengannya sejurus atau dua jurus?"
Tampaknya Guru Kou sudah menunggu-nunggu kesempatan itu, lalu dengan sikap pura-pura berat hati dia melirik Rin Chu. "Aku tidak keberatan, namun aku memiliki pedang yang sangat kuat yang takkan member! ampun musuh-musuhku. Kalau dia bersedia memaklumi
"Saudara Rin Chu, Guru Kou sudah berkata seperti itu. Bagaimana denganmu?"
"Entahlah. Keahlianku bukan ilmu hebat yang bisa dipertunjukkan di depan orang banyak."
"Kalau begitu, silakan kalian berdua memasuki pekarangan."
Kedua pengawal senang melihat Guru Kou berdiri di pelataran dalam terpaan cahaya bulan sambil menggenggam pedang telanjang. Jika Rin Chu dikalahkan sabetan pedang besar itu, tanpa turun tangan, tujuan mereka pun akan tercapai. Berbeda dengan minat orang-orang di sekitar, mereka berdua menonton dengan ketegangan penuh harap.
Akan tetapi hanya dalam sekejap, pertandingan di bawah sinar bulan itu dimenangi oleh Rin Chu. Rin Chu mengambil tongkat lalu berdiri di hadapan Guru Kou. Lalu begitu tongkat dan pedang yang berkilat beradu, tak satu mata pun mampu mengikuti gerakan tongkat Rin Chu yang mendesing dan menyambar. Yang terlihat jelas hanyalah sosok Guru Kou yang telentang di tanah dengan lengan patah.
"Wah! Hebat! Hebat sekali! Keahlianmu jauh lebih hebat daripada yang kudengar. Melihat keandalanmu, permainan nasib apa yang membuatmu harus menjalani hukuman berat di tempat pembuangan?"
Tampaknya Sai Shin semakin bersimpati terhadap Rin Chu. Keesokan harinya, pada saat Rin Chu akan berangkat, dia menitipkan surat untuk pejabat tertinggi di Sou Shu, kepala penjara dan kepaJa sipir, serta uang 25 ryou yang dimasukkan ke dua amplop.
"Sekarang, jaga kesehatan dan laksanakanlah tugas di sana. Nanti aku juga akan mengirimkan baju musim dingin untukmu," ucap Sai Shin menyemangati. Kemudian dia menyuruh dua pemuda untuk menemani mereka hingga ke luar gerbang penjara.

Tugas Berat Dalam Timbunan Es dan Salju Dapat Dilewati Dengan Selamat.
"RUPANYA inilah penjara besar yang sejak dulu kudengar, daerah sengsara di luar dunia beradab."
Daratan beku di hadapannya tampak bagaikan kulit pucat orang mati. Ada bayangan burung bangau yang terbang melintas, Rin Chu heran mengapa mereka masih bisa hidup di daerah sedingin ini.
"Sedikit pun aku tidak mengira akan menjalani hukuman di tempat seperti ini."
Berkali-kali Rin Chu menghela napas. Meski begitu, betapa bermanfaatnya surat serta uang yang diberikan Sai Shin di tempat seperti ini. Di sini, sebagai peraturan, terhukum yang baru masuk pertama-tama dipukuli dulu dengan tongkat kematian sebanyak seratus kali sampai dia pingsan. Setelah itu, mereka akan "sadar kembali untuk menjalani kehidupan di neraka", tapi Rin Chu terlepas dari aturan itu.
Selanjutnya si terhukum akan dihadapkan kepada kepala penjara, lalu di depannya si terhukum akan dipermainkan dan dihina secara tidak manusiawi. Mereka ditelanjangi, dubur mereka ditusuk dengan tongkat besi, mereka disuruh mengeluarkan lidah, atau disuruh mencukur rambut alat kelaminnya, dan sebagainya. Rin Chu pun terbebas dari hal ini.
Setelah pemeriksaan daftar nama serta rajah di wajah selesai, maka tinggal dilakukan penentuan tempat kerja. Apabila tempat kerja sudah ditetapkan, dia akan menjadi salah satu penduduk neraka dan kehidupan penuh siksaan tanpa akhir, dengan pekerjaan yang sangat berat pun akan dimulai.
"Hei, orang baru, kemari kau. Pekerjaanmu sudah ditemukan. Kau menjadi penjaga Ruang Raja Langit. Ini pekerjaan yang diberikan atas belas kasihan. Jadi, syukurilah!"
Kepala sipir mengajaknya pergi. Mereka menyusun wilayah penjara yang sangat luas, dan akhirnya ketika sampai di tempat patung Dewa Neraka berdiri, dia menunjuksebuah bangunan tua.
"Tempat ini disebut sebagai Ruang Raja Langit. Narapidana yang tidak menaati peraturan akan dibawa ke sini dan di depan bangunan ini dikubur hidup-hidup, digergaji, atau dipotong hidung dan telinganya. Ini tempat pelaksanaan hukuman mati di antara tempat-tempat hukuman berat lainnya. Kau cukup bekerja sebagai penjaga saja. Hanya menyalakan dupa setiap pagi dan sore, serta bersih-bersih."
"Jika dibandingkan dengan yang lain, pekerjaan ini sangat membahagiakan saya."
"Tentu saja. Kalau kau tidak menganggapnya sebagai budi baik, kau akan kena kutuk."
"Mungkin saya keterlaluan, tetapi apakah saya bisa mengajukan permintaan lagi? Saya ingin pasung di leher ini dilepas."
"Kau ingin pasung itu dilepas? Biayanya cukup besar."
"Kalau masalah uang, saya memilikinya. Saya tidak akan menyesal menyerahkan seluruh uang saya."
"Begitu. Lagi pula, kau nanti j uga akan mendapatkan uang dari keluarga Sai. Baik, soal itu serahkan padaku. Aku akan mengurusnya."
Kepala sipir menerima uang lalu kembali ke kantornya. Sorenya dia kembali untuk melepaskan pasung di leher Rin Chu.
Memasuki pertengahan musim dingin, meskipun seluruh daratan tertutup salju, tidak ada istirahat sehari pun bagi puluhan ribu narapidana yang ada di sana. Sejak fajar menyingsing, orang-orang kurus kering berpakaian compang-camping, penuh daki, tahi mata, dan ingus, sudah berduyun-duyun keluar laksana semut. Petang harinya, mereka kembali ke sel masing-masing dengan terseok-seok kelelahan, untuk alchirnya jatuh terlelap.
Luas penampungan narapidana ini mungkin sekitar 34 meter persegi. Bidang pekerjaan bagi para narapidana di sini sangat banyak, seperti pertanian, pembangunan, pandai besi, kerajinan dari kayu, pencelupan, penyamakan kulit, peternakan, pemerahan susu, pertenunan, dan sebagainya. Tentu saja hasil semua pekerjaan ini tidak dikonsumsi di daerah itu. Hampir semuanya dikirim ke ibukota dan dimanfaatkan untuk kemewahan, kekuasaan, serta anggaran militer Dinasti Sou.
Tetapi berkat Sai Shin, Rin Chu tidak mendapatkan tugas berat. Karena Sai Shin membagikan upeti kepada semua petugas di penjara, maka Rin Chu mendapat perlakuan dan kebebasan yang istimewa. Kadang-kadang dia juga diperintahkan pergi berbelanja ke kota.
Kemudian di suatu hari ketika dia diberi tugas ke kota, dari belakangnya terdengar suara orang memanggil, "Tuan! Tuan!" Ketika Rin Chu menoleh, di hadapannya muncul seorang lelaki berpenampilan seperti pedagang yang tampak berseri-seri.
"Wah, benar juga. Anda rupanya, Juragan Rin Chu. Saya Ri Shou Ji. Kenapa Tuan sampai berada di tempat seperti ini?"
"Ascaga, ini memalukan sekali. Bukankah kau pelayan warung arak dekat rumahku di Kai Hou?"
"Benar. DuluTuansangatbaikkepadasaya. Sekarang pun saya masih suka membicarakan Tuan dengan istri saya. Saya tidak akan raelupakan budi baikTuan."
"Memangnya aku sudah berbuat baik apa kepadamu?"
"Dulu, sewaktu masih muda dan gegabah, saya banyak menggunakan uang toko dan hampir saja saya dilaporkan ke kantor kota oleh majikan saya. Namun, saat itu saya mendapat pertolongan Tuan. Sekarang pun saya belum mengembalikan uang pengganti yang Tuan berikan kepada majikan saya."
"Wah, itu cerita yang sudah lama sekali." "Setelah itu, karenamalu, saya meninggalkan tempat majikan, dan setelah terlunta-lunta akhirnya sampailah di Sou Shu ini. Di sini saya mendapat ketenangan sampai mempunyai warung kecil tempat minum-minum. Nah, sudikah Tuan mampir ke tempat kami? Kalau melihat Tuan, istri saya pasti akan terkejut."
Berawal dari pertemuan tersebut, setiap kali pergi ke kota, dia sering mampir di warung Ri Shou Ji. Warungnya berada di jalan kecil dan selain istrinya, Ri Shou Ji mempekerjakan pelayan. Ri Shou Ji sendiri yang memasak hidangan. Karena dia memiliki banyak kenalan petugas penjara, maka pada saat pergi ke kantor penjara, dia juga mengunjungi Ruang Raja Langit, mengurus cucian Rin Chu serta bajunya yang harus dijahit, atau mengiriminya bakpau daging. Karena suami-istri ini betul-betul baik, Rin Chu juga sangat senang. Dia merasa mendapatkan kenalan yang sangat berharga.
Setahun berlalu dan di suatu hari, Ri Shou Ji tiba-tiba berlari mendatangi Rin Chu di penjara.
"Tuan Rin Chu! Gawat!"
"Ada apa, Ri Shou Ji? Mukamu sampai pucat begitu?"
Rin Chu yang sedang menyapu sampah di sekitar sana dengan segera mengajak masuk Ri Shou Ji yang kelihatan panik, lalu menutup pintu rapat-rapat.
Ri Shou Ji meninggalkan warungnya begitu saja untuk menyampaikan kabar buruk kepada Rin Chu. Petang itu dua lelaki angkuh mendatangi warungnya. Salah satunya adakh laki-laki pesolek bertubuh kecil dan berkulk putih pucat, sementara yang satu lagi berpenampilan seperti tentara dan bermuka merah. Keduanya kira-kira berusia tiga puluhan. Dengan bersahaja Ri Shou Ji mempersilakannya, namun setelah itu dia terkejut. Rasanya dia pernah melihat salah satu lelaki itu di ibukota. Lalu tidak salah lagi, ternyata si muka merah adalah Riku Ken, ajudan Panglima Besar Jenderal Kou.
Karena merasa curiga, dia menyuruh istrinya untuk melayani tamu, serta menanyakan pesanan makanan dan mengajak mereka mengobrol. Dia menguping percakapan mereka dari balik jendela dapur. Bahasa yang mereka gunakan memang dialek Kai Hou, dan mereka membicarakan Jenderal Kou beserta keluarganya.
Saat itu belum terjadi masalah, tetapi keadaan berubah ketika Riku Ken tiba-tiba memerintah, "Hei! Pemilik warung! Di tengah jalan kami sudah mengirim utusan ke penjara. Tak lama lagi kepala penjara beserta kepala sipir akan segera datang ke sini. Kalau mereka sudah datang, kau dilarang memasukkan tamu lain. Seluruh warung ini kami sewa."
Tak lama kemudian, kepala penjara dan kepala sipir pun datang. Mereka menambah makanan dan minuman. Untuk beberapa saat mereka membicarakan hal-hal biasa, tetapi kemudian suara tawa berhenti dan tiba-tiba suasana menjadi sunyi.
Ri Shou Ji menyodok bokong istrinya lalu berbisik. Istrinya mengangguk, lalu diam-diam berdiri di antara dapur dan ruang tamu sambil menajamkan telinga. Di belakang, Ri Shou Ji memerhatikan. Tak lama kemudian tubuh istrinya tampak gemetaran. Pasti dia telah mendengar sesuatu yang sangat menakutkan.
Empat orang yang berkerumun mengelilingi meja akhirnya mengangkat kepala dan tertawa keras-keras.
Dari tangan Riku Ken terulur uang dalam jumlah banyak ke arah kepala penjara dan kepala sipir.
Setelah itu, mereka kembali makan dan minum. Beberapa saat kemudian, mereka meninggalkan warung ketika cahaya merah matahari sore masih menerangi atap-atap di kota.
Mendengar cerita itu, Rin Chu juga terkejut. "Tentunya laki-laki pesolek yang datang bersama Riku Ken itu Fu An si penjilat. Dia manusia jahat yang menjadi antek terdekat putra keluarga Kou. Tapi apa maksud mereka jauh-jauh datang ke Sou Shu ini?"
"Mereka datang ke sini untuk membunuh Tuan. Istri saya sampai menggigil mendengar kabar itu."
"Jadi mereka datang ke sini untuk menyogok kepala penjara dan kepala sipir dengan uang dan kekuasaan."
"Tentunya begitu. Ini masalah besar, Tuan harus hati-hati."
"Itu bukan masalah. Toh aku sudah menjadi narapidana. Ri Shou Ji, katakan pada istrimu agar tidak usah cemas."
Tetapi setelah Ri Shou Ji pulang, Rin Chu merasa tidak tenang. Tidurnya dihantui mimpi buruk.
"Baiklah! Kalau kalian begitu dendam kepadaku dan terus mengincarku, biar saja. Aku tidak akan begitu mudah memberikan nyawaku."
Untuk berjaga-jaga dia sudah mempersiapkan pedang dan tombak pendek berhiaskan tali-temali, yang dibelinya secara sembunyi-sembunyi. Sekarang kedua senjata tersebut tersembunyi di bawah patung Dewa Neraka. Setelah menyelipkan pedang pendek itu di balik baju di pingangnya, dengan berpura-pura ada urusan, dia pergi ke kota.
Kota Sou Shu tidak begitu luas dan dia berniat mencari mereka untuk menyerang lebih dulu. Keadaan berbalik, si pemburu menjadi yang diburu. Tapt setelah beberapa hari mencari, Rin Chu tidak menemukan mereka di mana pun dan keadaan tetap tenang. Sarafnya yang tegang pun mulai mengendur. Selama beberapa waktu, dia tidak mampir ke warung Ri Shou Ji. Tetapi di petang hari kesepuluh, dia mampir ke warung itu.
"Aneh. Sampai hari ini tidak terjadi apa-apa," bisiknya kepada suami-istri yang tampak lega.
"Kami senang mendengarnya. Sekarang, silakan Tuan minum dulu."
Rin Chu menikmati arak yang sudah cukup lama tidak dikecapnya dan pulang ke penjara petang harinya. Tidak lama setelah itu ada panggilan dari pengawas penjara.
"Mulai besok kau diperintahkan untuk pindah kerja ke tempat pakan kuda diluar gerbang timur, kira-kira lima belas li dari sini. Untuk tempat tinggalmu, gunakanlah salah satu gubuk pakan yang ada di tengah."
Konon, pekerjaan di tempat itu juga tidak begitu berat. Untuk pengeluaran dan pemasukan pakan kudapun harus ada uang suap, jadi pekerjaan ini sangat diincar para narapidana.
Setelah mengepak barangnya yang tidak banyak, malam itu juga Rin Chu pindah ke bagian luar gerbang timur. Deru angin yang sangat kencang membelah kegelapan malam musim dingin. Kabut putih di langit terlihat bergulung-gulung bagaikan embusan napas iblis.
Di sana tampak dinding tanah kuning yang sudah hampir roboh serta sepasang pintu besar yang sudah bengkok. Setelah masuk, Rin Chu melihat ada gubuk yang paling besar di tengah-tengah kompleks pakan kuda, tampalcnya bangunan itu tempat tinggal berdapur bagi penjaga. Dari pintunya terpancar sinar lentera kekuningan. Penjaga di sana melongokkan kepala ketika mendengar langkah kaki Rin Chu.
"Oh, kau yang kali ini bertugas menjaga pakan ternak? Tadi siang ada surat perintah yang menyuruhku bertukar tempat dengan orang dari Ruang Raja Langit."
"Maaf saya datang agak terlambat. Di Ruang Raja Langit saya meninggalkan alat-alat makan dan sebagainya. Kalau tak keberatan, silakan Anda pakai."
"Di sini juga banyak bergeletakan guci arak, panel, dan cawan yang biasa kugunakan. Silakan kaupakai. Tempat tidur ada di sudut sebelah sini dan di dalam sana ada karung arang bertumpuk-tumpuk. Di sini betul-betul dingin. Di musim dingin kita harus terus menyalakan api di tungku."
"Saya harus ke mana jika ingin berbelanja?" "Kalau kau mengarah ke barat melalui jalan yang banyak semaknya itu, kira-kira tiga li dari sini, di situ ada tukang arak dan tukang daging. Tapi karena gudang pakan kuda ini menjadi incaran pencuri, sebaiknya kau berhati-hati."
Dengan begitu, penghuni gubuk pun berganti. Berbeda dengan Ruang Raja Langit, gubuk ini berupa bangunan tua dari lempengan papan. Tempatnya sangat dingin. Sepertinya karena itulah di sini banyak karung arang dan ada tungku besar.
Mungkin karena belum terbiasa, pada malam pertama Rin Chu gemetar kedinginan dan sama sekali tidak bisa tidur nyenyak. Fajar menyingsing diiringi hujan salju lebat yang tampaknya tidak akan reda seharian. Rin Chu merasa bosan.
Petang harinya. Seorang petugas patroli yang tampaknya bawahan kepala sipir mengintip dari celah-celah papan gubuk ke dalam ruangan. Bunyi langkah kakinya teredam gemuruh salju.
"Kalau saja ada simpanan arak, sedikitnya aku bisa sedikit bersenang-senang."
Tungku api yang muram membuat Rin Chu merindukan warung Ri Shou Ji. Tetapi kota terlalu jauh. Ketika dia melihat ke arah dinding, di situ tergantung guci arak yang bentulcnya bagus.
"Petugas tadi berkata ada warung arak sebelah barat dari sini. Sebaiknya aku ke sana."
Dia menggantungkan guci arak pada tombak pendeknya, lalu dengan memakai caping berlapis kain dan jubah hujan dari jerami, dia membuka pintu dan berjalan menembus salju lebat. Tetapi kemudian, karena mencemaskan keadaan gubuk, dia kembali ke dalam dan menimbun api di tungku dengan abu sebanyak-banyaknya dan memadamkan lentera. Dia menengadah menatap atap yang berlubang.
"Dengan begini, mungkin tidak akan terjadi apa-apa," gumamnya. Lalu dia memasang palang pintu dan pergi.
Malam itu dataran tampak putih dalam badai ganas. Tumpukan salju membuat sandal melesak dalam. Angin kencang bertiup menyamping menyapu permukaan salju, sampai arah ke depan pun tidak kelihatan. Napas Rin Chu terasa sesak, salju menempel di alisnya, membeku dan mengerak. Ketika sudah berjalan kira-kira setengah li', Rin Chu beristirahat sejenak di pinggir jalan. Di sana terlihat olehnya sebuah bangunan, entah untuk pemujaan dewa entah makam. Pemandangan ini tampaknya membuat kepercayaan akan Buddha di had Rin Chu tergerak, dia pun bersujud di atas salju.
"Rasa-rasanya di kehidupan masa lalu aku tidak pernah berbuat dosa, tapi sekarang aku terbuang ke daerah liar ini bagaikan mayat hidup. Kasihanilah aku. Aku mohon Buddha melindungiku. Juga lindungilah istriku di ibukota yang jauh dari sini." Setelah menggumamkan doa seperti itu, dia berangkat lagi.
Sesampainya di warung, dia minum segelas arak dan mengisi guci araknya, tidak lupa membeli sebungkus daging bakar. Pada saat dia menapaki jalan pulang, malam sudah larut. Salju turun semakin lebat dan angin membuat langkah kaki terasa berat. Dengan seluruh tubuh diselimuti salju, dia berjalan cepat-cepat sambil memegangi bagian depan capingnya menuju tempat penyimpanan pakan kuda.
Dia mendorong pintu kayu di tembok dengan kakinya dan masuk ke halaman. Namun apa yang terjadi? Meskipun gubuk-gubuk yang lain masih berdiri tegak, gubuk tempatnya tinggal ambruk sampai rata dengan tanah. Mungkin karena berat salju yang menumpuk di atasnya.
"Astaga! Bagaimana ini? Tidak bisa masak nasi dan tidak ada tempat untuk tidur." Rin Chu kebingungan. "Kalau terus di sini, aku takut bakal tertimbun salju.
Sebaiknya malam ini aku tidur di makam tua yang tadi saja. Besok baru dipikirkan bagaimana selanjutnya."
Dia membongkar papan atap untuk mengambil kasur, lalu memanggul kasur itu menuju makam tua di pinggir jalan setapak tadi.
Bagian dalam makam ternyata luas. Di sana terdapat patung Dewa Perang menakutkan yang memakai baju zirah dan topi perang berwarna emas, disertai dua patung setan kecil. Di atas altar pemujaan terdapat sisa-sisa sesajen dan lilin, serta bertebaran serpihan kertas berwarna-warni. Dia menggelar kasur di depan altar.
"Memang tidak ada manusia yang bisa meramalkan apa yang bakal terjadi. Siapa sangka aku akan melewatkan malam di tempat aneh seperti ini? Syukurlah aku punya guci penuh arak."
Dia membuka bungkusan daging bakar, lalu membuka tutup guci dan menenggak arak dingin. Kemudian dia berbaring berbantalkan lengan namun tidak dapat tidur. Salju yang mencair terus meresap melalui baju katun putih dan pakaian dalamnya. Kemudian dia dikejutkan gema berkeretak yang terdengar dari kejauhan bercampur suara embusan angin badai. Dia membuka mata.
"Eh! Aneh. Di luar terang sekali." Dia bangkit berdiri. Dari celah-celah dinding yang rusak di makam itu terlihat langit malam memerah.
"Gawat! Itu dari arah gubuk pakan kuda!"
Di kepalanya terbersit bahwa mungkin kebakaran itu discbabkan api tungku, sedangkan di sana tidak hanya ada satu gubuk. Mungkin saja seluruh gubuk yang ada di tempat penyimpanan pakan kuda itu akan terbakar.
"Aku tidak mungkin tinggal diam." Dia mengambil tombak yang tadi dia sandarkan ke dinding dan bermabud pergi untuk memadamkan api. Tetapi mendadak dia terpaku.
Tepat di depan makam terdengar orang-orang sedang bicara. Rin Chu langsung menajamkan telinga.
"Rencanamu berhasil, Kepala Penjara. Aku ucapkan selamat juga untuk Kepala Sipir. Rin Chu pasti sudah gosong."
Rin Chu mengenali suara itu. Pasti Riku Ken, ajudan Panglima Besar Jenderal Kou.
Lalu tidak salah lagi yang memberikan tanggapan adalah Kepala Penjara dan Kepala Sipir. Yang satu lagi tentunya orang yang dibawa oleh Riku Ken, si Fu An. Sambil melihat api yang berkobar-kobar di kejauhan, dia tertawa terbahak-bahak.
"Semua ini berkat ide bagus Kepala Penjara dan Kepala Sipir. Melihat salju yang begitu lebat, Kepala Sipir memerintahkan bawahannya untuk mengintip si Rin Chu dan melepaskan tiang gubuknya yang sudah reyot. Tentu saja langsung ambruk. Salju yang berat pastinya juga telah membuatnya tergencet kayu palang atap dan langsung tewas dalam tidur. Sungguh cara mati yang bagus bagi Rin Chu."
"Kalau hanya itu rasanya belum sempurna. Jadi kami berdua, pada waktu menuju ke sini, melemparkan sekitar sepuluh obor ke atas gubuk yang ambruk itu. Dengan begitu, kemungkinan dia bertahan hidup takkan tersisa sedikit pun."
"Kepala Penjara memang hebat. Benar-benar tuntas pekerjaannya." Pujian terus mengalir dari mulut Riku Ken. "Nah, kalau begitu, tugas yang diberikan majikan kami sudah selesai. Kami bisa kembali ke ibukota dengan tenang. Tentunya akan ada berita dari keluarga Kou tentang hadiah untuk kalian berdua, jadi tunggu saja. Sekarang kami hendak pamit."
"Kalian sudah mau pulang?"
"Tidak baik kalau kami terlihat orang. Kami akan kembali dulu ke penginapan, kemudian besok pagi-pagi baru pulang. Fu An! Ayo!"
Saat mereka akan berpisah, Rin Chu muncul dari dalam makam sambil menendang pintu dan berseru, "Tunggu! Hei, manusia-manusia rendah!"
Dia segera menyerbu orang yang paling dekat dengannya, si Kepala Sipir, dan menusuknya dengan tombak pendeknya. Bersamaan dengan darah hitam yang muncrat, si Kepala Sipir pun terpental jatuh.
"Astaga! Kau!"
"Kaget? Melihat Rin Chu masih hidup?"
"Aaaah! Tolong! Tolong kami!" "Dasar pengecut! Apa yang kauteriakkan?" Wajah Rin Chu sudah kembali seperti Kepala Macan Kumbang yang dulu. Seraya membungkukkan badan seperti macan kumbang,  Rin Chu menghunjamkan tombak pendeknya secepat kilat. Pertama-tama dia menusuk Fu An, selanjutnya dia menikam tubuh besar Kepala Penjara seperti menusuk sate. Kemudian dia mengejar Riku Ken yang pontang-panting melarikan diri dalam salju.
"Hei, pejabat jahat! Mau lari ke mana?" Dia melemparkan tombak di tangannya seperti anak panah. Tombak pun menancap di punggung Riku Ken. Seketika terdengat jeritan, darah segar yang memancar ke segala arah pun mewarnai salju di malam hari.
"Ah, aku telah membunuh empat orang pejabat negara. Kini aku benar-benar telah menjadi penjahat yang tak akan mendapat tempat dalam Dinasti Sou." Rin Chu menyesali tindakannya, meski begitu dia segera membalikkan tubuh lalu bersujud di depan makan dan berterima kasih kepada Dewa Perang.
"Kalau gubuk itu tidak roboh di malam hari, mungkin aku sudah mad terbunuh di bawah impitan kayu atap serta kobaran api, sesuai rencana jahat mereka. Kalaupun aku masih hidup malam ini, kukira itu karena kemginan dewa di makam ini. Sungguh pertolongan dari langit. Untuk ke depannya, semoga dewa berkenan melindungiku."
Kemudian, setelah membersihkan tombak pendek¬nya, sebelum fajar menyingsing dia bergegas melangkah di atas salju dan menghilang.
*
Api di tempat penyimpanan pakan kuda tampaknya segera padam karena salju yang begitu lebat. Tetapi selama api berkobar, kentongan serta genta dipukul bertalu-talu sehingga orang-orang di tempat tahanan maupun warga desa-desa yang tak jauh dari sana terbangun dan berjaga-jaga.
Karena itulah pelarian Rin Chu kerap menghadapi jalan buntu. Dia hanya dapat berlari ke sana kemari bagai tikus dalam perangkap. Meski begitu dia tidak kehabisan akal. Ketika melihat api unggun besar yang dikelilingi warga desa di gerbang jalan, dia segera ikut bergabung dengan mereka.
"Uh, dinginsekali. Izinkansayaikucmenghangatkan diri. Anda semua tentunya juga kelelahan."
"Silakan! Silakan! Hangatkan tubuh Anda." Sekitar lima puluhan warga desa mengajaknya bergabung tanpa curiga.
Tetapi tiba-tiba seseorang berkata, "Hei! Tampaknya kau bukan penduduk desa sini dan di wajahmu ada rajah."
"Benar. Saya pesuruh dari penjara."
"Apa? Pesuruh dari penjara? Jangan dekat-dekat kalau begitu. Kenapa bajumu penuh darah?"
"Ini darah yang menempel ketika saya sedang menyembelih sapi. Kepala Penjara dan Kepala Sipir kedatangan tamu, jadi saya disuruh menyembelih sapi, domba, dan sebagainya."
"Oh, begitu. Tapi tampaknya darah itu masih kelihatan segar."
Warga desa berpandangandenganwajahtakut, tetapi karena sehari-hari mereka terbiasa melihat kejahatan orang-orang yang dihukum buang, mereka tidak lagi bertanya lebih dari itu. Rin Chu sendiri merasa suasana ini tidak menguntungkan baginya, maka dia bersikap hati-hati. Tetapi ketika dia menoleh, di dekat api unggun terletak beberapa botol arak yang sudah terbuka. Untuk menghilangkan rasa dingin, tentunya warga desa minum arak itu. Rin Chu pun tidak tahan lagi.
"Maaf. Bolehkah saya minta secangkir arak?"
Tak scorang pun angkat suara. Semuanya diam.
Karena tak ada yang menjawab, Rin Chu mengambil wadah yang ada di sekitar situ dan minum dua-tiga cangkir.
Pada saat itu, ada orang yang datang berlari dari arah makam tua. Orang itu berbisik-bisik dengan temannya di belakang Rin Chu. Akhirnya dia menghampiri Rin Chu.
"Tampaknya Anda sangat haus. Ayo, minumlah arak banyak-banyak, soalnya hawanya dingin sekali," katanya. Dia terus menawari Rin Chu.
Rin Chu berpikir, dia sudah cukup banyak minum. Tetapi ketika akan meletakkan cangkir, dia kembali lagi menuang arak. Tak lama kemudian, dia sudah hampir menghabiskan setengah guci. Lalu ketika dia hendak bangkit untuk mengucapkan terima kasih, tiba-tiba saiah satu laki-laki yang ada di depannya melemparkan jaring perangkap ke kepalanya.
"Nah! Aku sudah menangkapnya!"
Serta-merta tubuh Rin Chu dihujani pukulan berbagai macam alat, seperti tongkat, tombak, pengait, dan pelanting. Kemudian bagaikan memikul bangkai babi hutan, mereka mengangkut Rin Chu ke desa dan memasukkannya ke tempat pengeringan gabah.
"Mungkin orang ini bukan orang biasa. Begitu hari terang, kita bawa dia ke tempat kepala penjara. Mungkin kita akan mendapat hadiah." Demikianlah mereka ramai-ramai berbicara.
Tak lama kemudian kepala desa datang. Dia berkata, "Barusan ada pemuda yang datang dari rumah Juragan Sai Shin. Katanya jangan sekali-kali mencederai orang yang kalian tangkap itu, karena orang itu dulu pernah menjadi tamu kehormatan Juragan Sai Shin. Dia bilang, sebentar lagi utusan Juragan Sai Shin akan datang ke sini untuk membawanya."
"Apa? Kenalan Juragan Sai? Wah, kami sudah berdndak macam-macam kepadanya, Bagaimana ini?"
"Jangan khawatir. Beliau tidak akan memarahi kita. Tapi Jangan sekali-kali kalian membicarakan kejadian ini. Kalau ada yang sampai berbicara, orang itu tak akan dibiarkan tinggal di desa ini lagi. Kedudukanku sebagai kepala desa juga akan lenyap. Jadi, tolong kalian jaga mulut. Jangan bicara sepatah kata pun kepada pihak penjara."
Akhirnya, setelah lewat tujuh atau sepuluh hari, berita kejadian malam itu mulai tidak dibicarakan lagi.
Kini di sebuah ruangan di rumah orang ternama di daerah itu, si Angin Beliung Kecil Sai Shin, tampakiah Rin Chu si Kepala Macan Kumbang. Dia sedang mengucapkan rasa terima kasih sedalam-dalamnya atas kebaikan sang tuan rumah sekaligus berpamitan.
Dia sama sekali tidak ingat telah ditolong Sai Shin malam itu. Rin Chu dibawa ke rumah Sai Shin dan dirawat sebaik-baiknya. Rin Chu baru tahu keesokan harinya, setelah dia diberitahukan bagaimana kelanjutan kisah hari itu.
Di rumah ini terdapat berpuluh-puluh anak muda yang kuat serta beberapa tamu. Karena itulah, berita tentang kebakaran di tempat penyimpanan pakan kuda serta kejadian aneh di depan makam tua segera masuk ke telinga Sai Shin. Begitu mengetahui hal itu, Sai Shin langsung mengambil tindakan.
"Sepertinya orang-orang yang datang dari ibukota, begitu juga Kepala Penjara serta Kepala Sipir itu berniat mencelakai Pelatih Rin Chu. Tapi mereka malah tewas di tangannya. Memang reputasi buruk Kepala Penjara dan Kepala Sipir sehari-hari kerap terdengar. Dengan demikian, tewasnya mereka juga mungkin hukuman dari atas. Sebaliknya, kita justru harus merasa kasihan kepada Pelatih Rin Chu. Kita tidak boleh membiarkannya terbunuh." Demikianlah, dia segera memerintahkan anak buahnya untuk mencari Rin Chu dan mereka menemukannya pada waktu yang sangat tepat pula. Rin Chu akhirnya dibawa ke rumah Sai Shin.
Sai Shin yang melihat kesehatan Rin Chu sudah pulih merasa gembira, tetapi dia juga agak kecewa karena harus segera berpisah. Dia berkata, "Sebenarnya kalau bisa, aku ingin kau tinggal lebih lama di rumah kami. Tapi sepertinya tidak mungkin. Sejak kejadian itu, di empat penjuru jalan masuk ke wilayah penjara ini dipersiapkan tempat pemeriksaan yang sangat ketat, yang konon semut pun tidak dapat lepas dari pemeriksaan. Meld begitu kau tidak perlu mencemaskan masalah itu, serahkan saja kepadaku. Untuk sementara, kau pergilah ke San Tou. Aku sudah raemikirkan siasat agar kau terlepas dari pemeriksaan."
"Terima kasih atas segala kebaikan Anda. Budi baik ini tidak akan saya lupakan seumur hidup. Mestinya saya sudah mati saat ini, namun berkat pertolongan Anda, saya masih bisa hidup. Untuk itu, saya akan mengikuti segala petunjuk yang Anda berikan."
"Nah, aku sudah membuat surat rekomendasi. Bawalah surat rekomendasi ini ke Ryou Zan Paku, dan tunggulah sampai datang kabar baik."
"Mm, apa yang Anda maksud dengan Ryou Zan Paku?"
"Oh, kau belum tahu? San Tou adalah kampung air di Sai Shu yang menghadap ke sungai. Daratan seluas delapan ratus li' itu ditumbuhi pohon reed dan di sekelilingnya terdapat benteng yang didirikan oleh tiga laki-laki. Pemimpin di sana adalah laki-laki bernama Ou Rin, dan wakil-wakilnya adalah dua orang hebat bernama Sou Man dan To Sen. Anak buah mereka ada sekitar tujuh ratus orang, yang semuanya sudah dianggap sampah masyarakat. Menurut kabar, orang-orang yang tidak diterima pemerintahan Dinasti Sou sedikit demi sedikit mulai masuk ke sana untuk menghindari bahaya. Dengan kata lain, tempat itu dunia lain yang terbentuk secara alami bagi orang-orang terkucilkan. Aku kenal baik ketiga pemimpin di tempat itu. Kukira kau tidak akan diperlakukan semena-mena."
"Wah, tempat seperti itulah yang saya dambakan. Saya betul-betul ingin pergi ke sana, tetapi bagaimana saya dapat melepaskan diri dari pemeriksaan di gerbang jalan Sou Shu ini?"
"Jangan khawatir. Aku sudah membuat rencana dan aku akan mengantarmu sampai pertengahan jalan. Karena itu, segeralah bersiap-siap."
Rin Chu pun berganti baju dengan pakaian pemberian keluarga Sai. Dia juga dibekali uang, alat-alat perjalanan, dan kelengkapan lain.
Sai Shin sendiri memakai pakaian berburu yang kelihatan sangat ringan dan berwarna mencolok. Dia menaiki kuda lalu melewati gerbang rumah. Di luar sudah menunggu belasan pengikut termasuk beberapa tamu. Ada yang membawa bendera, eiang, atau anjing pemburu. Di tangan mereka tergenggam tombak, tongkat, dan berbagai senjata.
Secara cerdik Rin Chu disamarkan menjadi salah satu anggota pengikut. Demikianlah, mereka berangkat dengan gagah menyusuri jalan Sou Shu. Di pinggir jalan tampak gambar-gambar Rin Chu yang sedang dicari pemerintah, sedangkan di persimpangan terpancang papan pengumuman yang bertuliskan "Perintah Penangkapan Narapidana Rin."
"Anda lihat semua itu?" kata Sai Shin dari atas kudanya, menoleh ke belakang ke arah Rin Chu dan tersenyum. Rin Chu membalas senyumnya tanpa mengatakan apa-apa.
Tak iama kemudian di jalan raya sebelah timur terlihat pintu gerbang berjeruji dengan pos jaganya. Ketika rombongan Sai Shin hendak melewati gerbang, tiba-tiba terdengar seruan, "Tunggu! Tunggu!"
Penjaga gerbang dan anak buahnya bermunculan dari rumah jaga.
"Oh, ternyata Juragan Sai. Hari ini juga mau berburu?" kata kepala penjaga dengan sikap yang berubah ramah.
Sai Shin balas menunjukkan wajah yang ceria. "Oh, ternyata pasukan dari penjara. Tentunya kalian sangat lelah gara-gara peristiwa yang lalu itu. Apa orang yang gambarnya tertempel di sana-sini itu belum tertangkap?"
"Sama sekali tidak ada tanda-tanda sudah ter¬tangkap, Tuan. Kami yang repot jadinya. Siang-malam harus terus-menerus bertugas di tempat ini. Kami sampai tidak pernah lagi melihat sinar lampu di kota belakangan ini."
"Sudah pasti begitu. Tapi tak usah bersedih. Sepulangnya nanti, kami akan membawa oleh-oleh banyakdaging rusa dan burung. Aku juga akan menyuruh orang mengirim arak kepada kalian."
"Wah, kami akan menunggunya, Tuan. Terima kasih banyak."
"Baik. Nah, tentunya kalian harus tetap bertugas Silakan periksa dulu pengikutku seorang demi seorang!"
"Tidak perlu, Tuan. Kami percaya Tuan tahu benar akan hukum. Kami tidak perlu melakukannya. Silakan Tuan langsung lewat."
"Tapi kalau di antara pengikutku ada narapidana yang menyusup bagaimana?"
Para penjaga terkekeh. "Jangan bercanda, Tuan."
Sai Shin ikut tertawa. "Baiklah. Kalau begitu, kami pergi dulu."
Rombongan yang terdiri atas tiga puluh orang lebih itu melewati gerbang penjagaan dengan mudah.
Setelah berjalan kira-kira sepuluh li, Rin Chu memisahkan diri dari rombongan dan mengambil jalan yang berbeda. Selanjutnya, selama dua puluh hari dia melakukan perjalanan melalui gunung dan padang. Akhirnya pada suatu hari, sampailah dia di tempat yang angin dinginnya menusuk kulit serta saljunya teramat tebal. Tempat itu terletak di pinggir sungai di mana sebatas mata memandang, hanya tampak alang-alang dan gelagah kering.
Di tepi sungai tempat tertambatnya perahu-perahu, terdapat sebuah warung yang menjual arak. Ketika Rin Chu sedang minum arak di sana, si pemilik warung menatapnya dengan curiga.
"Anda pelancong? Anda bermaksud pergi ke mana di San Tou ini?"
"Aku justru ingin bcrtanya kepadamu. Menuju ke mana perahu yang ada di penyeberangan ini?"
"Ini bukan tempat penyeberangan perahu. Ini hanya tempat berlabuhnya perahu-perahu yang pulang setelah menangkap ikan."
"Oh. Jadi aku tidak mungkin minta diantarkan ke Ryou Zan Paku? Sulit juga."
"Memangnya Anda berrnaksud pergi ke Ryou Zan
Paku?"
"Ya."
Si pemilik warung semakin curiga. "Saya tidak tahu Anda mendengar dari mana, tapi kalau sudah berniat pergi ke Ryou Zan Paku, Anda tentunya sedang dikejar-kejar polisi pemerintah atau memiliki tujuan tertentu. Kalau sudah menyeberang ke sana, Anda tidak akan bisa kembali dengan mudah."
"Aku sudah tahu itu. Sebenarnya begini, aku dititipi surat ini untuk pemimpin di Ryou Zan Paku," kata Rin Chu sambil menunjukkan surat dari Sai Shin.
Si pemilik warung bolak-balik menatap tulisan di amplop lalu memandang Rin Chu. Sikapnya mendadak berubah dan dia berkata, "Maaf sekali. Ini pasti tulisan Juragan Sai dari Sou Shu. Maaf saya telah bersikap tidak sopan. Baiklah, saya akan segera memanggil perahu penjemput. Silakan Anda minum lagi untuk menghilangkan rasa dingin."
Siapakah sebenarnya pemilik warung itu? Sepertinya dia salah satu anak buah San Tou Ryou Zan Paku yang bertugas sebagai mata dan telinga mereka. Rupanya sebagai penyamaran, dia menjadi pemilik warung.
Tak lama kemudian si pemilik warung muncul lagi sambil membawa busur. Dia memasang anak panah yang besar, lalu melepaskannya ke arah pepohonan gelagah dan alang-alang nun jauh di sana. Dengung anak panah bergema di atas permukaan air, meninggalkan sisa bunyi yang sangat panjang. Lalu di sebelah sana, tiba-tiba saja sekelompok burung bangau beterbangan. Kini tampak sebuah sampan yang melaju kencang mendatangi mereka, membelah ombak di antara rerumpunan gelagah dan alang-alang.


LUAS Ryou Zan Paku, entah berapa ratus li, tidak bisa diketahui secara pasti. Namun, pada waktu itu diperkirakan luasnya mencapai delapan ratus li. Saat badai datang, tempat itu memang sangat menakutkan. Akan tetapi ketika cuaca cerah, pegunungan yang diselimuti awan putih, rimba belantara yang hijau, gelagah yang berderet rimbun sejauh mata memandang, serta alang-alang di tepi sungai, benar-benar pemandangan yang sangat indah, seolah-olah sedang memandangi lukisan Cina yang ternama "Ro Teki San Sui."
Di tempat inilah berkumpul beratus-ratus orang yang tidak dapat diterima dengan baik dalam masyarakat pemerintahan Dinasti Sou, serta orang-orang yang mereka diperlakukan tidak adil. Mereka membangun benteng dan secara terang-terangan menentang pemerintah. Mereka menamakan diri perampok budiman, yang kerap meresahkan orang-orang yang bepergian lewat air atau darat. Tentara pemerintah sering datang ke daerah ini untuk menumpas mereka, namun tak satu pun dari tentara itu yang pulang dalam keadaan hidup. Demikianlah, Ryou Zan Paku merupakan "benteng terapung manusia pelanggar hukum" yang sangat besar.
Pada hari itu, Rin Chu naik perahu yang dipanggil Shu Ki, si pemilik warung yang sebenarnya anak buah kelompok Ryou Zan Paku. Dia turun di Kin Sa Tan di tepi sungai seberang. Sambil berjalan, dia terkagum-kagum melihat keadaan benteng di sana.
Perairan di antara gelagah merupakan labirin bagi gerak perahu, sedangkan jalan di darat tampak seolah menyesatkan. Tepi sungainya yang sepi mirip tepi Sungai Sai. Beberapa pintu air yang berbentuk gua, jalan di lembah-lembah, serta pedalaman belantara dapat membuat orang yang masuk tidak tahu jalan kembali.
Ketika sampai di Dan Kin Tei di perut gunung, dia bertemu kepala Ryou Zan Paku, Ou Rin.
Ou Rin sebenarnya seorang pelajar yang sangat ulet di ibukota dan pernah berusaha mengikuti ujian pejabat negara. Namun ketika melihat kebusukan birokrat serta mengetahui kondisi masyarakat sebenarnya, dia pun menganggap belajar hanya merupakan kebodohan. Karena dia juga akhirnya tidak lulus dalam ujian, akhirnya dia menjalani kehidupan yang seenaknya tanpa tujuan. Ketika tiba di Ryou Zan Paku, dia mendapat teman, yaitu Sou Man, To Sen, Shu Ki, dan lain-lain. Akhirnya dia diangkat menjadi kepala dengan membawahi sekitar tujuh ratus atau delapan ratus anak buah.
"Kau si Kepala Macan Kumbang Rin Chu, yang membawa surat rekomendasi dari Saudara Sai Shin di Sou Shu? Silakan duduk."
"Oh, Andakah Saudara Ou Rin? Saya Rin Chu yang dulu bertugas sebagai pelatih di ketentaraan istana. Sekarang saya tidak memiliki tempat lagi di dalarn masyarakat. Apakah Anda mengizinkan saya tinggal di sini?"
"Mengenai asai-usulmu, aku sudah membacanya dalam surat dari Saudara Sai Shin. Dulu aku sering ditolong Saudara Sai Shin. Karena itulah, sebenarnya aku ingin menerimamu di sini, tapi..."
Ou Rin menoleh pada Sou Man dan To Sen yang ada di kiri-kanannya dengan agak sungkan.
"Kalau aku boleh jujur, Ryou Zan Paku kini dihuni tujuh ratus hingga delapan ratus orang sehingga bahan makanan untuk mereka saja selalu kurang. Sulit bagiku untuk mengatakannya, tapi tak ada pilihan lain. Bagaimana bila kuberi dirimu uang sebanyak sepuluh ryou, untuk ongkosmu pergi ke tempat lain? Kemudian untuk kehidupan ke depan, silakan kaupikirkan nanti di sana."
Dengan marah Rin Chu menolak. "Terima kasih untuk kebaikannya, tetapi saya datang ke sini bukan untuk mengemis. Kalau begitu, harap kembalikan saja surat itu. Saya akan pergi."
Dengan cepat, Sou Man dan To Sen menghentikan niat Rin Chu. Mereka kemudian mulai bicara pada Ou Rin.
"Kurasa tindakanmu tidak beralasan. Pertama-tama, cara seperti itu ibarat mencorengkan arang ke muka Saudara Sai. Kedua, tentunya bila kita mengusir orang yang membutuhkan bantuan, semua yang ada di Ryou Zan Paku bakal disebut sebagai orang-orang yang tidak tahu kebenaran dan tidak tahu balas jasa. Sedangkan semua yang ada di sini hidup berdasarkan budi dan kebenaran. Bagaimana jadinya kita nanti?"
"Tapi kita tidak bisa begitu saja memasukkan seseorang menjadi anggota. Ini mungkin akan membahayakan kita," kata Ou Rin.
"Kita sama-sama tahu itu cuma dalih. Jika kau curiga, suruh saja dia bersumpah untuk menjadi anggota kita."
"Hmm. Baiklah. Mari kita coba. Rin Chu, aku tidak akan menyuruhmu menulis janji, tetapi sebagai gantinya, kau harus mengerjakan apayangkuperintahkan dalam tiga hari. Bersediakah kau melakukannya>'
  "Kalau dengan  begitu  Anda  mengizinkan  saya ' tinggal di sini, apa pun akan saya lakukan."
"Bagus. Kalau begitu, tinggalkan dulu Ryou Zan Paku ini, dan bersembunyilah di jalan San Tou di pesisir sebelah sana. Dalam tiga hari, kau harus membawa sebuah kepala manusia. Itu pun tidak boleh kepala petanl atau nelayan, tapi harus kepala pejabat pemerintah atau kepala kesatria."
"Baik."
Malam harinya di Balairung En Shi di benteng Ryou Zan Paku, Rin Chu disambut dengan pesta minum-minum dan dikelilingi banyak orang. Namun dalam pesta itu pun Ou Rin seperti acuh tak acuh kepadanya. Melihat itu, Rin Chu berpikir.
Tampaknyaoranginipencemburusekali.Pikirannya picik pula. Pasti dia cemas kedudukannya direbut oleh orang yang bernasib sama dengannya. Sebenarnya aku juga tidak mau dipimpin orang berhati picik seperti dia, tapi karena tidak ada lagi tempat untuk tinggal, apa boleh buat.
Dengan wajah muram, Rin Chu memutuskan untuk melaksanakan janji mengikuti kemauan Ou Rin selama tiga hari.
Keesokan harinya Rin Chu bersiap-siap. Dia membawa sepucuk pedang panjang dan menyuruh prajurit pemandunya mendayung perahu menuju jalan San Tou di Sai Shu.
Pada hari pertama, dia tidak bertemu dengan satu pun manusia. Pada hari kedua, cuaca sangat cerah. Kalau hari ini pasti ada, pikirnya sambil bersembunyi di pinggir jalan atau menyelinap di antara rumpun pepohonan. Namun yang dia temui hanyalah seorang nelayan miskin yang akan pulang dan sepasang suami-istri petani yang lewat dengan membawa anak mereka.
Kini waktunya tinggal sehari lagi. Karena lelah dan panik, pandangan Rin Chu sudah mirip binatang buas. Untungnya lewat tengah hari, dia melihat pelancong yang sedang menyusuri jalan setapak di antara pepohonan sambil menggendong bungkusan besar menuju ke arahnya. Bagus! pikirnya, lalu dia berlari mendatangi pelancong itu tanpa berpikir lagi.
"Hei, Pelancong! Tunggu!" seru Rin Chu sambil mengentakkan ujung pedangnya ke tanah. Melihat itu, si pelancong terkejut dan menjatuhkan bawaannya.
"Hah! Pembunuh!" teriak si pelancong sambil lari pontang-panting ke dasar lembah. Mendengar jeritan dan melihat caranya berlari, jelas pelancong itu bukan pejabat pemerintah atau kesatria. Rin Chu merasa kecewa.
"Astaga! Hari ketiga sudah hampir berakhir. Sepertinya aku bernasib sial."
Tanpa sengaja dia menengok ke arah barang yang dibawa pelancong tadi, kemudian entah dari mana datangnya, hawa pembunuh terasa menepis pipinya.
Dia menoleh dengan kaget dan tepat pada saat itu, terdengar suara yang berseru, "Hei, Pencuri! Coba saja ambil barang itu, nyawamu pasti melayang!"
Suara itu gabungan antara kemarahan dan tawa sinis. Kata-katanya terasa bagaikan pedang tajam yang mengancam. Ketika Rin Chu memerhatikan, tampaknya yang bersuara adalah majikan orang yang tadi melarikan diri.
Orang itu laki-laki tegap berusia tiga puluhan, di sebagian wajahnya ada tanda lahir biru dan dia memiliki jambang kemerahan yang jarang dan tampak kusut. Di punggungnya tergantung caping dari Han You dengan hiasan benang berjuntai, sementara bajunya yang lusuh sudah tidak bisa dikenali lagi warna aslinya. Dia mengenakan celana pendek bergaris-garis merah dan biru, sepatu kulit sapi berbulu, dan di pinggangnya tersandang pedang yang sangat indah.
Laki-laki itu tertawa melibat Rin Chu yang tegang terpaku.
"Kau ini sayang nyawa tapi menginginkan barangku! Hei, Pencuri! Gantikan orang yang tadi melarikan diri dan pikul barang ini sampai kota. Aku juga bukannya tanpa perasaan. Kalau kau bersedia menemaniku sampai kota, aku mungkin akan mentraktirmu secangkir arak. Piiih salah satu."
"Setelah kulihat-lihat, tampaknya kau ini bukan orang kota biasa. Kau pasti kesatria."
"Betul sekali. Mungkin sekarang aku hidup berkelana seperti ini, tapi sebelumnya aku cicit salah satu dari lima pangeran, Pangeran You, dan pernah menjadi pengawal pribadi Kaisar Ki Sou yang sekarang. Jadi aku kesatria unggul dibanding yang lain. Nah, demikianlah adanya aku, kau bagaimana?"
"Bagus! Kalau begitu, aku minta kepalamu."
"Apa? Jangan main-main!"
Pada waktu nyaris bersamaan, muncul kilatan sinar putih di antara kedua orang itu bagaikan dua naga yang sedang menyemburkan bunga api berpijar. Walaupun demikian, meski pedang mereka berpuluh-puluh kali beradu dengan jurus simpanan masing-masing, tak sehelai pun rambut lawan yang tertebas. Akhirnya ali-ali dekat pegangan pedang mereka beradu. Napas mereka tersengal-sengal dan keringat membasahi jambang mereka.
Tiba-tiba, dari tempat yang agak tinggi terdengar teriakan, "Hei, kalian, berhenti dulu! Rin Chu, janjimu yang tiga hari cukup sampai di situ. Lalu wahai kesatria pelancong, silakan sarungkan pedang Anda."
Ternyata orang itu Ou Rin, si cendekiawan, yang mengenakan pakaian putih. Dia datang bersama To Sen dan Sou Man disertai sekelompok anak buah yang tampaknya berniat melihat bagaimana Rin Chu memenuhi janjinya.
"Hebat betul jurus pedangmu," Ou Rin menyapa si kesatria. "Kuharap kau bersedia mcngunjungi bcnteng kami malam ini. Kami akan mcnceritakan sccara terperinci tentang Rin Chu, kemudian mungkin kau juga akan bersedia membagi cerita mengenai dirimu."
Ou Rin membawa mereka ke balairung pertemuan benteng Ryou Zan Paku. Malam hari itu diadakan pesta besar.
Rupanya Ou Rin berpikir bahwa kalau hanya menerima Rin Chu di tempatnya, kedudukannya dapat terancam. Tetapi apabila ada seorang lagi dengan kemampuan yang sebanding Rin Chu, dengan sendirinya mereka berdua akan saling mcngawasi. Ou Rin akan mudah menguasai mereka berdua dan kedudukannya bakal tetap aman. Karena itulah dia terus-menerus menjamu si kesatria dan memberinya penghormatan.
"Kami sudah mendengar cerita tentang pengem-baraanmu. Nah, sekarang bagaimana kalau kau tinggal di sini dan hidup dalam suasana menyenangkan sebagai laki-laki sejati?" dengan ringan Ou Rin menawari si kesatria.
"Aku berterima kasih atas tawaranmu. Tapi karena aku masih memiliki rumah serta keluarga di Kai Hou, bagaimanapun aku harus pulang dulu ke Sana. Lagi pula alasanku sampai hidup terlunta-lunta seperti ini sebenarnya memalukan."
Si kesatria menenggak araknya sampai hahis lalu menertawakan nasibnya sendiri dengan sinis. Semakin dia mabuk, tanda lahir biru di wajahnya kian tcrlihai membirti.
"Keluargaku secara turun-temurunadalah pciigjw.il kaisar Dinasti Sou. Selain bertugas sebagai pengawal di istana, aku juga pernah menjadi perwira pasukan yang langsung berada di bawah Jenderal Kou. Tapi setahun lalu, ketika Kaisar Ki Sou membuat taman di istaiu terpisah di Gunung Ban Zai, sepuluh orang perwira dikirimkan ke Sei Kou untuk membawa bacu terkenal dari sana dan mengangkutnya ke ibukota.
"Aku termasuk sepuluh perwira itu. Waktu itu, kami mengangkut batu-batuan yang langka dari Sei Kou dengan perahu besar melalui Sungai Kou Ga. Namun naas, akibat dilanda baclai yang sangac besar, kami tidak dapat menuntaskan tugas. Karena merasa malu, aku bersembunyi di kampung. Baru beberapa waktu kemudian, aku mendengar bahwa telah dikeluarkan keputusan untuk memaafkan para perwira yang tidak tuntas melaksanakan tugas tersebut."
"Begitu. Aku mengerti. Jadi kini kau sedang dalam perjalanan menuju ibukoca?"
"Betul. Aku berniat kembali ke ibukota untuk mengembalikan nama baik keluarga dengan cara mendapatkan kembali pekerjaan yang dulu. Kalau tidak berhasil, aku takkan dapat mengangkat muka lagi di hadapan nenek moyangku. Bahkan aku sampai membawa berbagai upeti untuk menyuap pejabat-pejabat yang harus kutemui demi kelancaran niat tersebut. Tapi kctika tiba di tempat tadi, tiba-tiba saja aku diserang orang bernama Rin Chu itu. Hampir saja kepala yang cuma satu-satunya ini terlepas dari leher," lanjut si kesatria sambil tertawa.
Mendengar itu, untuk pertama kalinya Rin Chu juga membuka mulut. "Maaf terlambat memperkenalkan diri. Aku sendiri dulu berada di bawah perintah Jenderal Besar Kou, berkedudukan sebagai pelatih di ketentaraan istana. Namaku Rin Chu, si Kepala Macan Kumbang. Ketika aku mendengar ceritamu, tampaknya dapat dikatakan kita ini sejawat. Kalau tidak salah, bukankah kau ini You Shi yang disebut-sebut sebagai Iblis Muka Biru?"
"Oh. Benar sekali. Aku memang You Shi, si Iblis Muka Biru. Tetapi mengapa Pelatih Rin yang terkenal bisa berada di tempat scperti ini?"
"Yah, lihatlah rajah ini," kata Rin Chu, menuding rajah di dahinya sambil tertawa pahit. Lalu dia bercerita secara terperinci tentang pengasingannya dari ibukota ke Sou Shu sebagai hukuman, juga tentang bagaimana dia melarikan diri dari tempat penahanan sampai tiba di sini.
Aku tidak akan melanjutkan dengan member! contoh buruk lainnya. Namun seperti yang bisa kita
pelajari dari kisahku, Jenderal Kou Kyu sungguh pejabat jahat yang tidak dapat diandalkan. Bukan hanya dia, para tentara dan pejabat yang ada di sekelilingnya, kemudian semua orang di Kekaisaran Ki Sou memang sudah terbukti kebusukannya. Dalam kondisi seperti itu meslcipun kembali ke ibukota, kau pasti takkan dapat hidup tenang dalam waktu lama. Daripada kembali ke ibukota, bagaimana kalau kau mencoba hidup sesuai saran Saudara Ou Rin? Hidup di dunia terpisah ini dengan berpegang pada tujuan hidup sebagai laki-laki sejati."
"Aku juga sangat tertarik dengan saranmu, namun seperti yang sudah kukatakan tadi, aku tidak bisa."
"Yah, kalau kau tetap berkeras seperti itu, aku tidak akan menghalang-halangimu," kata Ou Rin pasrah.
"Kalau begitu, malam ini kita harus bersenang-senang untuk mendoakan agar jalan di depan You Shi si Iblis Muka Biru terbuka lebar. Tapi kuharap kau selalu ingat bahwa di Ryou Zan Paku ini ada sekelompok manusia yang hidup demi untuk menentang kebusukan Dinasti Sou. Lalu suatu saat nanti, jika kau mau bergabung dengan kami, kami akan sangat senang."
"Aku pasti akan membantu kalian. Sepertinya kita memang sudah ditakdirkan untuk saling membantu."
Keesokan harinya, setelah diberi uang jalan serta dilepas secara besar-besaran oleh Ou Rin dan anak buahnya, You Shi meninggalkan Ryou Zan Paku sambil mclambaikan tangan dari perahu.
Kini cerita beralih pada perjalanan kesatria bertubuh tinggi dan bermuka biru, You Shi, ke ibukota Tou Kei di Kai Hou.
Setelah tiba di ibukota, You Shi membuka bungkusan barang bawaannya. Dari bungkusan-bungkusan tersebut, dia mengeluarkan ukiran dari emas perak, batu gerusan terkenal, batu permata, dan banyak lagi, yang dia kumpulkan dari daerah-daerah yang dikunjunginya. Tanpa merasa sayang, dia menggunakan semua barang berharga itu untuk menyuap para pejabat. Akhirnya tanda-tanda dia akan bisa kembali menduduki jabacannya mulai terlihat.Tinggal menunggu pengecapan surat-suratnya oleh Panglima Besar Jenderal Kou.
"Dengan begini, tampaknya aku akan bisa kembali menduduki jabatan lamaku dengan lancar," katanya menunggu hari dengan penuh harap.
Beberapa hari kemudian, akhirnya datanglah perintah dari istana untuk menghadap. Karena hari itu cuaca cerah, dia mengenakan pakaian istimewa yang bersih. Sesampainya di sana, dia menunggu di salah satu ruangan di istana. Tak lama kemudian, Jenderal Kou datang. Lalu begitu bersandar di kursinya, dia langsung bertanya, "Jadi, kau yang bernama You Shi?"
"Betul sekali, Paduka. Hamba You Shi, salah satu dan sepuluh petugas yang dulu mengcmban perintah."
"Tak tahu malu betul kau berani datang ke sini! Dari riwayat hidup serta surat permohonanmu, kulihat kau berasal dari keluarga yang turun-temurun mendapatkan banyak budi dan jasa dari keluarga Sou. Tapi tahun lalu, saat kau mendapat tugas dari Kaisar untuk mengangkut batu-batuan dari Sei Kou, di tengah perjalanan kau membuat perahu tenggelam. Tidak hanya itu, setelah itu tanpa melapor kau menghilang begitu saja. Sampai hari ini kau terus bersembunyi, bukan? Apa namanya orang yang bertindak seperti itu kaJau bukan pembangkang?"
"Paduka, mengenai alasan hamba tidak kembali sudah hamba tulis secara terperinci dalarn surat permohonan itu. Karena kemudian hamba mendengar bahwa ada pembebasan untuk kami semua, hamba memberanikan diri datang ke sini. Mohon Paduka berkenan memberikan kebijaksanaan kepada hamba."
Diam kau, bodoh! Perintah pembebasan itu bukan untukmu! Dari sepuluh orang yang bertugas itu, dua dan tiga orang kembali ke Sei Kou dan menunggu hukuman mereka. Perintah pembebasan itu hanya untuk mereka. Karena kau adalah pembangkang yang melarikan diri begitu saja, aku tidak akan mengizinkanmu kembali menduduki jabatan. Permohonan ini kutolak. Cepat keluar dari sini!"
You Shi tersentak mendengarnya. Penolakan tersebut membuatnya putus asa. Sejak saat itu, dia terus bergelut dalam kegamangan dan kesedihan.
"Baru sekarang aku menyadari bahwa kata-kata Rin Chu benar. Karena tidak tega mengotori nama keluarga dari nenek moyang serta nama diriku sendiri yang merupakan pusaka orangtua, aku menolak ajakan Ou Rin dan malah datang ke ibukota untuk melanjutkan cita-cita. Ternyata benar bahwa ibukota di bawah kekuasaan Kou Kyu ini bukanlah tempat yang bisa kutinggali."
Sekarang tak ada lagi yang bisa dikerjakan You Shi. Dalam dirinya pun tidak ada keinginan untuk mencari pekerjaan. Dia sudah menghabiskan segala benda berharga yang dimilikinya untuk menyuap, demi mengambil kembali jabatannya. Sampai-sampai untuk makan hari esok pun dia kesulitan.
"Oh ya. Aku masih punya pedang turun-temurun dari nenek moyang. Kujual saja pedang itu, kemudian uangnya kubagikan kepada orangtua dan anak-anak yang ada di tempatku. Sisanya akan kugunakan untuk biaya perjalanan ke kabupaten lain. Barulah nanti di tempat itu, kupikirkan bagaimana aku hams menjalani hidup."
Hari itu juga dia pergi membawa pedangnya untuk dijual, lalu dia berdiri di perempatan Kota Ba Kou.
Malangnya tak seorang pun yang menanyakan harga pedang tersebut. You Shi kemudian pindah tempat ke sisi Jembatan Ten Kan Shu yang cukup ramai.
"Ini pedang yang sangat terkenal. Pedang pusaka yang sangat langka. Tak adakah yang memerhatikan pedang ini?" katanya menawarkan pedangnya kepada setiap pejaJan kaki.
Tiba-tiba, seorang laki-laki berperawakan besar dengan dada berbulu lebat datang menghampirinya dengan langkah lebar. Dari tubuhnya tercium bau arak bercampur minyak yang sangat tajam. Melihat itu, orang-orang yang sedang berjalan langsung berbisik-bisik.
"Coba lihat. Si Harimau Tak Berbulu hend.ir mengganggu penjual pedang itu."
"Jangan-jangan Gyu Ji, si Harimau Tak Berbulu, man mempermainkan dia."
Orang-orang pun mulai berkerumun mengelilingi mereka. Benar saja. Berandal kota yang disebut Gyu Ji alias si Harimau Tak Berbulu ini sejak awal sudah memandang enteng You Shi. Dia mulai meledek kesatria buangan tersebut.
"Apa? Pedang tua seperti ini dihargai 3000 kan'. Heh! Jangan kaukira semua orang di sini buta ya!"
You Shi tertawa. "Kau mabuk, ya? Aku tidak memintamu untuk membelinya. MinggirlaJl. Pergi dari sini."
"Siapa yang mau? Kau kira aku tidak mampu membelinya?"
"Pedang ini pusaka keluarga kami. Menjual pedang ini rasanya seperti berpisah dengan anak. Jadi aku tidak mau pedang ini dimiliki olehmu."
"Kalau begitu, aku beli! Jika kau sudah menghinaku seperti itu, aku harus membcli pedang itu. Tap' tentunya pedang itu tidak tumpul, kan?"
"Kau masih juga berkeras. Padahal sudah kubilang aku takkan mau menjualnya padamu."
"Jangan main-main. Aku mau beli, tetapi coba kautunjukkan dulu ketajamannya. Atau kau takut, ya? Bcrarti kau ini memang seorang penipu."
"Kalau kau mengataiku penipu di depan orang banyak, aku tak bisa membiarkanmu begitu saja."
"Huh, kalau cuma tabu atau akar teratai, pedang mana pun tentu bisa memotongnya. Nab, apa yang bisa dipotong oleh pedang seharga 3000 kan?'
"Dengar ya. Biar dipakai memotong besi dan baja, mata pedang ini tak akan rompal sedikit pun."
"Itu saja?"
"Rambut juga, kau terbangkan rambut, pedang ini bisa membelahnya. Karena itu, pedang ini dinamai Pedang Pembelah Rambut Terbang."
"Hebat sekali omonganmu. Tapi kalau tidak bisa memotong manusia hidup, pedang itu tidak berguna, kan?"
"Biar digunakan pada manusia, pedang ini tidak akan meninggalkan tetes darah di bilahnya. Sudahlab. Kukira penjelasanku sudah cukup. Tolong minggir."
Tidak mau. Sekarang baru mulai menarik. Coba potong ini!"
Gyu Ji menumpuk uang tembaga di langkan Jembatan Shu seperti pagoda.
"Hei! Tukang tipu! Coba potong uang ini. Kalau bisa memotongnya, kau akan kuberi uang sebanyak 3000 kan. Tapi kalau tidak, kaulah yang tidak akan kubiarkan begitu saja!"
Orang-orang yang berkertimun segera membentuk lingkaran. Berandalan yang cukup tersohor di kota sedang berperang mulut dengan penjual pedang. Orang-orang yang berkerumun semakin banyak jumlahnya, ingin tahu bagaimana akhir perdebatan.
"Baiklah. KaJau begitu, akan kuperlihatkan." You Shi pun melangkah ke dekat langkan Jembatan. Selama beberapa saat dia menatap tajam uang logam itu. Kemudian tanpa terlihat kapan tepatnya dia melepas pedang, dalam sekejap uang logam terpotong menjadi beberapa bagian dan terpental dari kedua sisi pedang. Tak tertinggal bekas goresan sedikit pun di langkan. 'Wah! Benar-benar terpotong!" Mendengar   teriakan   kagum   para   penonton,   si Harimau Tak  Berbulu semakin  berang. Tingkahnya semakin pongah. Tiba-tiba dia mengulurkan segumpaJ jenggotnya dan  berseru,  "Tunggu dulu, kesatria tak bertuan.   Permainan   sulap   seperti   itu   sudah   biasa dilakukan oleh tukang-tukang sulap jalanan. Sekarang, coba potong seperti kata-katamu tadi."
"Baik. Coba kauperhatikan baik-baik."
You Shi menerima gumpalan rambut itu dengan tangan kiri. Lalu dengan perlahan dia meniup rambut di tangannya itu ke atah pedangnya yang berkilauan.
"Wah! Hebat sekali!"
Para penonton terkesima. Rambut yang ditiup oleh You Shi tampak seakan terisap sang pedang pusaka. Begitu terlepas dari tangannya, rambut itu terbelah dua, lalu melayang-layang seolah-olah menari dan berjatuhan.
"Betisik! Aku belum mau mengaku kalah! Kau bilang, jika pedang ini dipakai menebas orang, tidak setitik pun darah akan menempel di badan pedang, kan? Coba buktikan!"
"Baik. Bawa ke sini seekor anjing."
"Kau mau apa dengan anjing?"
"Kau pasti tahu, kan? Mana mungkin aku menebas manusia."
"Sudan kuduga kau akan bilang begitu. Dalih seorang penipu memang sudah dapat ditebak sebelumnya. Kalau kau tidak bisa, bilang saja terus terang dan langsung minta maaf pada penonton."
"Aku tidak akan menjual pedang ini kepadamu. Kita cukupkan sampai di sini saja."
"Tidak bisa," kata si Harimau Tak Berbulu, lalu dia mencekal pergelangan tangan You Shi. "Pedang ini akan kubeli. Jadi sekarang buktikan kata-katamu bahwa meskipun menebas manusia, di bilah pedang ini tidak akan tersisa setitik darah pun."
"Kalau kau memaksa, coba keluarkan dulu uangnya."
"Sekarang aku tidak bawa uang. Uangnya dapar dibayar kemudian. Yang penting sekarang adalah kau harus menebas dulu manusia hidup. Tunjukkan bahwa pedangmu itu memang seperti yang kaukatakan. Atau apa kau mau minta maaf dengan bersujud ke tanah?"
You Shi yang sudah kewalahan tampaknya tidak bisa lagi menahan diri. Meskipun wajahnya yang biru tampak sangat geram, dalam berkata-kata dia tetap tenang.
"Kalau begitu, tolong kalian jadi saksi," kata You Shi kepada para penonton. "Seperti yang kalian lihat, berandalan ini sejak tadi terus menggangguku. Aku sudah mencoba meredamnya, tetapi tidak berhasil. Bahkan dia memintaku menebas orang hidup dan tidak mau membatalkan permintaannya itu. Nah, sekarang apa yang harus kulakukan?"
Tiba-tiba   dari   segala   penjuru   penonron   mulai berseru-seru.
"Tebas saja dia. Tebas! Perlihatkan ketajaman pedang itu pada si Harimau Tak Berbulu."
"Kalau dia sudah tidak ada, kota ini akan mem'adi tenang dan ceria. Yang merasa gembira tentunya sangat banyak, tak seorang pun yang akan merasa sedih. "Kesatria, tolong tebas dia saja."
Mendengar itu, si Harimau Tak Berbulu tidak tahan juga. Tabiat aslinya semakin terlihat. Tiba-tiba dia menyeruduk You Shi dan mencoba mengambil pedang yang ada di tangan kesatria itu. Tetapi serudukannya tidak mengenai sasaran dan dia malah melayang di udara. Itu pun hanya sekejap. Sekonyong-konyong, di hadapan para penonton muncul kabut merah darah yang seolah-olah membentuk sekuntum bunga besar.
"Astaga! Dia betul-betul menebas si Harimau Tak Berbulu!"
Mereka tidak menyangka You Shi betul-betul akan melakukannya. Para penonton menjerit ngeri. Di bawah kaki You Shi tetgeletak tubuh besar si Harimau Tak Berbulu yang terbelah dua. Lalu di bilah pedang yang dipegang You Shi dalam posisi lurus, memang betul tidak terlihat sedikit pun bekas darah.
"Saudara-saudara sekalian," katanya kepada para penonton. "Tenanglah. Aku tidak akan membuat kalian semua mengalami kesulitan. Seperti yang baru saja kalian lihat, di Jembatan Ten Kan Shu, siang ini aku telah membunuh orang. Tindakan ini tentu saja tidak akan terlepas dari konsekuensi hukum. Saudara-saudara semua merupakan saksi hidup kejadian ini. Sekarang aku akan melaporkan diri ke kepolisian. Karena itu, tolong beri jalan untukku."
Sikapnya benar-benar gagah. Orang-orang pun tampaknya kagum akan sikapnya itu. Mungkin karena mendengar kabar ini, di depan gerbang kantor polisi yang dimasuki You Shi, orang-orang tampak berkerumun.
"Si Harimau Tak Berbulu yang salah. Setiap saat Gyu Ji meresahkan orang-orang dan sekali pun belum pernah berbuat baik untuk masyarakat. Tolonglah penjual pedang itu," teriak mereka. Sejak itu, mereka mengajukan surat permohonan pembebasan bagi You Shi, memberi makanan, sampai mengumpulkan uang bantuan. Orang-orang kota yang bersimpati juga melakukan berbagai gerakan untuknya.
Setelah enam puluh hari terkurung sebagai tahanan. akhirnya keputusan dijatuhkan. Sebagian besar petugas kepolisian juga merasa kewalahan dengan si Harimau Tak Berbulu yang terkenal keberandalannya. Mulai dari petugas pengadilan hingga penjaga tahanan, harnpir semuanya bersimpati terhadap You Shi. Keputusan untuk hukumannya pun akhirnya sangat ringan.
"Hukuman buang ke Hoku Kei, pangkat diturunkan menjadi prajurit dua, serta ditempatkan di bawah komandan penjagaan di wilayah pemerintahan daimyo"
Begitulah vonis yang dijatuhkan kepada You Shi. Bersamaan dengan itu diputuskan pula bahwa, "Pedang pusaka yang dimiliki si terhukum disita untuk dijadikan barang pemerintah."
You Shi tidak dapat menolak ketika dahinya dirajah karena tindakan itu sudah menjadi bagian aturan hukum.
Kemudian dia digiring pengawal  menuju  tempat di bawah naungan langit Hoku Kei.

PADA saat itu, Hoku Kei disebut sebut wilayah pemerintahan daimyo dan terkenal pula sebagai salah satu ibukota dari lima ibukota besar yang ada.
"Jika bisa meredam sungai utara, dunia akan bisa ditaklukkan. Jika sungai utara banjir, dunia pun akan kacau-balau."
Sesuai dengan ungkapan yang sudah ada sejak zaman Tou itu, wilayah ini sangat sulit ditaldukkan karena di sebelah barat terdapat Pegunungan Tai Kou, di sebelah utara terdapat Laut Hok Kai, dan di sebelah utara terdapat benteng Ban Ri yang dapat menangkal serangan dari bangsa-bangsa yang ada di utara. Tetap karena akhir-akhir ini ada kemungkinan muncul serangan dari Jo Shin (Kin) dari Man Shu dan RyOUj maka Kaisar Ki Sou yang menganggap penting wilayah ini menempackan seseorang yang bisa diandalkan sebagai panglima ketentaraan dan penjagaan di daerah ini.
Panglima itu bernama Sei Ketsu Ryou Chu Sho.
Ryou Chu Sho adalah menantu Paduka Yang Mulia Sai Kei, perdana menteri di ibukota. Di Hoku Kei ini tentu saja kedudukannya sangat tinggi sebagai penguasa kemiliteran serta pemerintahan. Dengan demikian, kehebatan penampilannya tidak perlu diungkapkan lagi.
"Oh, jadi pangkat You Shi di ibukota sudah diturunkan menjadi prajurit biasa," gumam Ryou Chu Sho suatu hari, ketika melihat dokumen yang diserahkan kepadanya oleh pengawal pengantar.
Karena pada dasarnya You Shi berasal dari keluarga yang terkenal, sedikit - banyak Ryou Chu Sho tahu tentang kesatria itu. Setelah memberikan cap pada surat penerimaan You Shi dan menyuruh pengawal itu pulang, dia segera memanggil You Shi ke kediamannya.
"Kejahatan apa yang kaulakukan sampai kedudukanmu diturunkan menjadi prajurit rendahan seperti sekarang?" tanyanya mengorek keterangan. Kemudian setelah mendengar penjelasan You Shi yang sangat terperinci, dia berkata, "Oh, begitu. Hanya karena itu ya. Baiklah. Tunggu saja waktunya. Aku tidak akan membiarkan orang sepertimu tetap menjabat sebagai prajurit rendahan," katanya menghibur dan untuk sementara You Shi ditempatkan sebagai prajurit di istana kediamannya.
Tetapi meskipun memiliki jabatan yang sangat tinggi, Ryou Chu Sho tidak mungkin begitu saja mengangkat kedudukan You Shi tanpa alasan. Maka dia menunggu waktu latihan ketentaraan di Hoku Kei yang diadakan sehari penuh di lapangan besar di luar istana. Ryou Chu Sho akan melihat keahlian bela diri You Shi. Jika You Shi memiliki kebolehan yang menonjol, dia akan memberi You Shi penghargaan serta kedudukan yang layak. Demikianlah pikirnya.
Waktunya adalah pada bulan dua, saat awal musim semi. Lapangan besar tempat para prajurit berlatih dipenuhi kuda serta bendera dari ketiga pasukan yang ada di Hoku Kei. Ketika waktunya tiba, terompet dari kerang besar dibunyikan, tambur bertalu-talu, dan dengan diiringi musik pasukan pemusik tentara, muncullah Ryou Chu Sho disertai wakil serta pembesar lainnya menuju tempat upacara.
Setelah melakukan inspeksi pasukan secara khidmat, di bawah aba-aba dua jenderal besar, yaitu Ri Ten Nou Ri Sei dan Mo Dai Tou Bun Tatsu, seluruh pasukan menghadap ke arah tempat duduk Chu Sho dan memberikan penghormatan sambil berteriak tiga kali. Teriakan mereka membuat bumi seolah-olah bergetar.
Segera saja para tentara berpisah menjadi dua kelompok besar, kemudian bendera merah dan putih pun dikibar-kibarkan. Dengan ditandai bunyi tambur, setiap kelompok mempertunjukkan jurus serangan sayap bangau, burung awan, aliran air, putaran roda, lembut-keras, dan banyak lagi sebanyak 36 bentuk jurus serangan. Di akhir pertunjukan, sambil berteriak lantang kedua kelompok itu mulai bertempur, bersaing menunjukkan kebolehan masing-masing untuk saling mengalahkan.
Di anrara tentara-tentara itu, wakil panglima pasukan merah, Shu Kin tampak sangat menonjol. Tidak seorang pun yang sanggup bertahan menghadapi kelihaian ilmu tombaknya.
"Shu Kin! Penampilanmu hari ini hebat sekali. Kau pastilah giat berlatih setiap hari," Ryou Chu Sho memuji Shu Kin dari kursinya yang berwarna perak gemerlap. Kemudian dia melanjutkan, "Omong-omong, di sini ada You Shi, mantan perwira kekaisaran yang diturunkan jabatannya menjadi prajurit dan dikirim ke sini. Sekarang dia menemaniku di belakang. Sebagai perwira pengawal kaisar, dia sangat unggul dalam ilmu bela diri secara umum. Cobalah kau bertanding dengannya di sini untuk memperlihatkan kebolehan jurus tombak masing-masing."
"Maaf, Paduka," kata Shu Kin agak cemberut. "Keterlaluan sekali kalau saya harus bertanding dengan prajurit buangan."
"Jangan membantah," bentak Ryou Chu Sho dengan suara agak meninggi. "Sekarang ini di mana-mana perampok merajalela dan di perbatasan, bangsa Ryou dan bangsa Jo Shin sedang mengintip kelengahan kita. Jadi, hari ini merupakan hari yang baik sekali untuk mencari bibit unggul yang berguna bagi negara. Kalau dia benar-benar memiliki keunggulan dalam ilmu bela diri, meskipun dia hanya seorang prajurit, kita harus memanfaatkannya. Kalau tidak, sama saja artinya dengan tidak setia kepada negara. Apa kau masih tidak puas?"
"Maksud saya sama sekali tidak seperti itu, Paduka!"
You Shi yang muncul di situ sejak lama sudah menyadari bahwa dia sangat diperhatikan oleh Ryou Chu Sho. Dia sendiri sama sekali tidak keberatan dengan perintah Ryou Chu Sho.
You Shi dan Shu Kin diberi baju zirah warna hitam dan kuda hitam. Senjata yang digunakan adalah tombak yang ujungnya dibalut dengan kain hingga berbentuk bulat. Pada kain itu diberi banyak bubuk kapur.
"Mulai!"
Di hadapan Ryou Chu Sho, sambil menunggang kuda, mereka mulai saling beradu tombak. Karena bukan tombak asli agak sulit untuk menilai kalah-menangnya, namun perbedaan kebolehan di antara keduanya tampak jelas. Setelah beberapa saat bertanding, pada kuda serta baju Shu Kin terlihat banyak bekas noda putih yang menempel, sedangkan patia kuda maupui! itubuh You Shi tidak ada noda putih setitik pun.
Tambur yang menandakan penentuan siapa yang kalah dan menang pun ditabuh. 'I'iba-tiba komandan kavaleri yang bernama Ri Sei maju ke depan dan menghadap ke tempat duduk sang pemimpin.
"Tampaknya Shu Kin penasaran, Paduka. Dia ahli memanah. Dengan demikian, sudilah kiranya Paduka mengizinkannya bertanding sekali lagi dengan menggunakan busur."
"You Shi! Bagaimana?"
"Baik, Paduka!"
Sekali lagi bendera biru dikibar-kibarkan di atas podium komando. Tambur serta genta ditabuh bertalu-talu. Kuda-kuda pun berlarian saling mengejar menuju arah selatan di lapangan tempat latihan itu.
You Shi memacu kudanya. Shu Kin melepaskan tiga anak panah, namun ketiga anak panah itu dengan sigap ditepis You Shi menggunakan tameng yang ada di tangannya.
Sekarang giliran You Shi yang mengejar. You Shi menarik busurnya, namun dengan sengaja dia tidak mengincar bagian yang vital dan hanya melepaskan panah ke arah pundak Shu Kin. Tetapi, meskipun hanya pundak tentunya terasa sakit juga. Shu Kin menjerit dan jatuh terguling dari atas kuda.
"Memang betul jurus You Shi merupakan jurus bela diri kelas atas di pusat. Shu Kin bukanlah tandingannya. Untuk semcntara, aku akan mcnyerahkan kedudukan Shu Kin kepada You Shi, dan mulai hari ini dan seterusnya kujadikan You Shi sebagai wakil panglima. Segera buat surat pengangkatan dan berikan kepada You Shi!" perintah Ryou Chu Sho.
Begitu Ryou Chu Sho selesai memberikan perintah, tiba-tiba seorang laki-laki bertubuh besar meloncat ke luar barisan.
"Kata-kata Paduka barusan tidak menggembirakan saya, Saku Chou. Saya berkata begini bukan karena Shu Kin murid saya, melainkan karena Paduka berkata bahwa jurus-jurus You Shi merupakan jurus bela diri kelas atas di pusat. Dengan begitu, Paduka seolah-olah berkata bahwa dari semua tentara yang ada di Hoku Kei, tidak seorang pun yang memiliki kemampuan seperti You Shi. Jikalau Paduka ingin memuji dia seperti itu, saya mohon agar dia bisa mengalahkan saya dulu."
Ryou Chu Sho tertawa. "Aku kira siapa. Ternyata Saku Chou, si Jenderal Garis Depan. Baiklah! Baiklah! Kalau itu keinginanmu, bertandinglah!'
Situasi semakin memanas. You Shi dan Saku Chou diperintahkan untuk mengenakan baju zirah yang kuat, kemudian tempat bertanding dipindahkan ke dekat tempat duduk Ryou Chu Sho. Ryou Chu Sho maju sampai mendekati pagar di panggung itu. Saat itu di atas menara tujuh gerbang di Hoku Kei, matahari mulai condong ke arah barat mendekati awan senja, sehingga para pendamping menaungi pemimpin mereka itu dengan payung besar yang pinggirannya dihiasi dengan indah.
Musik mars penanda dimulainya pertandingan dibunyikan. Begitu musik berhenti, di belakang pagar di kedua sisi lapangan terdengar genta dan tambur bertalu-talu. Di atas menara, bendera kuning tanda persiapan dikibar-kibarkan.
Jauh dari sisi lapangan kuda, bunyi meriam penanda bahaya berdentum, bergema di langit sore. Di bawah bendera di gerbang sebelah barat terlihat sang Jenderal Garis Depan Saku Chou, sedangkan di gerbang sebelah timur terlihat si Iblis Muka Biru, You Shi. Masing-masing memakai baju zirah dan topi perang yang garang. Mereka berdua terlihat sangat bersemangat seolah-olah akan menuju medan perang. Mereka sating mendekat.
"Hyaaaaa!"
Kedua kesatria berkuda itu segera saling menempel, berputar-putar bagaikan ikan mas yang berenang.
Saku Chou menunggang kuda putih dan memegang kapak berukir api berwarna emas, sedangkan You Shi memegang sebilah tombak yang sangat tajam. Mereka berdua  memacu kuda  mereka,   bcrputar-putar saling mengincar kelengahan lawan.
Pertandingannya benar-benar indah. Wibawa serta kepiawaian mereka memainkan jurus-jurus bela diri membuat para penonton berdecak lidah. Berpuluh-puluh kali kemilau kapak beradu dengan kilatan tombak. Meskipun kedua kuda yang mereka tunggangi sudah berkeringat, hasil pertandingan belum juga bisa ditentukan. Penonton sama sekali tidak bersuara, sementara matahari sore hari semakin condong ke ufuk barat. Semangat kedua orang yang bertanding masih sangat tinggi. Sampai-sampai terlihat seolah pertandingan ini tak akan berakhir. Tanpa sadar Ryo Chu Sho pun sudah berdiri dari kursi peraknya dengan antusias. Dia sangat puas. Dia merasa seakan-akan mendapatkan dua pahlawan untuk wilayab kekuasaannya.
Seorang pembawa instruksi berlari dari tempatnya. Kemudian terdengar bunyi tambur yang menandakan bahwa pertandingan berakhir seri. Anak buah Saku Chou berseru riuh-rendah seolah-olah menang perang, sedangkan di pihak You Shi pekik gembira juga terdengar.
Kedua orang itu kini berdiri berjajar di bawah panggung dan menerima hadiah yang sama. Pada malam harinya, diadakan pesta besar-besaran sebagai acara syukuran di puri. Pada saat itu, Ryou Chu Sho memberikan tugas kepada Saku Chou dan You Shi.
"Mulai sekarang, Saku Chou dan You Shi harus berjalan berdampingan mengemban tugas sebagai komandan polisi milker."
Dalam kenyataannya kelanjutan nasib manusia memang tidak bisa diketahui sebelumnya. Sejak saat itu, You Shi menjadi orang yang sangat disukai Ryou Chu Sho. You Shi sendiri merasa sangat berutang budi pada Ryou Chu Sho, sehingga You Shi berniat mengabdikan diri dengan sepenuh hati kepadanya.
Musim panas semakin dekat, suasana bulan ke-5 pun mulai terasa. Dan hari itu adalah tanggal 5 bulan 5.
Setelah para tamu di hari yang perlu disyukuri itu pulang, akhirnya Ryou Chu Sho bisa bersantai berdua dengan istrinya, Sai, di kamar pribadi mereka. Kemudian sambil menuangkan arak ke cangkir istrinya, dia berkata, "Kalau terus-menerus disibukkan tugas berat seperti ini, aku jadi jarang sekali dapat melihat wajahmu yang penuh senyum itu." Dia sengaja mengatakan sesuatu yang bisa menggembirakan istrinya.
Dengan wajah manja tetapi penuh keangkuhan ciri khas keluarganya, Nyonya Sai berkata, "Tapi bukankah kedudukan terhormat serta kejayaan ini sesuatu yang sangat diinginkan banyak orang? Tidak boleh disia-siakan."
"Tentu tidak. Aku bukannya mengeluh. Justru aku sangat berterima kasih kepada ayahmu, Menteri Sai, yang telah mengangkatku seperti ini. Saat tidur pun aku tak pernah melupakan kebaikan ayahmu."
"Nah, sebentar lagi kan ulang tahun ayahku. Apa kau lupa?"
"Mana mungkin aku lupa. Ulang tahun beliau itu tanggal 15 bulan 7, bukan? Aku terus memikirkan cara agar tahun ini aku tidak mengulangi kegagaJan seperti tahun lalu."
"Benar. Tahun lalu kita memang sangat ceroboh. Padahal waktu itu kita mengirimkan etnas permata yang sangat banyak ke Tou Kei untuk ulang tahun Ayah, tapi di tengah jalan justru dirampok."
Seolah-olah menyaJahkan kesembronoan suaminya, mata Nyonya Sai menyorot wajah Ryou Chu Sho lebih tajam danpada sinar yang memancar dari giwang zamrudnya. Ryou Chu Sho tidak berkata apa-apa lagi. Sejak awal tahun, dia sudah kebingungan memikirkan masalah ini.
"Nah, suamiku, apa rencanamu untuk tahun ini?"
"Untuk tahun ini aku sudah mendapatkan barang-barang antik dan intan berlian senilai seratus ribu kan yang kukumpulkan dari ibukota tua Hoku Kei ini. Semua barang itu telah kusimpan di gudang, sebisa mungkin tanpa menarik perhatian."
"Bukan itu yang kumaksud. Maksudku, bagaimana cara agar semua pusaka yang begitu berharga itu sampai ke tangan Ayah di Tou Kei dcngan sclamat? Bukankah itu jauh Icbih penting?"
"Kita membutuhkan orang-orang khusus. Kita harus memilih orang yang dapat dipcrcaya sckaligus pemberani, orang yang tak mungkin kalah menghadapi perampok terkuat sekalipun."
"Apakah di antara seratus ribu tentara di Hoku Kei ini tidak ada orang cocok untuk kebutuhan itu?"
"Hmm, tidak ada...," kata Ryou Chu Sho, tetapi dia segera batal melanjutkan kata-katanya. "Orang-orang yang berani memang ada. Ahli ilmu bela diri juga tidak sedikit. Tapi coba kaupikir. Seratus ribu kan itu harta yang sangat banyak. Meskipun seluruh tabunganku kugabungkan, secara pribadi aku tidak mungkin dapat mengirimkan barang-barang berharga sejumlah itu kepada ayahmu di ibukota. Aku tidak mungkin menyampaikan hal ini kepada orang yang kuat tetapi hatinya jahat. Tidak bisa pula menyuruhnya mengirimkan barang-barang itu sebagai utusanku. Karena itu, untuk memilih orang yang kita butuhkan itu, aku harus sangat berhati-hati."
"Betul juga. Kalau dipikir-pikir, mungkin tidak ada orang yang bisa kita mintai bantuan. Tapi untuk tahun mi, kau pasti akan merasa sangat bersalah jika Ayah sampai mendapatkan kegembiraan kosong lagi."
"Tunggulah dulu. Masih ada waktu beberapa puluh hari lagi. Lagi pula, di dalam kepalaku bukannya tidak ada calon yang kupikirkan sama sekali. Tetapi aku masih menimbang-nimbang apakah orang itu betul-betul dapat dipercaya atau tidak. Kita lihat saja nanti."
Yang ada dalam pikiran Ryou Chu Sho sebagai calon untuk tugas itu hanya satu. Tidak lain dan tidak bukan adalah You Shi, si Iblis Muka Biru.

BARU-BARU ini di Kabupaten Un Jo wilayah Provinsi Sai, daerah San Tou, ada bupati baru yang datang untuk bertugas.
Dia bermarga Ji dan namanya Bun Bin. Reputasinya di antara penduduk kabupaten sangat baik. Meski kondisi raasyarakat sekarang amat buruk, di antara pejabat yang sangat banyak jumlahnya masih ada pejabat yang baik. Bun Bin adalah pejabat yang sangat bijaksana dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Di waktu senggang, dia sangat gemar mengurus bunga anggrek serta memainkan kecapi. Dia juga suka membaca buku.
"Setelah datang ke tempat ini, aku belum melakukan pekerjaan yang bisa dilihat baik, namun sebagai pcrmulaan, aku ingin menjadikan wilayah ini aman dan tenteram."
Suatu hari, dia menempelkan slogan keamanan rakyat pada dinding balairung kantor kabupaten. Lalu kepada semua pejabat yang berkumpul di halaman kantor dia berkata, "Hingga saat ini, di mana pun aku bertugas sebagai pejabat, aku tahu betapa sulitnya membuat rakyat merasa tenang, juga sulitnya bersatu dengan rakyat dalam suasana yang menyenangkan. Terutama wilayah ini, kukira sangat sulit untuk diamankan. Mengapa begitu? Karena di wilayah ini ada sarang penyamun yang disebut Ryou Zan Paku. Tempat itu dikelilingi perairan. Jalan-jalan di tempat itu rusak parah dan penduduknya bertabiat kasar. Selain itu, aku sering mendengar bahwa para pejabat tidak ada yang dapat menunjukkan prestasi dalam menumpas para penjahat ini, sehingga mereka dianggap tidak mampu. Pada gilirannya, mereka pun dipandang sebelah mata baik oleh rakyat maupun oleh para penyamun itu."
Semua pejabat terdiam. Mereka merasa malu, meski ada pula yang tidak senang mendengar sindiran itu. Dengan wajah memerah serta telinga tegak, dua laki-laki bertubuh besar bangkit berdiri.
Keduanya adalah kepala pecugas keamanan. Dengan kara lain, mereka kepala pasukan yang bertugas menangkap para perampok atau penyamun.
Salah satu dari mereka adalah kepala kavaleri bernama Shu Dou. Karena memiliki janggut seperti tokoh Kan U, dia dijuluki si Janggut Indah.
Sementara yang satu lagi, si kepala brigadir infantri, juga berbadan besar dan tingginya lebih dari dua meter. Selain memiliki kekuatan tangan yang melebihi orang kebanyakan, dia juga sangat lihai dalam melompati tembok dan sungai kecil. Oleh karena itu, dia dijuluki si Harimau Bersayap. Namanya sendiri Rai Ou.
Tatkala sang bupati memulai memberikan nasihat dan instruksi pun, kedua orang ini menunjukkan sikap menentang. Menyadari hal itu, Bun Bin dengan senyum terulas di bibir mengalihkan pembicaraan.
"Untuk yang sudah terjadi, apa boleh buat. Tapi untuk ke depannya, kita harus bekerja sama dalam mengamankan daerah kita ini. Untuk itu, aku menginstruksikan kedua kepala pasukan Rai Ou dan Shu Dou...."
Kedua orang itu langsung menegakkan tubuh. Kumima kalian membawa anak buah kalian, satu kelompok berpatroli di desa-desa mulai dari gerbang sebelah barat, dan yang satu kelompok lagi dari gerbang sebelah timur. Jika ada penyamun atau perampok, segera tangkap mereka. Jika ada rakyat yang mengalami kesusahan, segera tolong mereka. Lalu kedua pasukan bisa bertemu di gunung yang ada di Desa Tou Kei, dan saat itu silakan kalian bertukar informasi."
"Siap! Kalau begitu, kami segera berangkat!"
"Tunggu! Mereka bilang di puncak gunung di Desa Tou Kei itu terdapat pohon langka yang terkenal dengan daunnya yang berwarna-warni. Tak ada pohon lain yang daunnya seperti itu. Sebagai tanda bahwa kalian telah melaksanakan patroli dengan benar, bawalah daun berwarna itu ke sini. Mengerti? Kalau gagal melaksanakannya, kalian akan dihukum."
Rupanya bupati baru Bun Bin ini sangat fleksibel, bisa bersikap keras, bisa pula lunak.
Sore itu juga, Shu Dou berangkat dari gerbang barat, tetapi kita simpan dulu tindak-tanduk Shu Dou. Sekarang mari kita lihat gerak-gerik Rai Ou.
Dengan membawa dua puluh lebih anak buahnya, Rai Ou meninggalkan gerbang timur dan mulai berpatroli di desa-desa. Keesokan harinya, dengan melalui jalan kabupaten dia menuju Gunung Tou Kei sebagaimana yang diinstruksikan bupati baru. Kini dia berdiri di bawah pohon besar daun berwarna itu. Tak lama kemudian, pasukan Shu Dou juga datang. Setelah bertukar informasi, tiba-tiba mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
"Sungguh merepotkan. Justru di saat seperti ini, kita malah tak menemukan pencuri kelas teri sekalipun.
Seolah-olah kita berpatroli demi mendapatkan daun warna pohon ini saja."
Saat mereka pulang, hari sudah malam. Masing-masing berjalan mengikuti jalur yang berbalikan dari semula. Mereka menuruni gunung dengan obor di tangan masing-masing.
Ketika kelompok yang dipimpin Rai Ou tiba di pinggir makam pahlawan, mereka melihat pintu masuknya terbuka sangat lebar bagaikan mulut siluman.
"Aneh sekali. Padahal di sini tidak ada penjaga makam."
Rai Ou berhenti melangkah. Nalurinya yang sudah tertempa bertahun-tahun mencium sesuatu yang mencurigakan.
"Hei! Coba kalian bawa obor dan masuk ke sana. Hanya untuk memastikan."
Dengan aba-aba Rai Ou, anak buahnya berlompatan memasuki makam itu. Di dalam ruangan makam, di atas meja sesajen, tampak seorang laki-laki bertubuh besar dalam keadaan telanjang. Lelaki itu tidur lelap sambil mendengkur keras berbantalkan gulungan bajunya, seolah-olah kegelapan yang dipenuhi sarang laba-laba di situ adalah surganya.
Wah! Dia tertidur dengan wajah yang kelihatan tenang sekali. Sedikit pun tidak merasa terganggu," kata anggota pasukan heran.
Bulu kaki dan dadanya sangat lebat, kulitnya hitam legam. Kakinya yang terbiasa berjalan tanpa alas kaki tampak seperti kulit gajah. Wajahnya dipenuhi tembong merah, sedangkan alisnya sulit dilihat masih ada atau tidak. Dia tertidur begitu nyenyak sampai-sampai tidak merasakan air liurnya menetes dari bibirnya yang tebal.
"Aha! Rupanya dia seorang gelandangan. Kalau kuinterogasi, tentu ada yang dia sembunyikan. Lagi pula, mana mungkin aku pulang hanya dengan membawa daun berwarna ini," gumam Rai Ou. Begitu selesai bergumam, Rai Ou segera menendang meja itu sampai terbalik bersama tubuh si laki-laki.
"Ikat dia! Jangan biarkan dia bicara apa pun!" katanya menyuruh anak buahnya.
Tentu saja pemuda bertembong merah itu berteriak-teriak dan berusaha melawan.Tetapi mengingat lawannya dua puluh orang, upayanya sia-sia saja. Bagai babi hutan yang terluka, dia diseret ke kaki Gunung Tou Kei. Di kaki gunung terdapat dua perkampungan, yaitu Desa Sei Kei dan Desa Tou Kei. Keduanya dibatasi sejalur sungai.
Dahulu kala, konon hantu sering muncul di Desa Sei Kei, bahkan pada siang hari. Dalam kenyataannya, di lubuk sungai itu tanpa alasan jelas ada saja orang, baik perempuan maupun laki-laki, yang mati tenggelam. Terkadang sapi atau kuda masuk ke sungai seolah-olah .ida vang menyeret. Di lubuk itu memang sering terjadi pcristiwa aneh.
Suatu ketika, seorang pendeta musafir datang dan mengatakan, "Biar saya yang meredam roh-roh gentayangan di sini dan mendoakannya."
Lalu dia menyuruh orang-orang mengukir doa sutra pada lempengan batu hijau dan melakukan doa pengusiran roh-roh gentayangan.
Setelah itu, Desa Sei Kei menjadi aman tenteram. Semua roh dari Desa Sei Kei melarikan diri ke Desa Tou Kei. Demikianlah berita yang menyebar.
Penghulu Desa Tou Kei, Chou Gai, marah mendengar berita ini. "Berapa pun hantu yang mau dacang, silakan saja, tapi selama menjadi penghulu di sini, aku tak akan tinggal diam kalau mereka mau menggangguku. Hei, warga Desa Sei Kei, tunggu saja kejutan dariku besok pagi."
Di tengah malam sendirian, Chou Gai menyeberangi sungai, lalu pulang sambil memikul batu penangkal roh dari Desa Sei Kei. Lalu dengan santai dia meletakkan batu itu di tempat yang berpemandangan bagus di Desa Tou Kei.
Sejak itu, penghulu Desa Tou Kei ini dijuluki Raja Langit Pemikul Batu Monumen. Julukan ini kemudian jauh lebih terkenal daripada namanya sendiri.
Saat itu dini hari, tepatnya sebelum subuh menjelang.
"Hei! Bangunlah! Dari tadi ada yang menggedor pintu gerbang. Dasar kalian semua tukang tidur!"
Meskipun sejak tadi berteriak-teriak, Chou Gai sendirilah akhirnya yang keluar dari kamar tidurnya dan menghampiri pintu gerbang.
"Hei! Ribut sekali. Siapa sih yang datang di waktu seperti ini?"
Ketika gerbang dibuka, tampak bayangan hitam yang cukup banyak. Dengan bantuan sinar obor, dia melihat laki-laki bertubuh besar yang terikat, juga wajah yang sudah dikenalnya, Rai Ou.
"Astaga! Saya kira siapa. Ternyata kepala polisi dari kabupaten. Ada apa gerangan?"
"Saudara Chou Gai, maafkan saya membawa orang begini banyak. Saya ingin memberi sarapan kepada anak buah saya. Jadi bila tidak keberatan, bolehkah kami untuk sementara, meminjam satu ruangan di tempat Anda."
"Itu soal mudah. Apakah Anda menangkap penjahat kelas kakap?"
"Tidak juga, tidak sebesar itu. Tadi di dalam ruang makam ada laki-laki mencurigakan yang sedang tidur, maka saya tangkap dan ikat dia. Sekarang kami sedang dalam perjalanan pulang ke kabupaten. Karena tempat itu berada di desa ini, rasanya kurang baik kalau saya tidak mampir dulu ke tempat Anda."
"WahlTidak usah merasabegitu. Silakan masuk. Saya akan segera mcnyuruh pegawai di sini mempersiapkan sarapan."
Tak lama kcmudian rumah penghulu menjadi ramai. Karena tamu mcreka adalah pejabat kabupaten, maka cidaklah bisa dilayani seadanya. Tentu saja selain arak dan makanan, mereka juga menyediakan air hangat untuk mandi.
Di sela-sela waktu itu, Chou Gai mengintip ke dalam ruangan gelap di antara rumah-rumah yang ada di dekat gerbang. Sebagai penghulu kampung, mungkin dia merasa berkewajiban melihat laki-laki yang dalam keadaan terikat itu.
Di ruangan itu tampak seorang laki-laki muda berkulit sawo matang dengan luka di sana-sini. Dia sedang berdiri dengan ujung kaki karena kedua tangannya digantung pada balok kayu di bawah atap. Seluruh wajahnya yang bertembong merah, yang mungkin bekas luka bakar, berkedut-kedut, dan dia menahan rasa sakit dengan merapatkan gigi.
"Rasanya aku belum pernah melihatmu di kampung ini. Hei! Dari mana asalmu?" tanya Chou Gai.
"Saya datang dari jauh. Saya datang ke sini dengan tujuan bertemu seseorang. Entah mengapa dan tanpa alasan, mendadak saya diikat seperti ini," jawab pemuda itu sambil mengerang kesakitan.
"Jangan merengek seperti itu. Siapa sebenarnya yang akan kautemui itu?"
"Raja Langit Pemikul Batu Monumen dari Desa Tou Kei."
"Apa? Memang ada perlu apa?"
"Saya tidak bisa mengatakannya. Tapi katanya, Saudara Chou Gai itu penghulu desa. Pak, apa nama desa ini?"
"Ini Desa Tou Kei. Dan akulah Chou Gai."
"Oh! Jadi Bapaklah Chou Gai itu. Kalau begitu, tolong dengarkan. Saya ini kelahiran ProvinsiTou Ro."
"Ada yang datang. Cepat katakan apa yang sebenarnya ingin kausampaikan!"
"Begini. Menurut berita yang saya dengar, ada sesuatu yang bisa memberikan keuntungan sangat besar, karena itu saya datang ke sini untuk memberitahukannya kepada Bapak. Karena saya pikir Bapak adalah orang yang bisa diajak bicara."
"Baiklah. Ceritamu akan kudengarkan nanti."
"Bagaimana bisa nanti kalau saya menjadi tahanan seperti ini?"
"Aku akan menolongmu. Kau mengaku saja sebagai keponakanku. Karangiah cerita bahwa kau telah meninggalkan desa ini ketika berusia lima atau enam tahun. Lalu berdasarkan kabar angin tentang diriku, kau datang ke sini untuk mengunjungiku. Mengerti?
Ceritamu harus cocok dengan ceritaku. Akan kubuat suatu kondisi agar aku dapat bicara denganmu."
Seolah-olah tidak terjadi apa-apa, Chou Gai pergi ke tempat Rai Ou beristirahat.
"Sepertinya Anda sudah mau berangkat lagi," dia menyapa Rai Ou.
"Oh! Saudara Chou Gai. Maaf kami sudah merepotkan Anda dengan kedatangan kami yang tidak memilah waktu. Karena tampaknya hari mulai terang, kami bermaksud berangkat lagi."
"Wah! Padahal tentunya Anda masih kelelahan. Apabila ada kesempatan lagi datang ke daerah ini, janganlah sungkan-sungkan mampir ke tempat saya."
Di gerbang, anak buah Rai Ou sudah bersiap dengan peralatan mereka, seperti tombak, tongkat, tombak bercagak, dan sebagainya. Dengan gagah, Rai Ou pun pergi menuju gerbang.
Seolah-olah mau mengantar, Chou Gai mengikuti dari belakang, dan dilihatnya pemuda yang dalam keadaan terikat itu diseret dari ruangan dekat gerbang.
"Astaga! Laki-laki itu besar sekali," katanya seraya pura-pura membelalakkan mata.
Pada saat itu, sepertinya sudah paham akan maksud Chou Gai, si pemuda yang terikat mendadak berteriak-teriak.
"Ah! Paman! Paman! Tolonglah saya!" "Ap... apa?"
Chou Gai sengaja menunjukkan wajah heran, dan selama beberapa saat dia menatap wajah pemuda itu.
"Hei! Bukankah kau Ou Shou San?"
"Betul, Paman! Ah! Ternyata Paman masih ingat padaku."
Para penangkapnya terperangah. Terutama Rai Ou.
"Astaga! Jadi laki-laki ini keponakan Anda? Gelandangan seperti ini..."
"Mohon beribu maaf. Betul-betul memalukan. Dia anak kakak perempuan saya. Ketika anak ini masih berusia lima atau enam tahun, kakak saya dan suaminya kabur ke Nan Kei, dan sejak itu tidak ada kabar sedikit pun dari mereka. Setelah itu, karena Shou San ini sangat nakal, dia mengalami luka bakar di kepalanya. Lalu ketika remaja, dia kembali ke kampung ini bersama ibu dan bapaknya. Tapi karena pengaruh kehidupan kota, si Tembong Merah ini jadi pemalas, karena itu dia pergi lagi meninggalkan tempat ini. Sejak itu, tampaknya kakak saya dan suaminya itu mengalami nasib buruk secara beruntun. Sementara anaknya yang bertembong merah ini, saya dengar ikut-ikutan menjadi berandalan di kota dan tidak mau berbakti pada orangtuanya. Saya tidak menyangka kalau dialah yang ditangkap oleh Saudara Rai Ou."
"Hmm. Ada juga kejadian di luar dugaan."
Dengan tajam Chou Gai memelototi keponakan palsunya.
"Hei, Shou San! Kenapa kau melakukan kejahatan di kampungmu sendiri?"
"Tidak, Paman. Karena lapar dan tidak ada tempat berraalam, saya tidur di ruang makam. Cuma itu."
"Kalau tidak melakukan kejahatan, mengapa kau
ditangkap?"
"Saya tidak tahu. Seperti mimpi saja. Ketika sadar, saya sudah dalam keadaan terikat."
"Jangan bohong!
Dengan berpura-pura marah besar, Chou Gai mengambil tongkat salah seorang prajurit, lalu memukul pundak pemuda itu dua-tiga kali.
"Hei! Katakan yang sebenarnya!"
"Mau bilang apa lagi, Paman? Memang begitu adanya. Sepetti yang Paman bilang, saya bukan anak yang berbakti kepada orangtua, dan saya mengunjungi Paman dengan perut kosong untuk memohon agar sifat buruk saya bisa diluruskan oleh Paman. Saya tidak melakukan pencurian sekecil apa pun. Saya mengira pagi ini saya sudah bisa mencapai rumah Paman."
"Kau mau membuatku merasa iba ya? Mana mungkin aku terpancing siasatmu!"
Ketika Chou Gai mengangkat lagi tongkatnya, Rai Ou buru-buru menghentikannya. Dia bukannya bersimpati kepada Sho San. Tetapi dia sendiri menangkap Sho San berdasarkan kecurigaan semata. Dia pun berusaha meredam kemarahan Chou Gai.
Kepada anak buahnya dia memerintah, "Karena dia keponakan Saudara Chou Gai, kita tidak usah menginterogasinya lagi. Cepat buka ikatannya!"
"Huh! Nasibmu mujur sekali. Sho San! Jangan kaulupakan budi baik Saudara Rai Ou!" kata Chou Gai. Kemudian dia berkata kepada Rai Ou, "Maaf beribu maaf. Saya merasa seolah-olah sudah membuat tugas Anda menjadi sia-sia. Sekarang, bagaimana kalau sebelum berangkat, Anda mencuci mulut sekali lagi di sebelah sana?"
Dengan agak memaksa, dia mulai lagi melayani Rai Ou, lalu secara sembunyi-sembunyi, memberikan beberapa uang perak kepadanya. Kepada anak buah Rai Ou, dia juga memberikan bermacam-macam batang. Tampaknya rencananya berjalan lancar dan tak lama kemudian, pasukan Rai Ou pun meninggalkan gerbang kediamannya.
Selanjutnya, mari kita lihat apa yang terjadi di dalam rumah si penghulu. Gelandangan tadi, setelah mengenakan pakaian dan tutup kepala baru serta diberikan sarapan, tampak mulai segar kembali. Di depan Chou Gai dia mulai menceritakan asal-usulnya.
"Sebenarnya, scjak awal memang saya seorang penganggur yang lahir di Provinsi Tou Ro. Marga saya Ryu, sedangkan nama saya Tou. Itulah nama yang diberikan orangtua saya yang tidak pernah saya lihat karena mereka sudah meninggal ketika saya lahir. Karena wajah saya yang merah, orang-orang menjuluki saya si Kuda Merah atau si Setan Rambut Merah. Untuk ke depan, saya berharap Bapak bisa terus mengenal saya," demikian secara resmi dia memperkenalkan diri.
"Sudah lama saya mcndengar nama Bapak yang tersohor, dan saya ingin bisa berkenalan dengan Bapak. Beberapa waktu lalu, saya mendengar kabar angin yang sepertinya akan menguntungkan dari teman-teman saya yang bekerja sebagai pedagang gelap di San Tou dan Ka Hoku. Saya kemudian berpikir, tidak ada orang yang tepat untuk diajak membicarakan hal besar semacam ini selain Raja Langit Pemikul Batu Monumen, Bapak Chou Gai. Karena itu saya datang ke tempat ini."
"Aku mengerti. Tapi apa sebenarnya yang kaumaksud dengan kabar angin yang menguntungkan itu?"
"Apa saya boleh mengatakannya di sini?"
"Tunggu sebentar." Chou Gai berdiri, lalu mengunci pintu dan menurunkan kerai jendela. "Nah, sekarang kau bisa bercerita dengan aman."
"Sebenarnya begini. Dalam waktu dekat, pembesar dari Hoku Kei, Ryou Chu Sho, akan mengirimkan emas perak, intan berlian, serta benda-benda antik senilai seratus ribu kan ke Kai Hou Tou Kei secara diam-diam. Tentunya Bapak tidak tahu akan hal ini."
Benar. Aku memang tidak tahu. Tujuannya untuk apa?"
"Benda-benda itu akan dikirimkan kepada Menteri Sai yang kini menempati kedudukan paling tinggi di antara menteri-menteri di Kekaisaran Sou, sebagai hadiah ulang tahunnya. Menteri Sai sendiri adalah ayah istri Ryou Chu Sho."
"Oh. Jadi dengan kata lain, itu uang suap besar yang selalu dilakukan antarpejabat pemerintah secara terang-terangan, begitu?"
"Pasti begitu. Tentunya hadiah itu kekayaan yang mereka kumpulkan dengan cara memeras keringat dan air mata rakyat kecil dengan semena-mena. Saya pikir jika kita mengambil benda-benda kiriman itu, tentunya para dewa pun tidak akan menganggap kita orang jahat."
"Kudengar tahun lalu mereka juga dirampok di tengah perjalanan."
"Karena itu, sayang kalau harta tersebut diambil orang lain. Menurut kabar yang saya dengar, Raja Langit Pemikul Batu Monumen adalah laki-laki yang sangat gagah, lihai dalam seni bela diri tombak dan tongkat, dan sangat menentang kebatilan."
"Sudahlah! Aku tidak akan terpancing sanjungan."
"Maaf. Saya tidak berniat seperti itu. Yang saya mau tekankan di sini adalah, meskipun dia panglima besar tentara Hoku Kei, kalau setiap tahun dia memberikan upeti senilai seratus ribu kan kepada mertuanya dalam kondisi masyarakat seperti sekarang ini, berarti dia betul-betul penjahat besar. Saya jadi ingin mencoba merebut harta itu. Bagaimana menurut pendapat Bapak?"
"Mereka sudah mengalami kegagalan tahun lalu. Tentunya tahun ini mereka tidak akan mengirimkan hadiah dengan pengawal-pengawal biasa yang mudah dirampok, bukan?"
"Tidak usah khawatir. Biar begini, saya juga memiliki kebolehan. Apalagi kalau Raja Langit Pemikul Batu Monumen mau ikut serta."
"Ini memang berita bagus. Semangatku jadi terbangkitkan."
"Oleh karena itu, berita menguntungkan ini saya serahkan kepada Bapak."
"Hmm. Mari kita pikirkan dulu baik-baik. Sebaiknya kau minum arak dulu di ruang tamu dan beristirahatlah. Aku akan memikirkan dulu rencana bagaimana yang sebaiknya kita lakukan. Setelah itu, baru kita tundingkan lagi."
Tanpa bicata lagi, Ryu Tou pergi ke ruang tamu dan sendirian menenggak arak yang disuguhkan. Tetapi dia tidak merasa puas. Jawaban tidak tegas Chou Gai membuatnya penasaran.
"Tentunya dia mengira aku ini cuma berandalan biasa. Dipikirnya aku tidak cukup berharga untuk diajak berunding."
Karena berpikir seperti itu, timbullah kemarahan di hatmya. Pengaruh arak yang dia minum pun menambah kekesalannya. Ketika memandang ke luar jendela, dia melihat seeker kuda tak berpelana tertambat di gerbang belakang. Entah apa yang dipikirkan Ryu Tou.
"Baiklah!" dia bergumam sendiri. Lalu dia mengambil sebilah pedang panjang dari tempat penyimpanan tombak di dinding.
"Tentunya Inspektur Polisi Rai Ou belum jauh. Semua berawal dari dia. Gara-gara dia, aku diikat sampai harus memelas-melas minta dikasihani. Pastinya karena itu, Chou Gai melihatku sebagai laki-laki menyedihkan. Aku akan mengejar Rai Ou dan kalau aku berhasil mendapat surat permintaan maaf darinya, atau memotong sebelah lengannya dan memperlihatkannya kepada Chou Gai, tentunya pandangan Chou Gai terhadapku akan berubah."
Entah datang dari mana kepercayaan dirinya, si Setan Rambut Merah meloncat dari jendela, menaiki kuda yang ada di gerbang belakang rumah si penghulu itu, lalu berderap bagai anak panah di jalan kabupaten. Pada saat itu matahari sudah meninggi, membuat embun di dedaunan yang ada di padang rumput mengering. Di dahan pohon. burung-burung berkicau. Kabut tipis mengambang nun jauh di pegunungan. Sungguh pemandangan yang indah. Kalau saja di bumi ini tidak terjadi peperangan antarmanusia dan pemerintahan Dinasti Sou tidak sebusuk sekarang, dunia ini bakal terasa bagai surga.

PASUKAN inspeksi berjalan santai di jalan kabupaten, karena mereka memang tidak perlu tergesa-gesa.
Setelah mendapat jamuan arak di pagi hari pada saat mereka kelaparan, langkah Rai Ou dan anak buahnya menjadi lebih ringan. Lalu jika jembatan batu yang ada di sebelah sana sudah terlewati, mereka akan tiba di perbatasan dengan desa lain. "Hei! Rai Ou! Tunggu!"
Tiba-tiba saja dari belakang mereka terdengar teriakan yang membuat mereka kaget. Ketika dilihat, ternyata si Tembong Merah. Dia meloncat turun dari kuda tak berpelana itu lalu menambatkannya ke pohon dedalu.   Kemudian  dia  mendekat sambil  men nyabetkan pedang panjangnya.
"Hei! Kau keponakan penghuiu yang dibebaskan, bukan? Mau apa kau mengejarku? Rai Ou.
"Aku datang untuk minta surat pernyataan. kau tulis sekarang juga. Tulis surat permintaan yang bunyinya 'Minta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan, menangkap orang dengan seenaknya padahal orang itu tidak mempunyai kesalahan.' Begitu. Lalu segera serahkan kepadaku."
"Enak saja. Kau lupa dengan kebaikan kami, ya?"
"Kebaikan apa? Kau menerima suap beberapa lembar uang perak dari pamanku, kan? Payah. Sekarang kau tulis saja surat permintaan maafmu dan berikan padaku. Kalau tidak, akan kupotong sebelah lenganmu dan kubawa pulang"
"Lancang benar kau ini!" kata Rai Ou sangat marah. "Kau kumaafkan karena kau keponakan Saudara Chou Gai, tapi kau malah bertingkah!"
"Memang! Kau pikir aku ini siapa? Sewaktu di makam aku tidak bisa melawan karena sedang tidur. Tapi sekarang lain. Rasakan pembalasanku atas perbuatanmu semalam, Rai Ou!"
Pedang panjang Ryu Tou menyarnbar dengan sangat cepat. Rai Ou tidak akan sempat mengelak, karena itulah dia mencabut pedang tentara di pinggangnya dan menyambut sambaran itu dengan pedangnya. Kedua pedang beradu berpuluh-puluh kali dan setiap kali beradu, timbul percikan api.
Anak buah Rai Ou yang berada di sekeliling mereka sedikit pun tidak mendapat kesempatan untuk membantu pemimpin mereka.
"Anak ingusan seperti ini, cukup aku sendiri yang menghajarnya. Kalian menonton saja. Jangan sekali-kali memberikan bantuan," sesumbar Rai Ou kepada anak buahnya sambil terus bertarung.
Tetapi apakah hasilnya akan sesuai dengan apa yang diucapkannya atau tidak, sama sekali belum kelihatan. Dalam jurus pedang Rai Ou terlihat unsur-unsur burung phoenix, sedangkan pada jurus pedang si Setan Rambut Merah terlihat jurus kepakan burung elang. Pada saat bayangan si Setan Rambut Merah berputar-putar bagaikan angin beliung, sosok Rai Ou melayang ke atasnya dengan kecepatan sangat tinggi. Masing-masing memiliki aliran dan jurus bela diri yang tinggi. Mereka terus mengadu jurus-jurus rahasia mereka sehingga tidak bisa diketahui kapan pertarungan itu akan berakhir.
Tetapi tampaknya anak buah Rai Ou sudah mulai tidak sabar.
"Wah! Pemimpin kita dalam bahaya!" teriak salah seorang dari mereka.
Bersamaan dengan  itu,  mereka  mulai  bergerak untuk memberikan bantuan.
Tepat saat itu, dan pintu pagar anyam kayu di-depan sebuah rumah yang sangat tenang dan dipenu pepohonan hijau, muncul seseorang yang berlari cepat bagaikan bangau.
"Kalian berdua! Tunggu!" seru orang itu. Dia menyelinap ke antara mereka berdua sambil memegang rantai yang ujungnya berbandul. "Sarungkanlah pedang kalian. Aku tidak tahu apa alasan kalian bertarung, tapi aku tidak bisa tinggal diam dan hanya menonton jika pertarungannya dilakukan di depan rumahku. Mari kita bicarakan permasalahannya."
Dia berkata dengan sangat tenang dan kata-katanya disertai tawa lepas. Tanpa sadar, baik Rai Ou maupun Ryu Tou menarik pedang masing-masing, lalu menoleh pada orang itu. Inilah dia guru Kuil di kampung, guru yang memiliki berjuta pengetahuan dan sebenarnya kurang tepat berada di kampung. Dia bernama Go You, nama Buddha-nya Ka Ryou dan julukannya adalah si Cendekiawan. Singkatnya dia sering dipanggil Cendekiawan Go atau Guru Go You.
Dia memakai baju katun berkeliman hitam serta topi pelajar. Walaupun janggutnya sudah panjang, dia bukan orang tua yang bungkuk. Kulitnya yang putih bersih serta bibirnya yang merah menunjukkan semangat muda. Di dasar matanya yang sangat tenang, tersembunyi sifat banyak akal khas Cendekiawan. Cendekiawan Go berasal dari keluarga yang secara turun-temurun terkenal di tempat itu. Menurut kabar yang beredar di masyarakat, keluarga ini sudah menulis buku berpuluh-puluh ribu jilid, unggul dalam siasat peperangan. Pengetahuan yang mereka miliki mendekati Sho Katsu Kou Mei, dan bakat mereka bisa dikatakan sejajar dengan Chin Pei. Selain  itu,  berkat keluarga
tersebut,   lagu   anak-anak   tidak   pernah   hilang   dari masyarakat. Penduduk menjadi begitu suka membaca buku sampai-sampai  di  padang  rumput  pun  dapat terdengar suara orang yang membaca buku. Demikianlah pujian yang diberikan kepada keluarga Cendekiawan Go.
"Tolong minggir, Guru Kuil! Kalau tidak, Anda bisa terluka."
Dengan napas tersengal Ryu Tou berteriak. Tentu saja Rai Ou juga tidak tinggal diam. Sebagai petugas pemerintah, dia juga tidak mau kalah gertak.
"Cendekiawan, biarkan saja kami. Saya tidak bisa membiarkan begitu saja kelancangannya."
"Apakah dia pencuri?"
"Bukan! Dia bilang, dia kcponakan penghulu."
Ryu Tou juga berteriak, "Aku bukan pencuri, tapi dia mengikatku seolah-olah aku seorang pencuri. Betul-betul kepala petugas yang tolol."
"Jangan banyak bicara!"
"Sampai kapan pun aku akan terus minta surat permintaan maaf"
"Kau! Apa kau mau diikat lagi?"
Kedua orang itu pun menjejakkan kaki hendak bertarung lagi, tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar suara Chou Gai, "Hei, tolol! Kau sedang apa di sini?"
Chou Gai muncul dengan napas tersengal. Dia melompat turun dari atas kudanya dan segera memposisikan diri di tengah-tengah kedua orang itu. Pertama-tama dia meminta maaf kepada Rai Ou.
"Maaf beribu maaf. Anak ini memang sangat sulit diatur. Tentunya Anda kesal sekali, namun saya harap Anda mau memaafkannya."
Dia memukul pundak Ryu Tou. "Hei, pemabuk! Baru saja kutinggal sebentar, kau langsung minum arak. Aku tidak mengerti apa yang ada di pikiranmu sampai mengejar-ngejar Tuan Rai Ou!"
Lalu dengan cepat dia merebut pedang yang ada di tangan Ryu Tou dan berniat memukul Ryu Tou dengan punggung pedang.
Melihat itu, Cendekiawan Go kaget, lalu mencoba menghalanginya.
"Bapak tidak usah marah seperti itu. Menurut yang saya dengar tadi, ternyata dia cuma mau balas dendam karena kesalahpahaman kecil. Apalagi kalau dia dalam pengaruh arak, Anda harus memaafkannya. Tuan Rai Ou juga, tentunya sulit untuk memaafkannya karena tugas, tetapi untuk kali ini, dengan melihat Saudara Chou Gai dan saya sendiri, tolong maafkanlah dia."
Dengan permintaan maaf dari kedua orang ini, Rai Ou tidak bisa menolak lagi. Dia segera mengumpulkan anak buahnya dan berlalu. Sementara Ryu Tou, setelah disuruh pergi oleh Chou Gai, menaiki kuda tak berpelananya, dan sambil tersenyum nakal kembali ke tempat Chou Gai.
Kini tinggal Go You dan Chou Gai saja. "Astaga. Hari ini saya melihat sesuatu yang luar biasa. Untung saja Anda datang. Kalau tidak, saya tidak tahu sampai kapan dan siapa yang akan menang dalam pertandingan pedang panjang dan pedang pejabat pemerintah itu. Rai Ou adalah ahli ilmu pedang yang terkenal, namun si Tembong Merah juga sangat lihai. Jangan-jangan kalau diteruskan, Rai Ou mungkin saja kalah."
"Apa Kuda Merah itu begitu lihainya?" tanya Chou Gai.
"Haha, julukan Kuda Merah itu tepat juga. Memang kelihatan seperti kuda merah yang disayang Ryo Fu pada zaman Go Kan. Saya dengar dia keponakan Anda."
Bukan, Guru. Soal itu ada ceritanya. Sebenarnya ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan Guru. Bagaimana?"
"Penting? Apa benar-benar penting?"
"Ya. Benar-benar penting. Sampai-sampai saya t bisa memikirkannya sendiri."
"Tunggu sebentar. Sayang hari ini hari belajar." saya akan menulis pengumuman dulu di dinding."
Go You masuk ke rumah. Dia mengatakan sesu kepada beberapa wanita tua di dalam rumah, mengambil kuas dan menuliskan sesuatu di atas kertas. Kemudian dia menempelkan kertas itu di dinding kelas, di tempat yang mudah dilihat para murid.
"Dengan ini, persoalan beres. Nah, Saudara Chou Gai, mari kita berjalan-jalan," katanya sambil keluar. Tapi Chou Gai tidak segera beranjak karena dia tertarik dengan kata-kata yang tertulis pada kertas tempel yang ditinggalkan Go You di dinding. Kata-katanya mudah dibaca oleh anak-anak sekalipun. Tulisannya sebagai berikut:
Hari ini guru
Tidak ada di tempat karena urusan mendadak
Latihan membaca libur
Latikan menulis kerjakan di rumah
Yang mau main
Bermainlah dengan katak
Sulit tidaknya perundingan tergantung pada apa yang dirundingkan.
Barang-barang berharga senilai seratus ribu kan akan dikirim Ryo Chu Sho dari Hoku Kei kepada Menteri Sai di ibukota sebagai hadiah ulang tahunnya. Chou Gai melontarkan berbagai pertanyaan seperti, "Apakah harus kita rampok? Atau kita biarkan saja?" dan "Kalau kita rampok, apakah Guru punya siasat untuk merampoknya?" Meskipun memiliki berjuta pengetahuan dan disebut-sebut sebagai Kou Mei zaman sekarang pun, Guru Go You tentunya tidak dengan serta-merta dapat menjawabnya.
Mereka berada di ruang perpustakaan di rumah Chou Gai yang sepi, tidak ada orang selain mereka berdua.
Begitu mendengar informasi yang terperinci dari Chou Gai si tuan rumah tentang asal-usul Ryu Tou, dan segala hal lain yang berhubungan dengan kabar yang dibawa Ryu Tou, Cendekiawan Go terdiam dalam waktu yang cukup lama.
Sebelum menjawab, dia berpikir. Ini semua adalah gambaran kesesatan alami yang tergambar di masyarakat akibat kebusukan Dinasti Sou. Kekesalan serta keluhan orang-orang terhadap kondisi seperti ini mungkin juga hanya merupakan kebodohan.
Kalaulah kejahatan dianggap sebagai awan, maka awan kejahatan yang ada di puncak akan semakin pekat.
Kemudian semakin tinggi awan, ukurannya pun loan akan membesar. Kondisi ini membuat sang pelaku tanpa malu-malu melakukan kejahatan, secara terang-terangan berselimut rasionalitas, bersembunyi di belakang politik dan kekuasaan.
Demikiankh kejahatan yang dilakukan rakyat kecil, kejahatan yang mereka lakukan hanyalah kejahatan kecil pula. Hanya untuk hidup dan untuk sedikit menikmati hidup. Untuk memenuhi keserakahan yang sama-sama dimiliki manusia. Atau juga sebagai tanda tentangan.
Terutama pada saat ini, banyak sekali orang yang berontak dan menentang. Lagi pula bukankah para penentang ini bermunculan karena kebusukan Dinasci Sou itu sendiri? Dengan adanya para pembesar dan pejabat yang kelewat berpuas diri dan menganggap "dunia ini milik dirinya sendiri"?
Ryo Chu Sho, Nyonya Sai, Menteri Sai. Mereka juga hanya merupakan contoh tiga bintang yang arogan.
Kemudian di dunia ini, suatu saat pasti akan muncul bintang-bintang penentang yang akan melawan bintang-bintang arogan di lapisan atas.
Bintang-bintang penentang ini pada dasarnya adalah bintang yang tinggal di atas bumi rakyat jelata. Meskipun memiliki sifat usil, mereka tidak akan melakukan hal-hal jahat dan sedikit-banyak mengetahui kebenaran. Mereka bersifat penyayang, tidak pernah menganiaya yang lemah, dan mereka sebagai laki-laki tcrkadang bisa juga mengucurkan air mata.
Mereka bisa dianggap sosok yang awam, liar, patut disayangi dan dikasihi, dan sebagai manusia mereka tidak kehilangan jati diri.
Jika mereka dirangkul dan dijadikan teman senasib sepenanggungan serta dituntun ke jalan yang baik, lalu diberi makna dan tujuan hidup dalam masyarakat yang busuk seperti sekarang, tentunya mereka akan berusaha menjadikan dunia ini tempat yang menyenangkan. Kalau sudah begitu, di bumi rakyat yang hitam pekat di bawah pemerintahan kotor Dinasti Sou  ini akan berembus angin harapan segar. Angin segar yang pastinya nanti menciptakan padang dan ladang hijau.
"Saudara Chou Gai!"
Setelah berdiam diri beberapa saat, akhirnya Cendekiawan Go mengangkat wajah dan berkata, "Lakukanlah. Saya juga akan mencari akal untuk itu."
Kata-katanya singkat, namun sangat jelas dan mengandung keputusan yang amat tegas.
Betulkah?   Dan   Guru   mau   menolong   kami? Sebenarnya, tadi malam saya bermimpi aneh." "Mimpi seperti apa?"
"Tujuh bintang utara (Ursa Mayor) jatuh di atap rumah saya. Lalu ketika saya masih terheran-heran dengan mimpi itu, kemarin subuh terjadilah kejadian tersebut. Saya bingung apakah ini pertanda baik atau buruk. Tapi setelah mendengar ucapan Bapak, saya * merasa tegar."
"Saya larang sekalipun, tentunya Anda tidak akan menghentikan niat Anda, bukan?"
"Betul sekali. Bagi saya, tanpa melakukan hal-hal yang berbahaya, dengan kedudukan sebagai penghulu turun-temurun di kampung ini, saya tidak akan kesulitan mendapatkan sandang dan pangan. Tetapi bila melihat kondisi masyarakat saat ini, hati saya tidak tenang menjalani kehidupan. Rasanya setiap hari hati saya kalut. Lalu tatkala saya merasakan hal seperti itu, muncullah pembicaraan ini. Saya harus jujur bahwa niat ini mungkin juga berawal dari keserakahan saya, meski kemudian didorong rasa kebenaran."
"Tapi tentunya tahun ini Ryou Chu Sho tidak mau mengalami kegagalan yang sama dengan tahun lalu. Ini akan sulit."
"Saya tahu. Jadi, bagaimana menurut pendapat Guru?"
"Untuk rencana ini, sedikitnya kita memerlukan tujuh atau delapan orang yang bisa diandalkan. Meskipun Anda memiliki pegawai dan pekerja berpujuh-puluh, sejumlah besar orang biasa tidak akan ada gunanya."
"Mimpi saya semalam adakh tentang tujuh bintang utara. Di sini ada Guru, lalu saya dan si Kuda Merah Ryu. Berarti hanya tiga orang. Tidak bisakah kita mengumpulkan orang sejumiah bintang itu.
"Entahlah," kata Cendekiawan Go sambil mengerutkan dahi lagi. Tetapi kemudian dia berkata, "Wah, sebenarnya tidak sulit. Saya baru ingat ada bebcrapa orang yang tepat."
"Guru sepertinya taliu orang-orang yang sangat Guru andalkan. Siapa mereka?"
"Tiga bersaudara. Mereka bertiga sangat baik, lihai dalam ilmu bela diri, dan jika menghadapi sesuatu, mereka tidak akan mundut sekalipun itu lautan api."
"Begitu. Wah, di zaman seperti ini masih ada orang-orang yang seperti itu. Di mana mereka, Guru?" tanya Chou Gai sangat tertarik.
Cendekiawan   Go   dengan   antusias   menjawab, "Ketiga bersaudara itu Gen Shou Ji, Gen Shou Go, dan Gen Shou Shichi. Mereka saudara sekandung. Mereka tinggal di Desa Sekka di pinggir Ryou Zan Paku, Provinsi Sai. Sehari-hari mereka bekerja sebagai nelayan di sekitar teluk, tapi di kalangan mereka, perdagangan gelap di atas air lazim terjadi. Pada dasarnya mereka bukan orang yang berpendidikan, namun untuk rasa kebenaran serta keterampilan bela diri, saya menilai mereka cukup tinggi. Sudah hampir tiga tahun saya tidak bertemu mereka, tetapi saya rasa mereka tidak akan lupa kepada saya."
"Wah, kalau tentang tiga bersaudara Gen, saya juga pernah mendengat kabar angin. Mengenai Desa Sekka, lokasi itu bisa ditempuh dalam dua hari. Bagaimana kalau saya mengirimkan utusan untuk mengund mereka datang ke sini?"
"Mana mungkin mereka mau datang? Sekalipun saya sendiri yang datang ke sana dan merayu mereka dengan bersilat lidah, belum tentu mereka mau datang."
"Oh, begitu. Kalaulah mereka laki-laki semacam itu, justru lebih bisa diharapkan. Apa Guru bersedia pergi ke sana?"
"Boleh saja.Tapi, kalau begitu, saya harus menuliskan perpanjangan waktu libur di kertas pengumuman buat anak-anak yang belajar."
"Kalau Guru berangkat malam ini, lusa siang sudah bisa sampai di sana. Tapi sebelum itu, saya harap Guru mau minum-minum dulu, sekalian dengan si Kuda Merah."
"Baiklah. Memang benar di dalam kehidupan ini kita tidak tahu apa yang akan terjadi."
Cendekiawan Go pulang dulu ke tempat anak-anak belajar lalu kembali ke sana pada sore harinya. Saat itu, Ryu Ton, si Kuda Merah juga hadir, dan sepertinya dia sudah mendengar perincian pembicaraan dari Chou Gai sang tuan rumah.
Mereka bertiga minum sampai larut malam. Kadang-kadang suara mereka memelan, mungkin karena mereka sedang membicarakan sesuatu yang sangat rahasia. Andaikata hadiah ulang tahun senilai seratus ribu kan itu benar-benar akan diangkut dari Hoku Kei ke Tou Kei, kira-kira rute mana yang akan diambil? Apakah mereka akan mengambil rute perjalanan yang sama atau tidak?
Soal ini dapat dikatakan masih menjadi teka-teki rumit. Sekarang awal bulan ke-5. Pesta ulang tahun konon akan diadakan pada tanggal 15 bulan 7. Masih ada sekitar tujuh puluh hingga delapan puluh had lagi.
"Untuk persiapan, waktu kita masih cukup banyak. Tap! lebih baik kita cepat-cepat mengajak tiga bersaudara itu."
Cendekiawan Go hanya minum sedikit arak dan segera bersiap-siap melakukan perjalanan. Di luar, kabut malam tipis melayang-layang hangat, waktu yang cukup bagus untuk melakukan perjalanan.
"Maaf kami tidak bisa mengantar Guru." "Hmm. Sebaiknya kita menghindari pandangan orang. Lalu kuharap Saudara Ryu Tou bisa bersikap tenang sampai aku kembali. Tetaplah berada di rumah." "Saya tidak akan lagi merepotkan. Saya menunggu kabar baik dari Guru."
Bayangan cendekiawan Go yang berlalu melewati gerbang semakin lama semakin samar tertelan kabut tipis malam.
Selang sehari. Tengah hari pada hari kedua.
Sosok Cendekiawan Go sudah terlihat di pinggir perkampungan air Desa Sekka.
Dia sudah pernah datang ke tempat ini beberapa kali. Dengan demikian, dia tidak usah mencari-cari lagi rumah Gen Shou Ji. Rumah laki-laki itu membelakangi bukit menghadap teluk. Dari tonggak yang merupakan tempat menambatkan perahu hingga ke pagar gubuknya, terpasang jemuran jaring ikan yang sudah robek-robek.
"Permisi. Ada orang di rumah?"
Cendekiawan Go melongokkan kepala dari bawah atap cucuran ke dalam. Di sana tampak ada orang yang sedang tidur siang.
"Siapa ya?"
Seorang anak muda muncul ke depan.
Anak muda itu Gen Shou Ji. Dia memakai celana nelayan sebatas pinggang dan bertelanjang dada. Bulu dadanya yang lebat tidak begitu mengherankan, tetapi lebar dadanya cukup mengingatkan kita akan tebing curam di Shi Shen.
"Ascaga, Guru." Alis tebalnya segera terangkat, mulutnya yang besar menjadi ceria. "Tumben sekali. Angin apa yang membawa Guru datang ke sini?"
"Aku datang karena ada permintaan yang sifatnya mendesak."
"Oh, begitu. Ada urusan apa, Guru?"
"Kenalanku yang kaya raya akan mengadakan pesta pernikahan. Aku diminta mencarikan sepuluh ekor ikan mas dengan berat sekitar sepuluh kilogram. Lalu karena permintaan ini sangat sulit kutolak, aku jadi bingung sendiri."
"Silakan masuk dulu, atau sekalian saja kita pergi ke teluk di sebelah sana. Di situ ada tempat minum-minum yang cukup bagus."
Gen Shou Ji yang berlalu begitu saja tanpa alas kaki segera melepaskan ikatan sampan dari tonggak, lalu membantu Cendekiawan Go naik ke sampan dan mulai mendayung. Caranya mengemudikan sampan di atas sungai sama seperti sedang berjalan kaki saja.
Tak lama kemudian di tengah-tengah sungai, ketika sampan sedang melaju, di balik gerumbul ilalang di sebelah sana, terlihat sebuah sampan lain. Gen Shou Ji berseru, "Hei! Shou Shichi! Mana Shou Go?"
Dari sana terdengar jawaban yang bergema di atas air.
"Ternyata Kak Shou Ji. Memangnya ada urusan dengan Kak Shou Go?"
"Ya, ini aku. Hei, aku datang bersama Guru Go."
"Apa? Guru Go? Jangan bohong!"
"Aku tidak bohong. Aku mengajak Guru Go pergi minum-minum. Kau ikutlah juga."
"Astaga, maaf sekali. Aku sudah bicara sembarangan."
Dengan mendayung membelah gerumbul ilalang, Gen Shou Shichi segera mendekat. Inilah dia si adik bungsu, yang di desa itu dijuluki si Raksasa.
Sepercinya dia sedang memancing. Dia mcmakai caping bambu dengan baju kotak-kotak seperti papan catur berlengan lurus. Meskipun berada di balik caping, matanya yang besar terlihat jelas. Bentuk tubuhnya sungguh penggambaran tepat untuk istilah "berotot kawat bertulang besi." Dengan cekatan dia mcrapatkan sampannya di sebelah sampan kakaknya.
"Maafkan saya," ucapnya kepada Cendekiawan Go. "Karena sudah lama sekali Guru tidak muncul di sini, saya jadi bicara yang tidak-tidak."
"Mau ikut bersama kami?"
"Tentu. Saya akan menemani Guru, tapi izinkan saya mampir dulu ke rumah Ibu. Kita ajak Kak Shou Go juga."
Sampan menepi ke sisi sungai terdekat. Di sini juga terdapat perkampungan yang dikelilingi air. Dari atas sampan, Shou Shichi berteriak ke arah sebuah rumah.
"Bu! Kak Shou Go ada?"
"Tidak ada!" terdengar jawaban yang sangat ketus. "Katanya aku ibu para nelayan. Tapi dalam beberapa hari ini aku tidak pernah melihat ikan. Anak itu setiap hari kerjanya hanya berjudi. Aku capek. Barusan dia menghilang dengan membawa pergi jepit sanggulku.'
Shou Ji menggaruk wajah, lalu seperti melarikan diri, dia mulai mendayung lagi.
"Maaf, Guru jadi mendengar hal yang tidak enak. Tolong Jangan dimasukkan ke hati.
Cendekiawan Go tergelak. "Keributan keluarga semacam itu bukanlah yang pertama kali kudengar."
"Tapi waktunya kurang tepat. Kak Shou Go sepertinya belum bernasib baik. Tampaknya kami ini orang-orang yang sangat suka judi namun tidak pandai bermain."
"Apa akhir-akhir ini kalian kalah terus?"
"Masih lumayan kalau cuma akhir-akhir ini. Sudah hampir setahun lebih kami kalah terus, sepeser pun kami tak punya sekarang. Kalau cuma menangkap ikan, berapa pun ikan yang kami tangkap, tidak akan mencukupi."
"Sudahlah, Kak Shou ]i," kata Shou Shichi dari samping.
"Padahal aku sudah minta maaf kepada Guru Go karena sampai mendengarkan hal yang tidak enak. Tapi sekarang malah aku sendiri yang mengeluh. Kenapa ya?"
"Wah, betul juga. Guru silakan tertawa saja."
Cendekiawan Go pun tertawa keras sesuai permintaan mereka. "Sungguh menyenangkan melihat kalian yang selalu ceria. Nasib itu ada waktunya. Kalau waktunya sudah tiba, bunga yang menghadap ke arah sana pun, suatu pagi tertentu akan mekar ke arah sini."
Sambil berkata seperti itu, di hati Cendekiawan Go tebersit suatu harapan. Dia tersenyum penuh kemenangan, kalau begini keadaannya, mereka pasti mau ikut serta di dalam rencana kami, pikirnya.
Setelah beberapa lama sampan didayung, akhirnya terlihatlah kota nelayan. Di situ tampak umbul-umbul tempat minum arak. Jemuran di rumah-rumah di pinggir jembatan juga terlihat. Sampan mereka dengan cepat menuju pesisir.
"Waktunya tepat sekali. Di situ ada Kak Shou Go."
"Di mana?"
"Lihatlah di sana."
Mereka memandang ke arah yang ditunjuk Shou Shichi. Betul juga, di sana ada seorang laki-laki yang baru saja menuruni jembatan dan kini sedang melepas ikatan sampannya. Di lengannya tampak tergantung dua untai uang logam tembaga.
Wajahnya yang tampak menyembunyikan nafsu membunuh itu bukan hanya disebabkan kekalahannya dalam judi, sejak dulu penampilannya memang sangar begitu. Oleh sebab itulah dia dijuluki Si Anak Kedua Pemarah. Dia sangat cekatan dalam berkelahi, ini dapat dilihat dari pundaknya yang menonjol serta tulang betisnya yang panjang. Di dadanya yang muncul dari balik baju nelayan compang-camping tampak rajah macan kumbang kebiruan. Pada penutup kepalanya yang dipasang menyerong, di dekat relinganya, terselip setangkai bunga delima, yang malah menambah angker penampilannya alih-alih mengurangi.
Dia mengayuh sampannya mendekat sambil menatap tajam.
"Hei, Saudara Shou Go," Cendekiawan Go menyapa. "Bagaimana kelihatannya, kau akan bernasib
balk?"
"Saya kira siapa," kata Shou Go tertawa mengurai wajahnya yang tadi terlihat tegang. "Sejak tadi saya memerhatikan Guru dari atas jembatan. Hei, Kak Shou Ji, kita mau pergi ke mana?"
"Kami mau ke tempat minum di sebelah sana. Kau ikut juga?"
"Di samping jembatan juga ada. Bahkan ada perempuannya di Sana."
"Wah, kalau kita menjamu Guru Go, kukira pemandangan indah jauh lebih penting daripada perempuan. Dari sekarang hingga saatnya matahari tenggelam, Guru bisa melihat ilalang di atas air, perahu yang pulang, dan gunung-gunung di Ryou Zan Paku yang sedikit demi sedikit berubah warna dari jingga ke ungu. Kami sendiri terpesona melihatnya. Seperti itulah yang diperlukan Guru. Ayo, kita mendayung lagi sampai ke warung itu."
"Baik. Kita dampingkan sampan kita bertiga menuju tempat itu."
Shou Go yang memakai penutup kepala dengan selipan setangkai bunga delima itu melompat ke sampannya. Lalu dengan cepat, dia mendayung me-nyusul kedua sampan di depannya.

"AH. Araknya sungguh enak, sampai-sampai udaranya pun terasa enak pula. Kita bisa bertemu seperti ini, tentunya karena kita masih bernapas. Sudan lama sekali ya. Akhirnya aku bisa minum-minum lagi bersama kalian tiga bersaudara ini."
"Tampaknya    Guru    menyukai warung ini."
"Hmm. Kelezatan minuman di warung perkam-pungan nelayan kecil kadang-kadang melebihi minuman dalam cangkir perak di restoran mewah Gaku You di kota utara. Hijaunya daun dedalu dan pohon pagoda di tepi sungai terlihat samar, dan jika memandang ke bawah warung, tampaklah bunga teratai di kolam seolah-olah tiga ribu putri cantik istana sedang melambai-Iambaikan lengan baju."
Shou Ji tertawa. "Baru kali ini saya melihat Guru begini senang. Betul kan, Dik?"
Mendengar ucapan kakaknya, Shou Go dan Shou Shichi serempak menjawab, "Syukurlah. Padahal tadi sewaktu akan rnembawa Guru ke sini, kami agak ragu-ragu, takut tidak dapat membuat Guru senang."
Shou Go melanjutkan, "Omong-omong, mungkin saya saja yang belum mendengarnya, sebenarnya ada urusan apa Guru sampai tiba-tiba datang ke dosa kami?"
"Nah itu dia," Gen Shou Ji, kakak tertua mereka, menimpali sambil menggaruk-garuk kepala. "Guru meminta kita menyediakan sepuluh ekor ikan mas seberat sekitar sepuluh kilogram. Sayangnya akhir-akhir ini di tempat kami menangkap ikan, kami tidak mungkin mendapatkan ikan sebesar itu. Tapi karena ini permintaan kenalan untuk pesta pernikahan, Guru merasa kebingungan. Masalah ini sungguh sulit."
"Hmm. Memang sulit... Oh, bagaimana kalau Guru tambah segelas lagi?"
"Aku sudah mabuk berat. Hari pun tampaknya mulai gelap. Tubuhku mulai lemas."
Wah! Pokoknya malam ini Guru menginap di gubuk kami saja, meskipun gubuk kami sangat sederhana. Lagi pula, waning ini tidak buka sampai malam."
"Aku jadi merepotkan. Baiklah, aku menginap saja di rumah kalian. Pokoknya kalau tidak membawa sepuluh ekor ikan mas itu, aku tidak akan bisa pulang karena malu pada temanku."
Sebenarnya ini hanyalah dalih. Sejak awal yang dimaksud oleh Cendekiawan Go dengan ikan mas bukanlah ikan bersisik berwarna emas. Niatnya adalah menjerat ketiga bersaudara ini ke dalam jaring yang dipasangnya dan membawa mereka pulang guna dijadikan sekutu untuk pekerjaan besar kelompok Chou Gai. Tetapi dia mcnimbang situasinya sedang kurang tepat untuk mengatakan niat itu secara terus terang.
"Kita pulang sekarang. Hei, Pak, tolong hitung semuanya," Cendekiawan Go memanggil pemilik warung.
" Tidak boleh. Kami tidak mau Guru membayar minum untuk kami. Untuk biaya di sini scrahkan pada kami bertiga."
"Baiklah. Kalau begitu, aku akan membawa sesuatu untuk dibawa ke rumah. Pak, tolong isikan arak ke dalam guci besar, lalu daging sapi lima kilo dan ayam dua ekor. Tolong muat ke sampan itu."
Cendekiawan Go menyerahkan uang satu ryou kepada pemilik warung.
Tiga bersaudara Gen juga naik ke sampan masing-masing. Lalu setelah membantu Cendekiawan Go naik, mereka mulai mendayung sampan di atas ombak senja menuju rumah.
"Silakan masuk, Guru!"
Ternyata dia dibawa ke rumah Gen Shou Ji, yang tadi siang mereka singgahi sebentar. Dari keriga bersaudara itu, baru dia yang memilikj istri. Dia segera menyuruh istri dan bocah pembantu memasak daging dan ayam yang mereka bawa.
"Nah, kalau di sini, Guru bisa minum semalaman. Jadi, silakan minum sepuasnya seperti di rumah sendiri."
Cendekiawan Go dipersilakan masuk ke kamar belakang yang menghadap ke air. Ketika kerai dibuka, cahaya bulan pun masuk.
Masakan sudah selesai dibuat dan pesta minum arak dimulailah. Rasa mabuk di warung sungai yang tadinya sudah agak berkurang segera kembali memuncak. Pembicaraan pun berjalan lancar.
"Saudara-saudara sekalian, maaf, aku ingin bertanya lagi tentang masalah tadi. Sebenarnya kesulitan seperti apa yang menyebabkan Saudara-saudara kerepotan untuk mengumpulkan sepuluh ekor ikan mas itu?"
"Begini. Meskipun sangat ahli dalam ilmu pengetahuan dan strategi kemiliteran, Guru mungkin kurang paham situasi masyarakat sekarang."
"Memang, sepertinya aku kurang dalam hal tersebut. Jadi apa alasannya, tolong jelaskan kepadaku."
"Orang menyangka di laut dan di sungai, di mana pun, pasti ada ikan, apa pun jenisnya. Mereka tidak tahu apa-apa, kalau saya boleh berterus terang."
"Tampaknya serius sekali."
"Betul, Guru. Masalah ini sangat serius. Danau Sekka yang menjadi tempat pencaharian kami ini hanya selebar daun kelor. Untuk bisa mendapatkan seekor ikan mas seberat sepuluh kilogram, kami harus mendayung sampai ke sekitar Ryou Zan Paku yang terlihat jauh di sana."
"Aneh. Ryou Zan Paku masih sewilayah dan juga terlihat dari sini, bukan? Kenapa tidak bisa mencarinya di sana?"
"Ryou Zan Paku itu gerbang setan."
"Gerbang setan? Kedengarannya semakin aneh. Mengapa begitu?"
"Wah, karni tidak bisa membicarakannya."
"Jangan-jangan, di daerah itu ada peraturan yang melarang penangkapan ikan, ya?"
"Bukan aturan pelarangan penangkapan ikan, tetapi kalau kita pergi ke sana, nyawa kita bisa melayang. Dulu sekali, Ryou Zan Paku adalah wilayah tempat kami tiga bersaudara banyak menghasilkan uang. Tapi setelah itu, suasana jadi kacau sehingga kami menjadi miskin seperti sekarang. Memang sangat menyebalkan, tetapi kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Betul kan, saudara-saudaraku?"
Keti'M bcrsaudarj itu berp.mdang.m s.imbil menghela napas panjang.
Berhasil, teriak Cendckiawan Go didalam hati. Sepertinya inilah kunci umuk menarik perhatian ketiga bersaudara Gen. Dengan pikiran seperti itu, dia meletakkan cangkir araknya.
"Oh, begilu. Kalau itu menjadi penyebab kalian terpuruk. bukankah dampaknya akan sangat besar bagi kehidupan kalian seterusnya? Kalian bertiga masih muda dan kuat melebihi orang biasa, tetapi mengapa kalian rela dikalahkan nasib dan hanya gigit jari? Aku sama sekali tidak bisa mengerti. Sekarang ceritakanlah secara lebih terperinci."
Meskipun wilayah Desa Sekka kecil, ketiga bersaudara ini cukup ternama di kalangan penduduk desa, jadi tentu saja mereka tersinggung ketika dikatakan "Mengapa kalian rela dikalahkan nasib dan hanya gigit jari?" Ketiga bersaudara itu pun mulai mengadu dengan penuh kemarahan, pertanda pasti bahwa mereka sudah masuk jaring perangkap yang ditebar Cendekiawan Go.
"Masalahnya begini, Guru. Ryou Zan Paku itu sarang penyamun. Dengan kata lain, tempat itu sarang orang-orang yang tidak tahu aturan dan tidak takut apa pun. Kami tidak mungkin mampu melawan mereka."
"Ini berita baru bagiku. Orang-orang macam apa yang berkumpul di sana?"
"On Rin, si pintar berbaju Putih mungkin jenderalnya. Konon, dia gagal dalam ujian negara untuk menjadi pejabat di Ibu Kota. Selanjutnya ada To Sen, si Cicak; Sou Man, si Pelindung Awan; Shu Ki, si Tanah Kering sebagai bawahan langsungnya. Mereka juga membawahi sekitar enam ratus anak buah. Jadi sekalipun berani unjuk gigi, kami tidak mungkin bisa melawan mereka."
"Hmm. Jadi, sarang penyamun itu begitu kuat... Kalau begitu keadaannya, bisa dipahami."
"Ditambah lagi, akhir-akhir ini ada Rin Chu si Kepala Macan Kumbang, bekas pelatih tentara kekaisaran Dinasti Sou, yang konon menjadi konco mereka. Menurut kabar angin, dia sangat mumpuni. Sekarang ini, kalau diancam dengan kata Ryou Zan Paku, anak-anak yang sedang menangis pun akan berhenti menangis, begitu katanya."
"Tapi sepertinya aneh..."
"Kenapa Guru tampak bingung?"
' Begini. Meskipun situasi zaman sekarang sangat kacau, bukankah di pusar ada pemerintahan Dinasti Sou, penjaga keamanan di setiap provinsi, demikian juga walikota dan bupati di setiap kota dan kabupaten? Jadi sukar dipercaya ada sekelompok penyamun berkuasa di satu wilayah San Tou tanpa merasa takut sedikit pun.'
"Justru itu. Pejabat sekarang sangat mudah disuap, namun kepada rakyat mereka sok bcrkuasa. Kalau datang ke suatu daerah untuk melakukan pemeriksaan atau untuk membahas suatu kasus, mereka akan menghabiskan babi, domba, ayam, sampai bebek yang ada di daerah itu. Pada malam harinya mereka meminta rakyat menyediakan gadis-gadis untuk bersenang-senang. Kemudian ketika pulang, mereka minta dimuatkan oleh-oleh ke atas kuda mereka. Tapi jika berhadapan dengan penyamun atau berandalan yang cukup kuat, mereka pasti kabur ketakutan. Kalau kami mengadukan soal pencurian atau berandalan, mereka belum pernah tiba di tempat pada waktu yang dibutuhkan."
"Sungguh menyebalkan. Apa betul begitu?"
"Kalau tidak percaya, silakan Guru tinggal di sini sedikit lebih lama."
"Kalau begitu, aku tidak akan bisa melihatnya. Tapi untung saja, di daerahku ada penghulu yang cukup hebat bernama Chou Gai. Mungkin karena itulah keadaannya tidak seburuk di sini."
"Singkatnya, hanya ada dua cara untuk menghadapi mereka. Uang atau kekuatan. Jika melihat rakyat yang jujur, mereka langsung pamer kekuasaan. Seperti itulah pejabat pemerintah zaman sekarang."
"Tindakan mereka seolah-olah mengatakan bahwa rakyat jelata yang miskin adalah dunia musim semi mereka.   Kita   tidak   bisa   tinggal   diam.   Kita   harus bertindak.
"Tentu saja, Guru. Sebenarnya kami tidak berniat mengintip kehidupan pejabat, tapi dalam kenyataannya, mereka hidup berfoya-foya, pakaian mereka pilih dengan seenaknya, dan makanan mereka makan dengan sesuka hati. Lalu karena semua itu mereka dapatkan dengan cara menyengsarakan rakyat, kami jadi sangat geram. Kadang-kadang kami sedih karena sekeras apa pun bekerja, tetap saja kami tidak bisa meniru kehidupan mereka."
"Astaga. Kok laki-Iaki mengeluh!" Di sini Cendekiawan Go yang penuh akal berkata dengan nada tinggi seolah-olah menegur mereka. Dia lalu menatap wajah ketiga bersaudara itu satu demi satu dengan tajam.
"Baru saja kalian membicarakan kejahatan para pejabat yang saking busuknya seolah-olah dapat membuat mulut yang menyebutnya menjadi kotor. Tapi kemudian dengan mulut itu juga, kalian malah berkata ingin dapat meniru kehidupan para pejabat tersebut. Itu bukan omongan yang pantas dikeluarkan oleh laki-laki hebat."
Maafkan kami, Guru. Karena emosi, keluhan keluar begitu saja dari mulut kami. Kami sangat malu."
"Kalian tidak usab meminta maaf. Aku pun mengatakannya karena menyayangi kalian bertiga.
Mengapa tiga laki-Iaki hcbal seperti kalian hams hidtip sengsara seperti ini."
"Terima kasih banyak, Guru. Yang berkata sepcrii itu di hadapan kami hanya Guru. Kalau saja ada orang seperti Guru yang man mcmanlaatkan scmangat dan kckuatan  kami   ini. Tapi   dalam   kondisi   masyarakat seperti ini, harapan seperti itu mungkin hanya angan-angan belaka." "Pasti ada!" "Benarkah?"
"Begini, bagaimana kalau kalian mencoba pergi ke Ryou Zan Paku?"
"Tidakbisa, Guru."
Ketiga bersaudara itu menggeleng-geleng sambil tertawa meledek.
"Kalau cuma itu, tidak diajari oleh Guru pun kami sudah bisa mengerti. Kalau ada niat, dari dulu kami sudah pergi ke Ryou Zan Paku yang setiap pagi dan sore kami lihat. Tapi tempat itu dipimpin si Pintar Berbaju I'utih Ou Rin yang kami benci. Kami dengar dia laki-Iaki picik yang tidak punya rasa kebenaran dan solidaritas. Jadi selapar apa pun, kami tidak ingin berada di bawah pimpinan laki-Iaki busuk seperti itu."
"Bagus, aku senang mendengarnya. Kalau semangat kalian yang seperti itu lenyap, kalian bukan laki-Iaki lagi. Nah, jika begitu, kalau ada orang yang bisa kalian percayai dan hormati, lalu karena melihat sifat jantan kalian dia  mau menarik kalian, bagaimana pendapat kalian?"
"Haha. Orang seperti itu tidak mungkin ada."
"Kan sudah kubilang, kalau ada..."
"Kalau ada, tidak dikatakan pun, Guru pasti tahu jawabannya. Ijki-laki akan mengabdi kepada sesama laki-Iaki sejati, bukan?"
"Betul!"
"Kalau demi orang seperti itu, kami berani menyeberangi lautan api sekalipun, Guru."
"Kalau begitu, ada seseorang yang ingin kuperte-mukan dengan kalian bertiga. Bagaimana, kalian mau?"
"Siapa orang itu?"
"Orang itu Chou Gai, penghulu Desa Tou Kei yang letaknya kira-kira beberapa puluh li dari sini. Aku menilai dia sebagai orang paling bijaksana di wilayah Ka Hoku, San Tou."
"Oh, penghulu yang dijuluki Raja Langit Pemikul Batu Monumen itu?"
"Kalian kenal dia?"
"Tidak. Cuma pernah mendengar namanya. Kami dengar dia menjunjung tinggi rasa kebenaran juga solidaritas, serta dalam soal uang pun dia sangat bersih."
"Kukira aku tidak usah menyembunyikannya lagi. Aku datang ke sini sebenarnya karena permintaan Chou Gai itu."
"Oh, jadi ucapan Guru memerlukan sepuluh ekor ikan mas itu bohong belakar'
"Itu siasatku saja. Maafkan aku. Soalnya jika belum menyelami isi hati kalian, aku tidak dapat membuka rahasia yang kubawa. Namun kini aku sudah tidak lagi memiliki kecurigaan atas rasa kebenaran kalian, barang sedikit pun."
"Sebenarnya masalah apa yang Guru bawa?"
"Untuk perinciannya, nanti kalian berbicara saja langsung dengan Chou Gai sambil minum arak demi keadilan. Yang bisa kusampaikan di sini bahwa incinya, kabar ini akan amat menggembirakan bagi kita semua. Kita bisa mendapatkan uang yang sangat banyak, sekaligus menghukum pejabat-pejabat tinggi di pemerintahan yang sekarang begitu bobrok. Dengan kata lain, kita bakal bisa melakukan keduanya secara serentak menggunakan rencana ini. Chou Gai pun memohon dengan amat sangat agar kalian bertiga juga ikut serta di dalam pelaksanaannya. Untuk itulah aku datang ke tempat kalian."
"Betul begitu, Guru?"
Mata ketiga bersaudara itu berbinar-binar. Sampai-sampai si Anak Kedua Pemarah, Gen Shou Go menepak lehernya sendiri karena sangat terharu.
"Hal semacam inilah yang sudah lama saya tunggu-tunggu. Leher ini akan saya persembahkan bagi orang
yang mau memanraatkan sifat jamanku ini. Betul kan, Kak?"
"Betul! Padahal saya sedang berpikir bahwa kalau Guru mau memanfaatkan kami, saya pasti akan langsung mengiyakan. Bila memang Saudara Chou Gai juga ingin meminjam tenaga berdasarkan kemampuan kami, maka saya tidak akan berkata panjang-lebar lagi. Sekarang juga kami akan bersumpah. Nah, coba Guru ceritakan rahasia tersebut, apa pun itu. Biar begini, kami bukanlah jenis manusia rendah yang biasa berkhianat."
"Sebenarnya begini. Pada tanggal 15 bulan 7 ini, secara diam-diam akan dikirimkan emas perak dan batu permata senilai seratus ribu kan dari Hoku Kei untuk Menteri Sai seorang pejabat tinggi di istana, sebagai hadiah ulang taliunnya. Pengirimnya adalah suami-istri Ryou Chu Sho yang berkuasa di wilayah Hoku Kei sebagai daimyo. Pada dasarnya semua kekayaan itu merupakan hasil keringat dan jcrih payah rakyat yang diperas pemerimahan busuk mereka. Kalau kita merampok kekayaan ini, dapat dikatakan kita telah memberikan hukuman mewakili langit. Bagaimana cara kita merebut kekayaan tersebut pada saat pengirimannya, haruslah kita rundingkan dulu dengan Saudara Chou Gai dan kawan-kawan lainnya. Intinya seperti itu. Bagaimana, kalian bersedia pergi denganku ke DesaTou Kei?"
"Tentu saja!"
Baik Shou Ji maupun Slum Go serta-merta menyanggupi.
"Hei, Shou Shichi! Yang kauimpikan selama ini selama ini akhirnya bukan lagi impian dan sebentar lag! akan menjadi kenyataan."
Demikianlah, ketiga bersaudara itu sangat gembira. Mereka segera melakukan persiapan untuk perjalanan selama dua hingga tiga hari. Di pagi buta keesokan harinya, dengan Cendekiawan Go berjalan paling depan, mereka berangkat menuju Desa Tou Kei.
Udara manis serta tiupan angin semilir yang harum mengibas-ngibas lengan baju mereka, begitu menyegarkan seolah-olah menunjukkan perasaan para pemuda itu.
Tiga hari kemudian, pada tengah hari, mereka memasuki Desa Tou Kei. Mungkin karena kepemimpinan sang penghulu desa yang sangat bagus, baik itu kebersihan jalan, lumbung desa, maupun atap rumah-rumahnya, semua menggambarkan suasana tenang yang tidak mungkin dapat disandingkan dengan Desa Sekka.
Kemudian di luar gerbang sebuah rumah, di bawah pohon pagoda, tampaklah Chou Gai dan tamunya, Ryu Tou si Setan Rambut Merah, yang sudah menunggu-nunggu kedatangan mereka.
Dari kejauhan kedua pihak sudah saling memberi salam sambil melambai-lambaikan tangan dan bergerak saling mendekat.
PESTA   minum-minum   pada   malam harinya sudah tentu sangatlah meriah.
Cendekiawan Go, meskipun cukup banyak menghadapi tantangan sebelum dapat membawa serta ketiga bersaudara itu, tidak banyak bercerita tentang kesulitan yang dialaminya.
"Inilah ketiga bersaudara Gen yang kurekomendasikan. Silakan kalian lihat sendiri." Hanya itu yang dikatakannya.
Sekali lihat Chou Gai langsung menyukai mereka. Ketiga bersaudara itu juga merasa demikian. Melihat kesantunan serta rasa kebenaran yang tebal dalam diri Chou Gai, mereka pun tampaknya langsung jatuh hati.
"Dengan laki-laki scperti inilah sejak dulu kami ingin bergaul. Kalau berteman dengan laki-laki seperti dia, seumur hidup kami tidak akan pernah merasa menycsal.'
Ryu Tou, si Setan Rambut Merah yang selalu dipanggil si Kuda Merah, jika berada di antara Cendekiawan Go dan Chou Gai, memang kalah pamor. Meskipun demikian, dia laki-laki yang gagah dan tidak jahat. Dia sangac cocok dengan si Anak Kedua Pemarah, Sho Go.
Semalaman mereka minum dan berbincang, hampir tidak tidur. Pagi harinya, keenam sahabat itu mencuci mulut dan tangan, lalu berdiri berdampingan menghadap ke arah altar yang ada di kamar belakang rumah Chou Gai.
Di depan DewaTao di atas altar, lilin merah menyala terang. Kemudian di depannya berjajarlah sesajen berupa uang yang terbuat dari kertas emas, kuda kertas, bunga, dupa, serta kambing guling.
Ini merupakan upacara pernyataan sumpah. Satu per satu anggota minum darah kambing dalam tembikar. Kemudian Chou Gai menerima tulisan naskah sumpah yang dirancang oleh Cendekiawan Go dan membacanya sambil menghadap ke altar.
Berdasarkan berita yang kami dengar, Ryou Chu Sho. peiabaf Dinasti Sou yang berada di Hoku Kei, dalam beberapa tahun ini telah menyalahgunakan wewenang di pemerintahan untuk menyengsarakan rakyat serta menimbun kekayaan untuk diri sendiri. Tidak hanya itu, untuk hadiah ulang tahun ayah mertuanya, Menteri Sai, yaitu ayah dari istrirrya, Nyonya Sai, setiap tahun dia mengirim uang dan barang fee istana mertuanya di ibukota dalam jumlah yang sangat besar.
Pada tahun ini, tanggal 15 bulan 7, untuk ulang tahun ayah mertuanya tersebut, secara rahasia dia akan mengirimkan harta kotornya ke ibukota sejumlah seratus ribu kan. Sebagai wakil langit, kami tidak bisa tinggal diam melihat kejahatannya.
Dengan kala lain, kami berenam, sebagai wakil langit berniat menghukumnya dan memberikan deraan kepada pejakat busuk agar menjadi jera. Di sini kami bersumpah jika di antara kami ada yang mengkhianati janji ini serta memiliki niat selainyang kami niatkan sekarang, kami bersedia mendapatkan hukuman dari yang di atas lanpa rasa dendam. Semoga para dewa mengetahui sumpah yang kami buat ini.
"Silakan maju satu per satu." Masing-masing  berdoa sambil   membakar   uang tiruan yang terbuat dari kertas.
"Dengan ini, sumpah sudah selesai kita laksanakan.
Lalu mereka membawa sesajen yang ada di altar dan .embali ke ruang tamu uncuk minum-minum lagi.
Tiba-tiba dari arah luar gerbang terdengar suara ibut-ribut. Ketika Chou Gai menajamkan pendengaran, alah seorang pekerjanya datang dan dalam kebingungan, melaporkan kejadian di depan gerbang.
"Tuan! Maaf saya mengganggu Tuan pada saat cdang bersenang-senang, tapi tolong Tuan kc dcpan ebcntar."
"Jangan berisik. Kau tahu kan di sini banyak amu? Lagi pula, ada apa sebenarnya sampai ribut-ribut legitu?"
"Justru itu, Tuan. Di luar ada seorang pendeta nusafir yang begitu ngotot, kami tidak sanggup lagi nenangartinya."
"Pendeta musafir? Sungguh kererlaluan pengelana laman sekarang. Dandanannya saja seperti pendeta nusafir, padahal mereka itu tidak tahu aturan dan doa pun tidak bisa mereka lantunkan dengan baik. Mereka sengaja datang ke kampung-kampung cuma untuk mencari makanan. Suruh dia pergi, beri saja beras dua liter."
Tapi, Tuan, makanan seperti itu hanya dipandang sebelah mata olehnya."
"Kalau begitu, dia minta sedekah apa?" 'Dia minta dipertemukan dengan Tuan."
"Macam-macam saja. Mana sempat aku menemui segala macam musafir. Kalian juga, masih muda begini, masa tidak sanggup menangani seorang musafir? Payah betul."
"Tuan bisa bilang begitu, tapi... pokoknya silakan Tuan lihat dulu sebentar. Dia menyebut diri Pendeta Issei. Jika ada orang yang mencoba mendekatinya, dia akan segera mempermainkannya dan melemparkannya."
"Apa? Dia melakukan perlawanan?"
"Justru itulah kata-kata yang selalu diucapkannya, Tuan. Diamenggertak, 'Jika kalian beranimenggangguku, aku tidak akan sungkan-sungkan melawan. Kalau tidak dipertemukan dengan Chou Gai, saya tidak akan meninggalkan tempat ini,' Meskipun empat atau lima orang dari kami bersatu dan melawannya, dengan mudah kami dikalahkan olehnya. Kami tidak sanggup lagi meladeninya."
Akhirnya Chou Gai pun bangkit dari tempat duduknya.
"Guru Go, juga kepada para tamu yang lain, maat aku permisi dulu sebentar."
Ketika tiba di depan gerbang, dia melihat semua anak buahnya gemetar dan hanya mengelilingi musafir itu dari kejauhan. Tidak sedikit anak buahnya yang tampaknya sudah terluka tangan atau kaki dan meringis kesakitan.
"Di mana orang itu?"
"Itu dia. Duduk di bawah pohon pagoda sambil tersenyum menyebalkan, Tuan.'
"Oh, dia rupanya."
Dengan langkah besai-besar Chou Gai menghampiri si musafir. Si musafir pun, begitu melihat Chou Gai, segera bangkit.
Dia mengenakan pakaian putih-putih yang biasa dipakai musafir dari gunung dengan ujung baju agak pendek. Di pinggangnya melilit sabukyang sangat dekil. Dia tidak membawa kantong musafir, sebagai gantinya di punggungnya tersandang sebilah pedang panjang dari tembaga tua. Sepatu kain kasanya yang berlubang delapan juga sepatu yang biasa dipakai para musafir. Usianya mungkin tidak lebih dari empat puluh tahun. Wajahnya agak kecokelatan, janggutnya yang seperti janggut kambing tampak berkibar-kibar, mulutnya besar, dan alisnya berbentuk segitiga. Wajahnya cukup menarik, tetapi tubuhnya sangat tinggi, bagaikan pohon ceraara. Kemudian yang paling menyebalkan adalah gayanya saat mengibas-ngibas kipas angin dari kertas tempurung kura-kura ke arah perutnya.
"Pendeta! Tampaknya Anda sangat gusar."
"Yang ribut-ribut itu bukan saya. Mereka sendiri yang minta dihadiahi hajaran."
"Sebenarnya Pendeta ini menginginkan sedekah seperti apa?"
 "Lagi-lagi bicara seperti itu. Saya bukan pengemis."
"Kalau begitu mengapa tidak segera pergi?"
"Saya ingin bertemu dengan penghulu di sini, Saudara Chou Gai."
"Chou Gai itu saya sendiri."
"Oh! Jadi Anda Saudara Chou Gai?"
"Saya ingin tahu maksud kedatangan Anda. Silakan sampaikan secepatnya."
"Saya tidak bisa mengatakannya di sini, karena ini sangat penting. Saya ingin bicara berdua saja dengan Anda."
"Kalau begitu, silakan ke sini. Mungkin sudah takdir kita untuk bertemu. Ayo mari, di dalam Anda bisa minum teh juga."
Chou Gai mengajak si pendeta melewati gerbang. Meskipun demikian, dia tidak membawanya ke ruang tamu yang ada di belakang. Si pendeta hanya diajak masuk ke sebuah kamar yang seadanya.
Begitu dipersilakan masuk dan duduk, si pendeta segera memberikan penghormatan serta menyebutkan namanya dengan tatakrama yang baik.
"Maafkan saya sudah membuat keributan di luar tadi. Nama saya Kou Son Shou dan nama kependetaan saya Issei. Saya lahir di Provinsi Kei. Anda mungkin akan tertawa mendengar maksud kedatangan saya, tetapi terus terang, sejak kecil saya sangat menyukai ilmu bela din. Karena itu, saya kerap mengunjungi berbagai perguruan yang ada di mana-mana, sehingga nama saya cukup dikenal. Orang-orang menjuluki saya Kou Son Shou si lagoan atau si Naga Terbang, orang-orang juga cukup segan kepada saya. Selain itu, sedikit-banyak saya juga bisa melakukan sihir. Bila ingin, saya bisa memanggil hujan atau angin, juga memiliki ilmu menghilang dari pandangan. Tapi semua itu tidak perlu dibesar-besarkan," kata Kou Son Shou, atau Issei, sambil mengelus-elus janggut kambingnya. Pandangan matanya yang tajam menusuk, menyorot dingin sebagaimana yang biasa dimiliki oleh ahli sihir.
"Omong-omong, saya sudah lama mendengar tentang Penghulu Chou Gai, namun tahu nama saja. Baru kali inilah saya bisa langsung melihat Saudara. Untuk pertemuan pertama kita ini, saya membawa sedikit oleh-oleh kecil untuk Saudara. Saya membawa berita pekerjaan yang cukup menguntungkan, serta barang dan uang senilai seratus ribu kan. Bagaimana, Saudara akan menerimanya?"
Mendengar itu, tanpa sadar Chou Gai tertawa.
"Bukankah itu barang-barang pusaka untuk hadiah ulang tahun yang akan dibawa dari daerah utara ke ibukota?"
"Apa?"
Dengan sangat kaget, Pendeta Issei menatap wajah lawan bicaranya dalam-dalam.
'Aneh sekali. Padahal tak mungkin ada orang yang tahu. Kenapa Saudara Chou Gai tahu hal ini?"
Chou Gai masih tergelak. "Anda ini bicara apa? Justru saya yang merasa kaget."
"Mengapa begitu?"
"Soalnya saya tadi hanya menebak-nebak."
"Itulah yang disebut naluri dewa. Jadi, Anda harus menerimanya. Kalau tidak mengambil sesuatu yang mesti diambil, apa itu namanya? Selain itu, barang-barang yang dibawa sebagai hadiah ulang tahun itu kekayaan hasil pemerasan. Jadi kita tidak usah merasa sungkan untuk mengambilnya."
Tatkala pendeta Issei sedang berusaha meyakinkan Chou Gai, tiba-tiba saja ada orang yang membuka pintu dan serta-merta berteriak pada Issei.
"Aku sudah dengar semua pembicaraan rahasia kalian."
"Astaga!"
Seketika Pendeta Issei melompat dari tempat duduknya. Tiba-tiba saja Chou Gai serta Cendekiawan Go yang tadi masuk tertawa terbahak-bahak.
"Saudara Kou Son, Anda tidak usah panik. Saya akan perkenalkan beliau kepada Anda. Beliau ini..."
Cendekiawan Go segera mengambil alih perkenalan dirinya, bahwa dia adalah Ka Ryo si Bintang Banyak Akal. Kemudian dia berkata, "Benar-benar di luar dugaan, saya bisa bertemu Anda di tempat seperti mi. Nama Kou Son Shou, si Pendeta Issei, sudah lama saya dengar dari kabar-kabar yang beredar di masyarakat."
"Kalau begitu, Anda ini Ka Ryo, si Cendekiawan Go. Meskipun luas, dunia ini ternyata sungguh sempit. Tapi sungguh, Saudara Chou memiliki kenalan orang-orang yang luar biasa."
"Di belakang raasih ada kawan-kawan sehati lainnya sedang berkurapul. PenghuJu, bagaimana kalau saudara Kou Son Shou juga kita perkenalkan kepada mereka?"
"Ya, kalau Guru mengizinkan, boleh saja."
Chou Gai bangkit dan kembali ke kamar tamu di belakang dengan membawa serta Kou Son Shou, si orang baru. Tiga bersaudara Gen ditambah tamunya yang pertama, Ryu Tou, maka kini ada tujuh orang yang berkumpul.
"Kalau dipikir-pikir, ini benar-benar aneh," kata Chou Gai. "Beberapa waktu lalu saya bermimpi tujuh bintang dari utara jatuh ke atap rumah saya dan saya pun terjaga. Sekarang, secara kebetulan di sini berkumpul tujuh orang. Mungkin ini pertanda dari mimpi bahwa segala apa yang kita rencanakan akan berhasil dengan baik."
"Betul sekali," Cendekiawan Go mengiyakan. 'Mungkin ini imbalan terhadap segala perbuatan baik yang telah dilakukan oleh Saudara Chou. Tampaknya jalan kita ke depan akan terbuka lebar. Untuk itu, saya akan mmta Saudara Ryu segera menyusup ke wilayah Hoku Kei dan mencari informasi tentang jalan mana yang akan ditempuh untuk pengiriman barang-barang
itu, berapa orang pengawalnya, dan siapa pemimpinnya. Setiap ada yang perlu dilaporkan, kami harap Saudara melaporkannya kepada kami."
"Kalau untuk hal itu," kata Kou Son Shou menyela, "sebaiknya kita tidak usah mengirimkan penyelidik. Semuanya sudah saya selidiki."
"Apa? Anda sudah mengetahuinya?"
"Tahun ini mereka sengaja tidak akan melewati jalan-jalan kecil, tetapi sepertinya akan melalui jalan raya Bukit Kou Dei."
"Kalau begitu, itu akan sangat menguntungkan kita. Kira-kira satu li di sebelah timur Bukit Kou Dei, saya mempunyai kenalan yang berjuluk si Tikus Siang. Rumahnya sangat tepat untuk kita jadikan tempat perhentian," kata Chou Gai mengeluarkan pendapat.
"Untuk pelaksanaannya, kita akan menggunakan jalan kekerasan atau cara halus?
"Tergantung situasi dan kondisinya," kata Cendekiawan Go. "Kalau mereka melawan dengan kekerasan, kita gunakan cara kekerasan. Jika mereka mengambil cara mengadu akal, kita lawan dengan akal. Untuk perinciannya, kita tidak bisa menentukannya sekarang karena kita belum mengetahui situasi dan kondisi saat itu. Mereka juga pasti memiliki rencana tersendiri. Kita harus sangat berhati-hati agar tidak terkecoh."
"Betul sekali apa yang Guru katakan." Chou Gai dan Kou Son Shou sama-sama menyetujui pendapat
Cendekiawan Go.
"Namun bila kita terlalu yakin akan strategi yang telah kita buat, bergantung pada antisipasi musuh, bisa sama artinya dengan mengantar kita ke kuburan kita sendiri. Untuk itu, kita tidak boleh terlalu terpaku dan tenggelam dalam satu strategi saja, kita harus mencari strategi yang membuat kita leluasa bertindak sesuai situasi kondisi yang ada pada saat itu."
Pada saat itu strategi yang akan digunakan bisa dikatakan telah rampung. Sampai menjelang malam, semuanya minum-minum. Dini hari besoknya, ketiga bersaudara Gen bergegas menyelesaikan sarapan agar bisa segera kembali ke desa mereka, Desa Sekka.
"Jika waktunya tiba, akan saya kirim kabar secepatnya. Semoga saat itu tidak terjadi haJ yang tidak diinginkan."
"Jangan khawatir."
Ketiga bersaudara itu tersenyum sambil memakai sepatu. Chou Gai memberi mereka uang sebanyak 30 ryou sebagai uang jalan, namun mereka menampiknya. Cendekiawan Go menertawakan kekerasan hati mereka dan berkata, "Jangan berpura-pura tidak perlu. Bagi saudara Chou, uang sebegitu, diterima atau tidak, sama saja. Sebaiknya kalian terima saja. Ada baiknya jika uang itu digunakan untuk membayar utang ke warung arak, bukan?"
Demikianlah. Ketiga bersaudara pun meninggalkan tempat itu, sedangkan Kou Son Shou dan RyuTou tetap tinggal di rumah Chou Gai sebagai tamu. Cendekiawan Go, karena tempat tinggalnya dekat, pulang, dan kembali mengajar anak-anak desa di rumahnya seperti biasa. Jika ada  waktu,  kadang-kadang dia  mengunjungi  rumah penghulu. Sambil minum teh, mereka membicarakan hal-hal rahasia yang tidak diketahui masyarakat umum. Seusai berunding, seolah-olah tidak terjadi apa-apa, dia akan kembali ke rumahnya dan bergabung lagi dengan anak-anak didiknya.

INI   adalah   istana   Ryou   Chu   Sho penguasa wilayah Hoku Kei.
Di taman belakang gedung istana, bunga mawar kuning begitu harum semerbak, dan di gazebo di tengah taman seekor kucing Persia sedang tengkurap. Kucing itu pura-pura tidur, tetapi sebenarnya dengan sebelah mata dia memerhatikan anjing Chaochao putih dari Asia tengah yang sedang mempermainkan lebah yang ditangkapnya. Semua itu merupakan mainan kebanggaan yang dikumpulkan Nyonya Sai yang selalu senggang.
"Wah, airnya tidak ada. Padahal aku selalu mewanti-wanti. Sekarang air untuk minum burung beo juga sudah habis."
Nyonya Sai yang berdiri di bawah sangkar burung beo berteriak keras memanggil pelayan di ruang belakang, mengalahkan suara burung beo itu sendiri.
"Berisik amat. Tolong jangan terlalu ribut!" Tiba-tiba suaminya, Ryou Chu Sho, muncul sambil berdecak, melongok dari balik gorden jendela ruang baca.
"Oh. Suamiku rupanya. Sedang apa di sana?"
"Sedang apa? Tentu saja sedang memeriksa dokumen-dokumen."
"Kalau sudah luang, maukah kau duduk-duduk di gazebo ini?"
"Tawaran yang menarik. Baiklah, tolong mintakan teh untukku."
"Silakan duduk. Karena aku akan membicarakan sesuatu yang sangat rahasia, para pelayan kusuruh menjauh. Tehnya nanti saja setelah pembicaraan kita selesai."
"Ada apa? Sepertinya penting sekali."
"Kau ini bagaimana? Sekarang sudah tanggal berapa? Coba lihat ke langit, sudah awan musim panas, kan?"
"Benar juga. Bunyi uir-uir pertama pun sudah mulai terdengar."
"Ya ampun, suamiku, uir-uir sudah berbunyi sejak dua puluh hari lalu. Begini, kapan kau mau mengirimkan barang-barang hadiah ulang tahun ayahku ke Tou Kei?"
"Tentu saja aku akan mengusahakan agar barang-barang itu tiba sebelum tanggal 15 bulan 7. Tapi sekarang aku sedang bingung memilih pemimpin pasukan yang akan mengirimkan barang-barang itu."
"Bukankah dulu kaubilang kau sedang memper-timbangkan seseorang? Apakah tidak mungkin me-nyuruh orang yang ada dalam pikiranmu itu?"
"Mungkin atau tidaknya, hanya bisa diketahui kalau kita mencoba menggunakannya."
"Kalau itu, semua orang juga tahu. Memangnya aku bodoh?"
"Hei! jangan berteriak-teriak seperti itu. Di luar gerbang tengah ada pengawal. Kalau terdengar mereka, aku akan malu sekali."
"Ah, aku jadi teringat setelah mendengar kata pengawal. Bagaimana kalau kita gunakan You Shi, si Iblis Muka Biru, prajurit yang baru menjadi komandan itu?"
"You Shi memang lihai dalam ilmu bela diri. Di antara sepuluh ribu tentara di Hoku Kei, dia terhitung sangat unggul, tapi bagaimanapun dia belum lama di sini. Perasaanku mcngatakan aku belum bisa memercayainya. Karena itulah aku bingung."
Kalau kau selalu bilang seperti itu, siapa pun orangnya pasti mencurigakan. Lagi pula, bukankah waktunya sudah sangat mendesak? Bagaimana kalau kauputuskan saja memilih You Shi dan memerintahkannya untuk mengemban tugas itu?"
"Kalau kau setuju, You Shi juga boleh. Karena sejauh apa pun aku memikirkannya, tetap saja pilihan akhirnya jatuh ke dia. Tidak ada orang yang lebih tepat selain si Iblis Muka Biru."
"Kalau begitu, segeralah bunyikan genta itu!" Nyonya Sai memerintah suaminya untuk membunyikan genta kecil yang tergantung di bawah cucuran gazebo.
Karena Ryou Chu Sho mendapatkan jabatan tinggi berkat Menteri Sai, ayah Nyonya Sai, sehari-hari dia selalu mengalah pada istrinya. Maka dengan sungkan dia berdiri dan memukui genta tanda panggilan. Begitu genta berbunyi, pengawal yang berjaga di depan gerbang tengah segera muncul, berdiri di halaman member! hormat.
"Katakan pada You Shi, si Iblis Muka Biru, untuk segera menghadap!" "Baik, Paduka!"
Pengawal pun berlalu. Tak lama kemudian, yang muncul dan berlutut di pingir jembatan tak lain dan tak bukan adalah si Iblis Muka Biru, orang yang telah membuat sepuluh ribu pasang mata tentara terbelalak tatkala diadakan pertandingan di lapangan besar Istana Hoku Kei.
"You Shi! Setelah melihat prestasimu, kali ini aku akan memberimu tugas besar. Apakah kau akan sanggup melaksanakan tugas itu dengan mempertaruhkan jiwa dan raga?"
"|ika itu perintah dari orangyang telah menanamkan budi baik kepada hamba, hamba tidak akan mcnolak. Namun, soal apakah hamba akan sanggup melaksanakan tugas tersebut atau tidak, hamba mohon Paduka menjelaskannya terlebih dahulu."
"Aku ingin kau menjaga dan mengantarkan barang-barang hadiah ulang tahun Menteri Sai, ayah istriku, ke Tou Kei. Tentu saja untuk pengiriman itu, aku akan memberikan kebebasan kepadamu dalam memilih anggota pasukan pengawal."
"Kapan keberangkatannya, Paduka?"
"Dalam tiga hari ini."
"Dan apakah barang-barang itu?"
"Ada sepuluh kotak. Untuk itu, aku sudah me-merintahkan kantor pemerintahan untuk menyediakan sepuluh gerobak. Selain tentara pengawal, aku juga sudah meminta komandan tentara menyediakan sepuluh orang kuat yang masing-masing akan mendorong satu gerobak. Pada tiap gerobak akan dipasangi bendera kuning bertuliskan Hadiah Ulang Tahun Menteri Sai. Kurasa itu akan mengusir niat jahat orang-orang, sehinga kau bisa berjalan secara terang-terangan di gunung dan padang."
"Hamba sangat berterima kasih Paduka sudah memercayai hamba, tapi..."
"Apa kau tidak bersedia?"
"Hamba mohon Paduka memerintah yang lain saja. Hamba dengar tahun lalu barang-barang berharga senilai seratus ribu kan telah dirampok di tengah jalan oleh perampok."
"Karena itu, untuk tahun ini, setelah melihat dirimu, aku menugaskanmu. Selain itu..."
Ryou Chu Sho tampaknya mulai naik darah ketika berusaha meyakinkan You Shi. Bibirnya mengering, matanya agak memerah.
"Aku menyukaimu. Karena itulah aku berusaha membuatmu menjadi orang terpandang. Apakah sulit bagimu untuk mengerti hal itu?"
"Hamba sangat berterima kasih untuk niat Paduka..."
"Jawabanmu tanggung-tanggung. Di antara surat-surat yang akan dipersembahkan kepada Menteri Sai, aku berniat memasukkan sepucuk surat rekomendasi agar kau diberikan jalan untuk mendapatkan jabatan. Jika tanpa kendala apa pun kau berhasil mengirimkan barang-barang hadiah ulang tahun tersebut ke hadapan Menteri Sai, bukankah jalan kesuksesanmu akan terbuka lebar? Apa yang sebenarnya kaucemaskan?"
"Tapi dalam perjalanan panjang itu banyak sekali tempat berbahaya, juga wilayah yang dikuasai perampok seperti Gunung Shi Kin, Gunung Ni Ryu, Gunung Tou Ka, Gunung San Gai, Bukit Kou Dei, Haku Sa U, Ya Un To. Hamba tidak mau mati sia-sia."
"Kau rupanya beliun paham. Kau boleh membawa pasukan tentara, berapa pun yang kauperlukan."
"Sebanyak apa pun tentara yang hamba bawa, saat perampok bermunculan, tentunya mereka akan pontang-panting bagai daun kering yang ditiup angin."
"Kau ini bicara apa? Kedengarannya kau menyaran-kan agar aku tidak mengirimkan hadiah ulang tahun itu."
"Ya. Hamba ingin menyarankan agar paduka membatalkan pengiriman. Namun, jika kondisinya sudah seperti ini, Paduka juga tidak mungkin membatalkannya. Untuk itu, meskipun agak terpaksa, hamba akan pergi mengantar."
"Bagus. Jadi kau sudah membulatkan tekad." "Meskipun demikian, ada persyaratan yang ingin hamba ajukan kepada Paduka. Hamba minta Paduka tidak menggunakan gerobak mewah pejabat serta bendera. Hamba sarankan agar barang-barang dibungkus dengan cara biasa sehingga bisa dipikul oleh orang per orang. Kemudian para tentara juga harus dibuat agar tampak seperti pengangkut barang saja."
"Jadi seperti kelompok pedagang dari San Tou?"
"Begitulah, Paduka. Hamba sendiri akan menyamar sebagai pemimpin kelompok pedagang, sedapat mungkin menghindari pandangan para perampok. Jika sudah memutuskan untuk menerima tugas ini, hamba akan berusaha keras agar barang-barang ini sampai di depan pintu gerbang Menteri Sai di Tou Kei dengan selamat." "Kuserahkan semuanya kepadamu. Segeralah laksa-nakan persiapan keberangkatan."
Dua hari persiapan berlalu.
Kini, You Shi sendiri yang minta menghadap Ryou Chu Sho.
"Tampaknya tidak mungkin, Paduka. Tugas ini sepertinya tidak tepat untuk hamba. Oleh karena itu, hamba ingin mundur dari tugas pergi ke Tou Kei ini."
"Mengapa kau berkata seperti itu?"
"Tampaknya perjanjiannya berbeda, Paduka. Menurut berita yang hamba dengar, selain barang-barang yang sudah direncanakan, banyak sekali tambahan barang yang merupakan kiriman Nyonya untuk keluarganya di istana Menteri Sai. Selain itu, katanya kepala rumah tangga yang bernama Sha serta tiga anak buahnya juga akan ikut serta."
"Haha. Jadi kauanggap mereka akan menjadi bebanmu, begitu?"
"Bukan begitu, Paduka. Kepala rumah tangga dan anak buahnya yang langsung berada di bawah penntah Nyonya kemungkinan besar tidak akan menurua instruksi yang hamba berikan. Selain itu, untuk menghadapi kemungkinan munculnya perampok, semua harus sudah mempersiapkan diri menghadapi berbagai macam kesulitan dalam perjalanan yang jauh ini."
"Memang harus begitu. Tentu saja ini akan menjadi perjalanan yang sangat sulit."
"Hamba akan melecut para pengawal agar memiliki semangat yang kuat, dan sudah tentu kami mungkin harus berangkat pada malam atau subuh hari. Kami mungkin juga harus bersembunyi di balik alang-alang atau merayap di atas pasir panas. Dengan demikian, jika hamba tidak memiliki wewenang untuk menebas orang yang tidak mau menuruti instruksi, hamba tidak mungkin bisa memimpin barisan pengawal itu. Karena itu, kalau hamba harus membawa serta kepala rumah tangga dan anak buah Nyonya.
"Tidak usah khawatir. Aku juga akan memerintah orang-orang itu agar menuruti perintahmu secara mutlak, sama seperti pengawal yang lain. Kalau mereka tidak mau menuruti instruksimu dan melawanmu, kau boleh menebas mereka. Aku juga akan memberitahukan hal ini kepada istriku."
"Kalau begitu, hamba bersedia berangkat. Kemudian untuk kesahihan kata-kata Paduka barusan, hamba menginginkan Paduka mewujudkannya dalam bentuk tulisan."
"Baik. Kau juga harus membuat surat bukti penitipan kotak benda pusaka yang kini jumlahnya menjadi sebelas dengan ditujukan kepadaku."
"Baik, Paduka. Kami akan berangkat besok pagi dari gerbang barat Hoku Kei. Untuk itu, hamba mohon agar Paduka memberikan kemudahan."
Keesokan harinya, saat langit masih teriihat gelap, di istana Ryou Chu Sho orang-orang mulai sibuk.
Semua pengawal dari ketentaraan yang menyamar menjadi pengangkut barang teriihat sangat kuat. Masing-masing memikul gendongan yang sangat berat. Barisan mereka teriihat sangat gagah dan cukup menenteramkan. Baik Ryou Chu Sho maupun istrinya, Sai, berdiri di selasar mengantar kepergian mereka.
Nyonya Sai memanggil Kepala Rumah Tangga Sha dan sekali lagi menekankan kepadanya agar menuruti perintah You Shi, tidak bertengkar, serta jangan sampai sakit di tengah perjalanan.
"Jangan khawatir, Paduka. Hamba orang tertua dalam barisan ini. Hamba akan menjaga agar di perjalanan kami selalu bisa akur. Saudara You Shi, mohon bantuannya."
Di depan Nyonya Sai, mereka berdua berjabat tangan, lalu berangkat.
Anggota barisan tersebut berjumlah tujuh belas orang. Sebagian besar dari mereka tampil seperti pengangkut barang yang kuat, sedangkan You Shi dan $ha tampil seperti pemimpin kelompok pedagang. Mereka memakai caping San Tou agar terlindung dari sinar matahari, baju biru tak berlengan dengan pakaian dalam kain kasa, sepatu kain tebal, dan di pinggang di balik baju terlihat menyembul gagang pedang.
Tak lama kemudian, mereka tiba di dekat pintu gerbang bagian barat yang masih diselimuti kabut pagi. Hanya You Shi sendiri yang mengepit sebilah cambuk dari rotan. Dengan memegang ujung caping San Tou-nya dia menengadah ke menara gerbang seraya berkata, "Kami utusan Ryou Chu Sho yang akan menuju ibukota. Kami akan melewati gerbang," teriaknya. Dari menara gerbang kemudian terdengar jawaban, "Siap!" Bersamaan dengan itu, karena gerbang ini dibuka pada saat yang tak terduga, seluruh pasukan penjaga bermunculan di dekat gerbang.
"Silakan lewat!" kata mereka sambil mendorong kedua belah pintu besi ke kiri dan kanan yang mengeluarkan bunyi berderit.
Saat itu bulan lima sudah lewat dan pasir di daratan sudah panas membakar. Awan musim panas yang terik berbinar menusuk mata dan membayang di garis horizon. Panasnya bumi, setelah melewati dasar sepatu, terasa membakar telapak kaki.
Barisan mirip semut yang sedang memikul barang itu berjalan dengan napas tersengal-sengal. Keringat mereka menetes ke tanah. Di awal hari, dengan mudah semua orang dapat mengucapkan Kai Hou Tou Kei dalam satu napas. Namun setelah mulai menapaki selangkah demi selangkah jarak seribu li ke sana sambil membawa barang berat, barulah terasa pekerjaan ini tidak mudah. Tapi tidak, dibandingkan dengan apa yang akan mereka hadapi di depan, panas matahari dan bumi yang membakar mungkin masih dapat ditanggung.
Nun jauh di sana, di antara puncak-puncak gunung yang menjulang ke awan, bahkan si Iblis Muka Biru sekalipun tidak tahu bahwa dia akan melihat kelip tujuh bintang Ursa Mayor yang jarang terlihat dan selalu ditunggu-tunggunya. Bila dia saja tidak tahu, apalagi para pengangkut barang yang terus bernapas tersengal-sengal. Tentunya mereka sama sekali tidak menyangka bakal dapat melihat bintang.

LIMA belas tentara dalam penampilan pengangkut barang. Bayangan mereka yang berjalan bagaikan merayap di atas daratan pasir yang sangat panas, serupa barisan panjang semut pekerja yang sedang mengangkut makanan, terlihar bergerak maju dengan sangat lamban.
Sebelas pikulan yang cligendong di punggung masing-masing tak satu pun yang terlihat ringan. Semuanya dipenuhi emas, perak, dan intan permata senilai seratus ribu kan yang akan dikirim kepada Menteri Sai sebagai hadiah ulang tahunnya. Keringat yang mereka kucurkan setiap hari itu begitu bernilai, yang bahkan tak sepadan bila setetesnya dihargai sebutir permata di salah satu pikulan yang mereka bawa.
"Kalian ini sama sekali tidak punya semangat. Tempat yang kita tuju itu masih berjarak seribu U lagi. Kalau baru sampai di sini kalian sudah kelelahan, bagaimana nanti ke depannya? Ayo jalan! Yang malas akan kupukul dengan cambuk ini."
Di tangan si Iblis Muka Biru tergenggam sebatang cambuk dari rotan. Pedang di pinggangnya pun ada di sana bukan untuk sekadar dipamerkan.
Dia mendapat wewenang mutlak dari Ryou Chu Sho untuk menebas dengan pedang itu siapa pun yang menentang perintahnya selama perjalanan. Bahkan bila orang itu adalah pemimpin rombongan yang satu lagi, Sha si kepala ruraah tangga istana, sekalipun. Dalam perjalanan ini, dia pun tidak boleh mengeluh atau mengajukan ketidakpuasan kepada You Shi.
Syahdan waktu sudah berlalu belasan hari sejak mereka meninggalkan gerbang istana Hoku Kei. Selama itu, hanya dua kali mereka melihat hujan. Itu pun berupa hujan sore hari yang sangat besar dan disertai gelegar halilintar yang hanya berlangsung sekejap. Selanjutnya perjalanan yang mereka alami selalu di bawah sinar matahari yang terik.
Pada malam itu, begitu tiba di penginapan, You Shi mengumpulkan tentara pengangkut barang serta kepala rumah tangga istana, Sha. Lalu terhadap keenam belas orang ini dia berkata, "Nah, mulai dari sini adalah perjalanan yang sebenarnya. Hoku Kei sudah jauh di belakang kita, sedangkan ibukota yang kita tuju masih sangat jauh. Dilihat dari mata pujangga, perjalanan di depan kita akan penuh pegunungan dan sungai nan indah. Namun dari sudut pandang lain, kenyataannya yang akan kita hadapi adalah tempat-tempat yang sulit, seperti Gunung Ni Ryu, Gunung To Ka, Gunung San Gai, Bukit Kou Dei, Haku Sa U, Ya UnTo, serta tcmpat-tempat lain yang konon sarang perampok. Untuk itu, kita harus mempersiapkan diri dan membulatkan cekad. Kita harus menyadari bahwa tugas kita bukan hanya memikul barang."
Setelah mengguyur mereka dengan peringatan yang memupuskan semangat seperti itu, dia menambahkan, "Karena itu, mulai besok, kalian boleh tidur sampai agak siang. Kita tabung tidur sebanyak-banyaknya, lalu berangkat dengan santai. Dengan cara seperti itu kalian akan mendapatkan cukup istirahat."
Tetapi para prajurit sama sekali tidak menunjukkan wajah senang. Hari itu, di tempat tidur, bisik-bisik ramai terdengar di kalangan mereka.
"Kita mesti waspada. SiTembong Bjru mulai bicara yang aneh-aneh lagi. Dia selalu saja menyuruh kita terus berjalan sampai kencing pun rasanya tidak tenang. Tapi mengapa dia bicara seperti tadi?"
"Memang aneh. Padahal setiap hari dia selaiu mengucapkan tanggal 15 bulan 7 seolah-olah mantra, tetapi tiba-tiba saja dia bilang kita boleh tidur hingga siang dan berangkat agak lambat."
"Apa pun yang dia katakan tidak penting. Yang penting bagi kita sekarang adalah tidur. Tidur adalah surga kita. Kita harus berusaha tetap hidup, lalu kaiau kita bisa sampai ke Kai Hou Tou Kei dengan selamat, tentunya pulangnya tidak akan seperti ini. Pokoknya di kehidupan yang akan datang, aku tidak akan mau lagi menjadi tentara."
Keesokan harinya, mereka berangkat agak siang dan tiba di tempat peristirahatan cukup cepat saat petang. Perjalanan yang dilakukan di siang hari saja berlangsung seiama belasan hari.
Dengan cara seperti itu, tentunya keluhan dari mereka berkurang. Meski sebenarnya tujuan utama You Shi adalah untuk menghindari kemunculan perampok. Namun tetap saja, tidak berarti mereka memiliki cukup waktu sampai batas waktu tanggal 15 bulan 7. Alhasil, demi mendapatkan jarak tempuh yang lebih jauh, pada siang hari dia lebih banyak iagi menggunakan cambuk rotan.
"Apa? Mau minum? Sabar! Sabar! Air hanya akan menambah keringat. Bayangkan saja kau sedang rnenggigit buah plum"
"Mana mungkin! Scsering apa pun akti mem-bayangkan scdang menggigit buah plum, tctap saja air ludahku tidak keluar."
"Apa dcngan ini tidak keluar juga?" kata You Shi sambil melecutkan cambuk rotannya di udara.
"Kalian ini setiap malam kubiarkan untuk tidur sepuasnya, kan? Jangan bertingkah!"
"Itu bcnar, tapi kalau sama sekali tidak ada istirahat seperti ini, kami bisa kehabisan napas. Biarkan kami beristirahat sebentar di bawah pohon. Kalau tidak, tubuh kami akan kering kerontang."
"Diam! Dalam perjalanan musim panas macam mana pun, belum pernah kudengar ada orang yang menjadi kering kerontang."
"Aduh! Mataku mulai berkunang-kunang!"
"Apa?"
"Tolong izinkan kami untuk membuka bekal makanan. Kami sudah tidak sanggup melangkah lagi. Sudah tidak ada tenaga."
"Cih! Setiap kali melihat pohon, kalian pasti akan mengiba-iba meminta sesuatu. Kalian pikir sekarang sudah tanggaJ berapa?"
"Wah, mulai lagi. Kami sudah tahu, Tuan." "Kalau kalian tahu, makanlah sambil jalan. Jika terlambat sehari saja dari batas waktu tanggal 15 bulan 7, kita akan terlambat untuk acara ulang tahun Menteri
Sai. Ilalang yang tumbuh dalam seribu hari juga akan habis terbakar dalam satu hari, begitu kata pepatah."
"Kami sudah tidak memiliki keinginan apa-apa lagi."
"Kalau begitu, kalian mau mati?"
"Kejam sekali. Biar begini juga kami ini punya anak-istri, karena itu kami terus berusahadengan mengucurkan keringat yang sudah tidak lagi terasa asin."
"Kalau begitu, Jangan banyak omong lagi. Ayo terus jalan! Nanti kalau sudah sampai di ibukota, kalian boleh makan-minum sepuasnya dan melakukan apa pun semau kalian."
"Uh! Semoga hujan turun!"
Namun sayangnya, hari-hari panas terus berlanjut. Sinar matahari di musim panas itu jauh lebih terik daripada api yang disemburkan naga. Seluruh langit seolah-olah dilapisi batu biru panas dan hari ini tak terlihat sekeping pun awan.
Siang itu juga, akhirnya mereka memasuki jalan setapak di gunung. Tapi di Sana daun-daun pepohonan tampak layu dan angin pun seolah-olah mati. Meskipun ada lembah, airnya kering, semua cadasnya retak, dan tidak setitik pun air keluar dari mata air.
"Sepertinya kita sudah tiba di salah satu puncak Pegunungan Tat Kou."
You Shi yang tidak memikul apa pun juga tampaknya sudah kehabisan napas.
Gunung menjulang dan semakin terjal, sementara jalan setapak telah tersapu habis air hujan sehingga kini yang tertinggal hanya aiur bagai dasar sungai. Pohon yang tinggi tampak bagai tumbuh di ujung tombak dan pcdang, mengingatkan pada taring-taring tajam macan dan harimau.
You Shi yang tak berniat berhenti melangkah sibuk memikirkan perjalanan yang sudah dilewati, serta apa yang akan mereka jelang di depan. Tiba-tiba dia tersadar bahwa ketika sampai di punggung sebuah gunung, baik Sha, si kepala rumah tangga, maupun pengangkut barang serta tentara lainnya sudah cidak berjalan lagi di belakangnya.
"Aku sudah tidak kuat lagi. Mau diapakan juga silakan."
"Mau dicincang juga aku tidak akan mau bergerak lagi."
"Silakan lakukan apa pun!"
Setelah mengatakan hal-hal seperti itu, mereka semua menurunkan barang bawaan dari punggung, lalu berselonjor atau tidur telentang. Jika sudah begini kondisinya, tampaknya mereka sudah membulatkan tekad untuk bergeming, tidak peduii hukuman apa pun yang akan mereka terima.
"Oh. Dasar manusia rendahan!"
Begitu menyadari kepasrahan yang diselimuti kenekatan mereka, You Shi segera berbalik sambil berulang kali melecutkan cambuknya.
"Atas izin siapa kalian istirahat? Kalian ini, lengah sedikit saja langsung begini!"
"Sabar! Sabar!"
Yang mencoba meredam kemarahan You Shi adalah Sha, si kepala rumah tangga.
"Apa pun aJasannya, tidak memberikan waktu istirahat sedikit pun kepada mereka dalam udara sepanas ini saya kira terlalu kejam. Pak You Shi, Bapak jangan marah terus."
"Kepaja rumah tangga! Anda yang memberi mereka izin untuk beristirahat?"
"Saya tidak memberi mereka izin apa pun. Begitu sampai di puncak, mereka semua dengan sendirinya kelelahan seperti itu. Bagi saya, berusaha lebih dari ini sangatlaK sulit, ibarat harus mengeluarkan seluruh usus dalam perut melalui mulut. Seandainya kita beristirahat barang setengah jam di sini, saya kira kita tidak akan terlambat untuk hari ulang tahun Menteri Sai."
"Kalau Anda yang memahami kondisi yang ada bisa berkata seperti itu, memangnya saya mau melakukan perjalanan yang sulit seperti ini dengan mengundang dendam dari mereka semua? Omong-omong, tahukah Anda sekarang kita berada di mana?"
"Mungkin kita sudah sampai di salah satu puncak Pegunungan Tai Kou. Kalau kita bisa melewati puncak ini, saya kira kira takkan menghadapi masalah."
"Mudah sekali Anda bicara!"
"Apa tidak begitu?"
"Tidak juga. Dari tadi aku memerhatikan, justru wilayah inilah yang disebut Bukit Kou Dei itu. Bukit tempat munculnya para perampok yang sangat ditakuti masyarakat. Jika kita lengah di tempat seperti ini, mungkin saja kita akan dilanda badai pasir siluman."
Mendengar itu, seorang tentara pengangkut yang sudah kepayahan berkata nekat, "Hahaha. Kepala Ekspedisi You mulai berulah lagi. Setiap hari kita terus-menerus ditakuti seperti ini. Kalau di siang belong seperti ini muncul siluman seperti icu, menarik juga. Segala sesuatu itu harus kita alami. Sekarang aku malah jadi ingin bertemu siluman itu."
"Dasar tolol!" bentak You Shi mengalihkan kemarahan kepada tentara itu. "Sejak awal kalian selalu mengeluh dan berkata kalian melakukan pekerjaan berat ini demi anak-istri, bukan? Bagaimana kalau kalian benar-benar menghadapi kesulitan? Jangankan mendapat hadiah, justru nyawa kalian yang akan melayang. Aku, sebagai pemimpin kalian, terpaksa bertindak kejam karena aku tidak ingin kalian mengalami hal seperti itu. Apa kalian tidak bisa memahami cambuk kasih sayang yang kulecutkan kepada kalian?"
"Hmm. Sama sekali tidak. Apa yang dimaksud dengan cambuk kasih sayang itu?"
"Kau ini!"
You Shi mulai menunjukkan wajah aslinya kembali dan berniat mencabut pedang yang ada di pinggang. Melihat itu, Sha, si kepala rumah tangga, tetkejut dan serta-merta bergcrak ke depan You Shi untuk menghalanginya.
"Tunggu! Saudara You memang berniat bagus, tetapi Anda masih muda. Sifat Anda yang lekas marah dengan sendirinya akan merusak suasana yang ada."
"Tidak! Lepaskan saya. Mereka belum tahu bagaimana jadinya kalau saya marah. Sebagai contoh, saya akan tebas leher salah seorang dari mereka!"
"Kalau begicu, siapa nanti yang akan memikul barang yang dibawanya? Saya sama sekali tidak mau."
"Kalau cuma satu pikulan bisa diatur. Yang lebih penting adalah menjaga semangat mereka semua. Orang tua jangan ikut campur!"
"Tidak! Saya tidak bisa membiarkannya begitu saja. Bagaimana Anda bisa menyatukan mereka semua kalau hanya mengandalkan kekerasan? Harusnya Anda menggunakan cara yang lembut. Sayangnya, Anda tidak dapat memahami apa sebenarnya arti 'susah' itu."
"Jangan asal bicara. Saya juga pernah mengalami masa-masa sulit, menggelandang. Saya juga pernah melakukan perjalanan jauh dari  Shi Sen,   Kan  Shii, sampai Kan Ton."
"Kalau cuma perjalanan biasa, siapa pun pcrnah melakukannya."
"Siapa bilang biasa? Anda tahu, sekarang ini kondisinya sangat buruk di mana-mana. Dalam suasana masyarakat yang tidak aman dan penuh kegelapan sepcrti itulah saya bcrkelana dan mengalami berbagai macam kesulitan."
"Hei, kepala ekspedisi." "Ada apa?"
"Untung sekarang kita berada di tengah pegunungan yang tidak ada orang lain, tapi sebaiknya Anda jangan terlalu berani mengatakan hal-hal seperti itu. Anda dilindungi Pangeran Ryou Chu Sho dan mendapat gaji darinya, jadi apa maksud Anda mengatakan bahwa sekarang masyarakat dalam suasana tidak aman dan penuh kegelapan? Mudah-mudahan saja tidak ada yang memotong lidah Anda karena kata-kata barusan," kata Sha.
Untuk hal ini, You Shi tidak bisa menanggapinya. Perasaan yang terkubur di dalam hati, jika suatu ketika terpancing sesuatu, tanpa disadari akan terucap juga. Dia begitu menyesal, namun ucapannya tidak dapat ditarik lagi. Sekalipun dia berhasil melaksanakan tugas besar, mengamarkan barang-barang hadiah kepada Menteri Sai, jika suatu saat hal ini disampaikan Sha kepada orang-orang di atas, semuanya akan sia-sia. Penyesalan di wajah You Shi serta-merta membuatnya seperti orang lemah.
Sekonyong-konyong pandangannya yang sangat tajam menangkap sosok yang berkelebat. Sosok itu bergerak ke arah hutan cemara tak jauh dari sana.
"Ah! Ada laki-laki mencurigakan!" teriak You Shi ke arah hutan itu.
Rasa terdesak akibat adu kata dengan Sha yang berbuntut tidak mengenakkan serta segala perasaan lain yang ada saat itu, segera sirna bersama satu teriakan tadi. Mungkin bagi You Shi itu kesempatan yang sangat menguntungkan dirinya. Entah apa yang dilihatnya, tetapi dengan kecepatan yang sangat tinggi, dia melesat mengejar bayangan lakj-laki yang bersembunyi ke hutan cemara.
Dia kehilangan jejak laki-laki yang berlari bagaikan kijang di antara pepohonan, namun tanpa diduga-duga dia bertemu sekelompok pedagang keliling.
Mereka berkumpul di tempat teduh, lalu tersebar di sana-sini terlihat tujuh buahgerobakdorongdari Provinsi Kou yang masing-masing memuat tong. Pedagang itu berjumlah tujuh orang, tua dan muda. Ada yang duduk bersila, ada yang berbaring, atau duduk di bawah pohon dan pegangan gerobak. Tampaknya mereka semua sedang bersenda gurau sambil mengelap keringat yang mengucur dalam cuaca yang begitu panas.
"Hah?"
Seketika mereka terlonjak, terkejut melihat sosok You Shi.
"Kalian siapa?" You Shi bertanya sambil mendekat.
"Kau sendlri siapa?" kata pihak pedagang seolah-olah membeo.
"Begini. Siapa kalian dan dari mana? Itu yang kutanyakan."
"Kami juga bertanya, kau ini siapa? Oh! Jangan-jangan kau orang jahat yang kami dengar sering muncul di Bukit Kou Dei."
"Jangan macam-macam. Justru kalianlah yang mungkin orang jahat itu."
"Sungguh tersanjung kami mendengarnya. Sayang sckali, kami cuma orang tua dan anak muda pedagang kecil miskin. Omong-omong, kau ini siapa?"
"Akusebenarnya juga pedagang, dari Kai Hou. Kami baru membeli kulit binatang dari Ko Hoku dan sedang dalam perjalanan menuju ibukota. Karena kami dengar tempat ini berbahaya, begitu tadi aku melihat laki-laki mencurigakan sedang mengamati kami lalu melarikan diri ke hutan cemara, maka aku mengejar ke sini. Karena kupikir laki-laki itu orang jahat,"
Ketujuh orang itu tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita You Shi.
"WahlSepertinyakitasedangmainkucing-kucingan. Kami juga seperti itu. Ketika sedang beristirahat di sini, dari arah kaki gunung sebelah utara muncul belasan orang kekar yang mengangkut sesuatu. Kami panik karena mengira perampok-perampok terkenal dari Bukit Kou Dei sudah muncul, sehingga kami pun ketakutan. Untuk itu kami mengutus salah satu dari kami untuk mengawasi mereka. Tapi karena dia bilang kelinatannya mereka bukan orang jahat, kami pun kembali mulai istirahat. Begitu."
You Shi tampaknya mulai percaya dan sambil tersenyum dia berkata, "Jadi kita sama-sama pedagang. Ini betul-betul menggembirakan. Omong-omong, apa yang kalian jual?"
"Silakan lihat tong ini."
"Oh. Manisan pala. Jadi, kalian ini pedagang manisan pala?"
"Kalau di kampung, yang seperti ini bukan barang aneh, tapi kalau di ibukota, para peminum selalu bilang bahwa untuk camilan minum arak tidak ada yang lebih baik selain manisan pala. Untuk itu, kami bertujuh bersama-sama berangkat dari Provinsi Go menuju ibukota. Tapi kalau udaranya begini panas, pala di dalam tong bisa layu. Mencari uang itu memang sulit."
"Betul sekali. Seperti kata peribahasa, uang bisa menyusahkan dan bisa pula menghancurkan."
"Kalau kau suka, akan kami beri sedikit pala ini."
"Tidak usah. Terima kasih atas kebaikannya."
Dengan agak tertawa pahit, You Shi kembali ke tempat teman-temannya berkumpul.
Begitu melihat kedatangan You Shi, Kepala Rumah Tangga Sha berkata dengan agak sinis, "Kepala ekspedisi. Bagaimana ketajaman pedang yang Anda bangga-banggakan itu?"
"Saya sangka mereka perampok, tapi ternyata mereka cuma kelompok pedagang kecil yang tidak perlu kita cemaskan."
"Oh, begitu. Kalau berpijak pada kata-kata yang selalu Anda katakan, mestinya di wilayah ini tidak ada manusia baik-baik, bukan?"
"Janganlah berkata sinis seperti itu. Orang tua memang selalu bersifat pendendam rupanya."
"Oh, tidak juga. Kalau begitu, artinya kita bisa sampai dengan selamat. Saya tadi sudah membuka bekal sisa. Bagaimana kalau Anda juga beristirahat sebentar?"
"Baiklah," sahut You Shi. "Anggap saja hari ini kita kehujanan. Hei! Kalian semua! Kalian boleh beristirahat dulu!"
Di sini You Shi melakukan kesalahan kecil. Dia jadi tampak agak malu. Sejak tadi para tentara memang sudah beristirahat dengan kemauan sendiri berkat ide Kepala Rumah Tangga Sha. Cambuk You Shi pun terpaksa bertekuk lutut terhadap kekompakan serta kenekatan kelompoknya.
Selain itu, bisa dikatakan bahwa waktunya memang sangat tepat. Entah dari mana asalnya, terdengar seseorang melantunkan nyanyian desa. Suara laki-laki. Iramanya sesuai sekali dengan langkah kaki laki-laki yang datang dengan memikul barang bawaan di pundaknya. Semua tentara menoleh ke arah tanjakan yang ada di belakang mereka. Dari sana muncul seorang laki-laki yang memikul dua tong kayu. Dari kedua tong itu tercium aroma arak ubi yang menyengat.
"Hei! Tunggu dulu!" panggil para tentara.
Laki-laki itu menurunkan pikulannya.
"Ya. Ada apa?"
"Sepertinya itu arak ubi, ya?"
"Memang betul."
"Mau dibawa ke mana?"
"Ke desa di sebelah sana, di sisi lain gunung itu. Lusa ada pesta musim panas di sana."
"Jadi arak ubi ini tidak kaujual?"
"Justru karena ini barang dagangan, maka saya memikulnya seperti ini. Tergantung harganya, saya bisa saja menjualnya kepada Anda semua."
"Berapa harga satu tong?"
"Saya kasih murah. Satu tong lima kan. Karena masih setengah perjalanan, jadi ongkos jalannya tidak usah ditambahkan."
Para tentara itu berkumpul untuk berunding. Mereka mirip anak-anak kelaparan yang disodori makanan di depan hidung mereka. Kerongkongan mereka berdeguk. Hidung mereka bergerak-gerak. Akhirnya masing-masing mengeluarkan uang receh. Tampaknya mereka bcrembuk untuk membeli arak itu dengan nlenggabungkan uang saku mereka.
You Shi yang sejak tadi mclotot, tiba-tiba mencabut pcdang beserta sarungnya dari pinggang dan berjalan menuju tong arak. Lalu dengan ujung pedangnya dia mengeruk-ngetuk tong itu.
"Hei! Kalian berniat membeli ini dan meminumnya, ya?"
"Kami membayarnya dengan uang kami sendiri."
"Bukan soal uangnya. Memangnya kalian mendapat izin siapa untuk membeli ini? Kalian jangan macam-macam!"
"Kami tidak ingin macam-macam. Tapi kalau Tuan juga manusia, tolong pahami kami. Kami sudah tidak tahan lagi. Kalau mdihat arak itu dan tidak meminumnya, bayang-bayang akan arak itu akan rerus melekat di pikiran kami, membuat kami penasaran sehingga tidak ada keinginan lagi untuk berjalan."
"Jangan aneh-aneh. Pakai suara memelas segala seperti anak-anak. Buka telinga kalian dan dengarkan baik-baik! Dalam perjalanan biasa pun, kita tidak boleh tergiur arak yang dijual pedagang keliling. Apa kalian tidak tahu? Berapa banyak kejadian yang menunjukkan bahwa karena keserakahan yang didasari kedangkalan pikiran, banyak orang yang seluruh uang di sakunya dirampok tukang arak keliling, karena arak yang diminumnya sudah diberi obat bius. Kalian ini tidak mau mengerti juga."
Mendengar itu, alih-alih para tentara, justru si tukangarakkelilingyangtampakmarah.Huh.dengusnya sambil melotot. Lalu dia segera memikul kembali barang dagangannya dan berlalu dari Sana.
"Hei! Jangan berdiri di Sana! Menghalangi jalanku, tahu! Benar-benar menyebalkan. Mana ada orang gila yang mau menjual obat bius dalam cuaca sepanas ini? Sungguh tolol!"

KATA-KATA yang diucapkan pedagang arak itu memang ditujukan kepada You Shi, namun iai justru menambah rasa penasaran para tentara.
"Hei! Tunggu! Kami sudah mengumpulkan uang."
"Siapa  peduli? Aku   tidak akan menjualnya. Selamat tinggal.' "Hei! Jangan marah begitu. Meskipun cara bicaranya seperti itu, pemimpin kami ini sangai pengertian, juga penuh belas kasih."
"Kalian asal bicara! Apa ada orang yang sangat pengertian yang menjelek-jelekkan dagangan orang? Kaiau ini terjadi di kola atau di desa, tentunya tidak akan dibiarkan begitu saja."
Tampaknya si tukang arak benar-benar marah. Karcna itu sikapnya semakin angkuh. Pada saat itu, dari bayangan hutan cemara di sebelah sana, kclompok pedagang pala datang berlarian.
"Ada apa ini?" kata mereka memana.s-manasi. Mata mereka berbinar-binar penuh ingin tahu, scolah-olah mengharapkan terjadinya sesuatu.
"Astaga! Kenapa kau marah-marah seperti itu, tukang arak? Turunkan dulu arakmu."
"Oh. Ternyata para pedagang yang tadi malam menginap di kaki gunung. Tolong dengarkan aku. Bagaimana aku tidak marah...," katanya kemudian berkisah.
"Jadi lalu kau bcrtcngkar dcngan saudara-saudara ini? Dari tadi kami mendengarnya dari sana. Kami kira ada perampok yang muncul, jadi kami segera ke sini. Tapi kalau hanya perang mulut, syukurlah. Sebaiknya disudahi, Jangan diteruskan. Pertengkaran tidak ada gunanya."
"Memang benar yang kaukatakan," kata si tukang arak ubi. "Tak seorang pun yang ingin bmengkar, tapi karena ada orang yang bicara seenaknya, aku jadi naik pitam. Dia bilang, barang jualanku diberi obat bius. Betul-betul menyebalkan."
"Siapa yang seenaknya bicara seperti itu?"
"Dia itu, orang yang seperti cabai hijau yang sedang berdiri tegak di sebelah sana. Sejak dulu, secara turun- temurun, keluargaku discbut sebagai penjual arak yang jujur. Jads kejadian hari  ini betiil-betul  membuatku gusar."
"Sudahlah. Jangan terialu dipikirkan. Tidak perlu marah-marah. Lagi pula, orang itu sekarang diam saja, bukan? Mungkin dia menyadari omongannya memang keterlaiuan dan sekarang menyesal. Daripada bicara terus, lebih baik beri semua anggota kami rnasing-masing secangkir, soalnya sekarang kami bctul-betul kehausan."
"Tidak mau."
"Kenapa? Kau keras kepala juga, ya? Kami kati tidak minta arakmu secara gratis."
"Aku tahu. Sebenarnya, sekalipun tidak bcrjualan di tempat scperti ini pun, aku pcdagang arak yang tidak pernah kekurangan pelanggan warisan orangtuaku. Jangan kaupandang enteng soal itu."
"Hei, jangan bicara yang tidak-tidak. Bukan kami yang membuatmu kesal, kan? Kau ini aneh juga. Nah sekarang, tolong beri kami arak itu dan jangan marah-marah lagi. Berjualan arak itu harus berbaik-baik dengan pembeli, bukan?"
"Kalau kau berkata seperti itu dan mungkin karena aku ini memang tolol, aku akan menjual arak ini kepada kalian. Tapi sayangnya, aku tidak membawa cangkir."
"Tidak masalah. Kalau soal cangkir, jangan khawatir. Ada di sana."
Dua penjual pala berlari ke arah gerobak mereka. Mereka kembali dengan membawa dua mangkuk dari batok kelapa. Salah satu dari mereka membawa setangkup penuh pala.
Kemudian dia meletakkan pala itu di atas tutup tong arak.
"Nah, ini dia camilannya."
Mereka bertujuh mengelilingi tong arak. Bergantian mereka minum arak ubi dari mangkuk batok kelapa. Kelihatannya menikmati sekali. Sambil minum, mereka makan pala. Daiam sekejap, arak yang ada di salah satu tong itu hampir habis.
"Benar-benar nikmat. Mungkin karena tanpa disangka-sangka kita bisa minum arak di tempat seperti ini, arak ini terasa sangat lezat, tidak ada tandingannya. Cuaca yang panas pun seperti terlupakan."
"Hei! Hei!" seru salah satu penjual pala. "Kalian enak saja minum-minum, padahal harganya belum ditanyakan. Hei, tukangarak, kamisudah menghabiskan satu tong. Berapa harganya?"
"Karena harga satu pikulan sepuluh kan, jadi kalau satu tong harganya lima kan."
"Baik, ini uangnya, lima kan"
Ketika uang sedang diseraiikan, salah satu satu penjual pala berkata, "Tolong satu mangkuk lagi sebagai bonus." Dia membuka tutup tong yang satunya lagi,
lalu mcmasukkan mangkuk kelapa untuk mengambil arak dan meminumnya. Si tukang arak menoleh.
"Hei! Tidak boleh!" serunya sambil berusaha merebut mangkuk yang kirn isinya tinggal separuh. Namun, si pedagang pala yang sedang mcmegang mangkuk itu bcrkelii dengan gesit, lalu cepat-cepat bcrlari menghindar ke arah hutan cemara. Si tukang arak tampaknya sangat pcnasaran, jadi dia pun mcngejarnya sambil mencad-maki. Melihat itu, para pedagang lain yang masih ada dl sana malah memanfaatkan kesempatan baik ini. Mereka mulal mengelilingi tong yang tidak ada penjaganya dengan mangkuk kelapa yang sudah siap di tangan. Si tukang arak yang menoleh ke tongnya kembali terperangah.
"Pencuri!" teriaknya sambil berlari kembali ke arah tongnya. Begitu sampai, dengan kalap dia segera merebut mangkuk-mangkuk kelapa itu. Lalu dia mencaci-maki para pedagang pala yang melarikan diri.
"Sialan. Hei, pedagang-pedagang jahat yang pura-pura alim, mampuslah kalian!"
Tentara-tentara yang sejak tadi menonton sudah tidak sanggup tertawa, hanya dapat menelan air liur. Rasa dendam akibat makanan itu rupanya sangat serius. Apalagi di tengah hari yang sangat terik membakar, ketika di depan hidung mereka orang-orang makan-minum, tentunya pemandangan itu menjadi siksaan yang tak tercahankan. Dalam kesunyian yang menekan, mereka
400
memandang punggung You Shi yang duduk di kejauhan dengan penuh dendam. Akhirnya, mereka sudah tidak tahan lagi dan mulai mengeluh kepada Kepala Rumah Tangga Sha.
"Kepala Rumah Tangga, toiong kami. Tolong mintakan izin Kepala Ekspedisi You. Kita masih harus menghadapi tanjakan panjang di depan. Ketika sampai di puncak, tidak mungkin ada air yang bisa kita minum. Tolong minta beliau mengizinkan kami membeli dan minum arak dalam tong yang satu lagi. Kami sudah sangat haus."
Sebenarnya Sha sendiri, memiliki keinginan yang sama di dalam hatinya, namun tentu saja dia tidak mungkin begitu saja menunjukkan perasaan itu di hadapan mereka. Dengan wajah seolah-olah segan menerima permohonan mereka, dia menghampiri You Shi. Dia berusaha menyampaikan keinginan mereka kepada You Shi dengan nada seolah-olah menyarankan bahwa kalau tidak berkenan, dia bisa berpura-pura tidak melihatnya.
"Hah!" You menyergah. "Di mana semangat mereka itu?"
Meskipun You Shi menunjukkan wajah yang tidak senang, dia menimbang-nimbang. Jikalau nanti sesampainya di ibukota, kesalahan kata-katanya tadi disebarkan baik oleh kepala rumah tangga maupun para tentara dengan ditambah-tambahi, hal tersebut akan berdampak buruk pada dirinya. Sclain itu, jika mcreka terus mcndendam, keadaan ini tidak akan bagus untuk pcrjalanan ke depan.
Lagi pula berdasarkan pengamatannya scjak tadi, tidak ada yang patut dicurigai pada kedua tong arak ubi itu. Maka, dcngan wajah seolah tidak rcla, dia berkata, "Apa boleh buat? Kalau Anda sendiri bilang seperti itu, untuk hari ini saja saya akan bcrsikap pura-pura tidak melihat. Tap! sebagai imbalannya, sctelah rasa haus mereka lenyap, saya harap kita bisa berangkat lagi dcngan penuh semangat."
"Oh! Anda mengizinkan.Tcntunya para tcntara akan menari kegirangan. Hci, kalian semua! Bergembiralah! Sudah ada izin dari Tuan You!"
Kepala Rumah Tangga Sha scndirl tcrlihat a mat sangat senang. Begitu sampai di dekar tong arak bcrsama para tentara, dia berteriak kegirangan.
" Fidak! Tidak! Aku tidak niau menjualnya kepada kalian."
Tentara-tcntara berteriak kegirangan, tetapi si penjual arak kembali lagi merajuk.
"Daripada berlama-lama di sini dalam suasana yang tidak menyenangkan, lebih baik aku segera pergi kc desa dan menyenangkan penduduk di sana. Ayo, minggir! Tampaknya hari ini bukan hari baik untukku."
"Kau masih jengkcl rupanya. Maafkanlah kami."
"Tak perlu buang tenaga. Aku tidak akan mau menerima permintaan maaf kalian!" "Kau ini keras kepala juga." "Memang. Lalu kenapa?"
"Hei! Kau berdosa kalau pergi begitu saja tanpa menjual arak itu kepada kami. Padahal kami sudah susah-susah mengumpulkan uang dan memohon-mohon seperti ini."
"Kalian     tidak    mau    melepaskanku    rupanya. Tcrscrahlah.   Kalau   kalian   betul-betul   begitu   ingin minum arak, sana, silakan saja ambil sesuka kalian!" "Tidak bisa begitu. Nih, kami bayar lima kan\" "Sekarang harganya bukan lima kan" "Apa? Kau mau menaikkan harganya?" "Aku tidak sepicik itu. Tong yang satu ini sudah berkurang beberapa mangkuk karena diambil pedagang-pedagang pala tadi.  Karena itu, harganya kupotong. Cukup empat kan saja."
"Oh, begitu. Kau ini ternyata orang jujur. Hebat." Salah satu tentara memungut mangkuk tcmpurung kelapa yang tergeletak di dekat sana, lalu dengan wajah serius mengitan tong menunggu gihran minum.
Terdengar bunyi decak lidah. Terdengar bunyi teguk kerongkongan. Terdengar pujian, teriakan senang, juga lelehan air liur kegembiraan. Posisi mereka kini bagaikan lukisan sumur di surga yang diketilingi arwah-anvah gentayangan.
"Hei! Hei! Yang sudah dapac minum, silakan menjauh. Masa kalian mau mendahuEui Kepala Rumah Tangga!"
"Oh, maaf. Kepala Rumah Tangga, silakan Anda minum juga."
"Wah. Arak ini bctul-betul bagus. Enak sckali. Saya akan menawari Tuan You Shi juga."
You Shi sama sekali tidak berniat minum. Pada dasarnya You Shi bukanlah peminum, tecapi rasa haus juga mendera dirinya. Maka, ketika arak dalam tong sudah hampir habis, dia berkata, "Ya. Aku juga mau minum sereguk." Akhirnya dia juga minum kira-kira setengah mangkuk.
"Terima kasih," kata si tukang arak. "Bcrkat kalian semua, hari ini aku bisa segcra kembali ke kaki gunung. Kalau begitu, selamat jalan."
Setelah mengucapkan tcrima kasih, dia memikul tong-tongnya yang sudah kosong, lalu dengan langkah cepat kembali menuruni gunung ke arah datangnya tadi.
Ketika itu, dari suatu sudut hutan ccmara yang terpisah agak jauh, ketujuh pedagang pala bergeming bagaikan tujuh patung batu dan terus mcmerhatikan scgala sesuaru yang terjadi.
Saat itu juga, dari arah bawah jalan turunan yang sudah cukup jauh> terdengar nyanyian desa penjual arak yang sudah tidak kelihatan lag! sosok tubuhnya.
Mungkin itu tandanya. Mendadak, ketujuh orang itu screntak tertawa dan bertepuk tangan.
"Lihat bagaimana hasilnya? Bagus sekali kan?"
"Memang sesuai dengan julukan Kou iMei zaman sekarang, Guru Go, si Bintang Banyak Akal ini hebat sekali. Semuanya berjalan sesuai rencana Guru."
"Rasakan! Dasar pesuruh-pesuruh pejabat jahat."
"Mampuslah kalian tan pa merasa penasaran!"
"Ayo, kita mulai bekerja!"
Serentak ketujuh orang itu mulai mendorong gerobak masing-masing dari bayang-bayang hutan cemara. Lalu dengan cepat dan tanpa ragu, mereka bergerak ke arah You Shi, Kepala Rumah Tangga Sha, dan para tentara.
Mereka lalu bergegas membuang semua pala di gerobak ke lembah. Sebagai gantmya, mereka memuat sebelas pikul barang yang tadi diletakkan berjajar oleh para pengangkut kelompok You Shi ke gerobak, masing-masing dua atau tiga pikulan, lalu menyelubunginya dengan kain penutup.
"Selesai sudah. Selanjutnya apa pun yang akan terjadi, terjadilah."
"Selanjutnya. kalian akan jadi mangsa burung atau binatang buas."
"Selamat tinggal! Selamac tinggal!"
Seolah-olah mereka menyanyikan lagu kemenangan. Tcmunya itulah yang terjadi. karena uang dan emas permata dari suami-istri Ryou Chu Sho yang mestinya dikirim kepada Menteri Sai kini sudah berubah arah. Meskipun demikian, mau diangkut ke mana scbenarnya harta kekayaan senilai seratus ribu kan yang berada di balik kain penutup gerobak itu?
"Uhoh..."
Setengah sadar You Shi melihat scmua itu namun dia tidak bisa melakukan apa pun. Kepalanya terasa kosong. Meskipun semua itu dapat dikctahui dengan matanya, saraf indra penglihatannya tidak sampai ke otak. Tangannya masih bisa menggenggam akar rerumputan, namun ke atas punggung tangannya, dia hanya bisa meneteskan air liur. Pmggangnya terasa berat bagaikan digantungi timah, seluruh rubuhnya terasa dingin. Mulutnya terbuka lunglai, dan dari situ keluar suara namun tidak berupa kata-kata.
"Apa yang terjadi pada Kepala Rumah Tangga? Dan para tentara?"
Sel-sel otaknya mulai berpikir.
Dia mengangkat dahi dari tanah, laJu menebarkan pandangan ke sekeliling.
Semuanya sedang menggelepar-gelepar bagaikan ikan yang akan mati di danau kering. Tak seorang pun berada dalam kondisi baik. Di mana-mana hanya rerdengar erangan aneh seperti suara yang dikeluarkan orang gagu, serta hanya terlihat gerakan-gerakan tubuh yang aneh pula.
"Oh. Sungguh menyedihkan."
You Shi dengan lunglai bangkit, namun dia segera terjatuh kembali. Lalu setelah itu, tidak sedikit pun kesadaran tersisa pada dirinya. Satu atau dua jam kemudian, ketika kesadarannya kembali, di suatu sudut Pegunungan Tai Kou, bulan memancarkan sinarnya yang kemilau bagaikan taring setan.
Siapakah sebenarnya ketujuh orang pedagang pala itu? Sebenarnya tidak usah dijelaskan lagi, tetapi kalaupun harus disebutkan, mereka itu tidak lam orang-orang yang sudah dicentakan sebelumnya, yaitu Chou Gai dari Desa Tou Kei, tamunya si Ryu Tou si Setan Rambut Merah, Ccndekiawan Go yang sedesa dengan Chou Gai, uga bersaudara Gen yang adalah para nelayan Desa Sekka yang diajak Cendekiawan Go bergabung, serta Kou Son Shou Issei. Semuanya berjumlah tujuh orang.
Tidak hanya mereka, masih ada satu lagi orang luar yang ikut dalam kelompok tersebut. Orang ini pandaJ sekaii bersandiwara. Diaiah laki-laki yang tclah berperan bagus sebagai pedagang arak. Dia tidak memiliki pekerjaan tetap, bernama Haku Shou, si Tikus Slang yang tinggal di desa dekat Bukit Kou Dei. Karena dia orang yang mendapar perhatian dari Chou Gai, maka rumahnya dipilih sebagai tempat berkumpul kelompok Chou Gai, kemucfian dia scndirilah yang  mcngajukan diri untuk memainkan satu peran.
Selanjutnya, tentang rencana penggunaan obat bins. Hal ini dirancang bcrdasarkan aJur yang sangat taktis. Pertama, tujuh orang menghabiskan satu tong arak. Lalu mereka mernbayar uang. Selanjutnya, pada saat membayar, tong yang satu lagi dibuka penutupnya, dan yang minum setengah mangkuk kelapa tanpa izin itu adalah Ryu Tou, si Setan Rambut Mcrah. Ryu Tou melarikan diri dan si Tikus Siang yang berperan sebagai penjual arak mengejarnya. Pada saat si penjual arak tidak berada di tempat, kelompok yang tertinggal, ranpa izin berebut untuk mencoba minum arak dari tong itu, atau setidaknya memperlihatkan bahwa mereka minum.
Mclihat itu, Tikus Siang, si tukang arak, terkejut dan kembali, lalu mereka berpura-pura hendak berkelahi. Pada saat itulah Cendekiawan Go cepat-cepat memasukkan obat bius ke mangkuk, lalu dengan mangkuk itu dia berusaha mengambil arak. Selanjutnya, bagaikan sulap, racun sudah teraduk di seluruh arak yang ada dalam tong.
Selanjutnya, mereka semua bersama-sama melarikan diri. Si tukang arak mencaci maki sambii melemparkan mangkuk yang telah direbutnya dari tangan mereka. Demikianlah, rencana memasukkan racun ke dalam rong arak pun selesai. Pada zaman Selanjutnya, satu babak drama yang terjadi pada saat itu disebut sebagai adegan "Perebutan badiah ulang tahun dengan akal."
"Asraga! Kenapa aku ini?"
You Shi, si Iblis Muka Biru yang tersadar mengamau keadaan dirinya, lalu menengadah ke langit luas ke arah bayang-bayang bulan tanggal dua.
"Ah, ternyata aku rertipu. Padahal aku sudah berusaha agar tidak sampai terkecoh, tapi tetap saja masuk perangkap."
Seolah tak kuat menahan kesal, dia meremas rambut dengan kedua tangan. Air mata kekecewaan pun mengalir di pipinya.
"Bagaimana aku bisa kembali ke Hoku Kei dalam keadaan hidup? Jika aku pergi ke ibukota, aku jadi orang buangan yang tidak akan diterima lagi. Kalau begitu, sebaiknya aku melemparkan diri dari bukit ini ke lembah, setelah itu aku akan menjadi setan di Bukit Kou Dei. Aku akan menjadi legenda bagi setiap pelancong yang melewati tempat ini, mereka dapat berkisah bahwa dulu ada manusia tolol seperti aku. Mungkin hanya inilah jalan akhir yang bisa kutempuh. Jalan akhir hidupku."
Dengan langkah lunglai, dia mulai berjalan menyusuri bayang-bayang pekat.
Kecnam belas orang lainnya masih tergeletak di tanah, tidak bersuara. Mungkin dia paling cepat tersadar karena hanya dia yang minum setengah mangkuk arak. Meskipun demikian, bagi dirinya yang sekarang sudah berdiri di depan jurang kematian, hal itu sama sekali tidak ada untungnya.
"Sejaklahir sampai sekarang aku sudah hidup selama tiga puluh tahun lebih. Apakah aku harus mati dcngan cara seperti ini? Sebenarnya untuk apa aku lahir?"
Pada saat You Shi memandang kc bawah, ke jurang kcmatiannya, kilasan-kilasan episode hidupnya di masa ialu selama tiga puluh tahun lebih terlihat kembali dengan sangat cepat bagaikan kilat.
Bayang-bayang ayah dan ibunya muncul. Terdengar suara adik-adiknya. Guru ilmu bela diri, guru ilmu sastra, semua orang di dunia ini yang telah mendidiknya, yang telah mendukungnya untuk menjalani berbagai macam kehidupan, dengan kuat mcmegang lengan bajunya. Mereka seolah-olah berusaha menghentikan niarnya dan berkata, "Kenapa kau memihh kematian?" atau "Mati itu gampang, tetapi kau takkan dapat hidup lagi."
"Oh, menakurkan. Begini menakutkan kematian yang tak bermakna. Ternyata aku tidak mau mad. Aku ingin menemukan suatu makna, enrah itu makna kematian atau makna kehidupan."
Dia segera melompat mundur dari bibir jurang, seolah-olah melepaskan diri dari mulut dewa kematian.
Ketika dia kembali ke tempat semula, keenam belas sosok yang tampak buruk itu masih tergeletak dcngan mata mendelik dan ujung mulut berbusa.
"To...Tolol!"
Suara dari tubuhnya meluncur ke luar dengan sendirinya. Setelah teriakan tersebut, perasaannya mulai agak lega.
"Baiklah. Aku tidak akan mati. Siapa yang mau mati bersama orang-orang sepeni ini? Nyawaku tidakJah semurah icu. Mulai esok, menangkap perampok-perampok itu akan menjadi salah satu misiku. Seianjutnya bagaimana aku harus menggunakan nyawaku yang ada ini, akan kupikirkan setelah menjalam kehidupan di dcpan."
Pedangnya yang sampai saat itu ridak terpikirkan olehnya ternyata tergeletak di tanah. Dia memungut pedang itu ialu menyandangnya di pmggang. Ketika dia menengadah ke langit, terlihat sekumpulan burung maJam sedang menukik. Dia menganggap arah menukik burung-burung tersebut sebagai petunjuk dari langit ke arah yang harus dia tuju. Akhirnya You Shi mulai berjalan dengan sempoyongan menuju kakl gunung, ranpa mengetahui akan sampai di mana dirinya nanti.
Malam scmakin iarut.
DI satu sudut Bukit Kou Dei, akhirnya, kepala rumah tangga dan para temara yang kuat itu tersadar kembali akibat dinginnya embun malam, dan mereka mulai merayap bangkit.
"Apa yang harus kita lakukan?" Mereka saling mengcluhkan keteledoran mereka. "You, dia melarikan diri," Kepala Rumah Tangga Sha serta-merta memaki-maki, mcnutupi kesalahannya sendiri.    "Kalau   dipikir-pikir, mungkin dia sudah tahu arak itu beracun. Apa pun yang terjadi di sini, kesalahannya kita timpakan kcpada dia saja. Apa kalian semua mengerti?"
"Apa pangeran tidak akan menyalahkan kita juga?"
"Kalau kita jelaskan apa adanya, kepala kita bias dipenggal. Karena itu, kita harus berpikk jauh. Besok pagi-pagi sekali kita harus mclaporke kantor pemerintah di daerah ini. Mengerti?"
"Ya. Bagaimana caranya?"
"Kita laporkan bahwa semuanya merupakan perbuatan You Shi. Dia bekerja sama dengan perampok di Bukit Kou Dei. Dengan lihai dia menyuruh kita minum arak beracun, mengambil sernua barang hadiah ulang tahun, lalu menghilang. Begitulah yang akan kita katakan. Kalian paham? Di mana pun kita diinterogasi, pcrkataan kita harus tecap sama."
"Baik. Lagi pula kami puaya dendam yang sangat dalam terhadapnya. Semua kesalahan kita timpakan kepadanya saja."
"Kalian ini saksi hidup. Dengan demikian, tergantung situasi dan kondisinya, mungkin saja kalian akan disuruh tetap berada di kantor pemerintah setempat. Kalau aku, aku akan kembali ke Hoku Kei untuk melaporkan segala sesuatunya secara terperinci kepada Paduka Ryou Chu Sho. Sudah pasti beliau akan marah bcsar. Tentunya, beliau akan segera mengirimkan utusan kilac kepada Menteri Sai di ibukota, serta memerintahkan dinas kepolisian Provinsi Sai untuk menangkap para perampok itu."
Sementara itu, bagaimanakah nasib You Shi? Tidak sedikit pun dia tahu bahwa setelah kepergiannya, perundingan jahat semacam itu berlangsung.
Kesadarannya belum pulih sepenuhnya. Kepaianya juga masih terasa seperti melayang, sampai-sampai dia tidak tahu di mana dirinya sedang berjalan. Namun, menjelang subuh, dia sudah menuruni Bukit Kou Dei bagian selatan, lalu melanjutkan perjalanan menuju selatan tanpa tujuan pasti.
"Astaga! Gawat!"
Karena cadi dia sudah berniat matt, maka dia tidak membawa bungkusannya yang berisi surat izin jalan dan surat kecerangan ekspedisi. Dia bahkan tidak membawa uang sepeser pun.
"Betul-betul lucu. Aku barn menyadari sekarang bahwa dalam hidup, kita pasti merasakan lapar. Tapi tentunya masalah ini dapat diatasi, meskipun tidak sampai harus menjadi pengemis.
Dia memasuki sebuah perkampungan. Perutnya sudah terasa sangat perih. Dia buru-buru memasuki warung minuman yang biasa banyak terdapat di perkampungan. Seorang perempuan yang ramah datang menanyakan pesanan.
Dia memesan daging bakar dan nasi. Karena tempat itu merupakan warung minuman, rasanya kurang lengkap kalau tidak memesan minuman pula, pikirnya. Lalu dia berkata, "Mima sedikit arak juga," katanya dengan wajah seolah-olah sudah biasa minum arak. Perempuan itu tampak scperti ibu rumah cangga yang baik namun ternyata sangar fasih dalam menuangkan arak.
Karena tidak terbiasa minum arak, wajah si Iblis Muka Biru mulai berubah merah. Dia makan daging, menjejalkan nasi ke perurnya, lalu memperbaiki letak pedang panjang dipinggangnya dan berdiri. Kesadarannya yang hilang tadi malam sudah mulai pulih. Begitu pula cara jalan dan tatapan matanya, semuanya sudah mulai kembali seperti sediakala.
"Tunggu, Pak. Anda melupakan sesuatu."
"Apa itu?"
"Uang bayarannya, Pak."
"Oh, benar juga."
"Jangan bercanda, Pak."
"Sebenarnya, aku tidak membawa uang sesen pun. Tapi karena aku ini laki-laki sejati, suatu saat aku pasti akan datang kembali dan membayarnya."
"Mana mungkin kami membiarkan pelancong melakukan hal semacam itu?"
Tetapi You Shi tidak menggubrisnya. Si perempuan berteriak-teriak, Dia terus mengikuti You Shi. Melihat itu, You Shi memelototinya sambil membentak, "Dasar cerewet!" Lalu dia tertawa terbahak-bahak. "Nyonya, jangan mendesakku! Biar begini, aku terlahir dari keluarga terhormat dan dulu memiliki jabatan pula. Aku akan segera kembali dan membayarnya. Jadi untuk kali ini, tolong anggap saja utang."
Sekonyong-konyong dari belakang si perempuan terdengar suara seorang !aki-iaki muda, "Jangan banyak omong. Kau ini past! tukang makan tanpa bayar. Hei! Semua ke sini, bikin mampus gelandangan ini!"
Laki-laki itu mungkin suami si perempuan. Dia membawa tombak bercagak dan tingkahnya bagaikan orang yang hendak memadamkan kebakaran, Mendengar teriakaiinya, dari sana-sini bermunculan teman-temannya serta para petani yang masing-masing membawa senjata. Mereka mengepung You Shi sambil meneriakkan caci maki kotor.
"Wah, Banyak sekali."
You Shi memandang sekeliling dengan pandangan yang masih agak mabuk. Di wajahnya tergambar rasa heran menyadari ke arah mana kondisi kini berkembang, yang menurutnya sangat berlebihan.
"Kenapa gara-gara makan pagi saja bisa jadi sepertl ini. Mungkin ini juga sesuatu yang harus kualami dalam menjalani hidup, yang lupa kuperhitungkan. Kalau sudah begini keadaannya, apa boleh buat. Aku akan bayar dengan tubuh ini."

"AH. Tunggu! Tunggu! Tolong semua mundur dulu!"
Entah apa yang ada dalam pikiran laki-laki   yang   tampaknya   suami   si perempuan. Tiba-tiba dia menghenukan gerakan   orang-orang   kampung,   lalu mulai mengamati sosok You Shi mulai dari kepata ke ujung kaki. "Hei,  jenderal yang suka melarikan diri setelah makan di warung! Sepertinya aku pernah melihatmu, entah di mana."
"Kalau boleh, aku ingin memperkenalkan diri.' "Baik. Silakan."
"Kalau soal nama, aku bukan laki-laki yang suka berbohong. Aku akan mengatakannya dengan jelas, jadi dengarkan baiik-baik. Aku adalah You Shi, si Iblis Muka Biru."
"Apa? Iblis Muka Biru?"
"Betul sekali. Kenapa kau terlihat bingung seperti
"Kalau begitu, Anda dulu bekerja di ketenraraan istana Tou Kei di Kai Hou?"
"Betul sekali. Sekarang beginilah wujud pejabat ketentaraan istana itu."
"Wah... maaf sekali." Laki-laki itu scgera mclempar tombak bercagaknya lalu berkata, "Meskipun tidak menyadari bahwaTuan adalah Tuan You Shi, saya sudah bersikap sangat kurang ajar terhadap Tuan. Mohon maaf sebesar-besarnya."
"Eh—kokjadi begini?"Tampaknya You Shi merasa agak malu mendengar orang bercerita tentang dirmya di masa lalu. Mukanya terlihat agak memerah.
"Dan kau sebenarnya siapa?"
"Saya juga sebenarnya kefahiran Kai Hou, anak pedagang daging turun-temurun. Nama saya Sou Sei."
"Oh, begitu. Tidak heran, kalau sebagai orang desa, gaya gertakanmu tadi itu terlalu bagus."
"Aduh, memalukan sekali. Ketika tinggal di ibukota, saya menjadi murid Rin Chu, pelatih di ketentaraan istana, dan mempefajari ilmu tongkat sedikit. Orang-orang menjuluki saya Sou Sei, si Setan Pemain Pedang, dan karenanya saya menjadi agak sok jagoan. Setelah itu, untuk menggantikan ayah saya, saya pergi ke San Tou untuk urusan dagang. Pada saat itu modal yang saya bawa habis terpakai, sehingga akhirnya saya memasuki dunia hitam. Sekarang saya menjadi pengelola warung arak untuk para petani. Lalu yang barusan merengek-rengek kepada Tuan itu istri saya."
"Oh. Maafkan aku."
"Sekarang, silakan Fuan kembali lagi ke warung kami. Kalau dibiarkan seperti sekarang, istri saya tentunya juga akan merasa tidak enak terhadap Anda."
Karena Sou Sei dan istrinya kemudian malah mengajak You Shi masuk ke warung araknya, orang-orang yang berkumpul karena keributan tadi pun membubarkan diri.
Tanpa disangka-sangka, You Shi mendapatkan bantuan suami-istri Sou Sei. Selama beberapa hari d'ia melewatkan waktu di sebuah kamar di warung arak desa itu. Tentu saja kemudian dia berkisah tentang kejadian yang dia alami di Bukit Kou Dei, juga tentang dirinya yang berada di dalam kondisi terpuruk, dan betapa saat ini dia tidak lagi memiliki tempat di masyarakat.
"Begitu. Mengirim hadiah ulang tahun senilai seratus ribu kan dari Hoku Kei ke ibukota dengan selamat, dalam kondisi masyarakat yang sangat kelaparan seperti sekarang ini, merupakan sesuatu yang mustahil. Tuan tidak usah khawatir. Apa pun yang terjadi, kami akan berusaha keras mcnycmbunyikan Anda. Jadi, untuk sementara waktu silakan Tuan beristirahat di sini."
"Terima kasih. Tapi tetap saja saya bersalah karena barang-barang itu dicuri perampok. Dengan demikian, mungkin saja baik Ryou Chu Sho di Hoku Kei maupun Menteri Sai di ibukota akan menuduhku dengan tuduhan yang lebih buruk. Bagaimanapun, aku sekarang dianggap buronan negara. Aku akan merasa sangat bersalah jika gara-gara menyembunyikanku, kalian mendapat masalah besar."
"Tidak perlu sungkan, Tuan." "Oh, tidak. Laki-laki macam apa yang membalas budi yang diterimanya dengan memberi musibah. Besok aku mohon pamit."
"Tapi, apakah Tuan mempunyai tujuan yang pasri?" "Kalau dalam  kondisi seperti  ini, yang terpikir olehku hanya Ryou Zan Paku."
"Katanya Pclatih Rin Chu juga ada di sana." "MasaJahnya di sana ada lelaki yang menyebalkan. Pemimpin yang bernama Ou Rin. Dia itu penakut dan penuh curiga. Dia juga selalu memarnerkan pengcta-huannya yang cuma sedikit. Orang ini betul-bctul tidak menyenangkan."
"Kafau begitu, bagaimana kalau Bapak pergi ke Ku'il Hou Ju di Gunung Ni Ryu? Tempat itu seperti Ryou Zan Paku, namun skaianya lebih kecil."
"Hmm. Ada juga tempat persembunyian yang bagus seperti itu?"
"Di situ mungkin ada sekitar tiga atau empat ratus orang yang bersembunyi. Gunungnya terletak di Provinsi Sei selatan. Pemimpinnya bernama Tou Ryu yang dijuluki si Harimau Bermata Emas."
Mendengar itu, You Shi gembira. Racun yang telah membuatnya tak sadarkan diri di Bukit Kou Dei sepertinya juga sudah lenyap sepenuhnya dari tubuhnya. Keesokan harinya, dengan mengenakan pakaian pengembara serta berbekal sedikit uang jalan dari pasangan suami-istri yang membantunya, You Shi berangkat menuju Provinsi Sei.
Demiklanlah, setelah berjalan cukup lama, akhirnya dia memandang gunung di satu sudut langit Provinsi Sei yang tingginya melebihi gunung lainnya.
"Jadi, inilah Gunung Ni Ryu yang terkenal," gumamnya sambil terus berjalan menuju kaki gunung. MaJamnya, di tengah-iengah embusan angin yang menyusup di celah pohon cemara, dia berputar-putar mencari tempat untuk tidur.
Pada saat itu, dari pokok pohon cemara tiba-tiba terdengar seseorang membentak ke arahnya dari arah belakang,
"Hei, hati-hati! Tidak punya mata ya?"
"Oh, ternyata ada manusia juga di sini," kata You Shi sambil menoleh. Dilihatnya seorang pendeta bertubuh besar dan berbau arak sedang mcmungut tongkat besi yang membuat kaki You Shi terantuk. Lalu dia menegakkan tongkat itu di atas tanah.
"He!! Walang sembah! Jangan diam saja!"
"Apa?"
"Dasar sok gagah! Pakai memalang pedang panjang di pinggang segala. Orang sedang enak-enak tidur, kenapa kauganggu dengan menendang tongkatku yang berharga ini? Lalu iancang benar kau, hendak pergi begitu saja tanpa meminta maaf."
"Kusangka aku tadi cuma menginjak ranting kering, tap! ternyata tongkat pendeta. Lagi pula, mana ada orang tolol yang tidur di tengah jalan?"
"Jangan macanvmacam. Tempat ini pintu gerbang ke Gunung Ni Ryu. Jadi bukan tempat yang blasa dilintasi orang. Ayo, minta maaf!"
"Sayang sekali, aku punya sifat benci meminta maaf. Sepertinya pendeta pengemis ini mau cari gara-gara demi mendapatkan uang receh."
"Berani betul kau! Apakah aku pendeta pengemis atau bukan, rasakan dulu tongkatku ini!"
Serta-merta embusan angin yang sangat tajam mengarah ke tempat You Shi berada. Kalau saja You Shi tidak segera melompat ke belakang, tentu tubuhnya sudah hancur.
Hyaa!" You Shi juga segera mencabm pedang panjang dari pinggangnya. Dia kembali berteriak, tapi kali ini penuh kekagetan. Karena tepat saat itu, pendeta besar yang menjadi lawannya membuka pakaian, dan memperlihatkan rajah yang bagaikan bunga di sekujur tubuhnya.
"Hei! Pendeta Bunga! Singkirkan tongkatmu."
"Takut ya? Dasar pengecut!"
"Jangan ketus begitu. Klta ternyata punya ikatan."
"Wah, pintar sekali omonganmu. Memangnya kau ini siapa?"
"Kau dan aku dulu sama-sama berada di ibukotaTou Kei, di Kai Hou. Tolong lihat dulu rajah di dahiku ini. Aku You Shi yang dibuang ke Hoku Kei sebagai prajurit biasa akibat tuduhan kesalahan yang tidak kuperbuat, hasil tipu muslihat para pejabat jahat kaki tangan Kou Kyu."
"Oh, kau ini You Shi si Iblis Muka Biru yang menjual pedang pusaka di Jembatan Ten Kan Shu itu? Peristiwa kau menebas Gyu Ji, si lelaki pengganggu, sangat terkenal pada saat itu."
"Betul. Itu aku. Pada saat itu kau, Ro Chi Shin, si Pendeta Bunga sedang mengurus kebun sayur di Kuil negara Dai Sou di pinggiran kota, bukan?"
''Wah. Ini pertemuan yang sangat kebetulan. Kenapa kau tahu tentangku?"
"Rajah yang ada di tubuhmu sangat terkenal di ibukota. Anak usia tiga tahun saja tahu namamu.
Pendeta Bunga. Lamas, kenapa kau berada di tempat seperti ini?"
"Kalau diceritakan akan sangat panjang. Bagaimana kalau kita berjalan sedikit ke sana. Itu tempat pemujaan Dewi Kasih Sayang Kepala Kuda, dan di sana ada arak.
Aku akan menceritakan pengalamanku dan aku juga ingin mendengar kisahmu."
Ro   Chi   Shin   berjalan   lebih   dulu.   Waktunya sangat tepat, You Shi sendiri memang sedang mencari tempat untuk tidur. Sepanjang malam mereka berdua berbincang-bincang di balai-balai tempat pemujaan. Tentu saja sejak itu, telah terjadi perubahan yang sangat besar pada diri Ro Chi Shin.  Berikut inilah ceritanya.
Pada saat Rin Chu yang telah mengikat tali persaudaraan dengannya tanpa daya digiring menuju tempat hukuman berat di Provinsi Sou, Ro Chi Shin mengikutinya sampai setengah perjalanan. Dia pun berhasil menggagalkan niat para pengawal yang bertugas mengantar Rin Chu unruk membunuh saudaranya itu, bahkan menjadikan mereka budaknya, Akhirnya, berita itu sampai pula ke telinga Menteri Kou melalui mulut kedua pengawal yang kembaii ke ibukoia.
Segera saja muncul perintah "Tangkap Pendeta Bunga" dan ladang sayuran di Kuil negara Dai Sou pun dikepung beratus-ratus tentara.
Keributan pada malam itu sungguh luar biasa. Untuk menangkap Ro Chi Shin, scluruh wilayah istana Tou Kei Kai Hou begitu bergetar, sampai-sampai penduduk ibukota tidak bisa tidur. Ro Chi Shin sendiri membakar gubuk yang ada di ladang sayuran, lalu berlari menyusuri atap besar Kuil negara Dai Sou dan bersembunyi di dalam kota. Saat fajar menjelang, dia muncul lagi di gerbang istana yang dipenuhi para tentara penjaga, lalu dengan mudah menumbangkan berpuluh-puluh tentara yang ada di sana. Dalam sekejap mata, dia melompat ke atas gentlng menara genta dan dengan lincah menyusuri tembok istana, lalu menghilang entah ke mana.
"Sejak itu aku kembaii berkelana tanpa tujuan. Sebelumnya, aku bertugas sebagai polisi militer di wilayah En An. Tapi, akibat terlalu mengandalkan kekuatan diriku, aku naik ke Gunung Go Dai dan menjadl pendeta di sana. Aku pun berjanji pada Buddha serta pada mendiang ibuku untuk mengubah sikap, namun tampaknya aku tidak dapat menepatinya. Aku bertanya-tanya, sebenarnya apa yang membuatku seperti ini? Apakah karma jahat yang ada di dalam diriku? Aku selalu berusaha untuk hidup tenang dengan hanya makan dan minum, tetapi jika terjadi sesuatu, tampaknya karma jahat itu selalu muncul lagi."
Setelah Ro Chi Shin bercerita tentang nasib dirinya, You Shi berkata, "Yang membangkitkan karma di dalam diri seseorang yang berniat memperbaiki sikap itu adalah para pejabat jahat. Kalau aku, ceritanya sedikit berbeda."
You Shi mulai bercerita secara terperinci tentang nasibnya hingga sampai di Gunung Ni Ryu.
"Ini kebetulan yang sangat tepat," kata Chl Shin sambil menepuk paha. "Aku juga berpikir bahwa tempat yang paling tepat untuk menyembunyikan diri itu hanyalah Kuil Hou Ju di Gunung Ni Ryu ini. Karena itulah aku datang ke sini untuk menemui Tou Ryu, pemimpin di tempat tersebut."
"Kalau begitu, kau sudah pernah memasuki benteng gunung tersebut?"
"Justru itu. Si Tou Ryu tidak man menunjukkan batang hidungnya. Dia hanya menyuruh anak buahnya menyampaikan pesan bahwa jika aku bisa mengalahkan dirinya dalam pertandingan di kaki gunung, dia akan menghormatiku sebagai tamu dan akan membawaku ke dalam benteng. Karena memercayai kata-katanya, aku turun Iagi ke kaki gunung. Tapi ternyata begitu aku turun, dengan licik dia menutup tiga pintu gerbang yang menuju ke dalam benteng dan mengikatnya dengan rantai. Setelah itu, tidak ada kabar apa pun darinya. Aku membeli arak dari desa dan menunggu, hingga hari ini aku sudah menunggu selama empat hari. Tapi tampaknya untuk perrandingan kali ini, aku telah termakan tipuan."
"Pendeta terlalu baik, apa kau tidak merasa kesal?"
"Tenm saja aku kesal sekali. Terpikir olehku untuk menghancurkan ketiga gerbang tersebut, tapi ternyata gerbang-gerbang itu kukuh sekali. Sekuat apa pun diriku, aku ridak mungkin mampu bergulat dengan gerbang-gerbang tersebut. Memaksakan diri menghancurkannya, sama saja dengan bersikap konyol."
"Kalau begitu, tidak ada cara untuk rnemasukinya selain dengan menggunakan akal. Mungkin kau heran mendengar pendapat ini keluar dari mulutku, mengingat aku sendiri termakan tipuan 'perebutan hadiah ulang tahun dengan akal'."
"Kalau kau punya gagasan, tolong beritahu saja. Aku tidak bisa meninggalkan tempat ini dalam keadaan seperti sekarang."
"Tidak. Untuk sekarang, kita harus turun dulu. Kita akan pergi ke tempat Sou Sei yang tadi kuceritakan, Karena dirinyalah yang membentahuku tentang Gunung Ni Ryu ini, kalau kita berunding dengannya, mungkin akan muncul gagasan bagus."
Setelah beberapa hari kemudian, dengan membawa serta Pendeta Bunga, You Shi kembali ke warung arak Sou Sei.
"Kalau berkumpui bertiga, gagasan bagus pasti muncul."
Malam itu, sambil minum arak, mereka bertiga tertawa-tawa, entah gagasan bagus apa yang bakal mereka dapatkan.

KUIL Hou Ju di Gunung Ni Ryu yang dulu sangat terkenal kini sudah menjadi sarang perampok. Doa-doa yang dilantunkan seribu pendeta serta bunyi genta kuil pun sudah tidak terdengar lagi. Sebagai gantinya, kini seorang laki-laki bertubuh besar bagaikan raksasa merah sedang tertidur di atas kursi rotan bertilam kulit macam kumbang.
"Wah, ada ribut-ribut apa di kejauhan? Jangan-jangan di gerbang. Hei! Coba lihat ke sana!"
Tou Ryu yang terbangun di ruang sangha yang ada di dalam bergegas naik ke panggungan. Dengan mulut seperti harimau, dia berteriak-teriak pada anak buahnya yang ada di sekitar situ.
"Siap!" kata lima atau enam anak buahnya yang ada di situ. Mereka berdiri, namun saat itu pula dari bawah mtmcul kepala regu perampok bersama beberapa anak buahnya.
"Tuan Kepala! Penduduk kampung sekitar mengikat pendeta besar yang beberapa waktu lalu datang ke sini, dan sekarang mereka membawanya ke sini. Apa yang mesti kita lakukan?" tanya si kepala regu sambil berbaris di bawah panggungan.
"Apa?" Tou Ryu tampak heran. "Aneh sekali. Bukankah pendeta besar itu Pendeta Bunga Ro Chi Shin yang pernah membuat keributan di Gunung Go Dai? Dia juga yang membakar ladang sayur di Kuil negara Dai Sou, lalu melarikan diri dari Tou Kei di Kai Hou, kan? Karena dia buronan besar, maka aku mengusirnya dari sini dengan menggunakan tipuan. Tapi aneh sekali. Tidak mungkin dia bisa tertangkap petani dan orang semacam mereka. Sebaiknya kalian periksa dulu baik-baik, baru bawa ke sini."
"Tetapi, Tuan, ketika saya tanyakan kepada petani-petani itu, tampaknya mereka tidak berbohong."
"Apa maksudmu dengan 'tidak berbohong'?"
"Setelah diusir dari sini, tampaknya dia kelaparan. Lalu dia pergi ke waning arak yang dikelola orang bernama Sou Sei. Sejak itu, dia terus-menerus datang ke sana untuk minta makanan."
"Memang apa salahnya dengan minta makanan?
"Bukan itu saja, Tuan. Setiap kali mabuk, dia akan masuk ke rumah orang dengan seenaknya, minta diberikan tempat menginap atau minta uang jajan. Kalau ada yang mengeluh, dia mengamuk. Katanya penduduk desa betul-betul dibikin pusing olehnya. Selain itu, dia juga raengadakan pembicaraan dengan pihak Ryou Zan Paku dan membual bahwa Tou Ryu di Gunung Ni Ryu akan segera menjadi anak buahnya. Bukankah itu ketetlaluan, Tuan?"
"Sungguh kelewatan. Rupanya dia menyebarkan igauan seperti itu."
"Lalu suatu malam, Sou Sei, si pemilik warung arak, dan orang-oiang terkemuka di desa mengundang si PendetaBunga.Metekabetpura-puramemperlakukannya sebagai tamu kehormatan dan menjamunya secara besar-besaran. Pada saat itulah, mereka memasukkan obat bius ke dalam arak. Bukankah itu hebat, Tuan?"
"Hmm. Memang bagus sekali. Apakah dia dibawa ke sini dalam keadaan terikat?"
"Ya. Dia diikat kuat-kuat dengan tali kasar, lalu pada saat dia terjaga dari obat bius, penduduk desa beramai-ramai menendang dan memukulinya. Penampilan si Pendeta Bunga sekarang ini sungguh mengenaskan. Lalu bagai pemburu yang menyeret babi hutan hasil buruan, penduduk desa ramai-ramai membawanya ke sini. Mungkin mereka takut jika sampai membunuhnya dengan tangan sendiri, jadi mereka datang ke sini
memohon   agar  Tuan   Tou   Ryu   yang  menjatuhkan hukuman, begitu kata mereka."
"Oh, begitu. Jadi masalah inilah yang menyebabkan ribut-ribut tadi. Baik, biar kutangani. Bawa dia ke sini. Tapi tunggu dulu. Meskipun dia dalam keadaan terikat, kita harus tetap berjaga-jaga dengan mengepungnya."
Tak lama kemudian, setelah melewati gerbang pagar yang dilengkapi pelempar batu, kawat berduri, dan kayu tajam, naiklah sekelompok petani dan si Pendeta Bunga yang terikat dikelilingi para perampok. Begitu sampai di atas, Ro Chi Shin segera didorong keras sehingga duduk berlutut di bawah panggungan. Para petani pun ikut duduk berlutut menengadah ke arah sosok Tou Ryu.
"Apakah Anda Tuan Kepala? Tuan Kepala, kami penduduk desa sudah begitu sering dibuat merana oleh pendeta besar ini. Karena itu kami mohon Tuan sudi menghukumnya. Mau dicincang juga kami tidak keberatan."
"Hmm. Tindakan kalian bagus sekali. Apakah kau yang bernama Sou Sei, pemilik warung arak itu?"
"Bukan, Tuan," jawab petani itu, lalu dia mendengus sampai kerut di hidungnya terlihat jelas dan menoleh pada petani lain yang duduk di dekatnya. Siapa pun tidak akan menduga bahwa petani itu You Shi, si Iblis Muka Biru yang menyamar sebagai petani. Tou Ryu yang memiliki tatapan tajam, segera menoleh pada Sou Sei.
"Hei! Apa yang kauletakkan di sampingmu?" "Oh, ini congkat dan pedang yang kami ambil dari pendeta ini."
"Senjata pendeta ya. Coba bawa ke sini!" "Baik!"  Sou Sei mengangkatnya untuk memper-lihatkan bahwa tongkat itu betul-betul berat, lalu   dia meletakkan kedua senjata itu di bawah tangga. Lebih tepatnya menaruhnya tepat di depan hidung Ro Chi Shin. "Tolol kau!" bentak Tou Ryu. "Aku minta kau merabawanya ke atas. Kenapa kau meletakkannya di situ?"
Tiba-tiba Ro Chi Shin yang dari tadi tertunduk lunglai berkata, "Letakkan di situ saja."
Mendengar itu, Tou Ryu terkaget-kaget sampai meloncat.
"Hei! Apa yang kaubilang, tahanan?" "Hei, Tou Ryu! Lehermu sebentar lagi tidak akan bisa menoleh lagi."
Setelah berkata seperti itu, Ro Chi Shin melepaskan ikatan di tubuhnya, meraih tongkat, lalu dengan teriakan keras menaiki tangga dan memukul bagian tengah kepala Tou Ryu yang terjerembap ke belakang.
Tubuh Ro Chi Shin sesungguhnya tidak benar-benar diikat. Serentak dengan Ro Chi Shin, You Shi dan Sou Sei juga melakukan hal yang sama terhadap para anak buah perampok yang panik. Lalu tentu saja akhirnya para perampok menyerah brena tidak tahu lagi apa yang harus berbuat apa.
Dengan demikian, sejak saat itu, pemimpin benteng perampok di Kuil Hou Ju pun berganti. Si Pendeta Bunga dan si Iblis Muka Biru sama-sama dijadikan pemimpin, dengan empat ratus anak buah yang berjanji untuk bersatu dalam menjalankan kebenaran. Malam itu, seluruh arak yang ada di gudang dikeluarkan dan pesta besar pun diadakan.
Keesokan harinya, Sou Sei kembali ke desa bersama para petani lain. Sejak itu, seluruh wilayah Gunung Ni Ryu, baik pepohonan maupun pemandangan di desa-desanya tampak seolah berubah. Di antara para penghuni Gunung Ni Ryu dibuat kesepabtan bahwa jika ada penjahat yang suka menganiaya orang-orang lemah, mereka harus diperingatkan. Lalu meskipun berstatus perampok, mereka harus bersibp sebagai laki-laki sejati yang berani menjalani kehidupan susah, juga bersemangat untuk berjuang melawan kebusukan pemerintahan Dinasti Sou.
Demikianlah. Sampai saat ini kita dapat melihat arah perjalanan serta tempat menetap You Shi, yaitu Kuil Hou Ju di Gunung Ni Ryu. Tetapi untuk kelanjutan pcrisiiwa Bukit Kon Dei, pcnyelesaiannya bclum scdikit pun kelihatan.
Ah tidak, lebih tcpatnya pcmccahan untuk peristiwa .inch ini masih samar-samar. Barang-barang bcrharga senilai seratus ribu kan, yang dibawa pergi bagaikan tertiup angin dalam tujuh gerobak dari Provinsi Kou itu, entah di mana keberadaannya sekarang. Lalu siapakah sebenarnya para perampok itu? Di masyarakat tersebar kabar angin yang tidak menentu.
"Kalau sudah begini keadaannya, saya tidak bisa lagi meminta maaf atau memberikan alasan apa pun. Namun, bisa saya katakan di sini bahwa yang betul-betul harus dipersalahkan adalah si Iblis Muka Biru You Shi, anak buah yang Paduka asuh secara langsung. Gara-gara dia kami terkecoh. Di tengah perjalanan pengiriman barang, enam belas orang yang menuruti perintahnya dengan tak berdaya dicekoki arak beracun. Demikianlah adanya, Paduka."
Sha sang kepala rumah tangga keluarga Ryou menghadap majikannya setelah kembali dari Bukit Kou Dei ke ibukota Hoku Kei. Dia melakukan perjalanan siang dan malam tanpa henti untuk melaporkan bahwa pelaku perampokan itu adalah You Shi, yang menurutnya pasti sudah membuat kesepakatan dengan tujuh perampok yang menunggu mereka di tengah jalan.
Ryou Chu Sho sangat kaget mendengar laporan itu.
Dia berpikir bahwa dalam kata-kata Sha yang berbicara sambil meneteskan air mata dari mata tuanya, tidak mungkin ada kebohongan. Wajah Ryou Chu Sho tatkala mendengar laporan ini sungguh dapat digambarkan dengan ungkapan "kemarahan yang naik sampai ke ubun-ubun."
"Apa? You Shi di tengah perjalanan berkomplot dengan perampok, lalu memberi kalian arak beracun dan membawa pergi barang-barang itu? Tidak tahu membalas budi. Berani sekali dia mengkhianatiku. Dia harus segera ditangkap. Akan kucincang dia sampai jadi serpihan."
Sementara itu, di istana Menteri Sai, di ibukotaTou Kei di Kai Hou, meskipun hari ulang tahun Menteri Sai sudah tiba, kiriman hadiah dari keluarga Ryou tidak kunjung datang.
"Apa yang terjadi?" katanya sangat cemas. Pesta ulang tahun yang dipenuhi tamu kehormatan pun berlangsung tidak meriah, kemudian berakhir dalam kekeccwaan Menteri Sai yang sangat dalam. Akhirnya ketika hari telah larut malam, datanglah seorang pembawa berita kilat dari Hoku Kei.
"Apa! Tahun ini juga?"
Setelah membaca surat permintaan maaf serta laporan perincian kejadian dari Ryou Chu Sho, sang menteri merasakan kemarahan yang luar biasa dalam dirinya. Meski begitu, bulu kuduknya juga meremang memikirkan bagaimana ulang tahunnya seolah dikutuk para perampok hingga dua kali berturut-turut.
Tanpa menunggu pagi, dia memanggil para bawahan kepercayaannya.
"Bukit Kou Dei berada dalam wilayah pemerintahan Provinsi Sai. Segeralah kau pergi ke dinas kepolisian provinsi. Sampai pelaku perampokan tertangkap, kau harus tinggal di dinas kepolisian itu sebagai pengawas yang mewakiliku dengan memberikan ancaman kepada para polisi di sana," demikian dia memberikan perintah keras.
Malam itu juga, pejabat yang diserahi tugas sebagai pengawas segera memacu kudanya dengan kencang ke Provinsi Sai.
Ketika tiba di kantor dinas kepolisian Provinsi Sai, keadaan di sana sangat sibuk.
Tidak perlu heran sebenarnya. Dari Istana Hoku Kei siang-malam berdatangan surat perintah resmi untuk segera menangkap perampok, beserta surat-surat peringatan bila perintah tidak terlaksana.
"Kita kedatangan petugas pengawas langsung atas perintah Paduka Yang Mulia Menteri Sai."
Mendengar laporan itu, kepala polisi semakin kalut. Selama berhadapan dengan petugas pengawas, dia berada dalam kondisi yang sangat kacau karena selain kurang tidur, dia merasa sungkan terhadap orang yang harus dihadapinya itu.
"Terima kasih Tuan Pengawas sudah sudi datang dari jauh. Kami di sini, mulai dari pengintai, penyidik, serta para anak buah mereka, dengan seluruh kekuatan yang ada, sejak awal berusaha keras untuk cepat menangani masalah yang kita hadapi sekarang. Hamba sudah menekan mereka untuk bekerja mati-matian. Hamba juga sudah memperingatkan bahwa siapa pun yang bermalas-malasan dalam menjalankan tugas akan dipecat atau mendapatkan pengurangan gaji. Dengan begini, dalam waktu dekat, hamba kira kasus ini dapat segera dipecahkan. Untuk itu, hamba mohon agar Bapak memberikan sedikit waktu lagi."
"Astaga!" kata si pengawas dengan wajah marah. "Kata-kata 'dalam waktu dekat' sama sekali tidak cukup. Kau pasti sudah paham alasan Menteri Sai sampai mengutusku sebagai pengawas ke sini, bukan? Beliau mengeluarkan perintah untuk segera menangkap tujuh pedagang pala, seorang penjual arak yang sering muncul di Bukit Kou Dei, serta seorang pengkhianat keluaiga Ryou, si Iblis Muka Biru You Shi. Dalam waktu kurang dari sepuluh hari, kau harus sudah mengikat dan menggelandang mereka keTou Kei."
"Wah! Hanya sepuluh hari, Tuan?"
"Kalau sampai lewat dari sepuluh hari, sayang sekali, mungkin malah kau sendiri si kepala polisi yang harus pergi ke Sha Mon, pulau terpencil tempat dibuangnya orang-orang terhukum. Aku sendiri pun tidak mungkin dapat pulang ke ibukota dengan tangan kosong. Jadi kurasa kini kau paham bahwa aku datang ke sini dengan niat untuk sehidup semati denganmu."
Kepala polisi menjadi pucat pasi.
Sampai saat ini, tentunya dia sudah berusaha memecahkan masalah dengan cepat, namun kalau sudah begin! keadaannya, dia harus lebih melecut diri untuk berpacu dengan waktu.
"Panggil kepala unit polisi rahasia Ka Tou!"
Dia segera kembali ke ruang kerja, lalu mengalihkan tugas berat di bahunya kepada anak buahnya yang terraasuk orang-otang tetpilih itu.
"Ka Tou! Apa saja yang sebenarnya kaulakukan setiap hari?"
"Pak Kepala, apa menurut Anda, kerja karai raasih kutang memadai?"
"Jangan berkilah! Kau sendiri harusnya tidak tenang-tenang saja di ruanganmu."
"Tidak begitu, Pak Saya sudah menyebar ratusan penyidik bawahan saya ke berbagai tempat, tanpa memedulikan siang atau malam, agar segera raen-dapatkan petunjuk keberadaan para perampok itu. Saya kira pelaksanaan penyidikan tidak akan tepat guna kalau saya sendiri sebagai kepala unit polisi rahasia ikut berkeliaran seperti mereka. Meskipun kelihatan hanya sedang berpangku tangan dan merengut, apakah Bapak tidak mengerti saya pun sedang memeras otak?"
"Diam! Tak perlu dijelaskan aku juga sudah tahu, aku pun pernah mengalaminya. Sebelum menjadi kepala polisi, aku harus mengikuti ujian kenaikan pangkat dan menghadapi berbagai macam kesulitan. Tidak mudah mencapai posisi kepala polisi. Namun sekarang intinya, apa pun caranya, kau sudah harus dapat menangkap semua perampok itu dalam waktu sepuluh hari."
"Astaga, itu mustahil, Pak. Kita ini bukan para dewa."
"Aku tidak mau dengar! Pokoknya kita harus menggunakan cara apa pun. Ini perintah keras dari Menteri Sai. Bahkan sang menteri sudah mengirimkan pengawas ke sini. Kalau kau tidak dapat menangkap para perampok itu dalam waktu sepuluh hari, aku akan dipecat sebagai kepala polisi dan kau sendiri akan bernasib sama. Sedikitnya, kau akan dibuang ke pulau terpencil."
"Itu terlalu kejam, bahkan untuk desakan dari pengawas menteri."
"Ucapanmu membuktikan bahwa kau tidak serius dalam melakukan penyidikan. Baiklah kalau begitu. Agar kau tahu perintah ini bukan main-main, kau akan kubuat tak lupa meskipun sedang tidur. Sekretaris, panggil tukang rajah ke sini!"
Kepala polisi tampaknya sangat naik pitam. Dia menyuruh petugas yang ada di sana untuk segera memegangi kedua lengan Ka Tou. Lalu dia menyuruh tukang rajah membuat tanda di dahi KaTou dengan kata-kata yang berbunyi "Dibuang ke provinsi..." dengan nama provinsi masih dikosongkan. Seakan menempelkan tanda harga yang angkanya belum pasti kepada penjahat yang belum betul-betul dianggap penjahat.
"Huh. Sakit sekali. Mungkin ini ganjaran atas keme-wahan yang terus-menerus kudapat sclama ini. Kalau sudah begini, bekerja di kantor kepolisian ternyata menyengsarakan juga."
Sambil menahan darah yang meleleh di dalii, Ka Tou kembali ke ruang kepala unit polisi rahasia. Saat senja mulai menjelang, dilihatnya para polisi rahasia sudah berkumpul kembali dan mengobrol ramai di kantor unit, meskipun mungkin saja mereka kelelahan setelah mondar-mandir ke sana kemari selama beberapa hari berturut-turut. Melihat itu, Ka Tou naik darah, lalu dari pintu ruangannya dia berteriak, "Hei! Kalian ini sudah berhenti jadi polisi, ya? Atau sudah pensiun?"
"Astaga, Pak Kepala! Ada apa dengan wajah Bapak?"
"Coba lihat wajahku ini!"
"Wah! Sungguh parah."
"Hei! Kalian jangan berkata seolah-olah ini masalah orang lain saja. Dengar baik-baik! Kalau kalian tidak bisa membereskan peristiwa Bukit Kou Dei dalam sepuluh hari, aku diancam akan dibuang ke pulau yang jauh. Aku heran, kenapa kalian santai-santai seperti itu, padahal orang lain sedang kebingungan?"
"Maafkan kami, Pak. Tapi kami juga terus-menerus melakukan penyelidikan ke sana kemari sampai kaki kami sungguh terasa pegal."
"Dan dengan hasil seperti itu kalian bisa tertawa terbahak-bahak seperti tadi? Sungguh keterlaluan kalian. Kalau memang serius, kalian seharusnya menyelidiki sampai ke sudut-sudut gunung, ke ujung-ujung padang, ke dalam semak-semak. Jangan bisanya cuma menitikkan air mata dan memelas-melas saat minta dibelikan arak di tengah hari, meminta izin tak masuk dengan dalih di rumah ada yang sakit, atau alasan-alasan omong kosong lain."
"Hei, teman-teman. Seusai beristirahat sebentar, ayo kita kembali melakukan penyelidikan secara terpisah. Begitu melihat dahi Bapak Kepala, aku jadi bersemangat. Mari kita menyelidiki sepanjang malam. Apa boleh buat, malam ini anggap diri kita jangkrik yang menyelinap di antara semak-semak."
Tanpa memedulikan pembicaraan anak buahnya, Ka Tou, dengan perasaan masih muram, pulang ke rumah.
Ketika menghadapi makan malam, istrinya yang melihat wajah suram suaminya bertanya, "Astaga! Kenapa di dahimu ada rajah?"
"Ini gara-gara peristiwa Bukit Kou Dei. Karena kau istri seorang kepala unit polisi rahasia, kau mestinya maklum dan tidak bertanya ini-itu."
"Tentu aku berusaha memahami, tapi apa perlu sampai merajah dahimu?"
"Bagaimanapun caranya, dalam sepuluh hari ini, aku sudah harus bisa menangkap para perampok itu. Begitu perimahnya. Sulitnya, sedikit pun belum ada tanda-tanda keberadaan mereka. Istriku, mungkin saja penerangan di dalam rumah kita ini tinggal untuk sepuluh hari lagi saja."
"Jangan bilang begitu. Membuat cemas orang saja."
"Apa daya kita? Perintahnya sekarang tidak hanya berasal dari kepala polisi, tapi langsung dari Menteri Sai. Tampaknya aku salah mengambil jalan hidup..."
"Lihat! Ada orang di gerbang. Apakah dia tamu?"
"Pasti yang datang Ka Sei. Adikku itu, tentunya dia baru saja kalah judi lagi dan datang untuk memperlihatkan wajah lesunya. Malam ini aku tidak mau menemuinya."
"Baiklah. Biar aku saja yang menghadapinya. Nanti akan kuberi dia minum arak dan memaksanya segera pulang."
Dari ujung koridor, terdengar istrinya berbicara lebih rarnah daripada biasanya. Ka Sei, adik Ka Tou, diberitahu bahwa kakaknya sudah tidur karena masuk angin. Dengan enggan, Ka Sei mulai mengambil cangkir arak yang kelihatannya tidak enak di hadapan kakak iparnya.
"Malam ini sepertinya sangat muram. Sampai-sampai wajah Kakak juga terlihat suram."
"Sei, kau tentunya juga sudah tahu, bukan?"
"Tahu apa?"
"Kekhawatiran yang dihadapi suamiku. Hei, mengapa wajahmu malah menghina? Kau ini tidak berbakti kepada kakakmu rupanya."
"Aku tidak tahu apa-apa, Kak. Bukankah kepala unit polisi rahasia tidak pernah merasa kekurangan apa pun? Lagi pula, kadang-kadang dia juga mendapatkan pemasukan dari pintu belakang. Dia sangat disegani masyarakat, selain itu punya istri yang cantik seperti Kakak. Jadi bagiku betul-betul aneh kalau dia sampai mempunyai kekhawatiran."
"Jangan main-main. Padahal sebenarnya kau sudah tahu, kan? Tidak mungkin kau belum dengar berita mengenai peristiwa Bukit Kou Dei."
"Aku sudah tahu."
"Nah, benar, kan?"
"Hahaha."
"Kenapa kau tertawa? Apa kau gembira mendengar nasib kakakmu seperti itu?"
"Jangan berprasangka buruk seperti itu, Kak. Aku juga ada karena kakakku. Tapi sepertinya kakakku bernasib malang memiliki adik yang tidak beres sepertiku. Jadi kadang-kadang dia masuk angin."
"Malam ini kau betul-betul aneh. Apa arti sindiran pedasmu itu?"
"Yah, terkadang aku juga ingin melakukan pengakuan dosa. Untuk hal-hal seperti sekarang ini, aku dituangi arak oleh kakak ipar yang sebenarnya tidak mau menghadapiku."
"Aku tidak akan menuangkannya lagi. Kenapa kau jadi menyebalkan begini? Hari ini datang pengawas dari Menteri Sai ke kantor kakakmu. Dia berkata bahwa kalau tidak bisa menangkap perampok-perampok itu dalam sepuluh hari, kepala polisi akan dipecat dan kakakmu akan dibuang ke pulau yang jauh. Dia pun pulang ke rumah dengan dahi yang diberi rajah. Kau boleh saja minum arak, tapi tolong Jangan melontarkan lelucon yang buruk."
"Yang ini aku baru dengar, kalau begitu mestinya aku datang lebih cepat. Tapi karena adik yang berandalan ini seperti biasa akan dianggap hanya datang untuk minta uang dan minum arak, aku agak sungkan untuk datang ke sini."
"Tunggu sebentar, Sei! Apa maksud perkataanmu barusan?"
"Ah, bukan apa-apa. Tapi adik berandalan sepertiku ternyata bisa berguna juga."
"Kenapa kau bicara berputar-putar seperti itu? Jangan-jangan kau tahu sesuatu tentang peristiwa Bukit Kou Dei."
"Begitulah. Soalnya aku ini penyidik yang diandalkan kakak dan berada di bawah pimpinan kakak, meski selalu diberi uang kecil oleh kakak."
"Apakah tidak bisa kaukatakan saja?"
"Bisa saja. Kalau kakakku berada dalam keadaan terjepit, tentunya aku juga tidak akan tinggal diam. Tapi kakakku lean kepala unit polisi rahasia yang lihai. Kalau kuberitahu, bisa-bisa aku nanti malah dikata-katai sebagai orang yang sok tahu. Oh ya, Kak, terima kasih atas araknya. Kapan-kapan aku datang lagi."
"Hei, tunggu dulu. Kenapa kau buru-buru pulang? Sebentar, kupanggilkan suamiku dulu."
"Tapi, dia sedang masuk angin, kan? Hahaha."
"Suamiku! Suamiku..."
Tanpa dipanggil oleh istrinya pun, sejak tadi Ka Tou sudah mendengarkan pembicaraan mereka dari balik kamar di belakang koridor. Begitu muncul, dia segera menjabat tangan Ka Sei erat-erat sambil berkata, "Maafkan aku. Tolong jangan dimasukkan ke had. Sekarang, kau minum saja lagi."
"Ah, Kakak. Kalau arak, aku sudah cukup. Astaga, bctul juga. Wajah Kakak ternyaca bctul-betul hancur."
"Kadang-kadang aku memang bersikap keras terhadapmu, tapi itu karena aku mencemaskan dirimu. Seumur hidup baru kali ini kakakmu memohon kepadamu. Sekarang, kalau kau tahu sesuatu, tolong katakan padaku."
"Hmm. Soal pencuri kecil di Bulcit Kou Dei itu, kan?"
"Pencuri kecil? Kau jangan salah kira." "Soalnya aku tahu betul rentang mereka" "Eh? Benarkah?"
Ka Tou berlari ke belakang, mengambil uang sepuluh ryoti dari kotak, lalu kembali lagi. Diletakkannya uang itu di dekat minuman adiknya.
"Meski cuma sedikit, terimalah ini untuk hadiah semen tara."
"Kak, maaf sekali, tapi kau tahu aku tak mudah goyah. Kalau disodori iming-immg begini, aku tidak bisa mengatakannya."
"Kenapa? Apa uangnya kurang?" "Bukan begitu. Kalau diberi uang seperti itu, aku justru semakin sulit memberitahumu. Aku ini adik berandalan yang sama sekali tidak berguna, bukan? Tapi kali ini, aku bisa bersikap sombong seperti ini di hadapan Kakak. Ini tidak bisa tergantikan dengan uang."
"Kalau begitu, apa yang harus kulakukan agar kau bersedia bicara?"
"Wah, sungguh menyenangkan bisa bersikap sombong seperti ini di depan kakak dan kakak iparku."
"Jangan besar kepala. Uang itu hadiah dari pemerintah. Sei, kalau itu kurang, aku bersedia menundukkan kepala kepadamu untuk memohon."
"Hmm. Boleh saja aku memberitahumu, Kak."
"Terima kasih. Nah, di mana sarang penyamun itu?"
"Di sini," kata Ka Sei sambil menepuk perut. "Semua perampok itu ada di dalam dompet tempat kertas pengelap mulutku. Mereka tidak akan bisa melarikan diri, Kak. Jadi Kakak tenang saja."
"Jadi mereka ada di dalam tempat kertas pengelap mulut, begitu?"
"Aku bukan tukang sulap, tapi aku akan memperlihatkannya tanpa trik, tanpa tipuan. Buktinya adalah ini."
Ka Sei memasukkan kedua tangan ke bagian perut, lalu mengeluarkan tempat menyimpan kertas pengelapnya. Di dalam dompet kulit tipis itu terdapat catatan kecil yang dilipat-lipat. Dia meletakkan catatan kecil itu di tangannya.
"Nah. Untuk ini, kalau tidak diberi penjelasan, Kakak tentunya tidak akan bisa memahaminya. Kakak Ipar, tolong tutup semua jendela dan pintu belakang.
Di saat seperti ini dinding mungkin juga bertelinga, bahkan serangga hams kita waspadai. Dengar baik-baik. Sebenarnya inilah yang terjadi."
"Kejadiannya dua bulan lalu. Sekitar pertengahan bulan enam."
Ka Sei mulai bercerita dengan suara yang dipelankan.
"Seperti yang Kakak ketahui, di Desa An Raku ada penginapan murah bernama Ou. Dalam peraturan penginapan, semua tamu yang menginap disuruh menuliskan tempat tujuan, pekerjaan, tempat tinggal, usia, dan sebagainya. Ketika para tamu tidur, petugas akan menyalin catatan itu, lalu pada hari ketujuh menyampaikannya kepada kepala desa. Kepala desa kemudian akan menyusunnya kembali dan sebulan sekali melaporkannya ke kantor pemerintah. Bagi Kakak, cerita seperti ini tidak aneh, bukan? Memang seperti itulah peraturannya."
"Hm, benar."
"Tapi pemilik penginapan Ou itu jatuh sakit sejak awal musim panas, sedangkan para pemuda yang bekerja di sana semuanya buta huruf. Saat itu, uangku terkuras habis di tempat perjudian Desa An Raku, namun aku tetap memberanikan diri menginap di sana meskipun tidak punya uang sesen pun. Nah, pada hari aku harus meninggalkan penginapan, aku tidak bisa membayar biaya menginap. Aku nekat berkata bahwa biayanya akan kubayarkan di kemudian hari, anehnya mereka menyetujui perkataanku dengan mudah. Keadaan jadi jelas ketika istri si pemilik penginapan muncul. Dia berkata, aku boleh membayarnya di kemudian hari, tapi sebagai gantinya aku diminta bekerja di bagian pencatatan tamu selama setengah bulan hingga suaminya sembuh. Begitulah, meski dengan setengah had, aku bekerja selama dua puluh hari di penginapan itu. Di sana aku ditugaskan mengantar dan menyambut tamu."
"Wah. Bisa juga kau."
"Di sinilah, ketika memasuki bulan tujuh, terjadi sesuatu yang tidak akan kulupakan."
"Tanggal tiga bulan tujuh?"
"Betul. Sore itu, tujuh orang penjual pala datang dan membariskan tujuh gerobak pengangkut di depan penginapan. Aku kaget. Lalu aku segeta mengawasi salah seorang dari mereka. Mengapa begitu? Karena di antara mereka bertujuh, rasanya aku mengenali orang yang tampaknya menjadi pemimpin. Orang itu tidak banyak bicara. Aku tidak bisa langsung mengingatnya, tetapi ketika berbaring, aku baru ingat bahwa bebetapa tahun lalu, aku pernah pergi ke suatu tempat bersama teman-teman berandalanku. Pada saat itulah aku sekilas melihatnya. Pasti majikan di rumah itu. Penghulu besar Desa Ton Kei tli Kabupaten Un Jo. Kalau cidak salah, laki-laki itu bernama Chou Gai.
"Hmm. Lalu?"
"Esok paginya aku memeriksa buku catatan penginapan untuk melihat apa yang mereka tulis malam scbelumnya. Ternyata ketujuh orang itu semuanya bermarga Li, seperti Li Shun, Li Chou, LiTatsu, Li Shu, dan sebagainya. Mereka berasal dari desa yang sama di Provinsi Go. Tujuan mereka ke Tou Kei dan pekerjaan mereka berdagang pala. Dengan kata lain, mereka akan menjual pala itu di Tou Kei. Aneh juga, pikirku, padahal pemimpin mereka itu penghulu. Kemudian aku mengantar mereka pergi sambil mengucapkan selamat jalan. Selang sehari kemudian, teman berandalanku datang mengajakku pergi judi. Sebenarnya aku tidak punya uang, tapi aku ingin melihat tempat judi di desa. Malamnya, aku pulang bersama temanku yang kalah judi itu, dan saat itulah di jalan pertigaan desa ada orang yang berlari sambil membawa pikulan tong kosong."
"Begitu..."
"Temanku berkata bahwa orang yang barusan itu kelihatannya Haku Shou, si Tikus Siang. Lalu dia berteriak memanggilnya 'Kak Haku,' namun orang itu menghilang begitu saja tanpa menjawab atau menoleh sedikit pun. Temanku berkata mungkin dia salah orang dan kami pun tertawa. Dari situ aku berpisah dengan temanku, lalu pulang. Keesokan harinya, berita tentang peristiwa Bukit Kou Dei itu sampai di Desa An Raku. Katanya ada tujuh penjual pala dan seorang pedagang arak yang bersandiwara mengecoh tujuh belas tentara yang mengantar hadiah ulang tahun. Mereka membuat para tentara itu minum arak beracun, dan dalam sekejap berhasil membawa pergi barang-barang senilai seratus ribu kan, begitu katanya. Semua orang di desa membicarakan peristiwa itu dengan sangat bersemangat. Kehebohan berlangsung selama empat atau lima hari. Oh, begitu, pikirku. Lalu aku mencarat seluruh nama yang ada di buku catatan penginapan untuk diriku sendiri. Begitulah. Nah, bukti ini akan saya berikan kepada Kakak. Jadikanlah ini alat untuk keberhasilan kakak."
"Terima kasih banyak. Akan kusimpan." Ka Tou sangat gembira. Dia bergegas pergi ke kantor polisi sambil membawa Ka Sei. KepaJa polisi segera menggelar pertemuan rahasia di kamar tertutup. Tak lama kemudian terpilih sepuluh orang pasukan penangkap yang lihai dan mereka segera menuju Desa An Raku.
Setibanya mereka di desa, waktu sudah lewat tengah malam. Rumah si Tikus Siang sudah diketahui penyelidik. Mereka mengetuk pintu. Istri si Tikus Siang yang memakai baju tidur muncul. Dia menjerit dan berusaha masuk kembali, namun para pasukan menerobos ke dalam.
"Hei, Tikus Siang! Kami datang menjemputimi dari Bukit Kou Dei!"
Begitu Ka Tou membentak, si Tikus Siang muncul dari balik selimutnya.
"Astaga! Apa maksud Bapak? Seperti Bapak lihat, karena cuaca yang sangat terik di musim panas ini, saya terus terbaring karena demam tinggi."
"Benarkah begitu? Kalau kau sakit lebih bagus lagi. Sebaiknya kau jangan macam-macam. Nanti aku yang akan merawatmu, jadi sekarang terimalah ikatan tali ini tanpa berulah."
Si Tikus Siang bersama istrinya segera diikat. Lalu para pasukan memeriksa belakang atap dan bawah lantai tumah mereka. Barang curian ditemukan di bawah tempat tidurnya, beberapa puluh sentimeter tertanam di bawah tanah. Sekepal emas berlian di dalam kantong kasa.
Mereka memasang penutup mata pada si Tikus Siang yang pucat pasi dan pada istrinya yang gemetaran, lalu menaikkan mereka ke punggung kuda dan kembali ke kantor polisi. Setibanya di sana, mereka didudukkan di halaman pengadilan. Saat itu sudah menjelang subuh. Tetapi keduanya dengan gigih tidak mau membuka mulut.
Mereka diistirahatkan sebentar, kemudian pengadilan resmi pun dimulai. Penyiksaan berlangsung selama setengah   hari.   Istrinya   sudah   tidak   bisa   bertahan. Akhirnya, si Tikus Siang membuka mulut dan mengaku.
"Kalau sudah begini, tidak ada lagi sumpah atau janji. Saya akan mengatakannya. Yang menjadi pemimpin perampokan itu memang Chou Gai, penghulu Desa Tou Kei. Karena dulu pernab dibantu olehnya, saya diminta mereka memainkan peran sebagai penjual arak, dan saya bekerja sesuai perintah mereka. Itu saja. Hal lainnya saya tidak tahu. Enam orang lainnya pun tidak saya kenal"
"Ya. Itu sudah cukup. Enam orang lainnya akan segera ditangkap satu demi satu."
KaTou dibekali sehelai surat resmi oleh kepala polisi. Karena dia akan mendatangi kabupaten lain, perlu ada kesepakatan antar-kantor dinas demi keabsahan hukum saat bertindak.
Namun jika terlalu banyak waktu yang terbuang hanya untuk mengurus segala macam prosedur, lalu rencana ini keburu bocor ke luar, dampaknya akan sangat merugikan. Tentunya, tantangan yang akan dihadapi Ka Tou pada saat itu tidaklah sederhana. Pertama-tama, guna memastikan wajah para pelaku kejahatan, diperlukan persiapan untuk mengikutsertakan tiga tentara pengangkut yang tergabung dalam barisan pengantar hadiah ulang tahun, sebagai saksi hidup.
"Untuk sementara, biar aku sendiri yang pergi ke Kabupaten Un Jo untuk melakukan perundingan dengan kepolisian di sana. Setelah itu, barulah petugas penangkap dapat menyusul clcngan membawa serta saksi-saksi yang akan memastikan wajah para pelaku kejahatan."
Setelah member! instruksi kepada anak buahnya, di tengah malam Ka Tou berangkat seorang diri dengan memacu kudanya ke luar kabupaten.

PEMANDANGAN di depan kantor pemerintahan hampir sama di mana saja. Di jalan besar di depan istana Kabupaten Un Jo juga berjajar tukang jual jasa penulisan, pedagang kaki lima, warung teh, dan sebagainya.
"Hei! Apa pun lauknya tidak masalah, pokoknya segera sediakan sarapan buadcu. Apa? Sudah hampir tengah hari? Buatku ini masih waktu sarapan, meski bagi orang lain mungkin sudah makan siang."
Ka Tou, kepala unit polisi rahasia yang dba setelah berkuda sepanjang malam dari kabupaten lain, mendatangi sebuah warung makan dan sedang menunggu makanan untuk mengisi perut.
"Ini, Pak. Silakan!"
"Perutku betul-betul keroncongan. Omong-omong..."
"Ya, Pak?"
"Sejak tadi kuperhatikan gerbang utama kantor pemerintah begitu sepi, padahal bukan hari libur. Kenapa bisa begitu? Apakah bupati di sini selalu datang setelah siang hari?"
"Oh, bukan begitu, Pak. Kesibukan di kantor itu sudah beres sebelum tengah hari, dan sekarang baik petugas pengadilan maupun pejabat lainnya sedang beristirahat siang."
"Rupanya begitu. Aku yang salah melihat waktu. Oh ya, aku ingin bertanya, siapa nama sekretaris kabupaten ini?"
"Wah, kebetulan, orang yang baru datang itu adalah sekretaris kabupaten ini."
"Apa? Yang mana?"
Ka Tou berdiri dari kursinya lalu memandang ke arah yang ditunjuk pemilik warung.
Betul juga, seorang pejabat kabupaten yang memakai seragam sekretaris sedang berjaian melewati halaman kabupaten dan keluar dart gerbang utama.
Tubuhnya sedang, tidak begitu tinggi, dan sepertinya berusia tiga puluhan. Kulitnya hitam, namun matanya terlihat sejuk, dan di kedua telinganya terpasang giwang. Dari caranya berjaian, terlihat dia orangyang bermartabat tinggi dan memiliki daya tarik khusus.
Ka Tou bergegas meninggalkan warung dan menemuinya dengan penuh hormat.
"Tuan Sekretaris, mungkin ini sangat kurang ajar, tetapi apakah Tuan bersedia mampir sebentar ke warung teh itu?"
"Oh..." Si sekretaris terlihat kaget.
"Anda dari mana?"
"Saya kepala unit polisi rahasia di kabupaten tetangga, Sai, dan nama saya Ka Tou. Saya ingin membicarakan hal yang cukup penting dengan Bapak. Karena itu, mari kita minum teh di sana."
Dengan setengah memaksa, Ka Tou mengajaknya masuk ke warung teh. Lalu, untuk memulai percakapan, dia menanyakan nama si sekretaris.
"Maaf, sebelumnya saya ingin tahu nama Tuan siapa."
"Wah, maaf, saya belum memperkenalkan diri. Marga saya Sou, dan nama kecil saya Kou. Setiap hari saya datang dari Desa Sou Ka yang dekat dari sini untuk bekerja di kantor kabupaten."
"Oh? Jadi Anda ini Tuan Sou Kou yang terkenal sebagai pembawa hujan berkah itu?"
"Haha. Saya bukan orang hebat seperti itu."
"Oh, maaf, silakan Tuan yang duduk di kepala meja."
"Wah, jangan. Justru Anda tamu dari jauh yang harus duduk di kepala meja. Sebenarnya ada keperluan apa, sampai-sampai seorang kepala unit polisi rahasia dari kabupaten tetangga datang ke sini?"
"Sebenarnya begini..." Ka Tou menebarkan pandangan tajam khas seorang polisi rahasia ke sekelilingnya, lalu memelankan suara.
"Di kabupaten yang Tuan bawahi ini ada beberapa pelaku kejahatan yang ingin saya tangkap."
"Begitu. Jadi, Anda datang untuk mengurus prosedurnya?"
"Betul sekali. Saya membawa surat resmi dari kepala polisi di Provinsi Sai. Untuk itu, saya ingin Tuan member! kemudahan."
"Baiklah. Tapi saya harus tahu dulu perincian peristiwanya. Masalahnya, saya belum tahu apakah peristiwa itu menjadi yurisdiksi saya atau badan lain."
"Tuan tentu sudah tahu kabar angin yang beredar di masyarakat. Tentang peristiwa di Bukit Kou Dei."
"Saya pernah dengar tentang perampokan hadiah ulang tahun untuk Menteri Sai, hadiah itu senilai seratus ribu kan dan dikirim pejabat pemerintah Hoku Kei. Memangnya ada petum'uk yang berkaitan dengan peristiwa itu?"
"Ada. Kami sudah menangkap suami-istri si Tikus Siang yang menjadi kaki tangan aksi kejahatan tersebut. Ternyata, menurut pengakuan mereka, tujuh orang penjahat utamanya berasal dari Kabupaten Un Jo ini. Untuk itu, kami sudah mempersiapkan pasukan penangkap, namun sebagai tindakan awal, saya datang ke sini untuk lebih dahulu mendapatkan persetujuan tempat kedinasan Anda. Karena itu, saya mohon Anda bisa memberikan izin sesegera mungkin."
"Baik. Omong-omong, sebenarnya siapa saja ketujuh orang penjahat itu?"
"Kami belum tahu semua nama pelakunya, Tuan. Tapi untuk gembong pemimpinnya kami sudah tahu. Dia penghulu Desa Tou Kei di wilayah Tuan. Namanya Chou Gai. Apakah Anda tahu tentang orang ini?"
Ka Tou luput memerhatikan, namun saat itu sekilas muncul kekagetan di wajah Sou Kou. Akan tetapi Sou Kou tampak begicu tenang, sehingga Ka Tou tidak mungkin bisa menyadarinya.
"Entahlah. Mungkin saja ada penghulu bernama Chou, namun saya tidak ingat. Saya hanya berkutat dengan pekerjaan kantor, jadi tidak kenal dengan penghulu desa. Tetapi kalau keterangan yang didapatkan sudah sampai di situ, akan mudah sekali menangkap penjahatnya."
"Ini tentu akan merepotkan Tuan juga, namun saya mohon agar Bapak menyerahkan langsung surat resmi ini kepada Tuan Bupati."
"Wah, itu tidak mungkin. Segel surat resmi harus dibuka oleh bupati sendiri. Selain itu, sebagai prosedur, kalau melalui saya itu tidak baik. Sekarang ini memang waktunya istirahat siang dan bapak bupati sedang beristirahat di rumah dinasnya, namun tetap saja sebaiknya Anda yang menyerahkan langsung kepada beliau."
"Kalau begitu, kalau bisa Bapak menemani saya menemuinya?"
"Itu soal mudah. Saya akan menemani Anda."
"Maaf jadi merepotkan. Tapi saya mohon Bapak membantu saya."
"Itu memang tugas saya. Tidak usah merasa sungkan. Tapi katena bupati baru saja beristirahat, lalu saya juga akan pulang sejenak ke rumah untuk mengambil barang yang ketinggaJan, untuk sementara Anda tinggal dulu saja di sini sambil beristirahat."
"Baiklah, Tuan. Silakan Anda bereskan dulu urusan Tuan."
"Kalau begitu, sampai nanti."
Setelah berjanji seperti itu, Sou Kou meninggalkan tempat tersebut.
Tetapi ketika sampai di persimpangan terdekat, dia langsung menuju pintu belakang kantor dinas, dan memanggil pesuruh yang ada di sana. Kepadanya dia berpesan, "Sebentar lagi Tuan Bupati akan kembali ke kantor. Jika melihat itu, segeralah pergi ke warung teh yang ada di depan gerbang utama, temui KaTou, utusan dari kepolisian Provinsi Sai, dan katakan kepadanya agar jangan meninggalkan tempat itu sebelum Sekretaris Sou kembali. Sampaikan pesan ini baik-baik. Mengerti?"
Kemudian Sou Kou berangkat lagi, namun kali ini dengan menuntun kuda dari istal kantor dinas. Setelah naik, cepat-cepat dia memecut dan melarikan kudanya. Gerak-geriknya mengundang tanya. Dalam sekejap, dia sudah berada di jalan desa yang menuju Desa Tou Kei, tempat penghulu Chou Gai tinggal.
Mungkin perlu dijelaskan secara lebih terperinci siapa sebenarnya Sou Kou.
Keluarganya secara turun-temurun merupakan dokter di Desa Sou Ka di Kabupaten Un Jo, Sou Kou adakh anak kedua dari tiga bersaudara. Dia sangat berbakti kepada orangtua, dan karena menjunjung tinggi kebenaran, orang-orang desa memanggilnya putra kedua si hitam pembela kebenaran.
Julukan ini muncul karena kulitnya yang hitam. Dia juga kerap dipanggil sebagai Sou Kou si Hitam. Selain itu, ada julukan lain baginya, yaitu Sou Kou si Hujan Berkah.
Nama julukan biasanya dibuat berdasarkan rasa sayang, meledek, dan menghina, tetapi julukan karena rasa hormat sangat jarang. Dalam julukan-julukan yang dimiliki Sou Kou ini terkandung rasa hormat dan segan. Julukan hujan berkah dilekatkan pada orang yang patut disyukuri karena bisa menurunkan hujan tatkala dibutuhkan. Dengan ini saja bisa diketahui bahwa schari-hari dia disayangi banyak orang. Dia selalu menghibur orang miskin, menolong yang lemah, dan kerap berhubungan dengan orang bijak di masyarakat. Dia juga memiliki ilmu pedang yang tinggi, dapat mengunakan tongkat dengan terampil, namun sekali pun belum pernah menunjukkan kepiawaiannya itu di depan umum. Sebagai sekretaris kabupaten, reputasinya sangat bagus, sekali pun tidak pernah terdengar dia melakukan korupsi seperti layaknya pejabat pemerintah.
Begitu memasuki Desa Tou Kei, Sou Kou segera menuju rumah penghulu, lalu mengikatkan kudanya pada pohon pagoda.
"Saudara Chou ada?"
Dengan napas tersengal-sengal dia memberi salam. Chou Gai, yang segera muncul setelah diberitahu pembantunya,   seperti   biasa   menyambutnya  dengan ramah.
"Wah! Saya pikir siapa. Ternyata Tuan Sekretaris. Silakan masuk."
"Tidak. Hari ini saya tidak datang untuk bertamu. Saudara Chou, saya ingin bicara di ruangan yang tidak bisa didengar orang lain."
"Tuan tampaknya terburu-buru sekali. Silakan ke sini. Di sini siapa pun jarang datang. Ada apa sebenarnya?"
"Saudara Chou Gai!"
Sou Kou terus menatap Chou Gai. Entah mengapa, air matanya mulai menggenang. Chou Gai sendiri merasa tersentuh, lalu dia menjawab dengan nada resmi, "Ya?"
"Anda rupajnya telah berbuat sesuatu yang membuat saya terlibat kesukaran."
"Apa?"
"Saya senantiasa menganggap Anda sebagai saudara dan orangtua. Anda sendiri juga kerap raembantu orang, serta mendahulukan kepentingan desa. Sebagai keluarga tua sekaligus penghulu di Desa Tou Kei, Anda bukan orang jahat. Anda juga sangat dipercayai banyak orang. Jadi, bagaimana mungkin saya membiarkan Anda dibunuh."
"MaksudTuan apa? Saya tidak mengerti."
"Tadi ada kepala polisi rahasia bernama KaTou yang datang membawa surat tugas dari kantor polisi Provinsi Sai. Dia datang ke kantor kabupaten untuk mengurus prosedur penangkapan Chou Gai beserta enam orang anggota kelompoknya."
"Ah! Jadi sudah terbongkar."
"Katanya kantor polisi Provinsi Sai sudah mene-mukan bukti-bukti peristiwa Bukit Kou Dei berdasarkan pengakuan dari si Tikus Siang."
Sou Kou menggenggam tangan Chou Gai erat-erat, la!u berkata, "Saudara Chou Gai, saya bisa memahami apa yang ada di dalam hati Anda, sampai-sampai Anda yang tidak kekurangan apa pun akhirnya melakukan perbuaran berani tersebut. Tapi sekarang, kita tidak punya waktu lagi untuk bicara. Dengan perintah keras dari Menteri Sai serta pencarian yang dilakukan pemerintah Hoku Kei, sekarang ini petugas penangkap sudah menyebar di mana-mana bagaikan sarang laba-laba. Bagaimana Anda akan melarikan diri?"
"Tuan Sekretaris, saya sudah membulatkan tekad. Kalau saya ditangkap oleh orang baik, bagi saya itu bagus. Sekarang, silakan ikat saya."
"Saudara bicara apa? Kalau Anda memang orang yang tepat untuk ditangkap dan diikat, saya tidak akan datang ke sini. Saya datang bukan sebagai pejabat pemerintah, melainkan sebagai rakyat biasa yang tidak bisa memutuskan hubungan baik di antara kita. Nah, sekarang, cepatlah Anda melarikan diri."
"Sampai sejauh itu Anda menganggap saya?"
"Ya. Baik orangtua maupun kerabat saya telah banyak menerima budi baik Anda. Selain itu, sampai saat ini kita sudah seperti saudara. Bagaimana saya bisa mengabaikan kebenaran itu? Selagi kita berbicara ini pun, petugas penangkap dari kepolisian Provinsi Sai tentunya sudah masuk ke wilayah ini. Ka Tou yang saya suruh menunggu di warung teh pun akan langsung mengunjungi Bupati. Jika prosedur surat resmi sudah bisa didapat, semuanya akan terlambat. Sebaiknya Anda segera meninggalkan tempat ini."
"Terima kasih banyak."
Chou Gai memegang tangan Sou Kou erat-erat, air matanya berlinang.
"Budi baik Anda tidak akan saya lupakan. Seumur hidup."
"Cepatlah! Soal itu tak usah dipikirkan. Saya juga hams cepat kembali. Saya harap Anda segera bergerak."
Setelah berkata demikian, Sou Kou beranjakpulang. Seolah-olah enggan berpisah, dia mengikuti Chou Gai berjalan di koridor dekat halaman belakang. Lalu di sebuah rumah yang terpisah, Chou Gai memanggil nama tiga orang yang berada di situ.
Mendengar panggilan itu, tiga orang muncul ke halaman. Mereka adalah Cendekiawan Go, Kou Son Shou, dan Ryu Tou.
Sambil menuding mereka, Chou Gai memberitahu Sou Kou, "Saya tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Anda. Mereka ini kelompok saya. Selain mereka, ada juga tiga bersaudara Gen. Tetapi, mereka sudah kembali ke desa mereka, Desa Sekka, setelah menerima bagian seratus ribu kan itu... Hei, kalian! Ini Saudara Sou Kou dari kabupaten. Silakan kalian memberi salam dan menyebutkan nama masing-masing."
Sou Kou membaJas salam mereka dengan anggukan kepala. Lalu dia membalikkan tubuh dan segera berlari ke luar gerbang. Dia menaiki kuda dan melesat bagaikan burung srigunting, semakin lama tarapak semakin mengecil di kejauhan.
Setelah mengamar kepergian Sou Kou dengan pandangan mata, Chou Gai kembali ke haiaman belakang. Dalam had Chou Gai merasa menyesal.
"Sungguh pelik," pikirnya. "Kalau cuma aku, mungkin ttdak raasalah. Tapi dia sekretaris kabupaten. Kalau di kemudian hari diketahui bahwa pejabat pemerintah telah membantu pelarian buronan negara, kehidupannya akan hancur. Hmm, aku sepertinya hanya memikirkan diri sendiri. Sampai tidak menanyakan hal itu kepadanya."
Pada saat dia sedang melamun, Ryu Tou, Kou Son Shou, dan Cendekiawan Go menghampirinya.
"Siapa orang yang barusan pulang itu?" tanya salah satu dari mereka.
"Apa ada kejadian yang menghebohkan?" tanya yang lain.
Chou Gai menceritakan semuanya secara terperinci.
"Kalau Sou Kou tidak datang memberitahuku, kita pasti tertangkap. Kita harus segera memikirkan sesuatu."
"Apa itu artinya perbuatan kita sudah terbongkar? Si Tikus Siang ternyata payah juga. Hanya karena siksaan, dia langsung buka mulut."
"Guru Go! Apa kira-kira yang mesti kita lakukan?"
"Tidak ada cara selain melarikan diri. Tetapi siapa sebenarnya Sou Kou itu?"
"Dia sekretaris kabupaten. Bisa dikatakan dia saudara angkat saya. Hubungan kami sehari-hari sangat balk."
"Oh. Jadi dia Sou Kou yang terkenal dengan julukan Hujan Berkah itu. Pantas dia sampai rela mengorbankan diri untuk memberitahukan bahaya yang mengancam Anda. Kita harus segera menyelamatkan diri. Itu ten-tunya juga harapan dia."
"Tapi... kita harus pergi ke mana?"
"Untuk sementara kita pergi dulu ke Desa Sekka, dan tinggal di rumah Gen bersaudara."
"Tapi, Guru, mereka bertiga hanya nelayan. Mana mungkin kita bisa tinggal di gubuk sempit mereka?"
"Kita hanya akan berada di sana sementara. Coba kalian ingat-ingat tempat apa yang ada di sisi seberang Danau Sekka."
Mendengar itu, Kou Son Shou dan Ryu Tou ber-gumam bersamaan, "Ryou Zan Paku. Tempat di seberang danau itu Ryou Zan Paku!"
"Betul sekali!" ujar Cendekiawan Go dengan mata berbinar-binar, tidak seperti orang yang sudah tua.
"Kalau begitu, kita harus menyeberang ke Sana, dan minta mereka menerima kita sebagai anggota mereka."
"Tapi, Gum, apakah mereka bakal bersedia melakukan itu?"
"Tidak usah khawatir. Kita punya emas dan perak. Kalau kita berikan sebagian milik kita.
"Betul juga."
Tekad mereka semakin bulat. Mereka segera me-masukkan emas permata yang dulu mereka rebut di Bukit Kou Dei ke dalam lima atau enam bungkusan, lalu menyuruh sepuluh pelayan muda untuk menjaganya disertai Cendekiawan Go dan Ryu Tou. Kemudian rombongan itu berangkat lebih dahulu menuju Desa Sekka.
Chou Gai dan Kou Son Shou yang masih tinggal mengumpulkan semua keluarga dan pekerja, lalu dengan sederhana menyampaikan salam perpisahan, serta mem-bagikan semua barang yang ada di situ. Mereka juga akan segera berangkat ke Desa Sekka, tetapi sangatlah sulit bagi Chou Gai untuk pergi karena di antara orang-orang yang akan ditinggalkannya terdapat pula perempuan yang sudah lama dicintainya, orangtua, dan anak-anak yang disayanginya. Linangan air mata pun kian membuat perpisahan sungguh berat.
#   
Sementara itu, Sou Kou melarikan kuda kembali ke kota. Kemudian setelah mengikat kuda di istal kuda kabupaten, dia bergegas menuju warung teh yang tadi dikunjunginya.
Dilihatnya Ka Tou sedang berdiri di depan warung teh, sepertinya sudah tidak sabar menunggu.
"Maaf membuat Anda menunggu lama. Tadi saya kedatangan tamu di rumah."
"Akhirnya Tuan datang juga. Saya kira telah terjadi sesuatu padaTuan."
"Maafkan saya. Saya akan segera mengantar Anda ke ruangan bupati. Silakan ke sini."
Saat itu, di ruangan bupati, Bupati Ji Bun Bin sedang serius memeriksa dokumen-dokumen di hadapannya.
Perlahan Sou Kou membuka pintu.
"Saya datang menghadap sambil membawa Ka Tou, kepala unit polisi rahasia Provinsi Sai. Dia datang secara mendadak karena ada urusan yang sangat penting. Dia pun membawa surat resmi dari kabupaten tetangga kita. Kami mohon Bapak sudi melihat surat tersebut."
"Mana suratnya?"
Bun Bin mengalihkan pandangan dari meja besar yang terbuat dari kayu karin, lalu secara resmi menerima surat dinas dari tangan Ka Tou. Dengan segera, dia membukanya.
"Hmm. Saudara Ka Tou, Anda mendapat tugas yang berat. Tentunya Anda sangat repot."
"Ya. Hamba mohon bantuan Paduka."
"Tentu saja. Menurut surat yang kubaca, pengawas dari Menteri Sai juga datang dan tinggal di kantor polisi Provinsi Sai. Mereka diperintahkan untuk menangkap semua perampok itu dalam jangka waktu sepuluh hari. Karena kita sama-sama pegawai pemerintah, aku bisa merasakan betapa sulitnya melaksanakan perintah seperti itu. Baiklah. Aku akan mengumpulkan bantuan dari kabupaten ini. Mari kita segera tangkap kelompok perampok itu. Sou Kou, aturlah semuanya."
"Baik, Pak. Tapi kalau rahasia ini sampai bocor, kita bisa gagal. Untuk itu, bagaimana kalau kita menunggu hingga hari gelap dahulu, baru secara kilat menangkapnya? Kalau kita berhasil menangkap penghulu Chou, saya kira enam orang yang tersisa tidak lama lagi juga bakal dapat kita tangkap."
"Semuanya kuserahkan kepadamu. Tapi aku agak bingung."
"Bingung kenapa, Pak?"
"Reputasi penghulu Desa Tou Kei itu sangat baik. Selain itu, aku belum pernah mendengarnya berurusan dengan kepolisian karena tindak kejahatan. Mendengar kini dia menjadi gembong perampok, betul-betul sulit dipercaya."
"Manusia memang sulit untuk dimengerti. Kita tidak mungkin tahu apa yang ada dalam pikiran seseorang."
"Kalau melihat dari penampilan luar saja, petugas penyidik tidak mungkin bisa bekerja. Nah, segera panggil petugas penyidik dan kepala petugas penangkap ke ruangan lain. Saya akan memberikan pengarahan kepada mereka."
Bupati Bun Bin benar-benar manusia pilihan. Begitu semuanya sudah berkumpul, dia menuju ruangan besar yang lain, lalu menjelaskan mengenai seberapa gentingnya situasi ini. Dia juga mendorong semua yang ada di sana agar bekerja dengan penuh semangat.
Sekitar satu jam kemudian, di alun-alun kabupaten, secara diam-diam dikumpulkan petugas penyidik, para bawahannya, serta pasukan petugas penangkap.
Ada dua kepala petugas penangkap. Yang satu adalah Shu Dou, si Janggut Indah, dan yang satu lagi Rai Ou yang pernah muncul sebelumnya, pemilik julukan si Harimau Bersayap.
Semuanya membawa pedang, panah dan busur, tongkat besi, dan lain-lain. Penampilan mereka terlihat sangat garang.
"Ayoberangkat!"terdengar aba-aba penuh semangat. Saat itu senja sudah menjelang, awan berarak bagaikan bendera yang berkibar.
"Tunggu dulu!" kata Shu Dou. "Kalau sudah memasuki Desa Tou Kei, kita tidak boleh memiliki keraguan. Bagaimana strateginya? Kukira itulah yang paling penting."
"Betul. Itu penting sekali," Rai Ou mengiyakan.
"Kepala penyidik! Bagaimana strateginya?"
"Hmm. Di depan rumah Chou ada jalan desa dan di belakangnya ada jalan lain."
"Betul. Kalau kita menyergapnya dari satu arah saja, sama saja dengan melepaskan mereka. Bagaimana kalau kita menyergapnya dari dua arah?"
"Baik. Satu pasukan menunggu di gerbang belakang sambil bersembunyi. Tandanya adalah siulan. Begitu terdengar siulan, satu pasukan lagi mendobrak gerbang depan dan menyergap ke dalam rumahnya."
"Tapi," kata Shu Dou lagi sambil mengelus-elus janggutnya yang indah, "ada satu lagi jalan untuk melarikan diri di rumah Chou Gai. Kukira jalan ini tak diketahui siapa pun."
"Apa? Jadi ada tiga jalan?"
"Kukira sehari-hari mereka pasti menggunakan 'jalan buangan' itu."
Mendengar itu, kepala penyidik terkejut.
"Wah, itu berbahaya. Bukankah itu yang biasa disebut 'jalan tersembunyi'? Shu Dou, kalau kita lengah mengawasi jalan itu, mereka bisa meloloskan diri. Aku akan menyerahkan setengah pasukan di bawah komandomu dan kau harus menutup jalan tersembunyi itu. Jangan sampai lengah."
"Tidak usah sebanyak itu karena jalannya sempit. Tiga puluh orang sudah mencukupi. Kalau begitu, aku berangkat duluan."
Setelah itu, baik kepala penyidik maupun Rai Ou sudah berada di punggung kuda, berdiri di depan pasukan. Kemudian sebelum malam menjelang, mereka telah bergerak cepat menuju Desa Tou Kei.
"Wah! Kebakaran!"
"Bukankah rumah penghulu terletak di arah sana?"
"Mungkin mereka sudah menyadarinya!"
Dengan cepat rombongan manusia itu mendobrak gerbang utama. Dari balik kobaran api, bayangan pasukan penangkap yang membawa pedang, tongkat, tombak dan tombak bercagak, bergelombang masuk menerobos asap tebal.
"Sumber kebakarannya ada di beberapa tempat. Hei! Jangan hanya menerobos masuk. Perhatikan juga sekitar sini. Periksa di balik pepohonan!"
Suara Rai Ou yang keras dan serak terus-menerus bergema.
Meskipun demikian, sebenarnya dalam hati Rai Ou terpendam rasa simpati terhadap Chou Gai. Terpikir olehnya untuk menciptakan kesempatan agar Chou Gai dapat melarikan diri. Karena itu, dengan sengaja dia terus bersuara keras, mengacaukan perhatian anak buahnya.
Bukan hanya dia, perasaan Shu Don yang bertugas menutup jalan belakang pun sama.
Ucapan Shu Dou bahwa ada tiga jalan yang bisa digunakan untuk melarikan diri itu sebenarnya ke-bohongan. Dia berpikir, dengan membagi dua anggota pasukan yang diserahkan kepadanya, jalan untuk melarikan diri bagi Chou Gai akan terbuka lebar. Ini terlihat ketika dia dan pasukannya hanya bergerak ke sana kemari tak tentu arah.
Adapun Chou Gai sendiri, saat itu masih berada di sebuah ruangan. Dia memerintahkan pelayan dan para pemuda untuk membakar rumahnya di beberapa titik.
"Kukira sudah cukup! Hei! Kou Son Shou! Ayo kita berangkat! Kita serahkan nasib kita kepada Langit!"
Lalu dia mendobrak jendela samping ruangan dan melompat. Selanjutnya dengan melompati benteng-benteng tanah, dia berusaha keluar.
Pada saat itu, Shu Dou yang melihat bayangannya dari gerbang belakang berteriak, "Hei! Benteng sebelah barat itu tampak mencurigakan. Kita ke sana!"
Dengan sengaja dia mengarahkan pasukannya ke arah berlawanan, dan begitu sampai di sana, dia sengaja mengentak-entakkan kaki seolah-olah kesal, lalu kembali memerintah anak buahnya, "Sepertinya mereka lewat gerbang depan. Ayo kita pergi ke jalan desa yang ada di depan!"
Namun, apa yang diharapkan sering kali betbeda dengan kenyataan. Baik Shu Dou maupun anak buahnya, melihat bayangan Chou Gai dan Kou Son Shou yang berlari bagaikan kelinci di sebelah timur, sehingga tak ayal lagi kini mereka berhadap-hadapan.
"Mereka di sini. Jangan sampai kabur!"
Sejak awal para anak buah pasukan penangkap tidak tahu apa-apa mengenai permasalahan yang sebenarnya. Demikian pula mengenai sosok sejati Chou Gai yang mereka kejar-kejar itu. Namun karena kondisi yang mengharuskan, tiada pilihan lain bagi mereka selain mencabut pedang.
"Apakah kalian ingin mati? Kalau ingin mati, ayo serang!"
Kou Son Shou ikut mengacungkan pedang lurusnya yang biasa dibawa pendeta, dan memasang kuda-kuda.
"Siapa pun yang mencoba menghalangiku, akan kutebas!"
Pada saat mereka mundur ketakutan, Chou Gai berteriak, "Son Shou! Sebaiknya kita tidak melakukan pembunuhan sia-sia. Kita lari saja!"
Mereka berdua pun meloncat bagaikan kijang ke arah kegelapan.
Saat itu, datanglah kepala penyidik yang mengendarai kuda. Dengan sangat tegang dia bertanya, "Hei, Shu Dou! Apa kau melihat penjahatnya?"
"Ah! Kepala penyidik datang tcrlambat. Tolong pinjami aku kuda itu."
"Memangnya kau mau apa?"
"Kalau saja tadi ada kuda. Tentunya mereka tidak akan bisa melarikan din. Kami baru saja kehilangan mereka. Cepat! Cepat!"
Dengan patuh kepala penyidik meminjamkan kudanya kepada Shu Dou. Lalu sambil memandang anak buah yang ada di depan dan di belakangnya, dia berteriak, "Hei! Kalian! Kalian ini lamban sekali. Ikuti aku dari belakang kudaku!"
Meskipun dibentak seperti itu, kalau harus mengikuti kuda yang berderap begitu cepat setelah dicambuk, mereka tidak mungkin bisa mengikutinya. Shu Dou dengan mudah mengecoh anak buahnya, sementara kedua sosok yang berlari terlebih dahulu itu segera terkejar. Untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang melihatnya dia menoleh ke belakang. Ketika di belakangnya tidak ada siapa-siapa, dia memanggil kedua sosok itu.
"Hei! Pak Penghulu! Masuklah ke jalan setapak. Ambillah jalan hutan di sebelah sana!"
Chou Gai menoleh ke belakang dengan heran.
"Astaga. Kau Shu Dou, bukan?"
"Saya tidak akan menangkap Bapak Penghulu. Sekarang larilah lebih cepat."
"Kenapa kau melakukan ini, padahal kau salah satu pengejar kami?"
"Tidak usah bertanya dulu. Itu bukan masalah. Salah satu alasannya tentu karena orang-orang desa akan merasa sedih bila melihat Anda tertangkap. Anda penghulu yang tidak mungkin saya ikat dengan tali dalam genggaman saya ini. Saya harap Anda bisa hidup terus sampai mencapai Ryou Zan Paku."
"Terima kasih. Aku tidak akan melupakan kata-katamu barusan."
"Gawat! Pasukan Rai Ou yang mengincar jalan hutan sudah muncul dari arah kampung sebelah sana. Pak Penghulu! Jangan berpikir panjang lagi, larilah terus ke selatan dengan melewati ladang jewawut yang ada di sana."
Setelah berkata seperti itu, Shu Dou sengaja berlari ke arah munculnya Rai Ou.
Melihat Shu Dou datang dengan menaiki kuda, Rai Ou segera menegurnya.
"Hei, Shu Dou! Mana penjahatnya?"
"Justru aku yang ingin bertanya, apakah di kampung tidak ada yang mencurigakan?"
"Aneh. Kepala penyidik tadi terus berteriak-teriak bahwa penjahatnya akan segera ditangkap Shu Dou."
"Itu tidak benar. Aku tadi mengejar ke arah yang salah. Jangan-jangan mereka ada di jalan di hutan itu."
"Kalau begitu, tidak ada jalan lain lagi. Hei, kalian! Masuklah ke hutan itu, lakukan penyisiran!"
Tindakan ini ridak salah lagi merupakan hasil pemikiran dua orang yang sehati. Bahkan kini di dalam hati, mereka sama-sama berdoa agar Chou Gai berhasil melepaskan diri. Dukungan kedua orang inilah yang memastikan pelarian Chou Gai tidak mungkin gagal.
Setelah setengah malam berlalu, para petugas penangkap merasa lelah dan lapar. Rai Ou dan Shu Dou sengaja mengeluh dengan suara agak keras agar bisa didengar yang lain.
"Betapa cepat mereka berlari. Mungkin merekalah yang disebut penjelmaan setan atau dewa itu."
"Lagi pula, tidak seperti biasa, malam ini betul-betul gelap. Bagaimana kalau kita hentikan saja pengejaran ini? Bukankah kita sudah berusaha sekuat tenaga?"
Mendengar laporan ini, kepala penyidik merasa kecewa dan yang paling muram adalah Ka Tou. Dia membawa pasukan yang baru saja datang dari Provinsi Sai, urusan perizinan pun sudah dirampungkan secara sempurna, namun karena tidak mengenal situasi geografi wilayah itu, kemudian tidak mungkin menggabungkan diri dengan pasukan yang dipimpin Rai Ou dan Shu Dou, maka mereka hanya bisa menjadi pasukan pendamping. "Huh, sungguh orang-orang yang tak bisa diandalkan. Harus seredah apa lagi aku harus menundukkan wajah saat pulang ke kantor polisi di Sai?" gumam Ka Tou.
Malam itu di ruang kerjanya, Bupati Bun Bin yang sangat serius bekerja belum berganti palcaian. Sepanjang malam dia menunggu laporan penggerebekan itu.
"Apa boleh buat," komentarnya setelah mendengar laporan.
Meskipun kecewa, Bupati Bun Bin tidak bertanya-tanya lebih lanjut mengenai apa yang sudah terjadi. Dia juga tidak sedikit pun menaruh curiga terhadap anak buahnya yang telah diserahi tugas itu.
"Sayang sekali kalian tidak berhasil menangkap Chou Gai, tapi pastilah di rumahnya ada tamu, pelayan, serta para pemuda pembantunya. Apakah mereka kalian bawa ke sini?"
"Kami membawa dua tetangganya, dua tamunya, dan tiga pekerjanya sebagai saksi."
"Segera interogasi mereka!"
Sampai hari berikutnya interogasi tidak menghasilkan apa-apa. Meskipun begitu, tidak dapat dikatakan tidak membuahkan hasil. Salah satu tamu akhirnya membuka mulut, menceritakan segala sesuatu yang diketahuinya. Yang raclarikan diri dalam kobaran api adalah Chou Gai dan Kou Son Shou. Sebelumnya, Cendekiawan Go yang merupakan guru anak-anak desa, serta Ryu Tou, si Setan Rambut Merah, pergi lebih dulu menuju Desa Sekka ke rumah tiga bersaudara Gen. Mereka juga sempat bcrunding untuk pergi ke Ryou Zan Paku. Seluruh pengakuan itu pun dicatat.
Dengan hanya membawa Catalan pengadilan serta surat balasan dari bupati, akhirnya Ka Tou kembali ke Provinsi Sai dengan menahan malu. Kemudian, setelah melaporkan semuanya kepada kepala polisi yang sudah lama menunggunya, sang kepala polisi pun memberikan perintah.
"Baiklah kalau begitu. Sekarang, bawa lagi si Tikus Siang yang sudah ada di dalam penjara ke pengadilan. Tanyakan kepadanya siapa sebenarnya tiga bersaudara Gen itu."
Ka Tou sama sekali tidak putus asa. Dia masih menggantungkan harapan pada petunjuk terakhir yang dimilikinya. Tanpa perlawanan, si Tikus Siang menceritakan semuanya. Setelah mendapatkan infor-masi, dilaksanakanlah perundingan di tempat tertutup. Beberapa jam kemudian, meskipun masih terlihat lelah, di wajah pucat Ka Tou sudah mulai muncul rona merah.
"Ternyata penangkapan kali ini benar-benar mem-butuhkan upaya besar," katanya sambil meneguk teh. Dia sedang memberikan penjelasan terperinci kepada anak buahnya.
"Masalahnya sungguh pelik. Desa Sekka terletak di seberang danau Ryou Zan Paku, bukan?" tanya anak buahnya.
"Nelayan di sana bilang, wilayah itu lokasi tersulit di daerah San Tou. Sejauh mata memandang, perairannya hanya dipenuhi gelagah dan alang-alang. Tidak diketahui berapa luas permukaan air yang ada di antaranya, entah danau, entah rawa. Selain itu, perairannya pun berkelok-kelok. Dengan kata lain, tempat itu sebenarnya tidak cocok ditinggali manusia."
"Kalau kita pergi untuk menangkap penjahat yang bersembunyi di tempat semacam itu, sama saja pergi memburu burung liar dengan tangan kosong. Lagi pula, orang yang kita kejar bukanlah penjahat sembarangan."
"Kalau kita tidak mempersiapkan perlengkapan yang memadai, kalau kita tidak menggunakan kuda dan perahu, serta kalau pasukan penangkapnya hanya berjumlah kecil dan bukan pasukan besar yang terdiri atas tentara pemerintah, sekeras apa pun upaya kita menyerbu ke sana, hasilnya akan sia-sia saja."
Sejujurnya, Ka Tou sendiri juga tidak yakin akan berhasil. Dia merasa beruntung mendapatkan masukan dari anak buahnya. Dia menyampaikan semua kepada kepala polisi secara apa adanya, dan menyarankan untuk memikirkan kembali pembentukan pasukan penangkap.
"Gagasan yang masuk akal."
Kepala polisi pun membuat keputusan besar.
"Baiklah. Kalau begitu, aku akan menambah satu lagi petugas kepala. Lalu jumlah pasukannya ditambah menjadi lima ratus orang. Untuk perlengkapan, gunakan semua persenjataan yang ada di gudang. Karena tindakan kita dilakukan berdasarkan perintah pembesar di Hoku Kci dan instruksi keras dari Menteri Sai, maka pasukan ini bisa dikatakan sebagai pasukan resmi pemerintah. Sangat berbeda dengan penangkapan penjahat biasa. Pergilah kalian dengan kcwenangan yang dimiliki tentara pemerintah."
Selama dirinya menjabat, kepala polisi Provinsi Sai belum pernah mengambil langkah yang seperti ini. Hingga kini, belum pernah pasukan sebesar itu dikerahkan untuk menangkap buronan hukum.
Dalam beberapa hari itu, di sebuah rumah nelayan yang dikelilingi rimbunnya gelagah dan alang-alang, siang dan malam tampak gerak-gerik mencurigakan.
Tiga bersaudara Gen, yaitu Gen Shou Ji yang berjuluk si Jupiter Periang, Gen Shou Go si Anak Kedua Pemarah, dan Gen Shou Shichi si Raksasa secara mendadak kedatangan empat orang temannya, yaitu Chou Gai, Cendekiawan Go, Ryu Tou, dan Kou Son Shou di rumah nelayan mereka yang sempit. Hari itu juga mereka segera mengeluarkan semua peralatan yang ada di dalam rumah, memuatnya ke dalam perahu, lalu mendayung perahu ke rumah mereka yang lain, yang berada di atas muara danau yang cukup jauh dari rumah mereka sekarang.
"Silakan, Bapak-bapak...," mereka mempersilakan. Gen Shou Go pun mempersiapkan minuman, sementara Shou Ji dan Shou Shichi membuat masakan.
"Anggap saja malam ini kita pesta pindah rumah. Istri Shou Ji dan ibu kami telah kami suruh bersembunyi di tempat yang jauh, tentu saja dengan dibekali uang, jadi kami tidak mempunyai beban lagi."
"Selain itu, Guru," kata Shou Shichi kepada Cendekiawan Go, "sekeras apa pun semangat para penangkap itu, mereka tidak mungkin sampai ke danau ini. Untuk masalah ke depan, kita pikirkan nanti saja. Untuk malam ini, silakan kalian bersantai sepuasnya."
"Begini, Shou Shichi. Untuk menyeberang ke Ryou Zan Paku, bagaimanapun kita harus lewat air, bukan? Bagaimana cara kita pergi ke sana?"
Mereka sedang mengelilingi meja yang dipenuhi arak dan makanan. Shou Shichi menjawab, "Itulah masalarmya. Sulit sekali mendarat di tempat itu. Dapat diibaratkan bagai benteng yang sukar ditaklukkan. Teman-teman nelayan juga tak ada yang tahu tempat yang mudah untuk melabunkan perahu di sana. Karena itu, kita harus naik dulu ke jalan darat San Tou, lalu pergi ke waning teh di perempatan Ri Ke, di sana kita minta izin masuk."
Sambil minum arak, Chou Gai bertanya, "Apa yang kaumaksud dengan warung teh? Mana mungkin pemilik warung teh itu bersekongkol dengan orang-orang Ryou Zan Paku."
"Justru itu. Dia konco mereka."
"Apa? Pemilik warung teh itu konco mereka? Lalu?"
"Orang-orang yang ingin bergabung dengan Ryou Zan Paku harus bicara dulu dengan laki-laki bernama Shu Ki yang setiap hari melakukan pengawasan di warung teh itu. Kalau Shu Ki mengizinkan, dia akan melepaskan anak panah yang berbunyi sangat keras ke arah Ryou Zan Paku. Barulah setelah mendapatkan tanda itu, dari sela-sela ilalang di sebelah sana akan muncul perahu penjemput. Begitulah prosedurnya. Selain itu, tidak ada cara lain untuk dapat menyeberang ke sana."
Semua tertawa mendengar uraian tersebut.
"Betul juga. Ini lebih sulit daripada yang kudengar. Rasanya jadi ingin mencoba pergi ke sana, tapi bukan sebagai buron yang dikejar-kejar petugas penangkap."
Malam itu di tengah danau, tak satu pun penerangan yang terlihat. Arak sudah banyak meresap ke dalam tubuh mereka dan suasana semakin semarak. Pada saat itu, seorang nelayan yang sehari-hari diasuh tiga bersaudara Gen datang mendayung perahunya dengan terburu-buru.
"Saudara-saudara sekalian. Ada bahaya besar. Katanya tentara pemerintah sudah berada di dekat desa. Jumlahnya sekitar lima atau enam ratus tentara.
Kini semua penduduk desa dalam keadaan panik," dia berkata.
"Begitu ya," kata tiga bersaudara itu dengan tenang. "Baguslah kau memberitahu kami. Sebelum kau pulang, ikutlah minum-minum dulu."
Dengan tercengang, laki-laki itu segera berlalu. Sejenak suasana hening, namun tak lama kemudian, pembicaraan ketujuh orang itu kembaJi seperti semula.
"Di luar dugaan, mereka cepat juga datang. Kalau pasukan pemerintah, tentunya mereka datang dengan persiapan yang cukup."
"Kak Shou Ji, kalau mereka sudah datang, janganlah berkeluh kesah."
"Tentu saja. Ini berbeda dengan di darat. Kita ini seperti makhluk air. Siapa pun yang menyerangku akan kuseret ke dalam air agar bisa melihat pemandangan di dasar danau."
"Lalu sisanya akan dibuat sate dengan tombak Sho Shichi dan Shou Go!"
Tiba-tiba, dengan separuh bercanda, sambil memegang cangkir araknya, Kou Son Shou berkata, "Hei, Gen bersaudara! Kalian boleh saja sangat bersemangat, tapi jumlah mereka lima ratus orang. Kalau cuma dengan teknik itu terlalu gampang. Itu nanti kalian lakukan setelah melihat kebolehanku."
Dari tadi Chou Gai diam saja, namun kali ini dia membuka mulut dan berkata kepada Cendekiawan Go, "Guru sudah tua dan tentunya tidak terlalu paham soal peperangan, hanya tahu soal kuas dan tulisan. Oleh karena itu, silakan Guru memuat barang-barang yang penting saja ke dalam perahu. Setelah itu, pergilah ke warung teh di perempatan Ri Ke yang tadi dikatakan Shou Shichi, lalu tunggulah kami di Sana. Saya akan menyuruh Ryu Tou menemani Guru... Hei, Kuda Merah, temani Guru Go dan pergilah dari sini sebelum fajar menyingsing. Tidak perlu kaukhawatirkan keadaan di sini. Ini permintaanku."
Bersambung ke Jilid 2...