Prelude : 108 Bintang, Takdir di Dunia
Manusia
WAKTUNYA kira-kira sembilan ratus tahun ke
belakang.
Benua kuning Cina pada waktu itu disebut negara Dai Sou
dengan ibukota berada di Provinsi Ka Nan, di kota Tou Kei, wilayah
Kai Hou. Tampuk pemerintahan Dinasti Sou pada saat itu dipegang oleh
Kaisar Jin Sou yang merupakan keturunan keempat.
Saat itu tanggal
3 bulan 3, tahun 3 Ka Yuu.
Hari itu,
kaisar muncul di
Istana Shi Shii, mengundang seratus pejabat
istana untuk melaksanakan upacara pagi. Upacara pun selesai diiringi
musik istana serta seruan "Hidup Kaisar." Lalu tatkala orang yang
memakai pakaian sutra dengan sulaman naga itu hendak bangkit dari
singgasana bersama pendampingnya Gyoku San, serta Hana Kanmuri sang
juru bicara, tiba-tiba terdengar seruan.
"Paduka Yang Mulia, kami
mohon untuk menyedia-kan waktu sebentar."
Chou Tetsu, perdana
menteri, dan Bun Gen Baku, pejabat tinggi yang terpisah dari
barisan, maju bersujud di hadapan singgasana kaisar.
"Kami
memberanikan diri untuk mengajukan permohonan kepada Yang Mulia.
Sejak zaman dahulu sampai sekarang, pada upacara peralihan musim
seperti hari ini, semua orang, tanpa membeda-bedakan rakyat dengan
pejabat, bersenang-senang dengan diiringi musik tradisional sambil
menyucikan diri dalam semaraknya bunga plum. Kalaulah pada hari yang
baik ini Paduka Yang Mulia menunjukkan keberhasilan pemerintahan
Paduka hingga ke rakyat kecil, menurut kami kejayaan Dinasu Sou akan
berlanjut sampai akhir zaman." Kaisar Jin Sou mengerutkan dahi.
"Apa? Jadi pada hari baik seperti ini, rakyat tidak
bersenang-senang?"
"Tampaknya seperti itu, Paduka Yang Mulia,"
kata kedua orang ini sambil terus menyembah-nyembah. "Dalam beberapa
tahun ini, tanaman tidak berbuah baik. Selain itu, pada musim semi
tahun ini di seluruh wilayah negeri telah mewabah penyakit yang
sangat jahat, pesisir utara dan selatan serta ibukota timur dan
barat pun tenggelam dalam bau penyakit. Rumah-rumah dipenuhi orang
kelaparan, mayat-mayat dibuang ke jalan dan dibiarkan begitu saja,
dan malam hari, rakyat melewatinya dengan gemetar ketakutan cemas
akan datangnya perampok. Demikianlah keadaannya, Yang
Mulia."
"Hmm. Apakah separah itu?"
"Para pejabat di daerah
telah mendorong fasilitas-fasilitas kesehatan untuk membuat obat
penangkalnya, dan mereka sendiri mati-matian melakukan pertolongan
sampai menyisihkan uang dari gaji mereka sendiri, tetapi sayang
sekali mereka tidak bisa menghentikan menjalarnya wabah penyakit
tersebut. Kalau begini terus keadaannya, dikhawatirkan separuh
penduduk negeri ini akan mati."
"Ini tidak bisa dibiarkan begitu
saja. Kita harus segera memerintahkan seluruh wihara dan kuil untuk
melakukan doa besar-besaran."
Pada saat negara mengalami musibah
atau individu mendapat petaka, orang-orang segera menggantungkan
diri pada doa dan lindungan yang mahakuasa. Ini adat kebiasaan yang
sama dengan yang dilakukan orang-orang berpengamh pada zaman Dinasti
Fujiwara di negara kita. Tidak ada penjelasan yang tepat untuk
mengungkapkan kebiasaan tersebut selain sebagai pengetahuan
orang-orang yang berusaha memasuki era masyarakat beradab namun
masih jauh dari peradaban.
Perjalanan ke Kou Sei sangat jauh.
Tetapi, pertengahan musim semi adalah saat yang sangat tepat untuk
melakukan perjalanan. Kou Shin, jenderal besar penjaga gerbang
istana kaisar, dengan membawa pasukan berkuda dalam jumlah yang
sangat banyak, berangkat dari gerbang istana di Tou Kei. Setelah
berhari-hari melakukan perjalanan, akhirnya dia tiba di istana
Provinsi Shin Shu di Kou Sei.
"la utusan langsung kaisar. Karena
itu, jangan sampai ada sedikit pun kesalahan."
Demikianlah, semua
perwira tinggi di provinsi, pejabat besar-kecil, tentara hingga
rakyat jelata, laki-laki, perempuan, dan para pendeta berderet di
jalan untuk menyambut Jenderal Besar Kou.
Tidak perlu dikatakan
lagi bagaimana meriahnya pesta penyambutan yang diadakan pada malam
harinya. Tak berbeda dengan kebiasaan sekarang, para pejabat daerah
pada zaman itu pun selalu menyanjung dan menjilat tamu agung,
pejabat dari pusat. Apalagi karena utusan yang datang ini membawa
surat perintah langsung dari kaisar, semua pejabat di provinsi
mencurahkan seluruh perhatian untuk memberi kesan
sebaik-baiknya.
Tetapi, Kou Shin memang seorang tentara. Dia
bebas, lugas, dan lapang dada, tidak memedulikan hal-hal sepele.
Selain itu, karena dia sudah terbiasa dengan makanan-makanan enak di
istana, dan sudah bosan dengan hidangan yang disajikan dalam piring
perak dan cangkir batu giok di kota-kota, maka penyambutan yang
seperti apa pun tidak akan membuat lidah maupun matanya
terkaget-kaget..
"Sudahlah! Sudahlah! Simpan dulu gelasnya.
Jangan terus-menerus menyuruhku minum arak. Kedatanganku kali ini
mengemban tugas yang sangat penting dari kaisar. Tentunya kalian
juga sudah membaca surat perintah yang kukirim sebelum kedatanganku
ini."
"Ya. Kami sudah membacanya dengan saksama," kata pejabat
provinsi tiba-tiba menunjukkan kekhid-matannya. "Dan karena inti
keinginan Paduka Yang Mulia Kaisar sudah kami sampaikan ke Kuil Jou
Sei di Gunung Ryu Kou di pedalaman daerah kami, maka tentunya mereka
sudah menunggu kedatangan Paduka dengan persiapan yang
sebaik-baiknya."
"Baguslah kalau begitu. Malam ini kita menjaga
diri agar jangan sampai berbuat yang tidak baik, dan besok pagi kita
mandi sebersih-bersihnya, lalu pergi menuju Kuil Jou Sei. Kalian
juga, cepatlah tinggalkan tempat ini."
Eajar keesokan harinya,
Kou berangkat meninggalkan penginapan menuju bukit tinggi di Sei Nan
yang jaraknya dari gerbang provinsi mencapai empat puluh kilometer.
Dengan diantar beberapa pemandu yang merupakan pejabat provinsi
serta seratus bawahannya yang membawa bendera utusan kaisar, dia
terayun-ayun di dalam tandu.
Wilayah
Gunung Ryu Kou
merupakan pusat kepercayaan agama Tao di seluruh negeri
sejak dahulu kala.
Sejak zaman To, kepercayaan setiap dinasti
terhadap agama sangatlah tinggi dan lukisannya yang dibuat kaisar
disembah oleh para penghuni istana merah. Di atds lembah dan ngarai
terlihat jembatan batu yang sudah berlumut, dan nun jauh di sebelah
barisan gunung membayang dalam kabut tipis pagoda tiga belas
tingkat. Pondok serta bangunan tempat tinggal para penganut agama
Tao ini menyebar di lembah dan lereng gunung, lalu bunga putih dan
kuning yang berada di antara pepohonan cemara serta ek boleh
dikatakan sebagai halaman bermain kera dan bangau.
Had itu,
tiba-tiba saja dari seluruh penjuru gunung terdengar bunyi genta
yang berdentang-dentang. Tempat suci ini seolah-olah baru terjaga
dari tidur. Embun di pepohonan berjatuhan, burung bangau ramai
mengepakkan sayap, semua satwa yang ada di gunung itu serempak
mengeluarkan suara penuh kekagctan. Kehebohan ternyata berasal dari
barisan panjang mulai dari Kuil Jo Sei sampai ke jembatan batu
besar, terdiri atas pendeta kepala kuil, penganut Tao, pendeta muda,
serta pengawal kuil. Mereka membawa dupa yang menyala, membunyikan
klenengan dan tambur kecil, hendak menyambut kedatangan Jenderal
Kou, utusan kaisar yang datang ke kuil.
"Maaf menyusahkan," kata
Jenderal Kou sambil mengangguk memberi hormat, lalu masuk ke
bangunan pendeta.
Setelah menghirup secangkir teh yang rasanya
tidak biasa, dia segera menyampaikan tujuan kedatangannya kepada
pendeta kepala.
"Pada upacara peralihan musim beberapa hari yang
lalu, kaisar kita Kaisar Jin Sou sangat prihatin ketika mendengar
bahwa penyakit yang sangat jahat sedang mewabah di masyarakat. Maka
pada hari itu juga, Yang Mulia mengeluarkan perintah untuk
mendirikan gubuk-gubuk pengobatan serta pemberian bubur di setiap
sudut jalan. Juga memerintahkan saya, Kou Shin, pergi ke tempat yang
jauh seperti sekarang ini, untuk meminta Pendeta Kyo Sei memanjatkan
doa menolak penyakit tersebut. Saya kira, tujuan saya datang ke sini
sudah Anda ketahui."
"Ya, kami sudah mengetahuinya."
"Saya
membawa surat permintaan dari Kaisar. Suratnya ada dalam bungkusan
sutra ini dan saya jaga dengan hati-hati. Untuk itu, saya ingin
segera bertemu pendeta besar, Pendeta Kyo Sei, untuk menyampaikan
surat ini. Di mana Bapak Pendeta sekarang berada?"
"Bapak Pendeta
sedang tidak ada. Beliau berada jauh di puncak pedalaman Gunung Ryu
Kou untuk menghindari urusan duniawi. Beliau celah membangun gubuk
sebagai cempat menempa diri di bidang keagamaan dan menghindari
memikirkan hal-hal lain." "Jadi, kalau tidak ke sana, saya tidak
bisa bertemu dengannya?"
"Selain itu, kalau mau menemui beliau,
hanya satu orang utusan yang diizinkan, itu pun harus melakukan
penyucian diri terlebih dahulu"
"Sungguh merepotkan. Padahal ini
perintah
Kaisar."
"Sekalipun utusan kaisar, aturan di gunung
suci ini tidak bisa diubah. Jikalau Yang Mulia Paduka Kaisar Jin Sou
benar-benar ingin menghapuskan kesengsaraan rakyat dan mewakili
rakyat meminta dilaksanakannya doa besar-besaran, tentunya Paduka,
sebagai utusan kaisar, tidak akan kesulitan memenuhi persyaratan
itu." "Jangan berkata begitu. Memang siapa yang bilang tidak mau?
Saya hanya bilang itu merepotkan. Baiklah, besok seharian saya akan
menyucikan diri, dan saya sendiri yang akan pergi ke tempat suci
pendeta."
Jendcral Kou sangat bersemangat. Pagi itu, dia membasuh
diri sebersih-bersihnya, memakai baju suci dari katun putih,
kemudian menggendong bungkusan kain kuning dengan menyimpulkan
talinya melewati pundak di dada. Dalam bungkusan itu terdapat surat
permohonan, tulisan tangan Kaisar. Dia menggenggam tempat pembakaran
dupa dari perak yang ada pegangannya dengan sebelah tangan, dan
setiap kali menyalakan dupa di dalamnya, dia melantunkan doa suci
untuk naik gunung. Dia tidak membawa satu pucuk pun senjata, dan
hanya menggancungkan diri pada sebilah tongkat dari kayu. Dengan
diantar pandangan para pemeluk agama Tao, dia berangkat dari Kuil
Jou Sei.
Namun, kendati merupakan pahlawan penjaga gerbang
istana, Jenderal Kou tetap merasa kesulitan untuk mencapai pedalaman
gunung. Malam pertama, dia tidur di lembah ngarai di bawah rimbunnya
pepohonan rimba belantara, malam kedua, dia berbaring di puncak
gunung tinggi yang tajam bagaikan mata kapak. Walaupun begitu,
puncak-puncak gunung yang akan dijelangnya masih tampak
terjal.
Kemudian, ketika dia turun gunung, yang terdengar hanya
bunyi gemerecik air sungai. Dia tidak tahu lagi apakah saat itu
malam hari atau siang. Selama berjalan, dia terus-menerus diganggu
kera-kera, tumitnya pun dijilati serigala, dan tidak ada cara lain
baginya selain terus berjalan dengan mencari-cari celah di antara
akar jalar yang menggantung sebagai penunjuk jalan. Akhirnya, ketika
dia merasa sudah keluar dari rimba belantara, ternyata di hadapannya
hanya tampak tebing yang menjulang tinggi. Ketika
memandangsekeliling, dia terempas kepulan uap air dari air terjun,
dan apabila dia berusaha merayap menaiki tebing, dia harus
menghadapi batu dan cadas besar yang berlapis-lapis.
Tidak hanya
itu, dia juga berpapasan dengan dua ekor harimau, jantan serta
betina, dan hampir saja menjadi mangsa mereka. Dia juga melihat
seekor ular raksasa yang tidak mungkin ada di dunia ini, dan hanya
dengan melihat sisiknya saja jantungnya hampir copot, dan pada
saat-saat seperti itu, dia pontang-panting menyelamatkan diri. Entah
sejak kapan, baik tongkat maupun tempat pembakaran dupa sudah tidak
ada lagi di tangannya. Dengan menyeret kaki, dia terus berjalan
untuk menyelamatkan nyawa.
"Wall, ada suara suling logam?"
gumamnya.
Setelah beberapa hari perjalanan, untuk pertama kalinya
dia mencium bau manusia.
"Paman mau ke mana?"
Si anak
gembalalah yang lebih dulu menyapa.
Anak itu duduk menyamping di
atas punggung sapi, dan di tangannya tergenggam suling logam yang
bunyinya terdengar sedari tadi.
"Hei, Nak. Kau sendiri dari
mana?"
"Saya dari kuil tengah gunung di sana."
"Kuil tengah
gunung?"
"Kuil Jou Sei tempat Paman menginap itu adalah kuil kaki
gunung, dan kuil yang ada di sini adalah kuil tengah gunung, dan
yang ada di puncak, yang masih jauh itu disebut kuil puncak. Tapi,
meskipun Paman bersusah payah naik ke sana, saya kira upaya Paman
akan sia-sia saja."
"Mengapa?"
"Soalnya Pendeta Besar sedang
tidak ada di tempat."
"Apa? Tidak ada? Tidak
mungkin..."
"Memang tidak ada. Saya tidak bohong. Sepuluh hari
yang lalu, beliau pergi naik bangau ke ibukota. Karena masyarakat
sedang dijangkiti penyakit yang sangat jahat, beliau diminta Kaisar
untuk melakukan doa. Mungkin beliau pikir repot kalau orang datang
ke sini, jadi beliau sendiri terbang lebih dulu naik bangau ke Kota
Tou Kei di Kai Hou."
"Dari mana kau tahu?"
"Tahu saja.
Begini-begini, saya seorang pengawal yang mengabdi kepada Pendeta
Besar, berbeda dengan anak-anak penyabit rumput di kampung-kampung
sana."
"Oh, begitu. Kalau begitu, tolong antar aku ke sana. Aku
mohon."
"Paman tidak percaya, ya? Padahal sudah saya bilang
beliau tidak ada di tempat. Kalau tidak cepat-cepat kembali, Paman
bisa dimangsa harimau atau ular besar. Cepatlah pulang,
Paman!"
Anak gembala itu tersenyum penuh iba, lalu pergi tanpa
menoleh lagi.
Dengan setengah percaya setengah tidak, Jenderal
Kou kembali melanjutkan perjalanan. Lalu dia berpikir, "Betul juga,
tempat ini masih sekitar tujuh puluh atau delapan puluh persen dari
seluruh ketinggian Gunung Ryu Kou." Dan tak lama kemudian, dengan
berpusat pada pagoda tua yang menjulang tinggi dengan megahnya,
tampaklah kumpulan kuil.
Setelah dengan susah payah menyeret
kakinya, sampai juga dia di tempat itu.
"Apakah Anda Jenderal
Kou?" Seorang pendeta muda bertubuh bak raksasa dan seorang lelaki
tua, guru para pendeta yang tinggal kulit dan tulang, muncul
menyambutnya di pintu gerbang. Mereka memberikan penghormatan yang
sangat khidmat lalu merawatnya.
Kou sangat bersyukur melihat
mereka, namun perasaan segarnya kembali sirna. Sang guru para
pendeta mengatakan hal yang sama dengan si anak gembala
cadi.
"Sayang sekali. Kami juga baru saja mengetahuinya. Pendeta
Kyo Sei yang tinggal di puncak gunung sekarang sedang tidak ada di
tempat." "Apa benar begitu?"
"Tidak usah mempersoalkan benar atau
tidaknya. Anda sendiri di tengah perjalanan tidak melihat
sesuatu?"
"Saya bertemu dengan anak gembala yang naik
sapi."
"Waduh... waduh! Sayang sekali."
"Apa? Mengapa
begitu?"
"Karena pastinya anak gembala itu penjelmaan Pendeta
Besar sendiri."
"Astaga! Benarkah?"
"Mungkin karena beliau
merasa kasihan membiarkan Anda, utusan kaisar, bersusah payah tanpa
akan mendapat hasil, maka beliau terbang kembali sebentar dari
ibukota, dan menyarankan kepada Anda agar segera pulang."
"Oh,
begitu. Saya sama sekali tidak menyadarinya."
"Tapi sekarang Anda
tidak usah khawatir. Jika sudah ada petunjuk seperti itu, pada saat
Jenderal pulang ke ibukota, permohonan dari Kaisar pasti sudah
terpenuhi dengan kesaktian Pendeta Besar."
Karena merasa
terhibur, malam itu Jenderal Kou tidur dengan sangat lelap di salah
satu ruang kuil tua yang diselimuti kabut tebal.
"Kalau sudah
begini, lebih baik kuminta surat permohonan ini disimpan di ruang
utama Kuil Jou Sei, dan aku akan cepat-cepat pulang ke
ibukota.'
Setelah mengambil keputusan itu, Kou menyampai-kannya
kepada guru pendeta. Sang guru pendeta segera memerintah sepuluh
orang muridnya.
"Antarlah Yang Mulia Utusan ke Kuil Jou Sei," dia
berkata.
Dengan dikelilingi sepuluh pendeta, Kou pergi meninggalr
kan gerbang yang terbuat dari batu. Mereka hanya perlu setengah hari
untuk mencapai kuil tersebut. Mengapa bisa begini, pikirnya. Pada
saat pergi, dia memerlukan waktu bcrhari-hari dan bermalam-malam
melewati tempat-tempat menyeramkan, diserang pula oleh harimau dan
ular besar. Meskipun perjalanan ini menuruni gunung, rasanya begitu
mudah seolah-olah berjalan di atas padang datar. Dalam sekejap mata,
dia tiba di Kuil San Sei, yang atap pagodanya tampak diselimuti
kabut.
Keesokan harinya, surat tersebut dimasukkan ke kotak
khusus untuk surat-surat dari Kaisar di tempat yang sangat rahasia
di Kuil Jou Sei, dan upacara pun usai. Malam harinya dimulailah
pesta besar di seluruh wilayah pegunungan. Pesta yang diadakan para
pendeta dengan hidangan berupa makanan tanpa daging. Dengan
demikian, apabila perjalanan turun gunung lancar, maka tidak akan
ada masalah lagi.
Namun, sudah menjadi kebiasaan dan sifat
seorang tentara yang apabila sudah minurn arak, muncullah sifat
aslinya. Mungkin kalau turun gunung begitu saja, dia merasa
reputasinya sebagai tentara akan rusak. Tadinya dia bersikap sangat
santun, tetapi ketika mendengar obrolan di sekitar, tiba-tiba dia
berkata, "Apa? Ruang Ma Ya yang barusan kaubilang itu ada di kuil
mana?"
"Oh. Anda mendengar. Ya, di salah satu ruang dalam di Kuil
San Sei juga."
"Hmm. Luasnya wilayah suci ini tidak bisa tuntas
dilihat dengan hanya sekejap. Karena tidak mungkin lagi datang ke
gunung ini, maka besok aku ingin melihat-lihat seluruh kuil yang ada
di daerah sini."
"Baik. Silakan Paduka melihat-lihat sepuas hati
Paduka."
Keesokan harinya, pengurus kuil dan para pendeta
memandunya berkeliling. Mereka menunjukkan bangunan-bangunan yang
terkenal mulai dari zaman To, Go, hingga So di seluruh tempat itu,
dan terakhir mereka berjalan di koridor kuil mulai dari Ruang Ku
Ten, Shi Bi, sampai Hok Kyoku.
"Sebelah kanan adalah Ruang Tai
Itsu, dan sebelah kiri Ruang Ma Ya, yang tadi malam kami sebut,"
kata pengurus kuil.
Sinar matahari hampir tidak menyoroti
ruang-ruang di sekeliling mereka. Suasananya sangat sunyi senyap dan
yang terdengar hanya gema cicit burung. Angin dingin berembus
menusuk hingga membuat bulu kuduk berdiri.
"Oh, tempat ini sudah
memasuki wilayah paling dalam dari Kuil Jou Sei?"
"Betul. Ini
merupakan kuil tertua yang letaknya paling dalam di wilayah
ini."
"Di sana ada dinding batu yang diikat dengan rantai besi
dan dipasangi pula kunci gembok yang sangat besar. Ruangan apa
itu?"
"Itu disebut gerbang yang tak pernah terbuka.
"Gerbang
yang tak pernah terbuka," ulang Kou sambil berjalan mendekat.
Tampaknya dia merasakan sesuatu yang menolaknya. Ketika menengadah,
dia melihat dinding itu berupa tebing yang sangat tinggi, dan
ruangan tersebut sepertinya dikeruk langsung dari sana. Ketika dia
berjalan mendekat, pada pilar batu di sampingnya terukir tiga kata
yang berbunyi "Ruang Pengekangan Iblis."
"Hei! Pengurus Kuil!
Coba buka ruang ini. Aku ingin melihat bagian dalamnya."
Membaca
"Pengekangan Iblis" dan mendengar "gerbang yang tak pernah terbuka"
segera memancing kesombongan Kou.
"Astaga! Janganlah bicara yang
bukan-bukan, Paduka."
Wajah pengurus kuil dan para pendeta
memucat. Mereka semua berkata, "Sebenarnya, semua iblis yang
ditempatkan dan dikekang di sini adalah iblis jahat dari seluruh
mayapada. Kalau kita menoleh lagi ke zaman lampau, iblis-iblis ini
mulai ditangkapi oleh Pendeta Negara Kai San Dou Gen pada zaman To
raya dan diteruskan oleh pendeta-pendeta besar daii zaman ke zaman.
Setiap iblis yang ditangkap, disekap dalam gua batu ini. Karena
itulah, kita tidak bisa seenaknya membukanya."
Kou tertawa
mendengarnya dan berkata, "Itu konyol."
"Tidak. Ini bukan sesuatu
yang bisa ditertawakan. Kalaulah misalnya gerbang ini terbuka akibat
suatu kesalahan, raja iblis di dalam gua pasti merasa mendapat
kesempatan yang sangat baik, dan dengan segera dia akan masuk ke
dunia manusia. Tidak hanya di jalan kehidupan, dia akan menyelinap
masuk sampai ke otak serta isi perut manusia. Konon bila sudah
begini, tidak mungkin lagi dikembalikan seperti semula. Selama
sembilan generasi di dunia keagamaan, dan saya juga sudah tiga puluh
tahun tinggal di gunung ini, belum pernah sekali pun saya melihat
orang memegang kunci gembok ini."
"Justru karena itu. Mendengar
semua itu, aku semakin ingin masuk ke sana."
"Itu permintaan yang
sangat keterlaluan."
"Apanya yang keterlaluan? Dengan
keberanianku, aku akan perlihatkan bahwa kalian terlalu percaya
takhayul. Apanya yang keterlaluan? Panggil tukang pandai besi dan
suruh dia memotong rantai itu."
"Kami mohon, Janganlah Paduka
lakukan itu."
"Tidak! Kalau kalian tetap tidak mau, aku akan
melaporkan ke istana bahwa di sini kalian menyembah setan, dan
laporan tersebut akan diumumkan ke seluruh penjuru negeri. Kalian
mau leher kalian dipancang di pinggir Sungai Jou Jou seperti untaian
tasbih?"
Jenderal Kou bukanlah orang yang akan menjilat ludah
kembali apabila kata-kata sudah keluar dari mulutnya. Sekarang dia
kembali seperti panglima yang selalu membentak-bentak anak buahnya
di tempat penjagaan di istana.
Pengurus kuil dan para pendeta
gemetar ketakutan, mereka kebingungan dan berkumpul di dekat pintu
gerbang terlarang. Dari palu besi memancar percikan api, dari kapak
batu tercium bau dan terdengar gema yang aneh. Terdengar gema yang
sangat menyeramkan, gema derit kiittkiittkiitt yang seolah-olah
meremas-remas isi perut. Kou yang dari tadi memerhatikan, segera
masuk lebih dahulu ke kegelapan yang sangat pekar begitu gerbang
terbuka.
"Bagaimana? Lihatlah! Tidak terjadi apa-apa, bukan?
Gerbang terlarang apanya? Apa yang dikekang? Hahaha. Ayo kalian
masuk semua!" katanya. Dia mengangkat kedua tangan ke langit-langit,
tampak sangat gembira.
Tetapi, karena suasana begitu gelap, dia
tak bisa melihat apa pun ketika mencoba melangkah. Dari dalam, dia
berteriak lagi. Dan suaranya memantul di dinding gua, sehingga satu
kata terdengar menjadi dua.
"Hei! Nyalakan obor. Semuanya,
nyalakan obor dan ikuti aku."
Karena bagian dalam gua berbentuk
seperti perut Buddha, meskipun gerbangnya kecil, semakin ke dalam
gua itu semakin lebar. Di dindingnya terukir gambar-gambar Buddha,
Dewi Welas Asih, dan dua belas dewa.
"Aduh!"
Kou terantuk batu
nisan.
Ketika obor mendekat, pancaran cahayanya menerangi
sebagian tempat saja seperti lapangan yang bulat. Gelap sekali.
Tanah terasa dingin karena beratus-ratus tahun tidak pernah sedikit
pun terjamah sinar matahari. Di sana, berdiri tegak sebuah papan
nisan setinggi dua meter, dan ulciran kura-kura besar dari batu yang
menjadi dudukannya, sejak ribuan tahun tidak pernah terjaga dari
tidur.
"Wah, ini tidak terbaca. Di bagian depan batu nisan
terukir tulisan yang sangat kecil, dan sepertinya huruf kuno. Ah, di
belakangnya ada tulisan yang lebih jelas. Coba kulihat."
Dibantu
cahaya obor, dengan santai dia memutar ke belakang papan nisan dan
mendekatkan wajah. Di situ tertulis empat kata dalam huruf besar.
Bunyinya adalah "BERTEMU KOU PINTU TERBUKA".
"Apa? Bertemu Kou
dan terbuka katanya? Kenapa? Kou itu aku. Apa artinya bertemu aku
dan terbuka?"
Entah apa yang dipikirkannya, dia meregangkan
seluruh tubuhnya dan menggeram keras. Lalu, "Robohkan nisan,
singkirkan kura-kura batunya, dan gali bagian dalamnya," katanya
dengan suara keras bagaikan orang gila.
Tentu saja semua orang
yang ada di situ berusaha keras menghentikan kemauannya yang
semena-mena. Dengan suara memelas dan sambil tetap bersujud, mereka
memohon, "Ini terlalu mengerikan. Kami mohon Paduka menunda dulu
keinginan Paduka ini."
"Diam!" bentak Kou. "Apanya yang
mengerikan? Coba kalian lihat kata-kata yang ada pada nisan itu. Di
situ tertulis 'Bertemu Kou Pintu Terbuka', bukan? Artinya, dewa-dewa
zaman dulu sudah meramalkan bahwa pada hari ini aku akan datang ke
sini. Yang tidak mau melakukan perintahku, akan kupenggal
lehernya."
Di bawah ancaman seperti itu, tidak ada yang bisa
melakukan apa pun selain melaksanakan perintah sambil
gemetaran.
Didorong bersama-sama, nisan pun roboh, kura-kura batu
yang sudah tertidur beratus-ratus tahun pun terbangun karena
diguncang-guncangkan. Setelah diangkat dan didorong dua atau tiga
kali, bagian perut kura-kura batu itu mulai terlihat, dan seiring
debum keras, dari balik kura-kura batu itu terdengar bunyi bergolak
bagaikan air mendidih di ketel raksasa.
"Astaga! Ini dalam
sekali."
Setelah kura-kura batu tersingkir, tampaklah lubang
menganga yang sangat besar. Kedalaman lubang itu tidak terukur,
mungkin akan mencapai dasar neraka. Mustah.il bisa dilihat.
Tiba-tiba, dari dasar bumi terdengar bunyi menggelegar bagaikan
beratus-ratus halilintar yang berbunyi serentak. Baik Jenderal Kou
maupun semua orang yang ada di sana menjerit sambil menutup telinga
dan berguling-guling di tanah. Apa yang terjadi?
Semuanya
berlangsung hanya dalam sekejap. Asap hitam pekat bak tinta cina
yang terasa dingin menusuk berdesir, melewati wajah semua orang yang
jatuh terbaring di sana.
Asap pekat tak berbau itu tidak
terlihat. Namun, nyata sekali asap itu menyembur dari dasar lubang.
Selanjutnya tidak salah kalau dikatakan terdengar langkah kaki,
suara tawa, serta keributan yang dibuat para iblis. Bunyi gemuruh
bumi tidak reda juga, meretakkan dinding di empat sisi serta membuat
gunung bergetar. Akibatnya, puncak-puncak gunung yang ada di Ryu Kou
bergemuruh, dan air diSungai Shin Koujoujoumeruah, seolah-olah
hendak menelan seluruh kaki gunung.
"Aaah, apa yang
terjadi?"
Kou terpontang-panting melarikan diri keluar dari gua
batu. Tidak. Mungkin lebih tepat dikatakan dia terlempar sampai ke
bawah jembatan kortdor Ruang Ma Ya, terpental akibat
sesuatu.
Ketika kesadarannya agak pulih, gua batu itu masih
bergoyang-goyang bergemuruh. Ketika itu tampaklah ekor segumpal awan
hitam naik ke udara, yang tiba-tiba berganti menjadi bersitan
kilatan merah yang menusuk mata. Lalu kilatan merah itu menghambur
menjadi bintang-bintang yang mengerikan. Bintang-bintang itu
kemudian terlihat terbang memencar ke seluruh langit dunia manusia.
Bagaikan oranglinglung, Kou berjalan sempoyongan sambil mengeluh
dan mengibas-ngibaskan tangan. Tentu saja, dialah penyebab
terjadinya keributan di gunung itu. Tetapi karena pelaku kerusuhan
adalah utusan kaisar, dia tidak mungkin dihukum. Dengan wajah muram,
kepala pendeta Kuil San Sei berkata kepada Jenderal Kou yang
pandangan matanya kosong.
"Tentunya Paduka akan segera pulang.
Selanjutnya, kami hanya bisa menunggu dan berharap agar Pendeta
Besar Kyo Sei segera kembali ke sini. Tetapi Paduka sungguh telah
bertindak buruk. Di dalam gua terlarang itu terikat 36 bintang
tenkou dan 72 bintang chisatsu, yang kalau dijumlahkan menjadi 108
bintang iblis. Dan Paduka, meskipun hanya dilandasi keingintahuan,
telah melanggar aturan di sini dan melepaskan 108 iblis itu ke dunia
manusia. Kalau sudah begini, keadaan apa pun yang akan Paduka lihat
nanti di dunia, tentunya akan membuat paduka juga merasa getir. Ya,
setidaknya mulai dari sekarang, Paduka sebaiknya mengabdikan diri
pada agama."
Agama Tao memandang bahwa alam semesta ini terdiri
atas dua unsur, yaitu alam jahat dan alam baik. Penganutnya
menyembah bintang-bintang seperti Ursa Major (tujuh bintang utata),
Taikyoku, dan 28 rasi bintang lainnya. Yang semuanya berkaitan erat
dengan perputaran kedamaian, kerusuhan, kebaikan, keburukan,
kebahagiaan, dan kesengsaraan di dunia manusia.
Karena itu,
mereka menyembah bintang-bintang kebaikan yang ada di alam semesta,
dan memberangus bintang-bintang kejahatan dengan mantra sakti. Sejak
zaman dulu, pendeta-pendeta di Kuil Jou Sei di Gunung Ryu Kou
melakukan semua itu, dan terus berusaha keras menjaga kedamaian di
dunia manusia. Tetapi hari ini, tindakan Kou telah membuat 108
bintang jahat berteriak kegirangan dan mengembalikan mereka ke dunia
manusia.
"Sungguh sangat mengerikan."
Pada hari kepulangannya
Jenderal Kou berjalan sambil menundukkan kepala, sementara kepala
kuil terus-menerus mengeluh sambil meramal apa yang akan terjadi di
masa yang akan datang.
"Yang dimaksud dengan 108 bintang jahat
itu adalah bintang pengacau. Di alam semesta yang sudah berumur
jutaan tahun ini, beratus juta bintang dengan teratur mengelilingi
matahari, dan tidak pernah ada satu pun bintang yang mencoba
melanggar aturan itu. Tetapi bintang jahat yang disebut pengacau ini
merupakan pengecualian. Mereka tidak mengikuti aturan, dan dengan
seenaknya ikut berputar-putar di sekitar matahari, kadang muncul
kadang tidak. Kondisi di masyarakat, di dunia manusia, juga seperti
itu. Dan Paduka, dengan semaunya telah mengembalikan mereka ke alam
yang tidak beraturan itu. Memang benar nafsu manusia memiliki nasib
yang tidak ada ujungnya. Silakan Paduka pikirkan. Karena merasa jera
dengan peperangan yang terus berlangsung selama lima zaman, semua
orang sangat mengharapkan kedamaian. Tetapi baru beberapa puluh
tahun memasuki zaman Dinasti So ini, tatkala kehidupan berjalan
damai selama beberapa waktu, semua kelihatannya sudah bosan dengan
kedamaian tersebut. Bukankah demikian kondisi masyarakat sekarang?
Mungkin ini sifat manusia yang tidak mungkin diperbaiki. Dan karena
bosan akan kedamaian, maka 108 bintang jahat dilepaskan lagi dari
kerangkengnya. Kini dunia akan dipenuhi lagi dengan kekacauan yang
tidak ada batasnya, keadaan yang betul-betul tidak ingin
sayalihat... Ah.Tamatlah sudah, sekeras apa pun saya berkeluh kesah,
tidak mungkin bisa tertanggulangi lagi."
Mendengar itu, bulu
kuduk Kou yang pemberani meremang, dan beberapa kali dia merasa
ingin menyumbat telinga. Dia melipat bendera utusan kaisar, lalu
seolah-olah melarikan diri, dia tergesa-gesa pulang. Ketika akhirnya
sampai di Istana Ben Ryo di ibukota Tou Kei, dia bersujud di hadapan
Kaisar Jin Sou.
Kaisar menyambut kedatangannya.
"Oh, Kou Shin.
Tentunya kau kelelahan setelah nnelakukan perjalanan jauh. Tetapi
Pendeta Kyo Sei dari Gunung Ryu Kou tampaknya sudah mengetahui
permohonanku dan dia datang dengan naik burung bangau ke ibukota.
Kemudian dia melakukan doa selama tujuh hari tujuh malam, dan
berkatnya penyakit yang mewabah di masyarakat mereda. Kondisi kota
pun mulai kembali ceria. Kemujaraban upaya yang dilakukan pendeta
itu sudah terlihat lebih cepat daripada waktu kepulanganmu ke sini.
Kau tidak usah khawatir lagi."
Tanpa diduga, demikianlah
kata-kata yang keluar dari mulut Kaisar.
Kou berkeringat dingin,
tetapi melihat wajah Kaisar yang tampak tulus, dia tidak bisa
berprasangka bahwa Kaisar berbohong. Sedikit pun dia tidak
mengungkapkan bahwa dirinya telah melanggar larangan di Gunung Ryu
Kou. Lalu setelah dia kembali ke istananya, sendirian dia menutup
diri dalam ketakutan hingga akhir hayatnya.
Untunglah semasa
hidupnya, tidak terjadi satu pun peristiwa yang menghebohkan.
Masyarakat sudah terbiasa dengan kehidupan yang aman dan tenteram,
dan pada saat itu pemegang tampuk kekaisaran pun telah berganti
empat periode, dari Jin Sou ke Ei Sou, dari Ei Sou ke Shin Sou, dan
dari Shin Sou ke Tes Sou. Sejak tahun 3 Ka Yuu, waktu telah berlalu
tiga puluh tahun.
Di sini, 108 bintang jahat yang telah terlepas
dari kekangan turun ke dunia manusia, satu demi satu bintang-bintang
itu raenjelma menjadi manusia dan membentuk benteng Ryou Zan Paku,
tempat berkumpulnya 108 jawara yang hampir menghancurkan Dinasti
Sou. Bermula dari cerita di ataslah, Sui Kou Den, yang merupakan
legenda Cina yang berlandaskan konsep kontinental ini muiai
diceritakan dari zaman ke zaman.
Jika dibandingkan dengan
masa-masa di dalam sejarah Jepang, zaman tersebut merupakan zaman
saat Taira Tadamori, Kiyomori yang merupakan kesatria-kesatria yang
tidak bernasib baik di bawah Kaisar Toba dan Sutoku mulai membuka
zaman Keluarga Taira.
Sejak pengiriman delegasi Jepang ke Cina,
sudah terjalin hubungan di antara kedua negara baik dalam bidang
kebudayaan, kesusastraan, serta antarmanusianya sendiri. Dengan kata
lain, Jepang dan Cina seolah-olah dihubungkan dengan seutas sungai
kecil. Lalu meskipun Cina merupakan daratan yang tidak jauh
terpisah, kesamaan nasib berdasarkan zamannya mungkin bukan sesuatu
yang terjadi secara kebetulan.
Masa kejayaan Kaisar Tes Sou
berlangsung selama lima tahun.
Pada masa kedinastiannya, suasana
tidak bisa di-katakan selalu aman dan tenteram. Di masa itu terjadi
konspirasi di antara para pejabat, pengusiran permaisuri, dan
berbagai peristiwa lain yang seolah menunjukkan kedinastian yang
akan melemah, bagaikan membusuknya bunga-bunga mekar tua yang akan
berguguran ke bumi. Kondisi pembusukan pada masa akhir tersebut,
terlihat pula pada kebiasaan anak-anak di seluruh ibukota Ben Ryou
Tou Kei.
Namun, rakyat jelata tetap menjalani kehidupan dengan
aman dan tenteram. Bagi mereka, berbagai kejadian di istana tidak
semenarik pertengkaran suami-istri di rumah tetangga. Tetapi pada
hari itu, tampaknya di arah yang mereka tuju dengan tergesa-gesa itu
ada peristiwa yang sangat menghebohkan.
"Apa? Seratus kali
cambuk?"
"Katanya begitu. Penjahat yang akan dihukum cambuk dan
dikirim ke tempat pengasingan itu sekarang sedang diseret para
polisi."
Di gerbang kota, orang-orang berkerumun penuh
sesak.
Di sana terlihat pemuda berpenampilan ala berandal yang
berusia sekitar 25 atau 26 tahun, sedang dipegangi oleh para polisi
dan dipukuli dengan batang bambu hijau di bawah hitungan
petugas.
"Hei! Bukankah itu Kou Kyu?"
"Wah! betul! Tak salah
lagi, orang itu Kou Kyu. Kasihan sekali. Akhirnya Kou harus membayar
segala pcrbuatannya."
Kou kyu masih muda. tctapi tampaknya tidak
seorang pun yang tidak mengenalnya.
Dia tidak memiliki pekerjaan
tetap. Tetapi dia anak laki-laki pedagang turun-temurun di Tou Kei
ini, yang kerjanya hanya bersenang-senang. Marganya, Kou, dan
namanya Ji Rou. Seperti orangtuanya, yang sudah kehilangan kekayaan
keluarga, dia piawai dalam alat musik tradisional. Jika dia
bernyanyi suaranya terdengar merdu. Dia juga terampil dalam
kaligrafi, ilmu tombak, tongkat, naik kuda, dan banyak lagi.
Terutama dia sangat terkenal dengan kecakapannya "bermain
bola."
Kegiatannya yang mungkin bisa disebut pekerjaan adalah
sebagai mucikari di kawasan rumah bordil. Dia sangat suka berkelahi,
namun di sisi lain, dia berwajah tampan. Tentu saja, dia juga sudah
banyak melakukan berbagai macam kejahatan. Karena kejahatannya
terbongkar, akhirnya hari ini dia mendapatkan hukuman.
Pada saat
petugas pencambuk yang melecut punggung Kou sampai pada hitungan
keseratus, dan dengan perasaan lega akan mundur, tiba-tiba:
"Hei!
Tunggu! Kenapa kalian mengurangi hitungan! Ini belum seratus kali!
Jangan-jangan kalian semua menerima uang suap dari Kou!"
Di
antara penonton yung menyaksikan pelaksanaan hukuman itu ada orang
yang berani menegur petugas. Orang itu perwira bernama Ou Shou,
pengawal kaisar, guru ilmu tongkat yang datang ke tempat itu sebagai
saksi.
Bagi para petugas, menerima uang suap merupakan sesuatu
yang lumrah, dan mereka menganggap uang suap adalah penghasilan
resmi, sama sekali bukan kejahatan. Tetapi ketika dikata-katai
menerima uang suap secara langsung di tengah siang hari belong, tak
urung mereka gugup juga. Mereka mencoba berdalih, tetapi karena
lawan adalah orang yang lebih tinggi kedudukannya, Guru Ou dari
benteng kekaisaran, maka aparat kepolisian tidak bisa
berkutik.
"Baiklah. Kami akan memukulinya sampai Guru Ou merasa
cukup. Silakan dihitung."
Akhirnya, punggung Kou mendapatkan
lecutan bambu hijau lebih dari empat puluh kali lagi.
"Cukup!
Lepaskan dia!"
Setelah Ou Shou berkata seperti itu, barulah tali
yang mengikat tubuh Kou Kyu dilepaskan, dan pemuda itu bangkit
terhuyung-huyung.
Jika sudah diusir dari gerbang istana, dia akan
terbuang dari empat kabupaten, dan tidak akan bisa lagi menginjakkan
kaki di ibukota. Sambil mengelus-elus tubuhnya yang penuh bilur
bekas pukulan cambuk bambu, Kou menoleh ke arah sosok Ou Shou dengan
tatapan penuh kebencian.
Dasar tukang main tongkat tolol! Awas
saja nanti. Wujudmu di masa lalu tentunya mengena] siapa Kou ini!
hardiknya dalam hati.
Demikianlah, sendirian dia pergi menuju
kota perdagangan Rin Wai di Wai Sei (Provinsi An Ki). Selama sekitar
tiga hingga empat tahun, dia tinggal di tempat Ryu Sei Ken, pemuka
di daerah tersebut.
Pada saat itu, turunlah perintah dari Kaisar
untuk memberikan amnesti kepada paia tahanan.
Karena hanya
melakukan kejahatan kecil, Kou Kyu mendapatkan amnesti ini. Hal ini
membuatnya ingin segera kembali ke Tou Kei. Tetapi, meskipun kembali
ke Tou Kei, dia tidak mungkin bisa segera mendapatkan pekerjaan.
Oleh karena itu, dia merundingkannya dengan Ryu, bertanya apa yang
harus dia perbuat.
Ryu menyarankan, "Kalau begitu, aku akan
membuat surat untuk kerabatku Tou. Bawalah surat itu dan pulanglah
ke Tou Kei."
Setelah berselang empat tahun, Kou kembali lagi ke
sarang lamanya. Sambil membawa surat itu, dia berkeliling mencari
alamat orang yang katanya tinggal di dekat Jembatan Kin Ryou di
lingkungan istana.
"Tampaknya di sinilah rumah Tou Shou Shi
itu."
Di hadapannya terlihat toko obat dengan bangunan
megah.
Dia menemui Tou, si empunya rumah, dan menunjukkan surat
dan Ryu. Tou, tanpa menanyakan asal-usul dirinya, langsung
mengerti.
"Oh begitu, karena sudah empat tahun di Rin Wai, tentu
saja tidak aneh kalau kau lupa situasi tempat kelahiran sendiri di
wilayah istana ini. Karena kami pedagang, kami sering pula
mengunjungi rumah para pejabat. Nanti kucoba carikan lowongan
pekerjaan untukmu. Sekarang, silakan istirahat dulu."
Kou
berterima kasih atas kebaikan Tou, dan dia menginap di rumahnya
selama setengah bulan. Pada saat itu, Tou mungkin melihat bakat
serta berbagai keterampilan yang dimiliki Kou, karena suatu had dia
menulis surat rekomendasi.
"Sayang sekali kalau terus-menerus
menganggur. Bagaimana kalau kaubawa surat ini ke tempat teman
akrabku, seorang cendekiawan?"
"Wah, aku sangat berterima kasih.
Kalau aku bisa bekerja, itu sudah cukup. Aku tidak akan minta
pekerjaan yang aneh-aneh."
Akhirnya Kou tiba di gerbang rumah
Cendekiawan Shou So.
Tetapi, ketika melihat Kou, sang cendekiawan
mengernyid Ucapannya sangat tidak bisa diandalkan, tetapi hari
berikutnya, Kou tetap berkunjung ke rumah Ou Shin Kei. Begitu
berdiri di depan gerbang yang sangat megah itu, dia yang seiama ini
tidak pedulian terperangah juga. Tempat ini istana keluarga
kerajaan. Kata orang, Shin Kei adalah menantu kaisar, yang di
masyarakat dikenal sebagai "Keluarga istana Jenderal Ou." "Wah,
apa yang harus kulakukan? Cendekiawan Shou So dengan lihai
mengusirku untuk tetap menjaga nama baiknya. Oia menyuruhku ke
istana kekaisaran seperti ini, yang tidak mungkin didekati...
Sudahlah! Kucoba saja. Segala sesuatu harus dicoba dulu." Setelah
membulatkan keberanian, Kou berjalan masuk melewati gerbang, dan
dengan sengaja dia menunggu untuk ditegur. Segera saja dia ditangka
penjaga, dan begitu pengawal istana muncul, dia menyerahkan surat
rekomendasi dari cendekiawan Shou So. Dengan tenang dia berkata,
"Saya bukan orang jahat. Saya datang ke sini untuk mencari
pekerjaan. Dan untuk masalah pekerjaan, saya memiliki kepercayaan
diri yang cukup tinggi. Dipekerjakan atau tidak, bukan masalah,
tetapi saya ingin diuji terlebih dulu. Saya mohon agar pemintaan ini
disampaikan kepada Paduka Yang Mulia." Pada saat itu, sang
Jenderal sedang berada di ruangan dalam, melewatkan hari di musim
semi ini tanpa melakukan apa pun, hanya terkantuk-kantuk. Ini
pertanda baik bagi Kou Kyu. Begitu mendengar pesan dan tanpa
semangat melihat surat rekomendasi dari Cendekiawan Shou So, Shin
Kei berkata, "Hmm. Tampaknya pelajar yang cukup menarik. Apa? Dia
tak kelihatan sebagai pelajar? Ya, apa pun tidak masalah. Untuk
menghilangkan kesuntukan, aku akan bertemu dengannya, dan akan
mengujinya. Biar aku sendiri yang langsung menemuinya. Bawa dia ke
sini." Shin Kei bangkit dari tempat duduknya yang panjang dan
indah, lalu membetulkan ikatan
mahkotanya.
Nasib baik tukang main bola, Naik ke
Langit Sembilan dan bertemi Ki Sou, Kaisar yang Anggun
DI dunia
ini terdapat dua jenis jenius. Jenis pertama adalah jenius yang
menyebalkan, jenis kedua adalah jenius yang jujur dan tidak banyak
bicara.
Kou Kyu tentunya tahu sikap seperti apa yang harus
diambilnya. Pada saat mendapat pertanyaan-pertanyaan langsung dari
sang Jenderal Ou, dia tidak segera memamerkan penge-tahuannya. Dia
berusaha memberikan kesan kepada bangsawan yang baru ditemuinya
bahwa dirinya seolah-olah reraaja baik yang selalu bersikap raawas
diri seperti pemula.
"Betul juga. Memang tepat rekomendasi dari
Cendekiawan Shou So. Pelajar seperti ini tidak akan memalukan jika
dijadikan salah seorang pendampingku di istana."
Begitu melihat
Kou, Jenderal Ou tampak langsung menyukainya. Lalu dia menebarkan
pandangan ke seluruh jajaran perwira pengikutnya.
"Bagaimana
menurut kalian? Tidakkah pemuda ini memiliki penampilan yang cukup
bagus?" katanya memberikan penilaian. Dengan segera, dia memberi
perintah agar Kou diterima bekerja di situ.
Demikianlah, Kou Kyu
yang tidak lebih dari seorang gelandangan kota akhirnya menjadi
pegawai di istana Ou Shin Kei, menantu kaisar.
Untuk nasib baik
yang didapat Kou Kyu ini, tidak ada ungkapan yang lebih tepat selain
pepatah "bagai mendapat durian runtuh." Banyak orang yang tidak
dapat memanfaatkan nasib baik yang didapat untuk kehidupan. Namun
untuk Kou Kyu hal ini tidak berlaku, dia dapat menjalani kehidupan
dengan nasib baiknya itu seperti ikan mendapatkan air. Kecemerlangan
otaknya semakin lama semakin bersinar. Lalu akhirnya dengan beragam
keterampilan yang dimilikinya, dia menjadi salah seorang pejabat
kesayangan yang harus selalu berada di samping Jenderal Ou. Sejak
saat itu, "Kyu" namanya, diubah dengan huruflain yang berbunyi sama
namun artinya berbeda.
Pada suatu tahun tertentu, Ou si menantu
kaisar merayakan ulang tahun. Di depan gerbang istananya tampak
berderet kereta yang sangat indah. Di balairung tingkat atas,
berjajar para pemain musik serta gadis penyanyi, sementara di
nampan-nampan perak di meja terhidang berbagai makanan mewah. Para
bangsawan istana serta pemuka masyarakat dengan pakaian indah
mereka, tampak seolah sedang berlomba penampilan. Salah satu dari
mereka adalah pangeran yang sangat mencolok penampilannya, entah
dari golongan mana. Dia dielu-elukan oleh orang-orang yang berada di
depan dengan panggilan "Pangeran dari Istana Sembilan." Setiap kali
mendapatkan tuangan arak terkenal dari Shi Fu ke cangkir bening
kecokelatan yang dipegangnya, baik dari keluarga Jenderal Ou, maupun
dari tamu laki-laki dan perempuan kehormatan, dengan penuh hormat,
dia menerimanya tanpa canggung.
Selain itu, ketampanan sang
pangeran bisa membuat bunga dalam pot emas dan pot batu giok
kehilangan warna dan keharumannya. Itulah sebabnya, setiap selesai
menari, para penari dari sanggar seni, dengan kostum benvarna-warni,
mengerubungi pangeran ini seakan bersaing menarik
perhatiannya.
"Wah, Pangeran Tan Ou selalu saja bersikap
dingin."
"Memang hari ini Pangeran menjadi tamu utama, tapi saya
kira sebaiknya tidak perlu menunjukkan wajah serius seperti itu.
Mestinya agak santai saja."
Para penari itu seolah kupu-kupu yang
beterbangan di sekitar bunga peony.
"Haha. Oh,
begitu? Wajahku kelihatan dingin,
ya?"
Tan Ou,
Pangeran dari Istana Sembilan, dengan senyum pahit yang kelihatan
anggun, menepis serangan dari kumpulan kupu-kupu itu. Tetapi
sepertinya dia memiliki kelemahan dalam bersikap, karena dia tampak
kerepotan menutup mulut para perempuan tersebut. Di tambah lagi,
para perempuan ini terkadang berteriak-teriak kegirangan sampai
bunyi kecapi dan suling para pemusik tidak terdengar, membuat para
tamu kehormatan saling pandang keheranan.
Tak lama setelah
perayaan ulang tahun.
"Kou Kyu! Bawa hadiah ini ke tempat
Pangeran Tan Ou."
Hari itu Kou Kyu diperimah Jenderal Ou sebagai
utusan untuk pergi ke tempat kediaman Tan Ou.
Kou Kyu sudah
mengetahuinya sejak awal.
Pada perayaan ulang tahun yang
berlangsung beberapa hari lalu, tatkala Tan Ou beristirahat di
perpustakaan, dia melihat alat tulis berupa tempat kuas berukiran
naga dan pemberat kertas berbentuk singa dari batu giok.
"Kalau
anda sangat suka dengan benda-benda itu, akan saya kirimkan ke rumah
Anda." Pada saat itu, Kou Kyu yang berada di samping Jenderal Ou,
mendengar janji yang diucapkan sang jenderal kepadaTan Ou.
Hadiah
yang dimaksud pasti kedua benda itu. Pada hari dia bertugas sebagai
utusan, Kou Kyu pergi dengan perasaan ceria karena merasa mendapat
kesempatan yang sangat sulit diperoleh.
Bagaimanapun, sang
pangeran yangbernamaTanOu ini adalah anak laki-laki kesebelas dari
kaisar sebelumnya, dan adik dari Tes Sou, kaisar sekarang. Karena
itulah, dia diperlakukan sebagai putra mahkota. Tetapi selain itu,
Kou Kyu sebenarnya sangat kagum pada pangeran ini. Sudan lama dia
mendengar bahwa sang pangeran sangat pandai bergaul, terutama dengan
perempuan, seperti yang terlihat ketika para penari perempuan dari
sanggar seni berkerubung di sekelilingnya.
Selain pandai bermain
catur, melukis, memainkan alat musik, main bola, serta memiliki
pengetahuan tentang agama Buddha dan Khong Hu Chu, sang pangeran
juga sangat memahami perasaan rakyat. Tak seorang pun yang tidak
mengenal reputasinya ini. Oleh karena itu, dalam hati Kou Kyu
berharap, "Suatu saat nanti aku ingin mengobrol panjang-lebar dengan
beliau. Kalau beliau mau mendengar tentang berbagai pengetahuan di
dunia yang aku geluti, tentunya beliau akan menganggapku orang yang
sangat pintar tiada duanya, dan pasti beliau akan menaruh perhatian
padaku."
Istana Tou Gu berada di satu sudut wilayah istana Ben
Ryou. Ketika Kou Kyu tiba di depan gerbang, penjaga bertanya dengan
kewibawaan yang berbeda dengan di tempat lain, "Anda utusan dari
mana?"
"Saya utusan Jenderal Ou, datang ke sini untuk menyerahkan
hadiah kepada Paduka Pangeran di Istana Sembilan."
Mendengar itu,
penjaga segera membuka gerbang. Kemudian Kou Kyu memasuki halaman,
lalu melenggang ke arah istana. Di gerbang tengah, dia kembali
menyebutkan tujuan kedatangannya kepada perwira penjaga yang
ada.
Dengan penuh kesopanan, pejabat di sana berkata, "Tentunya
Anda lelah, tetapi sayang sekali, Paduka Pangeran sekarang sedang
bermain bola di lapangan dengan para pejabat tinggi istana, karena
itu sudilah Anda menunggu sebentar."
"Oh. Paduka sedang berada di
lapangan bola?"
Mendengar kata "bola", dia tidak bisa berdiam
diri begitu saja, karena itu keahlian istimewanya. Tanpa sadar Kou
berkata dengan raut wajah antusias, "Saya juga sangat menggemari
permainan bola. Kalau boleh, saya ingin melihat situasi di lapangan
bola itu meskipun dari jauh."
"Itu mudah. Mari saya antar ke
sana."
Setelah melewati halaman yang dipenuhi pepohonan, akhirnya
Kou sampai di tempat terbuka yang terang, dan dari situ terdengar
bunyi tendangan bola yang seru.
Semua yang ada di sana tentunya
para bangsawan, pejabat, serta putri yang sangat menyenangi bola.
Mereka mengelilingi lapangan yang cukup luas, ada yang duduk di
kursi dan bangku, ada pula yang menjulurkan kaki di atas rumput,
menonton pertandingan.
Kou diam-diam bergabung dengan para
bangsawan itu dan menonton pertandingan dari jauh.
Saat ini,
tampaknya babak pertama pertandingan sudah selesai dilaksanakan, dan
setelah sorak-sorai berakhir, sosok Tan Ou terlihat berdiri di bawah
tiang yang terpancang. Beliau memakai pakaian bola yang sangat
memesona. Rambutnya diikat dengan kain sutra tipis, baju putihnya
berhias sulaman bunga ungu, lengan bajunya dihiasi lukisan naga
terbang, dan kakinya memakai sepatu burung phoenix. Kemudian,
setelah melihat persiapan lawan mainnya, dia berkata, "Sudah
siap!"
Begitu selesai mengatakah itu, sang pangeran berjalan ke
tengah lapangan menuju bola yang sudah disiapkan oleh
hambanya.
Penendangan bola dilakukan berdasarkan tingkatan
jabatan, diawali pejabat yang berkedudukan paling tinggi,
dilanjutkan pejabat yang berkedudukan di bawahnya, demikian
seterusnya. Bola ditendang dengan diarahkan ke delapan tiang pancang
pihak musuh. Dan Tan Ou memang sangat piawai, tendangannya sesuai
dengan keningratannya. Selain itu, dalam memberikan bola dan
menerima bola pun permainannya sama sekali tidak bercacat.
Tetapi
kemudian entah karena kesalahan apa, bola yang melenceng dari salah
seorang penendang terbang melayang ke arah
penonton.
"Awas!"
Orang-orangyang hampir terkena bola
bergulingan. Tetapi Kou Kyu yang berada di dekat mereka, dengan
sigap menyambut bola, seolah-oiah mendapat kesempatan yang
ditunggu-tunggu. Lalu dia menendang bola itu jauh-jauh ke arah Tan
Ou.
Dari kejauhan terdengar gema suara, "Wah! Bagus
sekali!"
Selanjutnya, si pemilik suara tampaknya melihat sosok
Kou Kyu dan memanggilnya.
"Orang yang barusan menendang bola,
majulan ke depan."
"Baik," kata Kou Kyu. Dia pun maju ke
lapangan.
"Maafkan hamba. Karena hamba sangat suka akan bola,
hamba sampai tidak tahu tempat."
"Tidak masalah. Aku bukan akan
menyalahkanmu. Tcndaiigan yang kaulakukan barusan kukira salah satu
jurus bebek peking paling sulit di antara sepuluh jurus rahasia
tendangan bola."
"Pandangan Paduka sangat tajam." "Siapa kau
sebenarnya?"
"Hamba Kou Kyu, salah satu pendamping Jenderal Ou.
Sebenarnya, hamba datang ke sini karena perintah beliau...," kata
Kou, menjelaskan kedatangannyasebagai utusan Jenderal Ou dan dengan
segera mengeluarkan kotak yang berisi dua buah pusaka. Tetapi
tampaknya Tan Ou jauh lebih tertarik pada kepiawaian Kou Kyu bermain
bola daripada kedua pusaka itu.
"Sudahlah. Untuk masalah itu, aku
akan mendengar penjelasannya nanri. Yang lebih penting, coba
kautunjukkan lagi teknik menendang bola tadi," kata Tan Ou penuh
harap.
Tanpa diminta aku juga akan melakukan itu, kata Kou dalam
hati. Kesempatan ini tidak mungkin ada dua kali, pikirnya, dan dia
merasa sulit menekan perasaan gembira yang muncul di wajahnya.
Namun, dia tetap merendah dan beberapa kali menolak. Tetapi karena
sudah ada izin dari Tan Ou, maka dia berkata, "Kalau begitu, hamba
sebagai amatiran akan mencoba memperlihatkan kebodohan hamba,"
katanya sambil maju ke tengah lapangan. Lalu dia menunjukkan sepuluh
jurus memainkan bola. Dia menunjukkan dasar
permainan bola yang
menggunakan kepala, pundak lutut, kaki, yang tcrdiri atas sepuluh
teknik, dan selain itu masih ada pula delapan puluh teknik lain yang
lebih rumit, serta beragam teknik rahasia.
Pada dasarnya Kou Kyu
tidak hanya ahli dalam bermain bola. Pada masa-masa dia tidak
memiliki pekerjaan tetap, kerjanya sehari-hari hanya bermain bola
untuk berjudi. Karena itulah orang-orang di kota tidak memanggilnya
Kou Ji Rou, tetapi menjulukinya Kou Kyu, pemain bola Kou. Teknik
yang dikuasainya sangat berbeda dari teknik-teknik ringan pemain
bola kelas atas.
Tan Ou dan orang-orang yang ada di sana
terpesona.
"Wah hebat sekali! Itu teknik main bola
dewa!"
Memang sudah selayaknyalah mereka terpesona dengan
permainan bola Kou Kyu.
Di lapangan bola, senja mulai mengembang.
Dan di setiap bangunan istana mulai menyala lentera yang terlihat
redup. Kou pun secara resmi diterima untuk menghadap Tan
Ou.
Tidak perlu dikatakan lagi bahwa Tan Ou sangat senang dengan
hadiah alat-alat tulis dari Jenderal Ou. Tetapi pembicaraan segera
beralih lagi ke topik permainan bola. Lalu tiba-tiba Tan Ou berkata,
"Kou Kyu, mulai sekarang, datanglah setiap pagi dan sore untuk
mengajariku bermain bola."
"Maafkan hamba, Paduka. Hamba bukan
orang yang tepat untuk mengajari orang seperti Paduka Yang
Mulia."
"Dan mulai hari ini, kau tinggal di Istana Timur ini. Kau
tidak perlu lagi pulang ke istana Jenderal Ou."
"Wah, itu sangat
menyulitkan hamba. Bagi hamba, Jenderal Ou adalah majikan utama.
Hamba tidak ingin memiliki majikan kedua."
"Tidak usah cemas soal
itu. Tadi aku sudah mengirim utusan ke tempat Jenderal Ou untuk
meminta persetujuan agar kau bekerja di tempatku. Jenderal Ou itu
kakak iparku, jadi di mana pun kau ditempatkan, kau masih bekerja
dalam satu lingkungan keluarga. Memang kesetiaanmu patut dihormati,
tetapi meskipun bekerja di tempatku, tidak berarti kau menyimpang
dari kebenaran."
"Kalau Paduka menginginkannya, dengan senang
hati hamba bersedia bekerja di sini," kata Kou Kyu sambil
menunjukkan wajah terharu.
Demikianlah, Kou Kyu menjadi salah
satu penghuni IstanaTimur, danseiringberjalannyawaktu, kepercayaan
Tan Ou kepadanya semakin besar.
Kou Kyu yang awalnya hanya
seorang gelandangan, karena memiliki bakat alam serta beragam
keterampilan, bisa mengabdi kepada pangeran di Istana Timur,
meskipun pangeran itu tidak tahu situasi dan kondisi masyarakat
serta kerjanya hanya memenuhi kesenangan diri. Bisa dikatakan Kou
Kyu bernasib baik hanya karena permainan bola yang menjadi
kepiawaiannya.
Tetapi sampai kapan permainan bolanya akan
memberinya nasib baik?
Setengah tahun berlalu. KaisarTes Sou pun
mangkat Namun, karena putra mahkota tidak ada, setelah melalui
musyawarah yang sangat alot, akhirnya muncullah nama Tan Ou sebagai
pengganti kaisar.
Memang nasib manusia itu tidak bisa diketahui.
Sejak saat itu muncullah Kaisar Ki Sou, kaisar kedelapan Dinasti
Sou, yang di masyarakat disebut-sebut sebagai kaisar yang bersih,
taat agama, dan dianggap sebagai pemegang tampuk keagamaan
tertinggi.
Seperti yang diketahui, sejak berada di Istana Timur,
Ki Sou sudah memperlihatkan tindak-tanduk sebagai pangeran yang
kerjanya hanya bersenang-senang. Setelah dia menjadi kaisar pun,
perhatiannya terhadap pemerintahan sangatlah kecil.
Tetapi
perkembangan di bidang kebudayaan seperti seni lukis, musik,
arsitek, tata busana, dan sebagainya, jauh lebih marak pada masanya.
Ki Sou sendiri, kalau memegang kuas lukis, akan menjadi pelukis
kelas atas, dan di ruang lukisan Sen Na di istana, banyak sekali
lukisan yang terkenal pada zaman itu.
Teknik percetakan pun mulai
berkembang, dan penerbitan buku mulai maju di kota, lalu meskipun
masih dalam masa-masa transisi, sandiwara mulai muncul. Dengan
tanda-tanda itu, bisa dikatakan masa ini merupakan titik puncak
kebudayaan yang menjadi ciri khas pemerintahan Dinasti
Sou.
Tetapi karena di dalam pemerintahan terus-menerus terjadi
perseteruan antara pejabat beraliran reformis ekstrem dari kubu Ou
An Seki dan pejabat konservatif, maka pada masa Ki Sou, krisis
perseteruan ini mencapai puncaknya dengan terjadinya perpecahan
secara intern. Meskipun demikian, Ki Sou tetap merupakan kaisar yang
artistik dan romantis.
Dia menjadikan agama Tao sebagai agama
negara dengan dia sendiri sebagai pemimpin dan pelindungnya. Dia
mengumpulkan berbagai benda serta binatang langka dari seluruh
negeri, dan dalam membangun istananya dia sama sekali tidak
memerhatikan kesengsaraan rakyat. Tentu saja pada saat itu pajak
sangat tinggi, pegawai-pegawai pemerintah yang jahat merajalela, dan
jurang antara miskin dan kaya sangat lebar. Seluruh kota dipenuhi
teriakan dendam rakyat yang sengsara. Pada masa itu suasana semakin
tidak tenteram, dan Kin (suku Man Shuu) yang telah menjatuhkan
wilayah Ryou, menguasai pula wilayah Tai Gen dan En Kei. Mereka
akhirnya mulai masuk ke ibukota Kai Hou dan memasuki Istana Ben.
Mereka menyeret Kaisar Ki Sou, permaisuri, putra mahkota, serta
keluarga kaisar ke padang gersang di Man Shuu Utara sebagai tawanan.
Di sana, Ki Sou dipaksa untuk bertani seperti tawanan lainnya, dan
berakhirlah kehidupannya sebagai kaisar dengan kondisi yang sangat
menyedihkan.
Angin Barat yang bertiup sepanjang malam
menggetarkan daun pintu bobrok Di gubuk terpencil sepi terlihat
samar pelita Gubuk gunung, bila pandangan ditebar ke sekitar, beribu
kilometer jaraknya
Bulan menampakkkan wajah di langit Selatan,
namun tiada bangau yang terbang
Ini adalah sajak yang
menggambarkan nasib akhir Ki Sou sebagai kaisar ketika dia ditawan
di Man Shuu Utara.
Ah! Tanpa sadar kisah yang panjang ini sudah
terlalu banyak diceritakan.
Kisah tentang akhir kehidupan Ki Sou
dan kehancuran Hoku Sou baru akan terjadi 25 tahun kemudian. Sui Kou
Den ini, sesuai dengan nama lainnya, yaitu Hoku Sou Sui Kou Den,
adalah kisah yang menggambarkan pergerakan rakyat jelata di bawah
pemerintahan Kaisar Ki Sou. Dengan demikian sebagai permulaan, kita
cukup mengetahui pada masa yang bagaimanakah sungai kisah ternama
waktu itu bergulir.
Mari kita kembali ke pokok kisah
semula.
Bersamaan dengan dilantiknya kaisar baru, tentu saja Kou
Kyu juga ikut memasuki lingkungan kekaisaran sebagai pejabat
pendamping kaisar. Dengan demikian, si "bola" telah naik ke langit
kesembilan.
Perhatian Kaisar terhadapnya semakin dalam, dan bagi
Kou, untuk bisa mendapatkan jabatan yang lebih tinggi hanya tinggal
menunggu waktu. Kemudian tanpa menunggu bertahun-tahun, dia menjadi
pejabat tertinggi istana (Jenderal Pendamping Kaisar).
Tak lama
setelah dia mendapatkan jabatan tersebut, Kou Kyu memeriksa daftar
delapan ratus ribu tentara yang ada di istana. Lalu untuk mengabsen
panglima di tiap regu, kavaleri dan prajurit, serta tentara pembawa
bendera dan umbul-umbul, dia mengumpulkan mereka di pusat pelatihan
tentara di Istana Ben. Pada hari itu, ketika tengah memeriksa,
tiba-tiba dia menghentikan kudanya.
"Ada yang aneh...," ucapnya
sambil memandangi wajah panglima-panglima yang berbaris rapi dengan
pakaian perang mereka. Wajah Kou Kyu menunjukkan
keheranan.
"Pencatat!"
"Hamba!"
"Ada yang aneh. Coba
bacakan lagi daftar pejabat!"
"Baik, Paduka!"
Salah seorang
pengikutnya mengambil daftar dari Inspektur, lalu kembali mengabsen
panglima-panglima yang sedang berbaris satu demi satu. Ada seorang
panglima yang meslcipun di dalam daftar tertulis hadir, namun dia
tidak ada di tempat.
"Lihat! Kurang satu orang. Ini hal yang
tidak baik dalam pemeriksaan hari ini!"
"Maafkan kami,
Paduka!"
"Justru karena melihat kendurnya ketertiban di dalam
ketentaraan seperti inilah, Paduka Kaisar secara khusus memberikan
tugas yang berat kepadaku. Janggal sekali jika dalam daftar tertulis
hadir namun orangnya tidak muncul dalam inspeksi. Siapa orang
itu?"
"Panglima Tentara Kin Rin, Ou Shin, Paduka!"
"Kalau dia
pejabat pelatih tentara, situasi jadi lebih buruk lagi, ini tidak
bisa dimaafkan. Segera seret orang itu!"
"Sebenarnya, Pelatih
Kepala Ou sehari-harinya bukan pemalas. Sudah beberapa hari ini dia
sakit."
"Tutup mulutmu! Bagaimana mungkin seorang panglima tidak
hadir dalam upacara penting hanya karena sakit. Kalau ini persiapan
perang yang sebenarnya, apa yang akan dia lakukan? Menurutku, dia
tidak datang karena tidak senang dengan pelantikan jabatanku, atau
mungkin dia menganggap enteng perintah. Cepat pergi! Ini waktu yang
sangat tepat untuk menanamkan disiplin ketentaraan."
Demikianlah
Kou Kyu memberi perintah, lalu dia menjalankan lagi kudanya. Dengan
diikuri wakil serta para perwira pengikutnya, dia kembali
menginspeksi
barisan.
Ou Shin, Si Pelatih Kepala.
Sebagai ahli
jurus tongkat, nama Ou Shin tersohor sampai ke tempat yang
jauh.
Sejak zaman ayahnya, Ou Shou, dia memegang jabatan di
ketentaraan pusat ibukota, dan
melatih perajurit ilmu bela diri. Dia
tinggal di rumah dalam lingkungan istana
dan hidup damai bersama ibunya. Tetapi pada
hari itu, ketika dia sedang terbaring karena sakit, datanglah
perintah tegas dari Kou Kyu yang menyuruhnya segera
menghadap.
Para prajurit yang menjemputnya adalah murid-murid
yang diajarnya setiap hari. Jika menolak hadir,
mereka akan
menghadapi situasi gawat. Maka Ou Shin segera keluar dari kamarnya
dan bersiap-siap pergi.
"Ibu tidak usah khawatir. Setelah bangun
seperti ini, penyakitku ternyata tidak separah yang diduga. Aku
mengerti betul kemarahan panglima baru. Aku akan segera kembali
setelah meminta maaf kepada beliau."
Ibunya yang sudah tua
berjalan sampai gerbang; mengantar anaknya yang pergi dikelilingi
para prajuri dengan tatapan penuh kecemasan.
Di tempat latihan,
upacara inspeksi sudah selesai dilaksanakan. Suasana di tangsi dan
lapangan tempat latihan menjadi meriah karena arak
untuk upacara selamatan
pelantikan panglima baru Kou mulai
dibagikan.
"Maafkan hamba."
Demikianlah, Ou Shin bersujud di
depan Kou Kyu meminta maaf.
"Pada hari yang sangat penting ini,
sebenarnya hamba berniat hadir dengan
mengabaikan penyak hamba, tetapi karena ibu hamba sangat
khawatir, hambapun terbuai kata-kata Ibu dan tidak menghadir Silakan
Panglima hukum sesuai keinginan."
"Tentu saja. Karena aku telah
menjadi panglima tertinggi tentara
istana, tidak akan kubiarkan lagi
semangat prajurit mengendur seperti dulu. Pertama-tama, aku
akan meluruskan semangat para ksatria gadungan yang telah
mengacaukan disiplin ketentaraan seperti dirimu."
"Jika disebut
kesatria gadungan, itu mungkin berlebihan. Selain itu, apa alasan
hamba dituduh mengacaukan disiplin ketentaraan?"
"Diam! Begitu
disuruh datang, ternyata kau bisa datang dengan berjalan kaki. Kalau
bukan pura-pura sakit, apa lagi namanya? Polahmu menjadikan ibumu
sebagai dalih agar dikasihani itu sangat memalukan. Lagi pula, aku
juga tahu betul siapa sebenarnya ayahmu di masa lalu."
"Jadi,
Paduka menyebut hamba sebagai kesatria gadungan karena itu?"
"Ya.
Ou Shou, ayahmu, memang dijadikan guru pelatih ilmu tongkat di
ketentaraan istana, tetapi bukankah sebelumnya dia hanya penjual
obat pinggir jalan, yang menjual obat sambil mempertontonkan
jurus-jurus tongkat? Pada waktu itu, kau hanya anak kecil lusuh yang
mengumpulkan dan menghitung uang receh di samping ayahmu. Hei! Ou
Shin! Angkat wajahmu! Kau rupanya lupa masa lalu dan akhir-akhir ini
mulai bertingkah."
Ou Shin diam saja.
"Wah! Benar-benar lucu.
Kau tidak bisa berkata-kata, ya? Hei, Pengawal! Sebagai contoh untuk
semua orang, pancung leher orang ini!"
Di depan Kou Kyu orang
membela Ou Shin, dan dengan masing berusaha meredakan ken memintakan
maaf.
"Bersabarlah, Paduka. menyenangkan ini,
bukankah tidak enak melihat orang dipancung?"
"Hukuman
memang harus sebaiknya vonis hukuman yang berat nanti
saja. Untuk hari ini, kami
memberikan kelonggaran kepadanya. Lagi puia, seperti yang Paduka
lihat, semua prajurit di lapangan sedang bersenang-senang dengan
minum-minum dan bernyanyi mensyukuri pelantikan Paduka."
"Hmm,
masuk akal..."
Kou Kyu agak menggerutu. Baginya hari itu perlu
disyukuri. Tampaknya dia juga tidak ingin melihat sesuatu yang tidak
mengenakkan pada hari pelantikannya.
Untuk sementara Ou Shin
dibebaskan dan diperbolehkan pulang.
Namun tetap saja untuk masuk
dan keluar rumah dia dijaga oleh prajurit. Dia menjadi tahanan
sampai ada pemberirahuan" lebih lanjut.
Di tengah malam yang
segelap tinta cina, dengan sembunyi-sembunyi dia keluar dari kamar,
laluu membangunkan ibunya.
"Ibu, bangunlah sebentar."
"Oh,
anakku. Tampaknya kau juga tidak bisa tidur."
"Tidak juga, Bu.
Aku ini tetap Ou Shin yang dulu, yang selalu santai. Kejadian kecil
semacam ini tidak akan membuatku tertekan. Tapi aku tahu Ibu sangat
khawatir."
"Jangan pikirkan Ibu. Lebih baik pikirkan cara untuk
menyelamatkan dirimu sendiri."
"Tapi tampaknya kali ini aku tidak
akan selamat. Bagaimanapun, aku tetap akan dihukum mati Kou
Kyu."
"Kalau kau mati, Ibu juga tidak bisa hidup. Tapi banyak
muridmu yang mengajukan permohonan agar kau dibcri ampun. Lagi pula,
dosamu itu bukanlah dosa besar yang harus dibayar dengan
kematian."
"Benar, Bu. Kalau dalam keadaan biasa, kita memang
bisa berkata begitu. Tetapi untuk kali ini, keadaan tidak mungkin
tertolong lagi. Aku punya firasat buruk, Bu."
"Jangan-jangan kau
berniat memberontak."
"Sama sekali tidak, Bu. Aku tidak memiliki
niat seperti itu. Sebenarnya begini. Ketika aku sedang menduga-duga
seperti apakah panglima baru Kou Kyu ini, dari mulutnya muncul
berbagai macam hal tentang Ayah, Ou Shou. Aku merasa aneh sekali,
mengapa orang yang berada di atas bisa tahu segala macam tentang
Ayah. Lalu aku juga terus menatap wajahnya.”
"Apa? Dia tahu latar
belakang ayahmu”..
"Pasti dia tahu, Bu. Ketika aku masih kecil,
di ibukota Kai Hou ini ada seorang pemuda yang terkenal, kerjanya
hanya bermain-main. Pemuda itu sangat pandai bermain bola sepak. Dia
pemalas yang kerjanya menjadi mucikari, dan dia dijuluki Kou Kyu.
Bagaimana, Bu? Dan sekarang, Kou Kyu inilah yang menjadi panglima
tertinggi untuk pasukan yang berjumlah delapan ratus ribu prajurit
di istana."
"Astaga. Berandalan
seperti itu menjadi panglima?"
"Tatkala berandalan
Kou Kyu akan ibukota, ketika dia dihukum seratus kali cambukan di
bawah tontonan orang-orang di pintu gerbang kota. Ayah yang sudah
menjadi pelatih di ketentaraan istana menyaksikan pelaksanaan
hukuman itu. Menurut kabar angin, Kou Kyu sangat tidak senang dengan
kebijakan hukuman dari ayah, dan dia sangat dendam kepada Ayah.
Konon, ketika akan dilepaskan, dia berkata bahwa suatu saat dia akan
membalas dendam. Memang peristiwa itu sudah berlalu belasan tahun,
namun ingatan tentaiu, itu muncul lagi di kepalaku. Aku merasa
nasibku tidak akan tertolong lagi, dan sepertinya di depanku sudah
terlihat dewa pencabut nyawa."
"Anakku! Apa yang akan kita
lakukan? Ibu juga pcrnah mendengar cerita itu dari ayahmu yang
sudah
meninggal."
"Ibu tidak usah bingung. Umung saja aku
diperbolehkan pulang dulu, dan setelah melihat wajah ibu, aku
berpikir mengapa harus mad. Aku pun sudah memiliki rencana. Nah,
sekarang ibu cepat bersiap-siap. Rumah dari ayah ini memang memiliki
banyak kenangan, tetapi mari kita tinggalkan rumah ini dan pergi ke
tempat yang jauh."
"Tapi di depan dan belakang rumah kita ada
penjaga, bagaimana kalau kau nanti menjadi buronan
negara?"
"Kepala penjaga Chou dan Li, keduanya sehari-hari
muridku. Aku akan berusaha agar kesalahan mereka dianggap ringan.
Kalau kita berpura-pura pergi ke Kuil yang ada di gunung di luar
kota dan kembali sebelum subuh, tentunya mereka juga akan pura-pura
tidak melihat."
Bahkan dalam benak ibunya yang sudah tua, saat
ini mereka memang harus berani mengarnbil risiko. Tanpa mengenakan
pakaian mencolok dan, dengan digendong oleh anaknya, dia menyelinap
keluar dari pintu belakang.
Kepala penjaga Chou dan Li melepaskan
mereka dengan berpura-pura tidak melihat. Ou Shin berlari menembus
malam yang pekat dan hampir mencapai gerbang Sei Ka. Penjaga di sini
juga muridnya. Lalu dengan alasan palsu, dia
diperbolehkan lewat dan sekalian meminjam kuda. Dia menaikkan ibunya
kekuda dan dia sendiri duduk di depan pelana.
"Rencana berjalan
lancar, Bu! Kukira tidak ada masalah lagi. Yang mengejar pun belum
kelihatan.”
"Tapi sekarang kita mau ke mana”
"Mari kita pergi
ke En An."
"En An di Provinsi Sen Sei?"
"Betul, Bu. Di
istananya ada orang Rou Chuu, dan dia bertugas
sebagai pejabat pertahanan negara. Dan di antara bawahannya, banyak
sekali orane yang kuajari ilmu tongkat di ibukota. Selain itu aku
sering berkirim surat dengan Rou Chuu ini.
"En An pastilah sangat
jauh."
"Letaknya di sebelah barat Sungai rvou uir ttan di sebelah
timur ibukota lama Chou An. Perjalanan kita memang tidak akan
ringan. Jadi, kumohon ibu bersabar."
"Ya. Kalau berdua
dengan anakku, betapapun sulitnya, aku bisa bertahan."
"Aku pun
begitu, kalau bersama Ibu, kekuatanku bertambah seratus kali
lipat."
Pelarian mereka terus mengalir embusan tertiup angin.
Kadang-kadang bersembunyi di padang, kadang-kadang mereka di
gunung.
Selagi mereka masih berada di jalan yang bisa dilewati
kuda, yang tidak jauh dari ibukota, terus-menerus tersiar kabar
bahwa Kou Kyu marah besar mendengar pelarian Ou Shin. Dia bahkan
mengeluarkan maklumat resmi yang memerintahkan penguasa jalan di
setiap negeri untuk menangkap penjahat bernama Ou Shin. Tetapi
setelah memasuki jalan-jalan di padang dan di gunung daratan yang
sangat luas ini, kecemasan yang menghantui Ou Shin dan ibunya mulai
pergi.
"Hari sudah senja. Di desa mana kita sekarang?" Sambil
mengelus kuda yang kelihatan sudah lelah, Ou Shin mulai mencari-cari
tempat penginapan.
"Kelihatannya tidak ada penginapan, Bu. Di
belakang ladang pohon Iiu itu terlihat gcrbang persegi dari tanah.
Bagaimana kalau kita minta izin menginap di rumah
itu?"
"Sepertinya itu rumah milik pejabat desa." "Tidak masalah,
Bu. Serahkan padaku." Dia mengikatkan kuda pada sebatang pohon iiu,
lalu memasuki gerbang.
"Ah. Tempat ini sangat bagus."
Tampaknya ini milik keluarga bangsawan yang cukup
ternama.
Di bukit di belakang gedung terlihat sebuah gubuk
beratap ilalang, dan jalan menuju bangunan itu diselubungi pepohonan
Iiu. Terdapat pula sungai kecil dengan air jernih yang mengalir
menuju kolam yang tampak bagai cermin di halaman.
Menghadap ke
kolam berjajar rumah-rumah kecil di sekitar bangunan induk, dan di
dekat permukaan tanah yang agak tinggi terdapat perpustakaan dengan
jendela dibiarkan terbuka. Lentera tampaknya baru di dinyalakan,
karena dari situ terlihat kelap-kelip yang menyenangkan.
Seorang
pelayan menyambut Ou Shin dan segera kembali ke dalam. Dari kejauhan
terdengar lenguhan sapi-sapi, dari bangunan dapur dan petak-petak
rumah pelayan mengepul asap yang menunjukkan mereka sedang memasak.
Dari sana juga terdengar ramai obrolan ratusan pekerja. Sepertinya
di tempat itu, baik pekerja, maupun ternak tidak kekurangan makan.
Kekayaan rumah ini bisa mencukupi sampai anak-cucu, dan
perpustakaannya dipenuhi berpuluh-puluh ribu jilid buku. Demikianlah
kesan yang didapat dari bangunan itu.
"Tuan pengelana. Maaf telah
lama menunggu. Silakan masuk."
"Oh, apakah kami diizinkan
menginap!
"Ya. Begitu saya katakan kepada majikan kami bahwa ada
pengelana yang kemalaman dan ibunya yang sudah tua, beliau mengatak
tentunya mereka sedang dalam kesuiitan.'"
“Terima
kasih banyak. Kalau
begitu, dcngan penuh rasa terima kasih kami akan
menerima kebaikan majikanmu."
Ou Shin bergegas ke luar
dan kembali seraya menuntun tangan ibunya.
"Biarkan
saja kudanya. Nanti akan saya beri makan," kata si pelayan.
Semua
penghuni rumah itu menyambut mereka dengan hangat seperti si pelayan
tadi.
Selesai mandi dan makan, Ou Shin menemui pemilik rumah itu.
Sang juragan memakai penutup kepala yang terlipat ke samping.
Janggut putihnya menjuntai sampai ke lutut. Dia mengenakan pakaian
seperti yang digunakan untuk latihan bela diri, serta memakai sepatu
yang buatannya sangat halus.
"Saya dengar Anda datang ke En An
sebagai pedagang. Tentunya Anda repot sekali karena membawa ibu Anda
yang sudah tua."
"Betul sekali, Tuan. Di ibukota saya kehabisan
modal."
An. Anda mungkin cemas tidak punya uang untuk biaya
penginapan. Tapi saya tidak akan menerima Anda berdua hanya karena
uang."
"Memang ini memalukan. Namun jika membawa orang tua, agak
sulk juga untuk tidur di tempat terbuka."
"Tidak usah
sungkan. Rumah ini luas, malam ini sebaiknya Anda membiarkan
ibu anda beristirahat dengan nyaman."
Selama beberapa saat,
mereka berdua berbincang tak tentu arah. Tetapi tatkala Ou Shin akan
undur dir juragan tua menyipitkan mata di bawah alis putih seraya
mengamati gerak-gerik Ou Shin.
Keesokan paginya, sang juragan tua
membuat teh kesukaannya, dan menunggu Ou Shin. Namun yang ditunggu
tidak datang juga, dia sendiri pergi ke kamar tamu untuk melihatnya.
Ternyata Ou Shin sedant; merawat sang ibu yang penyakitnya kambuh
sejak tadi malam. Pagi itu pun sang ibu masih menahan erangan dalam
perawatan anaknya.
"Mengapa Anda tidak cepat-cepac memberitahu
saya?" kata sang juragan tua ketika melihat hal tersebur. Dia segera
menyuruh pelayan mengambil rempah obat-obatan lalu dengan tangannya
sendiri, meracik dan menggodok rempah-rempah itu. Tidak hanya itu.
dia juga memberitahu mereka agar terus beristirahat di tempatnya
selama diperlukan.
"Saya tidak akan melupakan budi baik
Anda.
Sekitar tujuh hari kemudian, penyakit ibu Ou Shiii mulai
membaik, dan wajahnya mulai terlihat segar Oi Shin pergi ke kandang
untuk melihat kudam. berniat meninggalkan tempat itu sepagi mi
"
Ketika kabut pagi masih mengambang, ketika embun di daun-daun
pohon liu masih terlihat hijau menyegarkan, tiba-tiba di antara
pepohonan terdengat teriakan seseorang yang penuh
semangat.
Mendengar itu Ou Shin menoleh. Dilihatnya bayangan
seseorang bertubuh tegap putih di dalam kabut biru itu.
Orang itu
masih berusia sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun.
Tetapi bentuk tulang dan ototnya tampak sangat bagus, terlihat amat
kuat. Separuh atas tubuhnya telanjang, dari wajah dan tubuhnya yang
telanjang itu mengalir keringat, dan keringat itu pun terlihat
sangat indah.
Kemudian yang membuat mata Ou Shin semakin
terbelalak adalah rajah yang terlukis pada tubuh telanjang putih
itu. Sembilan naga yang mengilap dalam peluh, dan naga-naga itu
terlihat seolah-olah keluar dari kulit. Di tangan pemuda itu
tergenggam sebilah tongkat kayu pohon ek yang panjang. Tongkat itu
berdengung di sekitar tubuhnya, berputar-putar bagaikan
baling-baling.
"Sepertinya pemuda itu sedang berlatih ilmu
tongkat," gumamnya.
Karena tongkat merupakan jalan hidupnya, Ou
Shin merasa gembira. Dan tanpa sadar dia tersenyum.
Kemudian,
karena mungkin menyadari kehadiran Ou Shin, si pemuda menghentikan
permainan tongkatnya.
"Hei, kenapa menertawakan .
"Tidak. Aku
tidak berniat n, hanya kagum karena
permainan tongkan bagus."
"Apa? Bagus? Soktahu.Tahudarim.,
bagus?'
"Tidak usah marah. Mungkin karri kau lekas naik darah.
Bagaimana kalau kauperliha;! lagi permainan tongkatmu?"
"Jangan
main-main. Permainan tongk;. tontonan! Karena kau bisa menilai
permainan tongk.i": . tentunya kau juga cukup memahami jurus
tongi..u. Coba kau terima pukulan-pukulanku. Kalau kau tidak bisa
mengelak, nyawamu melayang."
"Maaf,
tampaknya aku sudah
menyusahkan . Maafkan aku kalau sudah
menyinggungmu."
"Tidak bisa. Sebelum aku bisa meremukan tulang
pipimu atau mematahkan dua-tiga ruas tulang iga, kemarahanku tidak
akan reda."
Tepat saat itu terdengar suara sang juragan
tua.
"Shi Shin! Apa yang kaulakukan terh kita?"
"Oh,
Ayah..."
"Diam kau," Juragan Shi menghardik putranya. Lalu
dia berkata kepada Ou Shin, "Maafkan sikap kurang
ajar putra saya. Itu karena dia didikan kampung jadi... maafkan
dia."
"Oh, tidak apa-apa, Tuan. Justru saya yang salah.
Saya tadi tanpa sadar tertawa melihat anak muda yang tengah menempa
diri dengan serius ini."
"Mungkin ini yang namanya takdir.
Bagaimana kalau Anda ajari anak saya jurus-jurus tongkat yang Anda
miliki sebagai kenang-kenangan buat kami di sini?"
"Wah, mana
mungkin? Saya hanyalah pedagang yang bangkrut. Mana mungkin saya
tahu jurus-jurus
tongkat."
"Tidak. Saya melihat dalam diri
Anda terdapat suatu keterampilan."
"Sudahlah, Ayah, jangan
menilai dia terlalu tinggi."
Tiba-tiba saja, di depan ayahnya,
pemuda yang dipanggil Shi Shin itu mendorong dada Ou Shin dan
membentaknya.
"Ayahku barusan bicara yang tidak-tidak. Tapi aku
sendiri tidak akan meminta pelajaran darimu, atau menilai pelancong
penipu semacammu punya ilmu. Nah, coba terima pukulan-pukulanku,
akan kubuktikan apakah kau ini memang punya keterampilan atau hanya
seorang penipu."
Shi Shin melompat ke belakang untuk memasang
kuda-kuda. Tiba-tiba saja tongkat yang seolah-olah sudah menyatu
dengan tangannya itu melesat ke leher Ou Shin. Namun, entah
bagaimana, tiba-tiba Ou Shin sudah mengepit ujung tongkat itu dengan
ketiak kirinya.
"Tuan, boleh saya bermain-m. sambil tertawa,
menatap Juragan Shi.
"Silakan. Beri dia pelajaran sepuas Anda
agar dia tahu diri. Karena tidak ada saingan, dia selalu berkata bah
tidak ada yang lebih pandai darinya. Anak ini betul-bci sulit
diatur. Tolong Anda runtuhkan kesombongannya. Tentu itu akan
mendatangkan kebaikan baginya.
"Baiklah. Kalau itu permintaan
Anda, saya akan mencobanya."
Mendengar itu, Shi Shin berseru,
"Apa?" Sembilan naga yang ada di sekujur tubuhnya tiba-tiba
seolah memunculkan warna darah.
Tetapi bagaimanapun, keahlian
yang dimiliki Shi Shin hanya diperoleh dari pelajaran di kampung.
Meskipun pemuda ini memiliki tubuh yang hebat serta semangat
menggebu, di mata Ou Shin tentu saja semua itu tidak ada
apa-apanya.
Pukulannya yang sangat cepat, desingan tongkat
semuanya hanya mengenai udara kosong. Suara Shi Shin menjadi serak
dan dia merasa begitu lelah sampai seolah-olah hendak memuntahkan
isi perutnya. Meskipun demikian, dia tidak mau menyerah, tetapi
tiba-tiba saja langit sudah berada di atas kakinya, ternyata dia
terlempar.
"Sialan!"
Ketika akan berdiri, dia terlempar lagi,
dan tongkat yang tadi berada dalam genggamannya sekarang sudah
berpindah ke tangan Ou Shin. Di ujung tongkat Ou Shin, tubuh dengan
rajahan sembilan naga itu bagaikan seekor laba-laba yang
dipermainkan dengan sapu bambu, sekali terlepas tertangkap lagi,
begitu mau lari terperangkap lagi, dan akhirnya dia terbujur
seolah-olah sedang sekarat.
"Mungkin ada baiknya seseorang
mengambilkan air untuk anakTuan."
Sambil berbicara, Ou Shin
mendekati Shi Shin lalu mengangkat tubuh pemuda itu sampai berdiri.
Lalu Ou Shin menoleh kepada sang juragan tua, dan dengan wajah
prihatin berkata, "Tampaknya perbuatan saya berlebihan. Tetapi
karena tidak ada cedera apa pun, Tuan tidak perlu
khawatir."
"Tidak usah sungkan. Ini obat yang sangat mujarab bagi
anakku."
Meskipun berkata demikian, dia adalah seorang ayah.
Juragan Shi diam-diam mengelap keringat dingin yang muncul di dahi
dengan ujung baju. Lalu dia berkata, "Tamu yang baik, ada yang ingin
saya bicarakan dengan Anda. Saya tunggu di ruangan saya, akan saya
buatkan teh untuk Anda. Tolong bawa juga anak ini bersama Anda,"
katanya sambil berjalan dengan tongkatnya menuju perpustakaan,
bagaikan manusia di dalam
lukisan.
Melihat Air Mata di Ryoku Rin, Shi Shin
Kembali Membebaskan.
DESA ini
disebut Shi Ke dan terletak di
perbatasan Kabupaten Ka In. Hanya ada sekitar tiga ratus
atau empat ratus rumah saja di desa ini, dan semua warganya bermarga
"Shi."
Juragan pemilik bangunan itu secara turun-temurun
menjadi penghulu yang mengelola tetapi
sekarang dia sudah sangat tua. Dia ingin lekas menurunkan tugas
tersebut kepada Shin, agar bisa mengundurkan diri.
Dia
menceritakan keinginan itu kepada tamunya, Ou Shin. Juragan Shi
memohon kepada Ou Shin dan ibunya yang tak lebih dari pelancong
sementara, Agar bersedia tinggal selamanya di desa tersebut dan
menjadi guru bagi anaknya.
"Wah, saya sangat berterima kasih atas
kebaikan juragan, tapi...," Ou Shin kesulitan menjawab. "Akan saya
katakan yang sejujurnya. Sebenarnya saya bukan pedagang perantau.
Sebelumnya saya adalah pelatih delapan ratus ribu prajurit di
istana, tetapi karena ada perselisihan dengan panglima besar baru
Kou Kyu, maka saya melarikan diri dari istana. Dengan kata lain,
saya buronan negara. Dengan begitu, meskipun Tuan sudah memberikan
kebaikan kepada saya, apabila saya tinggal di sini, mungkin suatu
saat akan ada musibah yang menimpa keluargaTuan. Jadi, sulit bagi
saya untuk bisa menerima maksud yang Tuan ungkapkan
tadi."
"Tamuku yang baik, hingga setua ini saya sudah banyak
melihat orang. Sejak awal saya sudah menyadari bahwa Anda bukanlah
orang biasa. Jadi, saya tidak kaget. Tapi karena saya sangat
menyukai Anda, tolong permintaan saya tadi diterima."
Mendengar
permohonan ayahnya yang sudah tua, Shi Shin yang berada di samping
sang ayah juga menatap penuh permohonan. Dia tampaknya telah
menyadari kedangkalan ilmu tongkat yang
dibangga-banggakannya.
"Kalau Tuan meminta saya seperti itu...,"
kata Ou Shin, yang akhirnya bersedia juga menerima permohonan ayah
dan anak itu. Dia pun menunda keberangkatannya hari itu, dan
mengikat perjanjian untuk menjadi guru bagi Shi Shin.
"Kalau
begitu, meskipun saya bukan ahlinya, saya akan mengajarkan
jurus-jurus bela diri yang saya miliki kepada anak Tuan. Benarkah
nama anak Tuan, Shi Shin?"
"Ya. Karena di punggungku ada rajah
sembilan naga, mereka menjulukiku Shi Shin si Naga Sembilan." "Dari
siapa kau mempelajari ilmu tongkat?" "Pada saat saya masih kecil,
ada seorang perantau bernama Da Ko Sho Ri Chuu yang menginap di
rumah kami. Saya belajar darinya. Lalu saya latihan ilmu tongkat
sendiri. Sebelumnya saya lakukan sekadar untuk mengisi waktu saja,
namun kemudian malah menjadi kegemaran saya. Setelah itu, setiap ada
ahli ilmu bela diri yang lewat di desa kami, saya ajak untuk
bertanding, dan sekali pun saya belum pernah kalah. Tapi hari
ini..."
"Haha, situasinya agak berbeda, ya? Tidak apa-apa.
Untungnya usiamu masih sembilan belas atau dua puluh tahun. Kalau
kau berniat menjadi pemula lagi, semuanya bisa
diluruskan."
Demikianlah, Ou Shin dan ibunya tetap tinggal di
rumah keluarga Shi. Ou Shin, yang dulunya merupakan pelatih delapan
ratus ribu prajurit di istana, kini setiap hari mencurahkan seluruh
jurus rahasia yang dimilikinya dari delapan belas ilmu bela diri
untuk anak laki-laki pertama keluarga Shi, si Naga Sembilan.
Yang
dimaksud dengan delapan belas ilmu beta diri adaJah: 1. busur, 2.
busur bertali kencang, 3. tombak, 4 pisau, 5. pedang, 6. tombak
berkait, 7. tameng, 8. kapak 9. kapak besar, 10. tombak mata dua,
11. cambuk bcsi 12. bambu runcing, 13. tongkat, 14. sabit berantai,
15 trisula, 16. tombak bercagak, 17. laso, dan 18. gulat.
Sejak
saat itu, setiap hari di ladang pohon liu dibelakang rumah keluarga
Shi, selalu terdengar teriakan-teriakan penuh semangat si Naga
Sembilan, sang murid beserta gurunya. Saat hari hujan, mereka
berlatih di dalam rumah di ruangan aula, dan pada malam hari dengan
diterangi lentera, terdengar ceramah mengenai ilmu
ketentaraan.
Shi Shin yang masih
muda menunjukkan perkembangan
yang sangat pesat, dan
lebih dari itu, dia mendapat pengaruh yang
sangat besar dari sifat Ou, gurunya. Dia juga sangat
antusias apabila Ou bercerita tentang ibukota. Dia yang selama
ini hidup dipegunungan baru sadar betapa dangkal
pengetahuannya.
Tak ayal lagi darah mudanya pun mulai bergejolak,
ingin mengetahui dunia yang lebih luas dan besar. Tanpa terasa,
setahun pun berlalu.
Akhir-akhir ini Ou
Shin mulai berpikir, kalau begini
terus keadaannya, sungguh
merepotkan. Si Naga Sembilan sangat berbakat. Dia sudah
menguasai delapan belas ilmu bela diri yang kuajarkan. Namun,
ayahnya mengharapkan anak ini melanjutkan tugas di Desa Shi sebagai
penghulu, karena beliau ingin cepat mengundurkan diri agar dapat
hidup tenang. Sedangkan si Naga Sembilan malah mulai bernafsu
melihat dunia. Jika dia tidak ingin melanj utkan tugas ayahnya serta
tidak mau lagi bekerja sebagai petani, jalan hidup yang telah
kutanamkan kepadanya justru akan menjadi sesuatu yang tidak baik
bagi keluarga Shi.
Setelah mempertimbangkan semua itu, maka pada
suatu hari Ou Shin menemui Juragan Shi. "Saya sudah di sini lama
sekali, mendapackan kebaikan dari Tuan," dia berkata kemudian
meminta izin untuk pamit dengan alasan yang bersifat
pribadi.
"Ibu saya berkatakan selagi tubuhnya masih bisa
bergerak, dia ingin cepat pergi ke En An dan hidup di sana. Untuk
anak Tuan sendiri, saya sudah mengajarkan seluruh ilmu dasar yang
saya miliki. Semoga seluruh anggota keluarga di sini selalu sehat
adanya."
Mendengar kata-kata perpisahan yang sama sekali tidak
terduga, sang Juragan terkejut, dan anaknya, Shi Shin pun merasa
sedih. Tetapi rnereka tahu akan sia-sia saja menahan keberangkatan
anak dan ibu tersebut. Maka saat pesta perpisahan, mereka memberikan
barang-barang dari emas dan perak, serta uang kepada keduanya. Lalu
pada hari keberangkatan mereka, Juragan Shi memberikan kuda serta
menyertakan anak buahn untuk menemani
dan mengantar mereka sarnn '
kabupaten sebelah yang menuju jalan Kan Sei.
Tetapi setelah itu,
Shi Shin yang ditinggal perm tenggelam dalam
kehampaan. Rasa sepi yane am sangat akhirnya membawa dirinya
ke dunia minuman keras. Tak lama kemudian, kekosongan yang lebih
besat melandanya pula. Pada musim gugur, secara tiba-tiba ayahnya
meninggal karena sakit.
Mungkin akibat kejadian yang bertubi-tubi
itu, sifat Shi Shin yang semaunya kini malah diimbuhi sikap-sikap
penghancuran diri. Sejak awal dia sudah menyatakan bahwa dia tidak
cocok menjadi petani dan akhirnya, dia memang tidak lagi
memerhatikan pekerjaan rumah. Sekarang di rumahnya banyak berkumpul
orang yang tidak kelihatan seperti petani, yang kerjanya
membangga-banggakan kehebatan serta hanya tertarik pada kesempatan
mencari lawan untuk berkelahi. Bahkan akhir-akhir ini, jika diancam
dengan hama Shi Shin si Naga Sembilan dari Desa Shi Ke, anak-anak
yang menangis pun akan reda tangisannya.
Bayangan
pegunungan terlihat dikejauhan sedikit pun tak terlihat adanya
pedesaan. Di Kabupaten Ka In, di antara gunung dan gunung, terdapat
gunung yang disebut Shou Ka yang sangat jauh di pedalaman.
Bumi
di bawah langit adalah milik manusia dan manusia adalah mahlukyang
hidup di dalamnya. Begitu pula bila kita lebih mendekat ke Gunung
Shou Ka, ke perut gunung itu. Di sana akan terdengar ramainya
percakapan serta asap yang mengepul tanda kesibukan hidup
sehari-hari penduduknya, orang-orang yang bangga berkata, kami
memang hidup di dalam benteng dan perlindungan gunung, apa anehnya
itu?
"Hei, You Shun. Sepertinya keadaan akhir-akhir ini tidak
begitu baik. Apa Chin Tatsu masih tidur di gua?" "Kelihatannya
begitu. Tiga had yang lalu dia pergi ke Kabupaten Ho Jou,
berkeliling mencari pekerjaan yang bagus, namun semalam dia pulang
dengan tangan kosong. Tampaknya di dunia bawah, tahun ini juga
paceklik."
"Apakah memang begitu? Sampai musim serni lalu, enam
hingga tujuh ratus orang yang hidup di benteng perlindungan gunung
ini, bisa hidup mewah bagaikan raja berkat upeti dari dunia bawah
sana. Namun sejak beberapa hari yang lalu kita sampai mengalami
kekurangan daging dan arak. Ini betul-betul aneh."
"Chin Tatsu
juga bilang ini mungkin diakibatkan pengumuman yang disebarkan di
puri Kabupaten Ka In. Katanya, mereka akan memberikan hadiah sebesar
3000 kan bagi yang bisa memenggal tigakepak kita, pemimpin
di
sini. Mereka memasang papan pengumuman di tempat-tempat yang
penting, melarang pelancong berjalan malam hari, serta menggalakkan
penjagaan oleh orang sipil."
"Menyebalkan sekali. Kalau di kantor
pemerintah ada uang sebesar itu, mengapa tidak langsung saja
diberikan kepada kita. Dengan begitu, selama setengah tahun kita
tidak perlu turun gunung dan mengganggu mereka. Hahaha."
Meskipun
saat itu musim panas, kabut di gunune terasa dingin menggigit. Di
dekat gerbang besar benteng perlindungan, beberapa pria
berpenampilan aneh berke-1 rumun, dan di sana-sini terlihat kepulan
asap dari api unggun. Pada undakan batu di belakang bangunan besar
berupa gua batu itu terlihat sekelompok orang yang sedang minum
arak. Di situlah kepala perampok gunung yang mengepalai tujuh ratus
orang perampok bercakap-cakap, di antaranya Shu Bu yang merupakan
pelatih para anggotanya dan You Shun si Hakka Da.
Tak lama
kemudian, muncul seorang lagi.
"Kukira kalian sedang membicarakan
apa. Tahunya minum-minum saja."
Sambil menggeliat, dengan santai
dia menurum undakan batu. Dialah si Harimau Terbang, Chin Tatsu,
yang baru saja dibicarakan kedua orang tadi. Dan tentu saja, dia
adalah salah satu kepala perampok di gunung itu.
"Oh, Chin Tatsu.
Kalau dikatakan minum-minum saja, memang memalukan. Tapi bukankah
justru kau yangmeninggalkan gunung selama tiga hari, lalu kembali
tanpa membawa oleh-oleh sama sekali?"
"Memang benar. Tetapi aku
membawa kabar yang cukup bagus." "Kabar apa?"
"Dalam perjalanan
pulang ke sini, aku menangkap pemburu kelinci yang bernama Ri Kichi.
Kabar ini aku dengar darinya."
"Kautangkap si tukang menguliti
kelinci, lalu kaukuliti juga dia?"
"Dasar tolol. Mana mungkin
Chin Tatsu ini mengganggu pemburu dan rakyat biasa yang lemah?
Bukankah saat mengucapkan sumpah, kita bertiga sudah berikrar? Bahwa
meskipun kita perampok, kita tidak akan membuat susah orang-orang
lemah. Ri Kichi memberiku informasi mengenai target selanjutnya,
yang tentunya bukanlah orang kecil seperti dia."
"Hmm. Lalu
dengan panduan Ri Kichi, kau mau memasuki rumah siapa?"
"Gedung
besar di Desa Shi Ke. Rumah tua itu katanya memiliki kekayaan yang
jauh lebih banyak daripada yang sekadar terlihat."
"Saudaraku,
sebaiknya jangan. Desa Shi Kc itu
menyeramkan."
"Mengapa?"
"Kepala di desa itu, si Naga
Sembilan, bukan? Mana mungkin kita bisa melawan dia. Selain itu, kau
juga tahu di kantor pemerintah terdapat hadiah sebanyak 3000 kan
untuk kepala kita. Kita juga harus bersiap-siap untuk menghadapi
itu."
"Menurut Ri Kichi, reputasi kehebatan si Naga Sembilan
memang begitu tinggi sehingga tidak ada yang bisa menandinginya di
empat kabupaten. Tetapi bagaimanapun dia anak gedongan yang tidak
tahu dunia luar. Siapa pun yang rela merendah, boleh saja bertamu
dan menginap semaunya, Selama di sana kita akan dijamu arak dan
ketika akan meninggalkan tempatnya, kita akan diberi uang bekal.
Dengan kata lain, sungguh santapan yang lezat bagi ronin tak
bertuan. Lagi pula mungkin kehebatannya terlalu
dibesar-besarkan."
"Tapi kalau hanya kata-kata, tidak bisa
dijadikan pegangan. Apa Ri Kichi sendiri pernah mencoba menginap di
sana?"
"Memang tidak. Meskipun demikian, aku, Chin Tatsu,
memiliki kepercayaan diri yang besar. Di tempat kelahiranku, Gyou
Jou, aku dikenal sebagai si Harimau Terbang bertombak panjang. Aku
tidak sudi jika kita, tiga pemimpin Gunung Shou Ka, dianggap takut
pada anak dua puluh tahun yang rnasih bau kencur. Lagi pula dia
orang kaya, kan? Mana mungkin kita biarkan begitu saja."
Chin
Tatsu terus berkoar-koar. Semakin keras upaya Shu Bu dan You Shun
mencegahnya, keinginannya justru semakin kuat.
"Kalau begitu,
biar aku pergi sendiri saja. Kalian, saudara-saudaraku, minumlah
arak sepuasnya."
Demikianlah, dia segera memerintahkan dua raws
anak buahnya untuk bersiap berangkat. Dia sendiri pun mempersiapkan
diri seolah akan menuju medan perang.
Dia mengenakan topi perang
dari besi berhias jumbai merah, serta baju zirah dari tembaga yang
dari dalamnya, meskipun sudah agak lusuh, tampak berkibar-kibar
lengan baju sutra dari daerah Shokkou. Dia juga memakai sepatu kulit
berbentuk bulan sabit. Tatkala dia duduk di atas kuda putih yang
sudah terbiasa dengan jalanan terjal gunung, dengan pedang besar
terselip di sabuk kain, tampak jelas dia memang layak dipandang
sebagai jenderal perampok Gunung Shou Ka seperti yang dibicarakan
orang.
Dia mengepit tombak panjangnya, lalu mengibaskan tombak
itu sehingga ujungnya menuding ke arah kaki gunung sebelah
barat.
"Ayo. Saat kita menuruni gunung, pasti senja sudah
menjelang. Yang menganggap dirinya laki-laki, ikuti aku."
Oiu
ratus anak buahnya memukul-mukul tambur, dan ketika tiba di gerbang
bentcng perlindungan, serentak mereka berteriak memompa semangat.
Tak lama kemudian, barisan yang bagaikan ular hitam besar itu
menghilang di kaki gunung.
"Sungguh merepotkan.
Akhir-akhir ini Chin Tatsu sering bertindak
gegabah."
"Memang dia yang paling tua di antara kita bertiga.
Lagi pula dia merasa dirinya pemimpin tertinggi di sini, jadi dengan
kondisi di benteng perlindungan yang memburuk seperti ini, tentunya
dia merasa tidak bisa hanya berpangku tangan."
"Kalau begitu,
meskipun enggan berurusan dengan orang yang akan kita hadapi ini,
kita berdua juga tidak bisa tinggal diam."
Shu Bu kelahiran Gen,
di Provinsi Tei En, saat berperang dia selalu menggunakan pedang
ganda. Tetapi dia sendiri berpendapat, keahliannya lebih kepada ilmu
dan strategi perang.
Sementara itu, si Ular Bunga Putih, You
Shun, berasal dari Kai Ryou Provinsi Ho, dan ahlt memainkan tombak
besar. Pinggangnya ramping, lengannya sangat panjang. Sesuai dengan
julukannya, dia bagaikan ular siluman, berwajah putih
kebiruan.
Baik Chin Tatsu maupun kedua orang ini dulu adalah
orang baik-baik atau kcsatria di Daerah E Ko. Tetapi pada saat
pemerintahan Dinasti Sou, di bawah Kaisar Ki Sou yang
sewenang-wenang, kekacauan dan kebusukan merambah ke seluruh penjuru
negeri. Orang-orang mulai merasa bodoh apabila melakukan pekerjaan
yang benar dan wajar, yang pada gilirannya membuat mereka
berkeinginan menghirup udara dunia liar semau mereka. Terbentuknya
sarang perampok di Gunung Shou Ka ini tentunya juga akibat kebusukan
pemerintahan Kaisar Ki Sou tersebut.
Beberapa saat kemudian,
kedua pemimpin perampok ini juga turun gunung ke Desa Shi Ke dengan
membawa banyak anak buah. Malam semakin larut, dan akhirnya di dasar
kabut malam yang menghitam terlihatlah cahaya merah. Cahaya itu
menunjukkan arah ke Desa Shi Ke. You Shun menghentikan kuda lalu
memanggil Shu Bu yang ada di belakangnya.
"Mereka sudah mulai.
Lihat api itu. Tampaknya Chin Tatsu sudah tiba di rumah si Naga
Sembilan. Kita tidak mungkin membiarkan kakak kita daJam kesulitan,
bukan? Ayo, kita segera ke sana."
Namun, sebelum mereka mencapai
kaki gunung, tampak anak buah Chin Tatsu pontang-panting melarikan
diri dengan kondisi kepayahan.
Ada apa?" tanya You Shun kepada
mereka. Mereka bilang, di desa itu telah ada persiapan yang sangat
matang, dengan aba-aba pukulan kentongan dan tambur. Para petani dan
anak muda serta para penduduk desa berkumpul di rumah si Naga
Sembilan, bagaikan pasukan tentara yang sudah terlatih dan
memperketat penjagaan.
Tetapi para perampok di bawah pimpinan
Chin Tatsu juga tidak mau kalah. "Mereka hanya petani!" pekik
mereka. Mereka menerobos gerbang dengan membunyikan tambur dan
kentongan besi. Tetapi ternyata lawan mereka sangat kuat. Dalam
hujan anak panah dan lemparan bola api, terjadilah pertempuran yang
sengit. Tak lama kemudian, si Naga Sembilan sendiri yang muncul. Dia
mulai bertarung dengan :man mereka, Chin Tatsu. Mereka mengira akan
lerjadi pertarungan alot, tetapi dengan sangat cepac dan mudah
tombak panjang Chin Tatsu dijatuhkan si Naga Sembilan, dan Chin
Tatsu pun menjadi tawanan.
"Aku memang sudah dengar mengenai
kehebatannya. Tapi apakah ilmu si Naga Sembilan begitu
tingginya?"
"Pemimpin Chin Tatsu sama sekali bukan
tan-dingannya."
Demikianlah, anak buah Chin Tatsu kehilangan
semangat bertempur.
Namun, Shu Bu dan You Shun juga tidak mungkin
melarikan diri kembali ke gunung. Kalau mereka kabur, kepercayaan
tujuh ratus anak buahnya akan hilang. Meskipun demikian, sejak awal
mereka sudah tidak memiliki kepercayaan diri untuk bisa melawan si
Naga Sembilan. Wajah pucat You Shun semakin biru. "Apa yang harus
kita lakukan, Kak?" "Kalau begini kondisinya, tak ada cara lain.
Serahkan padaku."
Tampaknya tebersit suatu ide di kepala Shu Bu
yang piawai dalam soaJ taktik strategi. Shu Bu
segera
memerintahkan semua anak buahnya untuk tinggal di tempat,
dan dia sendiri beserta You Shun pergi mendekati Desa Shi Ke.
Pasukan desa segera melihat mereka, lalu mengepung, menangkap, dan
menggelandang mereka ke balik gerbang. Di halaman luas yang
ditumbuhi pohon liu itu terlihat api unggun di beberapa tempat, dan
di sebatang pohon di tengah-tengah halaman, Chin Tatsu yang
ditangkap hidup-hidup terikat erat. Sepertinya mereka kini sedang
minum-minum arak kemenangan dengan menjadikan Chin Tatsu
tontonan.
"Apa? Shu Bu dan You Shun dua pemimpin lainnya datang
untuk menyerahkan diri? Apa tujuan mereka? Fasti mereka punya niat
tersembunyi."
Shi Shin duduk di tong arak yang terbuat dari
tembikar. Dia mengenakan baju zirah dengan sisik-sisik merah
mengilap, dan di baJiknya terlihat baju jubah biru dari sutra serta
sepatu sebetis berwarna kuning. Di sampmgnya tegak sebuah busur, di
pinggangnya terselip pedang panjang bermata dua dan berujung
segitiga dengan delapan ali-aJi di pinggirnya. Wajahnya terlihat
berseri-seri, mimgkin karena keringat yang muncul akibat
perterapuran yang sudah lama tidak dialaminya atau raungkin karena
pengaruh arak.
"Apa pun niat mereka, bawa mereka ke sini! Bisa
jadi mereka Shu Bu dan You Shun palsu, tapi ada baiknya kita
dengarkan dulu kebohongan mereka. Perbesar lagi api unggunnya dan
bawa mereka ke hadapanku."
Sebelum melihat langsung Shu Bu lalu
You Shun, Shi Shin sudah memiliki kecurigaan besar. Tapi kalau
mereka berdua memang Shu Bu dan You Shun asli, itu lebih bagus. Dia
akan dapat memenggal kepala tiga pemimpin perampok itu sekaligus dan
menjadikan mereka tontonan. Demikianlah niat si Naga
Sembilan.
Namun, ketika dia mendengarkan semua yang dikatakan Shu
Bu dan You Shun, mabuknya lenyap sedikit demi sedikit dan akhirnya
dia mengucurkan air mata. Shu Bu mengucapkan sepatah demi sepatah
kata dengan memelas.
"Silakan Anda ikat kami berdua, juga Chin
Tatsu, dan serahkan kami ke petugas di kabupaten. Untuk kepala kami
bertiga ada hadiah sebesar 3000 kan. Kami akan sangat senang jika
uang itu dibagikan kepada penduduk kampung sekitar yang sedang
sengsara. Kami, Chin, You, dan Shu, meskipun menjadi perampok, telah
berikrar untuk menjadi perampok yang budiman, dan kami sudah
berjanji untuk terus bersatu kendati saat menghadapi kematian.
Dengan demikian, kalau kakak kami Chin Tarsu tertangkap seperti ini,
kami berdua pun tidak lagi dapat tetap hidup. Lagi pula, kalaupun
tetap melawan Anda, kami sudah tahu tidak akan bisa menang. Nah,
sekarang silakan Anda putuskan hukuman untuk kami.
Tampaknya hati
Shi Shin yang polos sangat tersentuh kata-kata Shu Bu. Dia juga
kagum mendengar masih ada perampok yang berhati mulia serta mau
menjadi pembela rakyat miskin. Akan tetapi karena Shi Shin pada
dasarnya sangat tegar, dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di
depan orang-orang desa.
"Hei! Lepaskan tali ikatan Chin Tatsu!
Kemudian, beri ketiga orang ini arak."
Kemudian, kepada ketiga
orang yang sama sekali tidak mengeluarkan suara lagi, Shi Shin
berkata dengan gagah, "Aku pernah mendengar bahwa pencuri juga
memiliki pertalian yang sangat kuat, tapi keeratan hubungan kalian
betul-betul membuatku kagum. Kalian tenang saja. Aku sendiri sangat
benci menjadi kepanjangan tangan pejabat pemerintah yang busuk. Aku
juga sama sekali tidak menginginkan uang hadiah. Nah, sekarang
kalian minum arak dulu dan selagi hari masih terang, kembalilah ke
Gunung Sho Ka atau ke mana pun yang kalian inginkan. Tapi ingat,
jika kudengar kalian mengganggu petani-petani di tiga kabupaten ini,
mungkin saja Naga Sembilan ini akan mendatangi dan meminta kepala
kalian."
Ketiga orang itu mengantukkan dahi ke tanah,
menyembah-nyembah si Naga Sembilan. Kemudian mereka bertiga pun
minum arak sambil berlinang air mata Mereka seperti binatang yang
memiliki budi setelah dibebaskan dari tangan manusia. Lalu sebelum
fejar menjelang, mereka meninggalkan Desa Shi Ke dan kembali menuju
tempat asal mereka, Gunung Shou Ka.
Si Shin Tinggalkan Kampung Halamannya Menuju
I Sui, Bertemu Polisi Militer Ro di kota
DI kalangan mereka ada
peribahasa yang berbunyi "Harimau tidak akan makan mangsa yang sudah
menyerah." Seperti itulah si Naga Sembilan. Demikianlah sejak saat
itu, You Shun, Chin Tatsu, dan Shu Bu benar-benar mengagumi sifat
Shi Shin.
Shi Shin sendiri malah sudah lupa sama sekali dengan
kejadian malam itu. Namun suatu sore, ada anggota perampok yang
datang ke tempat Shi Shin seraya memanggul kiriman.
Persembahan
ini sama sekali tidak sebanding dengan apa yang disebut balas budi,
namun terimalah sebagai niat baik kami. Sebelum lupa, kami sampaikan
juga salam dari ketiga pemimpin kami di
gunung."
Kemudian anggota
perampok itu cepat-cepat berlalu.
Ketika
kiriman dibuka, di dalamnya terdapat kulit binatang, sayuran gunung,
serta lempengan emas kira-kira sebanyak tiga puluh ryou. Shi Shin
tertawa.
"Tidak enak juga menerimanya. Ini mungkin upaya keras
untuk menunjukkan maksud baik mereka. Sudahlah, kuterimasaja.
Emasnya nanti dapat digunakan saat diperlukan. Simpanlah," katanya
kepada anak buahnya.
Tetapi ternyata tidak sekali itu saja,
selanjutnya berkali-kali datang kiriman dari gunung. Terkadang
mereka juga mengirimkan batu permata.
Shi Shin merasa malu kalau
hanya terus menerima. Oleh karena itu, dia menyuruh anak buahnya
membuat tiga jubah tenun sutra merah yang merupakan kesenian
turun-temurun di desanya, memasukkan daging domba bakar yang gurih
berlemak ke dalam wadah besar, lalu menyuruh anak buahnya
mengantarkan barang-barang itu ke gunung, sebagai ucapan terima
kasih atas kebaikan mereka hingga saat ini.
Di rumah keluarga
Shi, ada seorang kepala abdi bernama Ou Shi. Untuk mengantarkan
kiriman tadi, Shi Shin menyuruh Ou Shi ditemani seorang petani.
Ketika kedua suruhan ini tiba di kaki gunung, mereka ditangkap
penjaga di situ. Tetapi setelah mendengar mereka berkata, "Kami
suruhan Tuan Naga Sembilan," para penjaga segera memandu mereka ke
gunung. Di sana, Shu Bu serta kedua kepala perampok yang lain
menjamu Ou Shi dan temannya dengan sebaik-baiknya. Mereka
menghidangkan arak serta makanan.
"Tak pernah sehari pun kami
melupakan budi baik Saudara Shi Shin," kata mereka. Tatkala kedua
pesuruh ini pulang pun, mereka diberikan uang perak sebanyak sepuluh
ryou.
Ketika mendengar laporan dari Ou Shi yang sudah kembali
dari gunung, Shi Shin berkata, "Oh, ternyata mereka senang dan
berkata seperti itu tentang diriku?" Tentu saja Shi Shin gembira
mendengarnya.
Demikianlah, seiring semakin eratnya hubungan
mereka, Shi Shin tidak lagi menganggap mereka perampok. Baginya,
hubungan tersebutadalah hubungan antarlelaki sejati.
Memasuki
pertengahan musim gugur, Shi Shin berniat mengadakan pesta sambil
menikmati indahnya bulan. Alangkah menyenangkan jika bisa menikmati
keindahan bulan purnama di tengah musim gugur sambil mengobrol dan
minum arak bersama Shu Bu, You Shun, dan Chin Tatsu, pikirnya. Oleh
karena itu, dia kembali menyuruh Ou Shi mengantarkan surat undangan
ke Gunung Shou Ka.
Tentu saja Shu Bu dan kawan-kawan merasa
senang.
"Kami pasti datang," katanya dalam surat balasan yang
diserahkan kepada Ou Shi, ditambah uang jalan sebanyak lima ryou. Ou
Shi juga kegirangan karena diberi minum arak sebanyak sepuluh
gelas.
Ketika sedang menuruni gunung dengan langkah sempoyongan,
dia bertemu anggoca perampok yang sudah dikenalnya.
"Hai,
Jenderal," sapa Ou Shi sambil memeluk orang itu. Si anggota perampok
juga dalam keadaan mabuk.
"Wah, Saudara Ou," kata si anggota
perampok sambil menggosokkan wajahnya yang berewok ke pipi Ou Shi.
Mereka mengobrol tak tentu arah khas orang mabuk. Kemudian, dua
pasang kaki yang terkadang berantukan itu melangkah lagi ke arah
warung arak yang ada di kaki gunung.
Pastinya mereka sudah
kebanyakan minum.
Malam itu, setelah berpisah dengan si perampok,
di pertengahan jalan Ou Shi tertidur di padang ilalang. Kalau
masalahnya hanya sampai di situ, tidurnya akan sangat menyenangkan.
Tetapi pada saat itu lewatlah seorang pemburu. Dialah Ri Kichi, si
pemburu kelinci, orang yang telah memberi petunjuk kepada Chin Tatsu
untuk menyerang Shi Shin. Karena itulah dia dibenci penduduk desa.
Ri Kichi memang sangat licik. Dia tersandung tubuh Ou Shi di padang
ilalang.
"Eh. Bukankah ini Ou Shi dari keluarga Shi Shin? Kenapa
dia?"
Dia mendekati tubuh yang bau arak itu, lalu sambil
pura-pura bersikap ramah, Ri Kichi mengelus-elus sabuk kain yang
dipakai Ou Shi. Kemudian dia meraba uang dan surat yang ada di
dalamnya. Dengan tatapan selicik rubah, dia memandang
berkeliling.
Keesokan harinya, dengan membawa surat yang
dicurinya dari Ou Shi, Ri Kichi pergi ke kantor pemerintah kabupaten
untuk melapor, sementara itu Ou Shi dengan wajah muram kini sedang
menghadap majikannya, Shi Shin.
"Saya sudah pergi dan
menyampaikan surat dari Tuan. Ketiga kepala di Sana dengan gembira
akan menghadiri undangan Tuan."
"Kau baru datang, Ou Shi? Lama
sekali perjalananmu." "Maafkan saya, Tuan. Di
gunung, saya dijamu besar-besaran, jadi..."
"Memang, kau
ini kalau sudah disuguhi arak, pasti lupa diri. Sudahlah. Sekarang
pergilah ke dapur, suruhlah orang-orang menyiapkan masakan dan
mengeluarkan piring-piring saji dari gudang."
Hari berikutnya
adalah pertengahan musim gugur. Sejak siang hari, para pekerja dan
pelayan di rumah keluarga Shi sibuk menggelar tikar untuk persiapan
pesta. Mereka menyembelih berpuluh-puluh ekor kambing, bebek, dan
ayam. Masakan yang sudah dibuat sejak sehari sebelumnya dihidangkan
dengan berpuluh-puluh nampan perak, dan bertong-tong arak
dikeluarkan dari gudang untuk disuguhkan.
Tak lama kemudian, Shu
Bu, Chin Tatsu, dan You Shun tiba tepat waktu. Mereka mengenakan
baju sutra merah di bawah baju zirah mereka, hadiah dari Shi Shin
beberapa waktu lalu.
Mereka dilayani para remaja setempat. Shi
Shin menempatkan mereka pada tempat duduk tamu
kehormatan.
"Terima kasih atas kedatangan kalian. Sejak dulu ada
pepatah bahwa laki-laki yang baik akan mengenal laki-laki yang baik
pula. Malam ini bulan sangat indah. Marilah kita berbincang sepuas
had kita di bawah bayang-bayang bunga katsura. Ayo, jangan sungkan,
santai saja," kata Shi Shin.
Mereka mulai saling menuang arak.
Ketika malam semakin larut, cahaya bulan semakin terang, dan titik
embun menghiasi daun-daun pohon katsura, membuat kegembiraan di
antara tamu dan pengundangnya seolah tidakakan pernah berakhir.
Setiap kali kelakar penuh tawa berakhir, kosong pula sebuah tong
arak. Pembicaraan di antara mereka berlangsung begitu
hangat.
Tiba-tiba Shi Shin dan ketiga tamunya terperangah. Di
sekeliling tembok bagian luar terasa ada pergerakan orang dan kuda
yang menyerbu bagaikan ombak. Mereka menajambn pendengaran, dan tak
lama kemudian-terdengar teriakan.
"Hei, Shi Shin! Buka
gerbangnya! Kalau tidak, akan kami dobrak! Di tempatmu ada
perampok-perampok dari Gunung Shou Ka. Kami tahu karena ada laporan
kepada kami. Kalian tidak akan bisa melarikan diri karena sudah kami
kepung. Sekarang silakan pilih. Serahkan para perampok itu
baik-baik, atau kami akan memaksa masuk!"
"Petugas-petugas dari
kabupaten datang menyerang kita karena ada yang melapor. Memang ada
pepatah yang berbunyi, bagaimanapun suatu saat bunga-bunga akan
berguguran karena angin, dan bulan akan kelam karena tertutup awan,
tetapi untuk kali ini, rasanya terlalu cepat," kata Shi Shin sambil
berdecak.
"Saudara-saudaraku, kalian tidak usah panik. Silakan
minum terus dengan santai."
Shi Shin pun meninggalkan tempat
pertemuan. Dia menaiki tangga dan dari atas tangga, dia meneriakkan
sesuatu ke arah para petugas yang berada di luar gerbang. Di situ
terlihat banyak sekali obor yang menyala. Dia juga dapat melihat
beragam tombak tegak terpancang serta alat-alat pengikat.
"Kau
Shi Shin, pemilik tempat ini? Kami petugas dari kabupaten. Kalau kau
menangkap para perampok itu dengan tangan sendiri dan menyerahkan
mereka kepada kami, itu lebih baik. Tapi kalau tidak..."
"Astaga,
jangan berisik. Aku sengaja mengundang ketiga kepala perampok itu ke
sini untuk membuat mereka mabuk berat."
"Jadi, kau tidak berkawan
karib dengan perampok-perampok itu ?"
"Yang benar saja. Mungkin
kedengarannya sombong, tapi seperti yang kalian ketahui, kami
keluarga tertua di Desa Shi Ke, dan secara turun-temurun menjadi
penghulu di desa ini. Apa untungnya bagi kami berkawan dengan
perampok? Omong-omong, kalian akan memberikan uang hadiah yang 3000
kan itu,
bukan?"
"Tentu saja. Itu sudah diumumkan. Tetapi itu
kalau kau segera membawa perampok-perampok itu ke hadapan
kami."
"Kalau begitu, jangan ribut. Tunggulah di tempat yang agak
jauh. Aku akan membuat mereka minum sampai mabuk, lalu akan kuikat
mereka bertiga. Setelah itu, aku akan membuka gerbang
ini."
Begitu kembali ke tempat pesta, Shi Shin segera
memerintahkan anak-anak muda di sana untuk membungkus semua harta
kekayaan berupa uang dan emas permata yang ada di gudang. Kemudian
dia menyuruh beberapa puluh orang yang memiliki tenaga besar untuk
mengangkut bungkusan itu, demikian juga para perempuan dan
anak-anak. Kemudian dia menyuruh orang untuk
membakar dangau berarap ilalang yang ada di belakang
gedung. Ketiga kepala perampok terkejut. "Mengapa kau membakar rumah
ini? Apa karena akan melindungi kami?"
"Bukan. Aku hanya ingin
menunjukkan bahwa aku tidak terlibat dengan semua ini. Kejadian
malam ini membuatku seolah telah menjebloskan kalian ke dalam
perangkap."
"Jangan bercanda. Apa pun yang terjadi, kami tidak
akan berpikir bahwa Saudara Naga Sembilan-lah yang telah memasang
perangkap untuk kami. Tunggu. Jangan dulu dibakar."
Sambil
berteriak, mereka meletakkan tangan di belakang punggung untuk
menunjukkan bahwa mereka sudah pasrah.
"Kami sudah menyusahkanmu
yang telah berbuat baik dan mau berteman dengan kami kaum perampok.
Sekarang waktunya bagi kami untuk menyerah. Silakan ikat kami dan
serahkan kami kepada petugas kabupaten."
"Jangan berkata yang
tidak-tidak. Kalau aku berbuat begitu maka selama hidup, nama Shi
Shin ini akan dilecehkan. Jika kalian menyuruhku melakukan hal
semacam itu, sama saja kalian menyuruhku menjadi pengemis. Lihat,
api sudah menjalar. Untuk saat ini, pesta kita sudahi dulu, dan man
kita melarikan diri ke gunung tempatperlindungan kalian."
Melihat
api yang berkobar d. dalam gedung, di bar gerbang pun terdengar
teriakan. Karena Shi Shin sudah membuka palang pintu gerbang dan
berlari ke bar, maka Shu Bu, You Shun, dan Chin Tatsu juga terpaksa
ikut keluar.
Asap segera berubah menjadi awan hitam yang
membubung tinggi dengan cepat, dan bulan purnama
pun berubah
warna menjadi merah darah, menyaksikan hujan kilatan pedang serta
teriakan-teriakan. Tidak lama kemudian, bagaikan guguran dedaunan
yang disapu kuda para petugas kabupaten serta orang-orang yang
tadinya berniat menangkap ketiga perampok itu lari
terpontang-panting.
Sebaliknya, ada juga barisan yang terus
berlan menuju Gunung Shou Ka. Lalu setelah semua menghilang, ketika
fajar menyingsing d. Desa Shi Ke yang sepi, di rumah besar keluarga
Shi yang dihum secara turun-temurun selama seratus tahun lebih,
serta pepohonan di sekitar gudang-gudang, api mas.h terus berkobar
marak.
Aku ini sungguh tolol, pikir Shi Shin menertawakan diri
sendiri. Tentunya nenek moyangku akan menangis sedih. Tetapi
beginilah sifat yang kubawa sejak lahir, aku tidak bisa berbuat
apa-apa lagi. Ketimbang pada harta kekayaan yang ada, hatiku lebih
condong pada rasa tanggung jawab dan keadilan terhadap ketiga
perampok itu. Kesalahan nenek moyangkulah yang telah melahirkanku
sebagai anak yang seperti ini.
Tapi tidak ada gunanya pula
terus-menerus berada di gunung seperti ini, tanpa ada sesuatu yang
bisa dilakukan. Sekarang aku orang bebas yang tidak lagi memiliki
rumah. Sebaiknya aku pergi ke En An menemui guru Ou yang beberapa
tahun lalu meninggalkanku, pikirnya lagi.
Sejak melarikan diri ke
Gunung Shou Ka, waktu sudah berlalu kira-kira satu bulan. Shi Shin,
si Naga Sernbilan menyampaikan niatnya kepada ketiga pemimpin
perampok.
"Aku minta tolong agar para abdiku dan pemuda yang ikut
melarikan diri ke sini, dapat kembali memiliki pekerjaan yang layak,
setelah kalian mendapat waktu yang tepat. Kemudian tolonglah bagikan
harta kekayaan yang kami bawa waktu itu. Aku hendak melakukan
perjalanan ke Kan Sei mengunjungi guruku, Ou Shin."
Tentu saja
para pemimpin perampok dan orang-orang yang ada di desa tersebut
merasa sedih dengan perpisahan itu dan berusaha menghentikan niat
Shi Shin. Tetapi kondisi memaksa Shi Shin dan takdir membuatnya
mengemban salah satu di antara 108 bintang yang ada. Maka,
perpisahan pun tidakterelakkan Dia memang merupakan perintis pertama
yang nantinya akan bergabung dengan 107 bintang tenkou chisatsu
pahlawan-pahlawan lainnya dalam benteng Sui Kou (Ryou Zan Paku) yang
akan berjuang di balik bayang-bayang ilalang, berselimut jarum-jarum
es di pinggir-pinggir perahu yang dingin menusuk, berjuang melawan
penguasa.
Akhirnya Shi Shin meninggalkan Gunung Shou Ka. Sosok
Shi Shin yang berjalan tegap benar-benar sosok dambaan anak-anak
muda pada zaman Dinasti Sou. Pada lipatan topi Han You yang terbuat
dari kulit kambing, berkibar ikatan benang berwarna bunga mawar.
Pada kain penutup rambut di kepalanya juga dipasangi hiasan berwarna
kuning telur. Mungkin karena dia tidak menyukai warna-warna
mencolok, pakaian yang dikenakannya hanya berupa kain kasa putih
lengan pendek, dengan sabuk berupa tali dari tenunan Kou Bai di mana
dengan anggun tergantung pedang panjang, pelindung kakinya
bergaris-garis biru dan putih pun tampak sangat ringan. Tentu saja,
sesuai dengan perjalanan jauh yang akan dilakukannya, dia memakai
sepatu dari kain kasa tebal berlapis kulit yang tahan
lama.
Meskipun pakaian yang dikenakan di tubuhnya sangat indah,
dalam hal tempat menginap dan makanan, dia tidak pilih-pilih. Dia
tidur di padang rumput
atau berbaring di gunung begitu saja.
Perjalanan itu berlangsung selama dua puluh hari. Tak lama kemudian,
dia tiba di sebuah kota yang bernama I Shu.
"Seperrinya di sini
juga ada puri pemerintahan daerah. Kalau begitu, mungkin saja aku
bisa mendapat informasi tentang Guru Ou."
Di dalam benteng,
kotanya cukup ramai. Di sudut keramaian kota terdapat warung teh.
Dia memasuki warung itu dan berkata, "Hei, tolong beri aku secangkir
teh."
"Baik, baik. Tuan seorang pelancong?" tanya pemilik
warung.
"Benar. Aku sedang mencari orang yang bernama Guru Ou
Shin, dia berasal dari ibukota Kai Hou Tou Kei. Kau kenal
dia?"
"Yang mana, ya? Soalnya di sini ada beberapa orang bermarga
Ou. Kalau nama marga saja, saya tidak bisa yakin."
Pada saat itu,
seorang laki-laki bertubuh tinggi besar masuk dengan langkah
lebar-Iebar. Dia menutupi tubuhnya yang gempal dengan pakaian perang
warna hijau tua, dan mengenakan kain penutup kepala hitam berbentuk
swastika di kepalanya. Di atas penutup kepala itu bertengger lencana
keemasan yang mengilap.
Matanya berkilat-kilat, wajahnya yang
bulat kemerahan dipenuhi jambang yang sangat tebal. Di pinggangnya
melilit sabuk tebal, di mana tergantung pedang
dengan hiasan ali-ali
emas. Tidak peri dipertanyakan lagi, yang
dikenakannya adalah pakaian tentara. Selain itu, tubuhnya sangat
jangkung sehinee untuk melihat wajahnya, orang
harus nienengadah Lingkar pinggangnya mungkin dua kali lipat
ukuran orang biasa.
"Ternyata Tuan Polisi Militer. Tepat sekali
waktu kedatangannya kemari. Silakan Anda tanyakan orang yang Anda
cari itu kepada Tuan Polisi ini."
Shi Shin berdiri dari kursinya,
lalu dengan penuh hormat berkata, "Maafkan ketidaksopanan saya, saya
ingin bertanya sesuatu kepada Tuan."
"Ada apa? Apa ada urusan
dengan saya?" "Saya Shi Shin, dari Kabupaten Ka In, Provinsi Ka Shu.
Saya ingin bertanya tentang seseorang bernama Ou Shin, yang dulu
tinggal di ibukota Tou Kei dan bekerja sebagai pelatih di
ketentaraan istana. Atau mungkin Tuan pernah mendengar kabar angin
tentang dirinya?" "Tidak pernah," kata si polisi militer sambil
meng-gelengkan wajah berewoknya. Lalu dengan tajam dia menatap Shi
Shin. "Pelatih Ou tidak ada di sini, tetapi jangan-jangan, Anda ini
Shi Shin dari Desa Shi Ke? "Bagaimana Tuan bisa tahu?" "Ternyata
memang sesuai dengan yang saya dengar. Sudah lama saya mendengar
tentang Anda. Begitu juga mengenai Pelatih Ou Shin yang Anda
tanyakan, sedikit-banyak saya tahu."
"Maaf, nama Tuan
siapa?"
"Saya polisi militer yang bekerja di kantor pemerintahan
di puri ini. Marga saya Ro dan nama saya Tatsu."
"Polisi militer
bernama Ro. Rasanya Idea bukan baru pertama kali bertemu. Maafkan
saya."
"Ya. Pertemuan kali ini tidak boleh Idea lewatkan begitu
saja. Kalau cuma minum teh rasanya kurang layak, bagaimana kalau
kita minum arak di tempat yang tepat?"
"Terima kasih banyak.
Tetapi, Pelatih Ou sebenarnya berada di mana?"
"Penguasa Provinsi
1 adalah anak laki-Iaki Paduka Chu, kepala polisi militer di En An.
Saya kira Pelatih Ou yang Anda cari itu adalah orang yang
mengunjungi Paduka Chu. Saya kira sekarang pun beliau masih ada di
En An."
"Lega saya mendengar mendengar kabar ini. Kalau begitu,
dengan penuh hormat saya uerima ajakan Anda."
"Pak! Uang tehnya,
catat saja di catatan utangku," kata Ro kepada si pemilik warung
sambil menunjukkan wihawa seorang polisi militer.
Berdampingan
mereka berjalan ke luar. Badan Ro latsu yang besar dan penampilan
Shi Shin yang anggun tampak sangat mencolok di antara orang-orang
yang mondar-mandir di sana.
Setelah berjalan beberapa ratus
meter, mereka tiba di tempat yang cukup sepi. Di sana terlihat
orang-orang berkerumun menyaksikan sesuatu.
Karena ingin tahu,
mereka berdua melongokkan kepala melewati pundak-pundak orang yang
ada di depan. Tampaldah di situ seorang pedagang keliling sedang
berceloteh menawarkan dagangan.
Pedagang keliling banyak
macamnya, tetapi pedagang yang berkoar penuh semangat dengan suara
serak ini adalah laki-laki seperti ronin tak bertuan yang sangat
kurus. Di bajunya yang lusuh akibat daki, melilit sabuk lebar
menyerong, dan di situ terselip sepucuk pedang melengkung dengan
gagang dari gading gajah. Dengan cepat dia menggerak-gerakkan ujung
sepatunya yang berbentuk bulan sabit ke kiri dan ke kanan. Selama
berceloteh, dia terus-menerus menyedot ingus dan terkadang membersit
ingus dengan jarinya.
Bukan hanya kakinya yang bergerak-gerak, di
setiap tangannya dia memegang tongkat. Sambil berteriak-teriak
keras, dia memutar-mutar kedua tongkat itu di atas kepala,
seolah-olah membentuk payung. Tepat ketika dia berkata, "Hari ini
akan saya pertunjukkan jurus rahasia yang belum pernah saya
perlihatkan," Shi Shin bergumam, "Wah, wah! Kebetulan
sekali."
Mendengar gumaman Shi Shin, Ro mengarahkan matanya yang
besar pada teman barunya itu.
"Kebetulan? Apakah Anda mengenal
pedagang keliling itu?"
"Bukan kenal lagi. Dia Ri Chu, sijenderal
Penggebuk Harimau. Sewaktu kecil saya mendapat pelajaran jurus-jurus
tongkat darinya."
Tepat saat itu, Ri Chu juga menyadari kehadiran
Shi Shin.
"Wah! Bukankah kau Juragan Kecil Shi?"
"Kau benar,
guruku. Bisa-bisanya kita bertemu di tempat yang tidak diduga-duga
seperti ini."
"Ah, aku malu sekali kalau dipanggil guru. Aku
hanya seorang Ri Chu yang telah menyusahkan keluarga Shi dalam waktu
yang sangat lama."
Ro Tatsu ikut bersuara, "Sudahlah, tidak usah
membicarakan itu. Kami hendak pergi ke tempat minum. Bagaimana kalau
kau juga ikut?"
"Tunggu sebentar. Saat ini aku sedang membagikan
obat olesku ke penonton. Setelah uangnya terkumpul, aku akan ikut
menemanj kalian."
"Payah. Kau ini penjual obat oles yang sama
sekali tidak manjur. Cepatlah."
'Tunggulah sebentar. Aku kan
pedagang, jadi harus menghormati pembeli. Jadi, aku tidak bisa
meninggalkan mereka begitu saja. KaJau mau, Juragan Kecil dan Tuan
Polisi pergi duluan saja."
"Hei, kalian!" Tiba-tiba saja Ro Tatsu
menunjukkan wibawanya sebagai polisi militer. "Jangan cuma diam dan
pasang wajah bcngong. Cepat lempar uang kalian pada pedagang ini.
Jangan petit kalau tidak mau kuhajar."
Melihat kepalan tangan Ro
Tatsu yang besar berbulu, segala urusan pun langsung beres. Tanpa
sempat melemparkan uang sepeser pun, orang-orang yang menonton, baik
laki-laki maupim perempuan, malah langsung berhamburan meninggalkan
tempat itu.
Pagi Hari Mengantar Sui Ren, Sang
Penambang
DI Provinsi I terdapat tempat minum bernama Waning Han
Han. Letaknya di sekitar Jembatan Shu Kyo. Yang pertama memasuki
warung adalah Ro Tatsu.
"Hei! Ada meja kosong di lantai
dua?"
"Ah, Tuan Polisi. Selamat datang. Silakan naik." Ke mana
pun pergi, dengan kewenangan sebagai polisi militer serta
pembawaannya, semua orang pasti merasa takut pada Ro Tatsu. Sambutan
dari meja resepsi pun tidak dia acuhkan. Bersama Shi Shin dan Ri
Chu, dia naik ke lantai atas lalu mereka duduk mengelilingi meja
dengan posisi duduk segitiga.
"Hei! Cepat
keluarkan araknya. Jangan lupa makanan
pembuka. Pokoknya apa pun yang enak bawa ke sini."
Sambil
minum arak, mereka duduk bertopan siku sambil
memandang berkeliling. Pada sebuah tiang terpasang papan bercat
keemasan yang di permukaannya terukir kata-kata berikut.
Angin
mereda, dengan damai minum arak dibawah bayangan pokon liu,
Arak mengurai kemelut di kati orang baik Bunga plum terasa manis,
namun tekad belum membulat
Untuk sementara kami akan terus
bernyanyi tinggi. dan masuk dunia mabuk
Cerita-cerita tentang
kesengsaraan masyarakat maupun canda ringan terus berlanjut di
antara mereka bertiga. Lalu dalam suasana yang menyenangkan itu,
mereka menjadi akrab. Entah sudah berapa guci arak yang mereka
minum. Tetapi kadang-kadang, terdengar isakan yang membuat saraf Ro
seolah tertusuk-tusuk jarum, yang membuatnya terbangun dari mabuk.
Yang didengarnya adalah suara isakan perempuan entah dan mana.
Akhirnya Ro naik pitam. Dia mengentak-entak keras sebelah kakinya ke
lantai dan berteriak, "Hei, Pelayan!"
"Ya, mau tambah araknya,
Tuan?" "Dasar tolol! Berapa pun arak yang kuminum, aku tidak akan
mabuk! isakan apa yang terdengar dari kamar sebelah itu?"
"Maaf
sekali. Apakah Tuan terganggu?" "Tentu saja. Apa kau tidak punya
telinga? Aku jadi merasa tidak enak terhadap teman-temanku. Apakah
suara itu isakan perempuan?"
"Benar. Seorang gadis dan ayahnya,
penyanyi keliling di warung-warung arak, Tuan."
"Pasti kau yang
mengganggu orang-orang lemah itu, sampai mereka menangis!"
"Ah,
tidak begitu, Tuan. Malah saya telah berbaik haci kepada mereka
dengan mengizinkan mereka tinggal sementara di kamar itu dan memberi
mereka kue manis sejak semalam, karena saya pikir waktu untuk buka
warung juga masih agak lama. Baiklah, sekarang juga saya akan
menyuruh mereka pergi."
"Tunggu! Mana tega aku mengusir orang,
sementara kau sendiri iba kepada mereka. Lagi pula rasa arakku belum
tentu akan lebih enak kalau mereka pergi. Coba bawa mereka ke
sini."
"Apakah tidak akan mengganggu Tuan? Gadis itu bersama
ayahnya."
"Dasar tolol! Aku tidak sedang berpikir mesum!" Ayah
dan gadis penembang itu keluar melewati kain penyekat yang sudah
berminyak. Rupa mereka memang pengamen jalanan miskin yang sering
terlihat dikota pada malam hari. Si ayah membawa bambu pengetuk,
sedangkan anak perempuannya membawa rebab petik.
Cadis itu
memakai baju atasan putih tipis yang pastinya tidak akan mampu
menahan udara dingin, dengan celana lebar merah yang diseret-seret.
Pipinya yang dilapisi bedak putih tampak tirus, bahunya melorot
lemas. Akan tetapi, jepit sanggul permata giok yang menghiasi rambut
gadis yang tidak dapat dikatakan cantik itu membuatnya tampak manis,
seperti kupu-kupu yang terbang di musim gugur.
"Kau masih juga
menangis di sini. Tolong jangan menangis lagi. Sebaiknya
kauceritakan apa alasanmu bersedih."
"Baiklah, Tuan." Gadis itu
menurunkan lengan baju yang digunakannya untuk menyeka air mata.
Lalu bersama ayahnya yang dari tadi meminta maaf, dia mulai
bercerita.
"Kami berasal dari Kai Hou Tou Kei, namun karena tidak
tahan dengan pajak berat yang dibebankan, kami tidak bisa
melanjutkan usaha dan akhirnya mengembara ke Provinsi I ini. Namun
karena tidak ada kerabat yang bisa ditumpangi di sini, maka kami
berpindah tinggal dari satu losmen ke losmen lain. Ibuku yang sudah
lama mengidap penyakit akhirnya meninggal karena tak tahan. Kami
sudah tak punya apa-apa lagi untuk dijual. Kemudian, atas usul
seseorang kami mendapat bantuan dari seorang tuan. Di situlah
kesalahan kami sehingga kini kami terikat kesengsaraan dan karma
seperti ini."
Kemudian dengan terbata-bata gadis itu mulai
bercerita tentang terperangkapnya mereka oleh laki-laki jahat yang
biasa disebut dengan "kutu busuk kota."
Memang hal seperti ini
sering terjadi. Mendengar ada ayah dan anak yang tinggal di losmen
dalam keadaan putus asa, muncullah orang yang sangat ramah, yang
bagi mereka tampak seperti dewa penolong.
Ternyata di dunia ini
masih ada orang yang berhati mulia seperti ini, begitulah pikiran
ayah dan anak yang percaya kepada laki-laki tersebut. Lalu,
mefnanfaatkan mulut pemilik losmen, laki-laki itu dengan setengah
mengancam menyuruh si gadis menjadi simpanannya. Kalau si gadis
bersedia, si laki-laki berjanji akan menyediakan rumah beserta
isinya, yang artinya si laki-laki menanamkan modal yang sangat besar
pada tubuh si gadis. Gadis itu pun disuruh menulis surat perjanjian
bahwa pada tubuhnya memang telah ditanamkan modal sebanyak 3000
kan.
Akan tetapi ketika mereka tinggal di rumah si laki-laki,
istri pertamanya bersikap sangat galak dan menakutkan seperti
harimau tua. Sehingga tak sampai tiga bulan, si gadis dan ayahnya
sudah terusir dari rumah.
Bukan hanya itu, mereka bahkan tidak
dibekali sehelai pun pakaian, apalagi uang seperti yang tertulis
dalarn surat perjanjian. Sepeser pun tidak mereka terima.
Bahkan
selanjutnya dengan surat perjanjian kosong tersebut, si laki-laki
memaksa mereka mengembalikan uang yang katanya sudah diberikan
sebelumnya. Si pemilik losmen pun ikut bersekongkol, meskipun dia
tahu semua itu bohong belaka. Karena sudah menjadi sekutu si
laki-laki, dia ikut membuat ayah dan anak ini semakin sengsara
dengan meminjami mereka uang harian dengan bunga tinggi. Meskipun
setiap malam ayah dan anak ini berkeliling di Kota I Shu, menembang
diiringi ketukan bambu dan petikan rebab serta hidup pas-pasan,
begitu kembali ke tempat menginap mereka, tujuh puluh persen
penghasilan setiap malam akan diambil si pemilik losmen yang jahat.
"Sepertinya tidak ada jalan lain selain kematian, begitulah pikiran
pendek kami," demikian mereka mengakhiri cerita.
"Ada juga orang
sejahat itu. Omong-omong, siapa nama Bapak? Dan anak gadis Bapak,
berapa usianya?"
Si polisi militer Ro ternyata mudah terharu.
Meskipun wajahnya menampakkan amarah, matanya sekali-sekali bekerjap
menunjukkan kesedihan.
"Marga saya Kin dan anak saya bernama Sui
Ren, usianya sembilan belas."
"Di mana losmen tempat kalian
menginap?"
"Di losmen murah bernama Ro Ke, dekat gerbang sebelah
timur."
"Ah, Losrnen Ro Ke itu. Tapi yang jadi inti masalah bukan
si pemilik losmen, melainkan laki-laki jahat yang telah pura-pura
berbaik had dan mempermainkan anak gadis Bapak. Ditambah lagi seal
dia memeras penghasilan malam kalian yang sudah sangat sedikit.
Siapa dan orang mana sebenarnya laki-laki berengsek itu?"
"Kalau
saya katakan, saya mungkin bakal mendapatkan perlakuan yang lebih
mengerikan."
"Jangan konyol. Aku Ro Tatsu yang dikenal sebagai
polisi militer provinsi ini. Kalian tidak usah takut. Aku akan
melindungi kalian."
"Sebenarnya, orang itujuragan BesarTei."
"Juragan Besar Tei?"
"Ya. Orang paling terkenal di Kan Sei
pemilik toko daging yang sangat besar di daerah barat dekat Jembatan
Jou Gen."
"Bah! Tei itu rupanya," kata Ro berapi-api. "Kusangka
siapa karena dengan sikap hormat tadi, Bapak bilang orang itu
juragan besar. Dia cuma laki-laki gendut penjagal babi. Baiklah.
Setelah mendengar ini, aku tidak bisa tinggal diam."
Lain Ro
berkata kepada kedua temannya, "Kalian berdua, tetaplah minum-minum
di sini. Aku akan pergi dulu ke sana untuk membuat jera bajingan
itu."
Shi Shin terperangah melihat kemarahan Ro. "Jangan
terburu-buru. Bagaimana kalau besok saja? Jarang-jarang kita dapat
berkumpul seperti ini dalam suasana yang menyenangkan. Lagi pula
arak serta pembicaraan kita baru saja dimulai."
"Betul juga." Ro
mengurungkan niat. "Kalau begitu, aku akan mengeluarkan uang lima
ryou yang kubawa, dan maaf, kalau tidak keberatan dapatkah kalian
menyumbang juga? Anggap saja kita sudah menyuruh seniman keliling
ini bernyanyi di warung-warung arak yang menyedihkan. Aku ingin
dengan uang itu mereka bisa kembali ke kampung
halaman."
"Gagasanmu bagus sekali."
Shi Shin segera
mengeluarkan uang 10 ryou. Tetapi bagi Ri Chu, si penjual obat oles,
situasinya agak sulit. Dengan enggan dia menyodorkan 2 ryou ke atas
meja, dan melihat itu Ro menjentikkan uang itu kembali ke arah Ri
Chu.
"Astaga, kau pelit sekali. Masa cuma 2 ryou? Ya sudahlah.
Pak, dengan 15 ryou ini, Bapak bisa membayar uang sewa losmen dan
menggunakan sisanya untuk ongkos pulang ke kampung halaman. Wah, dia
mulai terisak-isak lagi. Tolong hentikan. Kukatakan sekali lagi,
menunjukkan kesedihan di hadapanku itu tabu. Nah, sekarang bawalah
uang ini, dan untuk malam ini Bapak tidak usah bekerja lagi,
langsung saja kembali ke losmen dan bersiap-siap melakukan
perjalanan pulang. Apa pun yang dikatakan si pemilik losmen, Bapak
tidak usah khawatir. Besok, pagi-pagi sekali aku akan datang ke
Losmen Ro Ke."
Kemudian setelah melakukan semua itu, Ro tampak
leea. Bapak Kin dan anak gadisnya Sui Ren meninggalkan tempat
setelah beberapa kali membungkuk berterima kasih hingga dahi mereka
menyentuh lantai. Ketiga orang itu terus minum arak dalam suasana
gembira sampai lampu-lampu dipadamkan. Mereka berjalan kaki dengan
langkah sempoyongan, lalu ketika tiba di perempatan, Shi Shin, Ri
Chu, dan Ro berpisah ke tujuan masing-masing.
Keesokan harinya,
dengan tubuh besar berbalut pakaian polisi militer yang biasa
dikenakannya, Ro muncul di pinggiran kota, berdiri di depan pintu
losmen murah Ro Ke.
Di bawah talang air losmen terdapat gerobak
dorong yang memuat bungkusan kecil, keranjang peralatan makan, serta
bungkusan pakaian usang.
Tentunya ini barang-barang yang akan
dibawa Sui Ren dan ayahnya, pikirnya lega. Namun, rasa lega itu
hanya berlangsung sesaat. Daxi dalam terdengar bentakan pemilik
losmen disertai ucapan permintaan maaf atau jeritan Sui Ren dan
ayahnya.
"Hei! Pak Kin, Sui Ren, cepatlah. Kita berangkat
sekarang!"
Mendengar suara Ro Tatsu di luar, si pemilik losmen
melompat keluar dan mengganti sasaran omelannya ke polisi milicer
itu. "Sui Ren memiliki surat perjanjian utang dan aku diminta
Juragan Tei untuk menagihnya. Mana mungkin aku membiarkan mereka
pergi begitu saja? Atau kau akan membayar utang mereka di sini
sebanyak 3000 kari!" katanya dengan wajah merah.
"Jangan
main-main denganku, kau pengisap darah! Dasar nyamuk selokan!"
Ro
mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan menendang dada si pemilik
losmen. Dia hanya berniat menendang pelan-pelan, tetapi tetap saja
si pemilik losmen berguling-guling tiga sampai empat kali seperti
bola.
"Sialan!" Begitu si pemilik losmen bangkit, ujung sepatu Ro
kembali menendangnya sehingga dia tercebur ke selokan. Bersama
dengan kejadian itu, cairan kotor bercampur lumpur hitam pekat pun
muncrat keluar.
"Polisi sialan! Beraninya kau menendang juragan
kami sampai masuk selokan!"
Tampaknya yang bicara adalah seorang
pemuda yang dirawat si pemilik losmen itu. Dengan berani, dia
menyerang dengan menggunakan kayu bakar yang dipegangnya. Tanpa
mengelak Ro Tatsu mencengkeram tubuh si pemuda. Bersamaan dengan
terdengarnya teriakan di udara, si pemuda kemudian mendarat di
atap.
Kemudian ketika atap losmen tersebut runtuh, tubuh si
pemuda pun kembali jatuh berdebam ke tanah.
"Sui Ren dan Pak Kin,
cepat dorong getobak itu dan pergi dari sini. Kenapa kalian gemetar
seperti itu? Aku akan mengawasi kalian. Jangan membuang waktu
berpikir lagi. Pergilah sekarang juga!"
Ro Tatsu melambai kepada
ayah dan anak yang pergi menjauh, menembus kabut pagi dari pinggiran
Kota I Shu, sambil terus-menerus menoleh ke arahnya. Sementara dia
sendiri dengan santai melangkahkan kaki di persimpangan jalan
pinggiran kota, menuju jaJan besar kota.
"Hai, Jenderal! Sibuk
seperti biasa? Bungkuskan aku setengah kilo daging yang sudah
dipotong kotak-kotak."
Di pinggir Jembatan Jou Gen, Ro Tatsu
masuk ke toko daging besar yang menjual partai besar juga eceran,
lalu dengan santai duduk di kursi. Matanya yang besar kemudian
menebarkan pandangan ke arah kira-kira sepuluh orang vang bekerja di
depan talenan besar tempat memotong daging, ke arah belakang mereka
tempat bergamungnya banyak babi yang sudah dikuliti, )l'ga ke arah
kasir tempat si Tei yang juga mirip babi sedang berjongkok sambil
memegang kuas.
"Wah, rupanya Tuan Polisi," Tei menyapa ramah
setelah dia melihat Ro, lalu beranjak meninggalkan kasir. "Tumben
Tuan sendiri yang datang ke sini untuk membeli daging.'
"Tak usah
banyak omong. Hari ini aku diundang ke gedung Tuan Muda Pejabat Chu,
majikanku. ]adi tolong potongkan daging yang sama sekali tidak
ada
lemaknya."
"Baik, Tuan, dipotong kotak-kotak ya. Hei,
kau!
Cepat potong setengah kilo daging kualitas
istimewa."
"Tunggu dulu! Kau kan majikan toko daging ini. Selain
itu, kau juga disebut-sebut sebagai orang yang memiliki pengaruh di
daerah Kan Sei ini. Apakah tidak pernah terpikir, bahwa kau dapat
menjalankan usaha dengan tenang dan berhasil seperti ini berkat
perlindungan Tuan Muda Chu sang pelindung wilayah? Harusnya daging
itu kaupotong sendiri."
"Betul juga. Maaf sekali. Mestinya saya
manfaatkan waktu seperti ini untuk membalas kebaikan Tuan Muda Chu.
Kalau begitu..." Tei langsung berdiri di hadapan talenan pemotongan.
Lalu dengan pisau besar pemotong daging yang sudah biasa dipakainya,
dia memotong daging dengan cekatan, memilih daging yang paling
bagus.
"Sudah saya
potong. Maaf membuat Tuan
menunggu lama," katanya sambil menyodorkan daging yang sudah
dibungkus dengan daun teratai besar. Ro Tatsu mengangguk.
"Simpan
di situ. Sekarang potong setengah kilo lagi. Kali ini dagingnya
harus penuh lemak."
"Baik. Tapi mau diapakan daging yang penuh
lemak itu, Tuan?"
"Jangan banyak tanya. Potong kotak-kotak juga."
"Itu agak sulit. Tapi baiklah." Kali ini pemotongan memakan
waktu kira-kira setengah jam. Lalu ketika Tei menyodorkan daging
yang juga sudah dibungkus, Ro Tatsu meminta dia memotong lagi tulang
rawan babi sebanyak setengah kilo, juga dengan bentuk potongan yang
sama.
Mendengar permintaan itu, kali ini wajah Tei agak
memberengut, namun berhasil dia sembunyikan dengan
senyuman.
"Wah, Tuan keterlaluan juga. Mempermainkan saya seperti
ini."
"Tak perlu mengornel. Kenyataannya. wajahmu memang tercipta
untuk dipermainkan."
"Apa?" Wajah Tei serta-merta memerah karena
marah. "Coba katakan sekali lagi. Kau tahu, sedari cadi aku menahan
marah karena masih menghormati dirimu sebagai polisi militer
provinsi ini."
"Oh, begitu? Aku juga sedari tadi sudah
menunggu-minggu kau menunjukkan sifat aslimu. Coba sekarang
perlihaikan sifat aslimu lebih jelas lagi."
Setelah berkata
demikian, Ro Tatsu mengambil dua bungkusan daging dengan daun
teratai tadi, lalu melemparkannya ke mukaTei. Begitu mendapat
guyuran hujan daging, Tei segera menyambar pisau pengerat tulang
yang sangat tajam, lalu melorapat melewati meja talenan.
"Berani
sekali kau!"
Bagaikan kilat, dia merundukkan tubuhnya yang besar
bulat, lalu menyeruduk Ro Tatsu. Terdengar bunyi "plak" bergema,
ternyata itu tamparan tangan Ro Tatsu yang mendarat di pipi Tei. Tei
langsung sempoyongan.
"Lawanmu kali ini agak berbeda dengan yang
sudah-sudah, babi," kata Ro sambil menendang pinggang Tei sampai dia
terpental ke jalan.
Tei bangkit dengan seluruh tubuh merah padam.
Tetapi begitu dia berdiri, wajahnya segera disambut kembali dengan
pukulan Ro Tatsu yang membuat mulutnya mengeluarkan erangan aneh.
Jembatan Jou Gen yang ramai pun langsung dipenuhi orang-orang yang
menonton. Suasana sekitar penuh teriakan, caci maki, dan ledekan.
Sebagai orang yang berpengaruh di daerah Kan Sei, dalam kondisinya
yang seperti sekarang, Tei tidak mungkin dapat kabur dari
perkelahian. Dengan ngotot, dia memeluk pinggang Ro Tatsu yang
besar, tidak mau melepaskannya.
"Hei, kutu busuk kota. Tega bctul
kau sengsarakan ayah dan anak penembang yang seharusnya dikasihani.
Yang kaualami saat ini cuma balasan dari kelakuanmu
itu.”
Sepertinya pukulan telak Ro telah meremukkan dagu Tei. Dia
terjengkang, darah pun menyembur dari wajahnya. Kemudian dia tak
sadarkan diri.
"Rasakan," kata Ro Tatsu sambil menambahkan
injakan di dada Tei. Perlawanan Tei berakhir sampai di situ. Ketika
diperhatikan, ternyata sebelah mata Tei keluar dari rongganya, dan
giginya menggigit lidah. "Wah. Mungkinkah dia mati?" Ro Tatsu tampak
agak menyesal. Lalu dia menyelinap di antara penonton, bermaksud
meninggalkan tempat itu. Lalu ketika dia menoleh kembali, dengan
sengajadia berkoar, "Cih! Dasar pengecut. Pura-pura mati segala!"
Begitu dia melewati Jembatan Jo Gen, langkah kakinya semakin
cepat.
Astaga. Aku sudah berbuat semena-mena. Polisi militer yang
semestinya menjaga keamanan masyarakat justru menghabisi anggota
masyarakat. Tentunya ini tidak akan selesai begitu saja, sesalnya.
Dalam hatinya, Ro dikejar-kejar perasaan bersalah.
Begitu kembali
ke pemondokannya, dia segera mengemasi barang-barang dan memasukkan
uang ke kantong. Hanya menyisakan uang pemondokan untuk bulan itu di
kamarnya, Dia kemudian pergi tak tentu arah. Dengan sebatang tongkat
di tangan, penampilan Ro bagaikan si manusia kera Son Go Ku yang
sedang terbang di atas awan.
Kemudian siang itu juga, pejabat
pengawas dari provinsi bernama Ou mendatangi pemondokan Ro disertai
beberapa pengawal yang akan menangkapnya, tetapi Ro sudah melarikan
diri.
Meski kalah cepat, keluarga serta anak buah Tei yang
berpengaruh di Kan Sei memiliki keuangan serta kekuatan besar. Pada
saat bersamaan, keluarga pemilik pemondokan Ro juga mengadu ke
pejabat pemerintah.
Dengan demikian, gubernur pun tidak bisa
tinggal diam.
Dikeluarkanlah maklumat untuk polisi militer Ro
Tatsu yang melarikan diri: "Segera lakukan penangkapan jika dia
ditemukan, tak peduli di mana pun dan kapan pun."
Tentu saja
beserta maklumat itu, gambar yang sangat terperinci tentang
penampilannya pun dibagikan ke seluruh kabupaten yang ada di penjuru
provinsi.
Bunga Anggrekpun Berlinang Air
Mata
ADA ungkapan bahwa untuk memegang sumpit
pada waktu makan tidaklah
memerlukan tenaga. Di luar dugaan, jawara pun
apabila sudah kehilangan pekerjaan, sangat lemah dalam
menjalani kehidupan. Ro Tatsu yang berada dalam pelarian, kini biasa
tidur di gunung dan berbaring di padang,
serta tak asing dengan perut kosong. Berbulan-bulan dia
melakukan perjalanan tanpa tentu tujuan. Tak lama kemudian, sosoknya
muncul di kota di Kabupacen Gan Mon di Provinsi Dai (wilayah utara
Kabupaten San Sei). Kota itu dikelilingi tembok sepanjang delapan
kilometer. Gerbang Gan Mon yang berada di Gunung Gan
Mon selalu siaga terhadap serangan dari Bangsa Utara.
Hingga kini pun, di kota ini masih terlihat sisa bayang-bayang
menyedihkan akibat luka sejarah yang ditimbulkan serangan Bangsa
Utara yang berlangsung berkali-kali.
"Wah, di sini orang-orang
juga berkumpul melihat maklumat itu. Padahal kusangka di sini aku
akan aman."
Dengan santai Ro Tatsu ikut berkerumun dengan
orang-orang yang melihat papan pengumuman orang yang dicari,
memerhatikan gambar dirinya.
Kantor Kepolisian Kkbupaten Can Mon,
Provinsi Dai mengumumkan:
Barang siapa melihat buronan jahat
bernama Ro Tatsu yang telah melakukan pembunuhan di Provinsi I Shu
berkeliaran di daerah ini, segera laporkan ke kantor polisL Apabila
ada orang yang melindungi dan atau menyembunyikannya, yang
bersangkutan akan dianggap memiliki dosa yang sama. Apabila ada
orang yang melapor sesuai pengumuman ini, kepadanya akan diberi
hadiah sebesar 1000 kan.
Ro Tatsu dikelilingi berbagai macam
orang. Ada laki-laki yang membaca pengumuman tersebut dengan
dilafalkan tepat di dekat telinga Ro Tatsu. Ada kakek yang menopang
dagunya yang sudah bercambang putih pada tongkat penyangga. Ada pula
pelajar yang mencatat isi pengumuman. Tampak juga perempuan, buruh,
dan pedagang keliling.
Ro Tatsu melihat pengumuman itu seolah
bukan tentang dirinya.
"Hei, kau mau
apa?" katanya sambil menoleh garang kepada lelaki tua di
belakangnya yang sedari tadi terus menarik-narik lengan bajunya.
Namun kemudian dia tersadar bahwa lelaki itu ternyata ayah Sui Ren.
"Ssst... Kesini, kesini..."
Si lelaki tua dengan cepat menarik Ro
Tatsu ke tempat tidak ada orang. Kemudian dia menghela napas
panjang, lega.
"Dari tadi saya memerhatikan karena merasa
mengenal Anda. Ternyata Anda memang Tuan Ro Tatsu yang telah
menanamkan budi kepada kami. Tapi Anda beranisekali..."
"Bapak
Kin! Tak kusangka bisa bertemu di sini. Aku kira Bapak sudah pulang
kampung."
"Sebenarnya begini. Ketika melakukan perjalanan, di
tempat ini kami bertemu seorang kaya bernama Chou, dan dengan
kebaikannya, sekarang Sui Ren sudah memiliki rumah di sini."
Hei,
hei. Jangan-jangan kalian tertipu lagi oleh laki-laki jahat bermulut
manis."
"Oh, sama sekali tidak, Tuan. Berbeda dengan Tei, orang
ini benar-benar baik. Setiap hari Sui Ren selalu berkata bahwa
kehidupannya sekarang ini adalah berkat kebaikanTuan. Karena itu,
penting bagi kami agar Tuan bersedia melihat kehidupannya sekarang.
Silakan ikuti saya."
"Aku mau dibawa
ke mana? Ke rumah
istri
simpanati? Wah, aku tidak bisa melakukan itu."
"Jangan
bilang begitu," kata Kakek Kin seraya memaksa Ro ikut ke rumah
anaknya. Mendengar kedatangan Ro Tatsu, serta-merta Kin Sui Ren
berlari dari dalam rumah ke depan.
"Astaga... Tuan Ro
Tatsu."
Matanya yang indah berkaca-kaca. Bertemu orang yang telah
berbuat baik kepadanya namun kini berada dalam keadaan terpuruk,
membuat perasaan iba Sui Ren tertumpah seluruhnya.
"Sekarang
sebaiknya Tuan mandi dulu."
Sui Ren mempersilakan Ro Tatsu mandi.
Sementara tamunya mandi, dia menyuruh para pembantu menyiapkan
hidangan yang bisa cepat dibuat seperti ikan segar dan ayam muda.
Tak lupa dia juga mengeluarkan cangkir, botol arak dari perak,
buah-buahan, kue, dan sebagainya, yang lalu ditatanya di
meja.
"Silakan Tuan minum. Kemudian silakan Tuan beristirahat
sesantai-santainya."
"Wah, semua hidangan ini bisa membuatku
pening. Bagiku sekarang, makanan seperti ini adalah sesuatu yang
berlebihan."
"Kalau dipikir-pikir, kamilah penyebab kesengsaraan
yang Tuan alami sekarang ini."
"Sudahlah. Jangan berkata seperti
itu lagi. Nanti arak ini tidak enak rasanya."
"Baiklah. Kami
tidak akan mengungkitnya lagi. Tapi izinkan kami menyampaikan satu
hal saja. Sejak hari itu, kami menuliskan nama Tuan di kertas merah.
Lalu setiap pagi dan sore kami membakar dupa untuk mendoakan Tuan.
Karena itulah kami yakin pertemuan hari ini sudah ditakdirkan oleh
yang di atas. Sui Ren, tentunya kau juga sangat senang,
kan?"
"Saya tidak bisa mengucapkan apa pun. Rasanya saya ingin
menangis terus..."
"Wah, itu tidak bagus. Aku sangat senang
dengan kebaikan kalian. Tapi aku tidak bisa menerima isakan Sui
Ren."
"Maaf sekali. Saya lupa Tuan sangat membenci air mata,
meskipun ini tangis kegembiraan. Saya tidak akan menangis lagi.
Sekarang, silakan Tuan bersenang-senang saja."
Akan tetapi
menjelang senja terdengar orang-orang membuat keributan di depan
pintu. Karena sangat sensitif dan waspada, Ro Tatsu pun mengintip
dari jendela. Ui luar terlihat orang yang tampak makmur sedang
menunggang kuda dan membawa dua puluh sampai tiga puluh pemuda yang
masing-masing memegang tongkat, mengawasi bagian dalam dan luar
rumah sang istri simpanan.
Akhirnya datang juga, pikir Ro Tatsu,
karena firasatnya sudah mengatakan demikian. Dia baru saja berniat
keluar dari atap belakang ketika Kin melihatnya dan segera saja
memegangi sabuk pinggang Ro Tatsu.
"Tuan Ro, tunggu dulu. Yang di
luar itu Majikan Chou yang mengurus Sui Ren. Waktu itu, saat
mendengat cerita Sui Ren, Juragan Chou merasa tersentuh atas rasa
keadilan Tuan. Pasti beliau hanya salah sangka terhadap Anda. Karena
itu tunggulah sebentar, orang tua ini yang akan bicara
dengannya."
Terburu-buru Kin menuruni tangga. Tidak lama
kemudian, tampaknya masalah sudah terselesaikan. Para pemuda pun
pergi meninggalkan tempat itu, tinggal Chou sendiri dibawa masuk si
lelaki tua.
Chou menyapa Ro Tatsu. "Hahaha. Tampaknya aku sudah
berprasangka buruk dan bertindak tidak sopan kepadamu. Aku Chou yang
mengurus Sui Ren. Kau tentunya Ro Tatsu yang sudah kudengar
ceritanya."
"Betul. Hampir saja terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan di antara kita tadi. Benar, saya Ro Tatsu, mantan polisi
militer. Maaf saya datang ke sini ketika Anda tidak ada di
tempat."
"Tidak perlu sungkan. Tentunya ini sudah takdir. Sui
Ren, malam ini mari kita minum-minum dalam suasana menyenangkan
bersama orang yang telah berjasa kepadamu. Sebaiknya arak dan
makanannya segera diganti."
Meskipun sudah berusia lima puluhan,
Chou tampak berpembawaan santai dan lapang dada. Mungkin memang
begitulah karakter orang berada, atau barangkali dia berusaha
melayani orang yang memiliki rasa kebenaran dengan rasa kebenaran
pula.
Ketika lentera menyala dengan terang dan suasana
minum-minum mencapai puncaknya, Chou berkata, "Saudara Ro, tentunya
kau merasa tidak tenang di kota seperti ini. Bagaimana kalau kau
pergi ke kampungku dan tinggal di sana dengan santai?"
"Terima
kasih banyak. Di kampung mana letak rumah Anda?"
"Ada di
pinggiran kota, kira-kira empat puluh kilometer dari sini. Namanya
Desa Sichi Hou, kampung yang sangat tenang."
"Saat ini saya
seperti tidak memiliki tujuan hidup. Jadi, dengan senang hati saya
menerima tawaran Anda."
Sui Ren dan ayahnya pun merasa senang,
seolah-olah tawaran ini ditujukan kepada diri mereka sendiri.
Demikianlah keesokan harinya, Chou dan Ro Tatsu menunggang kuda
berdampingan memasuki Desa Sichi Hou, kampung yang dikelilingi
birunya pegunungan dan jernihnya air sungai.
Rumah milik Chou
sangat mewah. Bagi Ro Tatsu, kemewahan ini begitu berlebihan,
sehingga membuatnya merasa jengah. Melihat Ro Tatsu yang tampak
segan, Chou tertawa.
"Kau tidak usah sungkan seperti itu. Seperti
kata pepatah, semua orang dari seluruh penjuru laut adalah
saudara."
Meski semestinya begitu, kenyataan dalam masyarakat
tidaklah begitu adanya. Karena merasa tidak enak berlama-lama di
sana, maka pada hari kesepuluh Ro berniat pamit. Lalu pada malam
harinya, ketika mereka sedang minum-minum, Chou mengungkapkan
sesuatu.
"Mungkin ini saran yang sangat aneh, namun mungkin juga
ini sudah takdir. Apakah tidak ada niat bagimu untuk memasuki dunia
kependetaan?"
"Menjadi pendeta? Ide itu benar-benar di luar
dugaan saya. Anda orang pertama menyarankan saya menjadi pendeta.
Padahal sedikit pun saya tidak tahu tentang dunia
kependetaan."
"Tentu saja aku tidak berniat memaksamu melakukan
apa pun yang tidak kauinginkan. Hanya saja, aku mendengar kabar
angin bahwa perintahku yang menyuruh para pemuda kota ikut menyerbu
rumah Sui Ren karena mencurigaimu beberapa waktu lalu, telah memulai
omongan tidak enak di kota. Aku pun ikut merasa bersalah,
jangan-jangan nanti akan terjadi sesuatu yang buruk pada
dirimu."
"Saya juga akan sangat merasa bersalah apabila
rnenyusahkan Anda lebih dari ini. Karena itulah sebaiknya saya
segera meninggalkan tempat ini."
"Oh, sama sekali tidak
rnenyusahkan. Namun sebelumnya, bagaimana kalau kaupikirkan juga
saranku untuk mengubah jaJan hidup menjadi pendeta barusan? Tjka kau
setuju, seluruh biaya prosedur dan surat izin dari pemerintah dengan
cap akan kuurus."
"Jika saya harus masuk Kuil, kira-kira di Kuil
manakah?"
"Sekitar seratus dua puluh kilometer dari sini ada
pegunungan terkenal bernama Go Dai. Di salah satu gunung, ada tempat
latihan besar yang disebut Mon Ju In dan tempat latihan ini
betul-betul megah. Taman serta pagoda di tujuh Kuilnya sangat indah
seolah-olah semuanya mengeluarkan sinar kehijauan. Cendekiawan yang
menjadi pemimpin tujuh ratus pendeta di sana bernama Chi Shin Chou
Ro. Dia sudah seperti saudara sendiri bagiku."
Begitu.
Kedengarannya menyenangkan." Ditambah lagi, sejak zaman kakek dan
ayahku, secara turun-temurun kami meniadi donatur besar bagi Kuil
tersebut. Bila ada rencana perbaikan atau upacara Kuil, tentu saja
kami memberikan sumbangan serta selalu diajak berunding. Hanya
saja masih ada satuharapan kami yang belum terpenuhi, yaitu belum
ada seorang pun kerabat kami yang menjadi pendeta, Begitulah. Nah,
bagaimana Saudara Ro?"
"Tampaknya perlu saya coba."
Chou
tertawa. "Kalau hanya coba-coba, itu tidak baik."
"Memang tidak.
Baiklah, saya akan menjadi pendeta dengan niat serius. Mungkin ini
juga petunjuk dari ayah dan ibu saya yang sudah tiada, agar saya
kembali ke jalan hidup yang sama dengan manusia lain. Untuk itu,
saya mohon Anda mengurus persiapannya."
Bagi Ro, langkah ini
merupakan perubahan yang ingat besar. Meskipun tampak sedikit rona
sedih di ijahnya, niat sudah diputuskan.
Diperlukan waktu
beberapa hari untuk segala persiapan. Pada hari keberangkatan,
buruh-buruh pengangkut barang serta dua kereta tandu berbaris menuju
Gunung Go Dai. Segala sesuatunya, seperti upacara masuk dunia
Buddha, upacara sedekah, serta selamatan setelahnya, sudah
dibicarakan dengan tetua Kuil serta para pendeta.
Kereta tandu
melaju melewati barisan pendeta dan berhenti di depan ruang pendeta
kepala. Pertama-tama mereka mendapatkan jamuan secangkir teh, lalu
mereka membersihkan diri di sumur di belakang ruangan. Tidak lama
kemudian, diiringi suara genta, sambil dibimbing pendeta pemandu,
mereka berjalan di koridor yang panjang berkelok-kelok, dan akhirnya
tiba di ruang utama yang diterangi tiga lentera megah yang
menunjukkan tiga unsur Buddha.
Ketika masuk, Ro Tatsu melihat
sebuah kursi kosong, maka dengan tenang dia duduk di sana. Melihat .
chou menjadi panik. Dia membatalkan duduk dan mendekat ke Ro Tatsu
untuk membisikkan sesuatu ke telinganya.
"Kau datang ke sini
untuk memohon dijadikan pendeta. Jadi tidak boleh duduk sejajar dan
berhadapan langsung dengan tetua Kuil ini."
"Oh, begitu."
Ro
Tatsu pun mundur, lalu bagaikan murid baru, dia berdiri bersama-sama
Chou. Di depan duduk tetua di tempat utama, dan di sisi kanan juga
kirinya berbaris secara berurutan pendeta-pendeta berpakaian ungu
dan merah gemerlap menyilaukan. Mereka adalah pembantu umum
pendeta, pendeta penjaga, pendeta pengawas Kuil, pendeta
kepala administrasi, pendeta penerima tamu, dan pendeta juru tulis.
Semuanya menutup mulut rapat-rapat, menatap namun seolah-olah tidak
melihat, memandang tajam pendeta baru Ro Tatsu. Pada wajah mereka
terlukis paras yang menunjukkan kebingungan, seolah-olah berkata,
hendak apa dia di sini? Semua pendeta menyimpan pertanyaan seperti
itu dalam hati mereka.
Dilihat dari sudut mana pun, orang
ini kelihatan kasar atau "apakah dengan penampilan seperti
itu, dia betul-betul mau menjadi pendeta?" Atau "dia mernan orang
yang direkomendasikan Donatur Chou, tapi kalau melihat
penampilannya, betul-betul menyebalkan dan tidak sopan" dan "tapi,
kalau sudah diterima oleh tetua apa boleh buat."
Begitulah
kata-kata dalam hati yang tidak terungkapkan, mengalir bagaikan
angin sepoi-sepoi pada wajah-wajah yang berjajar di sana. Tetapi Ro
Tatsu tidak mengacuhkan semua itu. Suasana agung serta dinginnya
udara gunung membuatnya ingin bersin. Sejak tadi hidungnya
bergerak-gerak berkedut.
Entah apa yang membuatnya terkesan, Ro
Tatsu terus berdiri tegak seolah terpaku. Tampaknya Chou menyadari
hal ini. Dia pun menarik-narik lengan baju Ro yang berdiri
sebelahnya, memperingatkan.
"Rangkapkan
kedua tanganmu.
Kau hams merangkapkan kedua tangan dan
memberi hormat. Sebentar lagi pendeta akan melakukan upacara potong
rambut untukmu." "Oh, begitu."
Dengan tergesa-gesa Ro Tatsu
merangkapkan kedua tangannya. Tampak pendeta tetua
mengibas-ngibaskan kipas bulu, lalu duduk di kursi. Tungku dupa
besar mengepulkan asap tebal. Lalu dengan penuh khidmat, pendeta
memberikan penghormatan demi uang dupa, kain, dan barang-barang yang
dibawa Chou pada han itu. Lalu, setelah berdeham satu kali dengan
nyaring, dia membacakan surat permohonan Ro Tatsu untuk menjadi
pendeta.
Setelah selesai, pendeta yang wajahnya tertutup umpalan
asap dupa entah sejak kapan sudah memasuki dunia semedi. Di pahanya
terikat tali dan sejenak dia menutup mata. Lalu, seolah-olah
kerasukan, dia berkata seperti ini, "Bagus! Bagus! Laki-laki ini
ditakdirkan menjadi salah satu bintang di langit. Hatinya keras dan
jujur.Tindakan kasarnya hanya dilakukan ketika melihat sesuatu yang
tidak adil. Pada suatu saat nanti, dia akan mendapat pencerahan, dan
kehidupan yang luar biasa akan menunggunya. Hup!"
Begitu selesai,
segera saja tambur kependetaan dan genta dipukul bertalu-talu. Dua
pendeta kecil maju ke depan, menyuruh Ro Tatsu membuka topi yang
dipakainya kemudian memegang tangannya dan membimbingnya ke arah
tempat duduk pendeta, lalu menyuruhnya berjongkok.
Pendeta
pembantu umum berdiri memegang pisau cukur. Pendeta pengawal
memegang baskom air, pendeta kepala administrasi memegang sisir,
lalu menyisir rambut Ro Tatsu menjadi sembilan bagian dan
mengikatnya sebagian demi sebagian. Pisau cukur mulai oergerak
berkerik-kerik dari pipi ke atas seolah sedang menggambar bulan
sabit.
Ro Tatsu merasakan kejanggalan. Dia cemas. Jadi seperti
apakah nanti wajahnya apabila potongan rambutnya sudah berubah,
pikirnya bertanya-tanya Tetapi ketika kepalanya terasa dingin karena
sernua rambutnya sudah tercukur habis, lalu pisau cukur itu mengarah
ke kumisnya, dia panik.
"Tunggu sebentar. Bisakah
bagian ini disisakan sedikit?"
Semua pendeta yang
berkumpul tertawa. Untuk menghentikan tawa mereka, Pendeta Kepala
Chi Shin melantunkan doa dengan suara yang sangat keras.
".. .tak
menyisakan sehelai rambut pun agar seluruh jiwa raga bersih. Demi
dirimu kucukur seluruh rambutmu agar kau terlepas dari persaingan
dan persengketaan. Ayo, potong semua."
Ro Tatsu tidak bisa
berkata apa-apa lagi. Sekarang, mewakili Chou, tetua membawa
sertifikat ke-Buddha-an ke tempat duduk utama, lalu berkata,
"Kumohon berilah Ro Tatsu nama kependetaannya."
Tetua pendeta
sekali lagi membacakan doa dengan penuh khidmat. Setelah itu dia
menyerahkan sertifikat kepada juru tulis, dan juru tulis menorehkan
nama kependetaan pada sertifikat tersebut. Di sana
tertulis:
“Satu titlk sinar kejiwaan bernilai ribuan
Untuk
dunia Buddka yang luas kubevi nama Chi Skin.”
Dengan demikian
nama kependetaan orang yang baru masuk dunia Buddha itu adalah Chi
Shin (pengetahuan dalam). Setelah juru tulis menyerahkan sertifikat
di secara resmi Ro Tatsu telah menjadi seorang pendeta.
Kemudian
pendeta tua meletakkan tangan di atas kepalanya yane membiru, lalu
menyampaikan aturan-aturan dalam dunia Buddha.
"Satu, berlindung
kepada ajaran Buddha. Dua, mengabdi kepada kebenaran Buddha. Tiga,
hormat kepada guru dan teman. Ini disebut Trisila Kepatuhan. Lima
aturan berikutnya adalah tidak membunuh, tidak mencuri, tidak
melakukan maksiat, tidak minum arak, dan tidak berbohong. Kau bisa
memenuhinya?"
"Ya. Saya akan menaatinya."
Ketika Pendeta Ro
Chi Shin menjawab, semua orang yang ada di sekitar tertawa. Di dunia
keagamaan Zen, sudah menjadi etika untuk menjawab pertanyaan dengan
satu kata saja: "ya" atau "tidak." Muka Chi Shin memerah karena
malu.
Pada malam harinya diadakan pesta besar di Balairung Awan.
Barang-barang dan uang tanda terima kasih dari Chou dibagi rata.
Keesokan harinya, pada saat Chou akan turun gunung, dia memanggil Ro
Chi Shin sendman ke bawah sebatang pohon, lalu dengan penuh
kesermsan berkata, "Karena belum terbiasa, mungkin di awal-awal kau
akan merasa kerepotan, tetapi kuharap kau giat menempa diri. Aku
juga sudah meminta pendeta kepala untuk
memerhatikanmu."
"Tampaknya saya sudah sangat merepotkan Anda
Tapi Anda tidak usah khawatir. Kalau kepala saya sudah begini, tidak
ada cara dan jalan lagi selain menggant; haluan hidup dan menjadi
orang yang dewasa dan baik," kata Ro Chi Shin sambil menepuk-nepuk
kepala.
Tetapi, setelah mengantar kepergian Chou dengan kereta
tandu dan kembali ke kamarnya di antara rumpun pepohonan, Ro Chi
Shin sudah melupakan kata-kata Chou. Dia langsung saja
berbaring.
Dua atau tiga orang yang sedang menempa diri
mengintipnya.
"Hei, orang baru, kenapa kau tidak melakukan
semedi?"
Ro Chi Shin mengangkat tubuh dengan malas dan sambil
merenung, dia bertopang dagu dengan kedua tangan dan berkata, "Dalam
Trisila Perlindungan dan lima aturan, tidak ada yang melarang orang
berbaring, kan?"
Pendeta-pendeta itu melongo. Mereka pun
melaporkan ini kepada pendeta tetua, namun pendeta tetua juga
tampaknya tidak bisa berbuat apa-apa.
"Orang luar biasa itu,
menurut pendeta kepala, adalah salah seorang yang ditakdirkan
mengemban satu bintang di langit. Jadi untuk sementara waktu, tidak
ada cara selain membiarkannya."
Tingkah laku Chi Shin seolah-olah
binatang buas yang mendapat tempat yang tepat. Dia meman-featkan
keadaan ketika orang lain tidak bisa ikut campur urusannya. Ketika
tidur, dengkurannya bagaikan halilintar. Ketika bangun, di belakang
kuil ataupun di bawah pohon hutan suci, dia buang air kecil
seenaknya. Demikianlah tingkahnya.
Dalam waktu lima bulan, dengan
cepat musim panas di Gunung Go Dai berlalu. Saat ini
sudah memasuki akhir musim gugur, saat dedaunan berwarna merah
menyala.
Karena rindu pada perkampungan, Ro Chi Shin mengganti
pakaiannya dengan baju hitam dan mengenakan sabuk warna biru tua.
Sepatu pun digantinya dengan yang baru, lalu dari Mon Ju In, dia
berjalan ke kaki gunung.
"Ah. Ini betul-betul membuatku rindu.
Hmmm. Aroma yang sudah lama tidak kuingat menyentuh hidungku kini
datang terbawa angin."
Aroma yang dimaksudnya bukanlah wangi
bunga-bungaan melainkan bau arak.
Beberapa langkah dari arah
bawah terlihat seorang laki-laki mendaki gunung sambil membawa
sepikul arak. Bagi Ro Chi Shin, ini bagaikan pertemuan dengan
kekasih yang tak diduga-duga.
Hei. Tunggu sebentar!" katanya
sambil memegangi galah pikulan laki-laki
itu.
Rajah Seratus Bunga Membara Dikulit
Merah
GUCI-GUCI arak di kedua sisi galah pikulan yang dibawa
laki-laki itu berayun-ayun. Tentu saja arak yang tumpah dari
celah-celah tutup guci ke kaki si laki-laki dan merembes ke tanah
menguarkan aroma yang sangat wangi.
"Wah. Sayang sekali." Sambil
tetap memegangi sebelah galahnya, si tukang arak kaget dan curiga
karena Ro Chi Shin bertingkah seolah-olah mengejar arak yang tumpah
dengan hidungnya.
"Eh, kenapa Pendeta? Ada urusan apa
Pendeta menghentikan saya?"
"Yang ada dalam guci ini arak, kan?
Tampaknya arak yang bagus. Mau dibawa ke mana?"
"Di Gerbang Ni Ou
di atas gunung sana, ada yang sedang memperbaiki bangunan. Saya akan
menjual arak ini pada tukang cat, tukang genteng, tukang ukir
patung, dan yang lain-lain yang bekerja dan menginap di
sana."
"Hmmm...," gumam Chi Shin sambil terus mengendus-endus.
"Mereka bisa minum yang enak-enak. Menyebalkan." Kalimat "Tolong
jual juga arak ini kepadaku," sudah hampir mencapai tenggorokannya,
namun dia menelan kembali kata-kata itu. Akhirnya dia berkata,
"Menjadi pendeta itu tidak praktis. Tapi apa boleh buat? Aku seorang
pendeta. Pasrah saja. Anggap saja aku sudah mati... Hei, tukang
arak."
"Ya?"
"Kaupikul baik-baik ya. Jangan sampai tumpah.
Meski kauberi minum jalan yang berbatu ini, dia tidak akan berubah
warna dan menjadi senang."
"Terima kasih atas kebaikan
Pendeta."
"Jangan bercanda. Aku sudah maumenangis. Kenapa aku
harus bertemu orang menyebalkan sepertimu? Sana, cepat
pergi!"
Sambil menutup mata, Ro Chi Shin berlalu dengan
langkah-langkah lebar. Akhirnya, tampaklah pemandangan kaki gunung
yang terang dan terbuka di depannya. Tetapi kali ini dari arah bawah
terdengar suara nyanyian santai.
Wilayah ini merupakan medan
perang kuno, tempat nenek moyang Kan mengalahkan tentara besar So.
Juga bekas tempat peristirahatan malam di Sungai U Kou ketika Kou U
yang terkenal itu, sambil berpelukan dengan Gu Bi Jin, mengalirkan
air mata kepedihan terakhirnya. Karena itulah anak-anak gembala di
sekitar Sana, juga orang-orang desa, sekarang pun masih menyanyikan
peristiwa-peristiwa
itu.
Katanya rerumputan di Gunung Ku Ri tahu
bahwa
tempat ini bekas medan perang
Akupun pernah memungutnya,
pedangberkarat,
tombakyang sudah jadi tanah
Pada saat angin
bertiup kencang, air Sungai U Kou
Akan
memperlihatkan
Kepedihan antara Putri Gu dengan Kou U yang tidak
mau
berpisah
"Wah, Lagi-lagi ada yang memikul sesuatu.
Astaga. Ternyata yang mendekat tukang arak lagi. Tampaknya hari ini
nasibku tidak baik."
Mungkin karena merasa takut begitu duluan
melihat pendeta yang mencurigakan, tukang arak itu menghentikan
senandungnya. Mereka berdua hampir berpapasan. Namun sayangnya, di
tempat itu jalan menanjak. Dari guci yang bergoyang itu tumpahlah
sedikit arak dan Ro Chi Shin dilanda rasa pening.
"Uh, uh. Hei,
tukang arak, tunggu sebentar. Tampaknya kau kurang hati-hati. Kenapa
kau menumpahkan arakmu?"
"Wah, maafkan saya. Apakah sudah
mengotori jubah Pendeta?"
"Ah, tidak. Sebenarnya justru aku ingin
dikotori. Juallah arak dalam tong itu kepadaku!"
"Wah, tidak
mungkin. Menjual arak kepada pendeta adalah larangan. Jika saya
berbuat seperti itu, saya tidak akan lagi bisa tinggal di
sini."
"Tidak masalah. Aku sudah tidak tahan." "Bagi Anda memang
tidak masalah, tapi bagi saya masalah besar. Saya punya anak-istri
juga. Jadi tidak mungkin menjualnya kepada Anda." "Astaga, repot
sekali." "Aduh!"
Meskipun Ro Chi Shin menepuknya dengan ringan,
tetap saja tepukan itu mengakibatkan pikulan di pundak si tukang
arak terlepas. Lelaki itu pun jatuh terduduk.
Satu guci terguling
dan yang satu lagi selamat. Serta-merta Chi Shin berusaha
menyelamatkan guci yang terguling terlebih dahulu, lalu mengarnbil
guci satunya lagi. Kemudian sambil menjinjing guci arak yang berat
dan yang ringan di kedua tangannya, dia berlari ke arah dangau yang
memiliki pemandangan bogus. Nih, uangnya."
ILmah apa yang
dilemparkan Chi Shin ke arah tukang arak yang sedang mengusap-usap
pinggang. Setelah melemparkan sesuatu sebagai pengganti arak, dengan
gerakan cepat, tahu-tahu dia sudah memegang penutup tong arak. Lalu
bagai b'matang besar kehausan yang membenamkan hidungnya pada aliran
air, dia menenggak arak sampai kerongkongannya
berbunyi keras. Glek... Glek... Glek...
Kadang-kadang dia
menengadah dan menjilati arak yang menempel di bibirnya, atau
menggoyang-goyangkan kepala menjatuhkan
titik-titik arak dari dagunya.
"Wan. Enak
sekali."
Isi guci arak yang berat icu hampir dihabiskannya. Arak
di bagian bawah guci tampaknya agak menyulitkan.
"Di dasarnya
masih tersisa sedikit. Baiklah."
Ro Chi Shin menanggalkan pakaian
pendetanya. Ketika bajunya terbuka, tampaklah tubuh Chi Shin yang
memerah karena arak. Di punggungnya yang berotot, membara warna
musim semi dari rajahan seratus bunga dan burung yang katanya
digambar oleh tukang rajah dari I Sui selama seratus hari.
"Wah,
betapa indah pemandangan di sini. Betul-betul indah. Cacing-cacing
di perutku pun tampaknya ikut menari-nari.Tunggu... tunggu... masih
ada."
Dia mencengkeram pegangan guci yang sudah ringan dengan
kedua tangan. Begitu dari perutnya
yang penuh Inilu terdcngar
bunyi berkeruyuk, dia menuangkan arak dari guci ke mulutnya
seakan-akan sedang minum air tcrjun. Tentu saja sebagian kccil arak
ada yang memercik ke tubuhnya. Arak pun mengalir di sana seperti air
sungai kecil yang mengalir di permukaan bebatuan, membasahi bulu di
dada serta bajunya, yang akhirnya terjatuh dan diisap
bumi.
"Hmmm. Dengan ini, cukup puas, cukup puas..." Tampaknya
segera saja Chi Shin terselimuti perasaan bahagia luar biasa.
Seakan-akan scluruh benda yang ada di bumi dan langit ini adalah
miliknya. Lalu dia memandang guci arak yang tiba-tiba menggelinding
dekat kakinya.
"Wah, wah. Kalau sudah kosong, guci ini sama
sekali tidak raenarik. Anggaplah doa dari pendeta Chi Shin sebagai
kebahagiaan di dunia ini. Hup!"
Dia menendang kedua guci itu ke
arah kaki gunung. Guci yang satu melayang di udara dan jatuh ke
hutan, sedangkan yang satu lagi terjatuh ke arah sekelompok sapi
yang sedang berada di dekat situ. Sapi-sapi yang kaget pun berpencar
akibatnya, meski selanjutnya mereka cuma mengeluarkan lenguhan
panjang yang malas. Chi Shin mengibas-ngibaskan tangan sambil
tersenyum. Lalu dengan terhuyung-huyung dan tubuh dipenuhi debu, dia
kembali ke Gunung Go Dai.
"Cih! Dasar lintah darat, k-k-kenapa
tidak boleh Ro Chi Shin masuk gunung?"
"Astaga, murid Buddha yang
kacau. Hei, Chi Shin! Di sini tempat para pendeta!"
"Memang
betul. Ini gerbang masuk ke Kuil Mon Ju
In di Gunung Go
Dai."
"Orang mabuk tidak diperbolehkan memasuki gunung. Di sana
ada papan pengumuman yang bertuliskan seperti itu, bukan? Apabila
ada pendeta yang melanggar ketentuan ini, yaitu minum arak,
aturannya adalah dipukul dengan bambu muda empat puluh kali dan
dikeluarkan dari dunia kependetaan."
"Menarik
sekali. Cocok untuk menggantikan
tukang pijat. Hei, Penjaga, coba kaulakukan!"
Karena mendengar
keributan, para pendeta pejabat seperti pendeta pengawas, pendeta
penerangan, pendeta pengurus gudang, dan pendeta perairan, sampai
tukang-tukang yang sedang berada di situ berdatangan untuk
menyaksikannya. Segera saja mereka bersatu dengan pendeta-pendeta
penjaga.
"Orang yang kasar dan sudah melanggar aturan adalah
orang yang tidak suci lagi, karena itu jangan sekali-kali
mengizinkannya masuk. Coba siram dia dengan air."
Mereka pun
menolak Chi Shin. Mereka mendorong tubuhnya yang besar hingga
berguling-guling di tangga batu di depan gerbang.
Tindakan ini
tak ayal lagi mengundang sesuatu yang tidak diinginkan. "Berani ya!"
teriak Chi Shin sambil
merayap dan mendelik ke atas. Lalu seundak
demi seundak, perlahan-lahan bagaikan gajah raksasa, dia bergerak ke
atas. Karena ketakutan, baik para pendeta pejabat maupun
tukang-tukang mundur menghindar. Sebaliknya Chi Shin mulai merasa
senang. Seakan-akan mereka datang berkumpul ke tempat itu untuk
menjadi lawan dalam permainannya.
"Hei kalian! Kalian akan
kuangkat dan kulempar satu-satu!"
Begitu Chi Shin bergerak,
benarlah, manusia-manusia beterbangan begitu saja bagaikan sampah
dari kedua tangan dan kakinya. Dia mengejar orang-orang yang
melarikan diri ke segala penjuru tempat, termasuk ke aula kuil. Di
taman pun terdengar gema bagaikan gempa bumi serta jeritan-jeritan.
Akhirnya, begitu memasuki ruangan di pergudangan, dia segera
tertidur dengan tangan dan kaki terentang. Dengkurannya seolah
menggetarkan seluruh bukit dan lembah di sekitar.
Tidak hanya
terperangah atas kejadian itu, pendeta-pendeta juga kebingungan
bagaimana cara menyelesaikan masalah ini. Para pendeta penjaga
bersama pendeta pengawas kuil dan pendeta pembantu umum menghadap
Pendeta Kepala Chi Shin.
Belum pernah terjadi yang seperti ini
sejak dibukanya Kuil Mon Ju di Gunung Go Dai. Selain itu kami tidak
pernah mendengar ada aturan dari yang s"a Shakamuni yang
memerintahkan kita memelihara binatang setan di tempat suci. Karena
itu, kami pikir sebaiknya orang itu segera diusit dari
sini."
"Jangan terlalu keras. Bagaimana kalau untuk kali ini saja
kita beri pengampunan?" kata Pendeta Kepala, berusaha meredakan
kemarahan mereka. "Lagi pula kita juga hams menjaga kehormatan
Saudara Chou yang adalah donatur besar kita. Besok aku yang akan
langsung menasihati Chi Shin agar tidak lagi
mengulanginya."
Suara-suara protes terdengar nyaring, namun
karena kata-kata dari Pendeta Kepala sudah diucapkan, mereka undur
diti meski tetap menggetutu.
Keesokan paginya, begitu bangun dari
tidur, Chi Shin pergi menuju hutan bambu di belakang gudang, lalu
dengan seenaknya buang air kecil di sana. Tepat pada saat itu datang
utusan dari Pendeta Kepala yang menyuruhnya cepat menghadap.
Tergesa-gesa dia meng-ikuti mereka dan dengan sungkan menghadap
Pendeta Kepala.
"Chi Shin,
kau benar-benar
menyusahkan.
Tampaknya kau mengidap penyakit."
"Oh sama sekali
tidak. Seperti yang terlihat, tubuh saya jauh lebih kuat daripada
orang kebanyakan."
"Bicara apa kau ini? Yang kumaksud adalah
penyakit pelupa. Apakah kau lupa pada saat upacara pengangkatan
sebagai pendeta, kau sudah diberitahu tentang Trisua Kepatuhan dan
lima aturan larangan?"
"Oh. Itu yang Pendeta
maksudkan?"
"Kalau mengingat aturan-aturan itu, kau sebut apa
perbuatanmu tadi malam? Tmdak-tandukmu sudah melanggar kesucian dan
aturan Kuil ini."
"Saya tidak akan melakukannya
lagi."
"Sungguhkah? Di masa depan, kau tidak akan lupa lagi pada
aturan-aturan itu?"
"Ya. Saya akan mengingatnya."
Dengan
lunglai, Chi Shin kembali ke ruang semedi. Dia menjadi pendiam,
seakan di wajahnya terpasang kunci gembok yang mengungkapkan tekad
bahwa dirinya tidak akan mengejek atau menertawakan orang lagi,
serta tidak akan marah.
Tahun itu pun berakhir. Saat musim semi,
yang kemunculannya di gunung dinanti-nantikan sejak lama dan
akhirnya tiba juga pada bulan Maret tahun berikutnya, Chi Shin
memandangi langit di kaki gunung sambil terpana. Saat itu bunyi
pukulan palu pandai besi terbawa angin. Entah apa yang ada dalam
pikirannya, dia segera memasukkan seluruh uang yang dimilikinya ke
kantong di pinggang, lalu meninggalkan kuil. Hari ini dia memilih
jalan yang agak berbeda dengan yang biasa. Dia melewati gerbang kuil
raksasa yang bertuliskan Tempat Lima Kebahagiaan Besar", lalu dengan
cepat menuruni jalan sebelah timur yang biasa digunakan orang-orang
yang akan berziarah.
Ramai sekali di sini. Sampai hari ini aku
tidak di sini ada kota. Bodoh betul aku. Mengapa sampai tidak
terpikir olehku bahwa di bawah Gunung Go Dai ada pusat keramaian
seperti ini? Tetapi tidak mengapa katena meskipun agak terlambat,
ini juga berkah dari Buddha."
Dia
melangkah dengan hati
berbunga-bunga.
Matanya sibuk melihat ke kiri dan ke kanan. Ada
tukang daging, ada warung arak, ada jeritan manja perempuan,
tangisan bayi, juga musik seniman jalanan yang penuh kenangan,
penjual baju bekas, tukang sayur, losmen, sampai nenek-nenek
pedagang mi. Semua membuatnya senang dan mengingatkan dirinya pada
daerah pinggiran I Sui di masa lalu.
"Betapa menyenangkannya
dunia manusia." Ketika dia berjalan sambil merenung, diselimuti
kehangatan kota yang penuh bau manusia itu, tiba-tiba dia
berhenti.
"Oh, dari sini asalnya," katanya sambil memasuki pintu
bengkel pandai besi.
Yang menggema sampai ke gunung itu tentunya
bunyi palu dan alas tempa besi ini. Tiga pandai best sedang
beristirahat, wajah mereka menghitam sampai ke bulu hidung dan tahi
mata. Mereka memerhatikan sosok Chi Shin. Lebih tepatnya, menengadah
untuk melihat Chi Shin.
"Selamat siang. Apa
di sini ada pedang yang kualitasnya
bagus?"
"Wah, apakah
seorang pendeta memerlukan
pedang?"
"Jangan konyol. Tidak ada aturan yang melarang pendeta
membawa pedang. Aku ingin kau buatkan aku sebatang tongkat besi.
Yang harganya terjangkau."
"Begitu. Tapi kalau dibuat dulu,
harganya agak mahal. Bagaimana kalau yang sudah jadi?"
"Belum
pernah aku melihat tongkat sudah jadi yang sesuai dengan tanganku
ini. Jadi aku tidak memilikinya. Karena itu, tolong buatkan segera
untukku. Beratnya kira-kira seratus kin saja."
"Jangan bercanda,
Pendeta. Tongkat yang beratnya seratus kin tidak mungkin dibawa-bawa
manusia. Pedang bulan sabit milik pahlawan Kan U di zaman tiga
negeri saja beratnya hanya delapan puluh satu kin."
"Kalau
begitu, beratnya samakan saja dengan pedang Kan U. Delapan puluh
satu kin."
"Jangan memaksakan diri. Pendeta ini bukan kerabat
maupun anak buah Ryu Bi Gen Toku di zaman tiga negeri, kan? Jangan
coba-coba, nanti kerepotan. Danpada tongkat itu, di sini ada pedang
yang kualitasnya bagus, dengan tempaan air, beratnya kira-kira enam
Puluh satu kin. Bagaimana?"
Hmm.
Bagaimana ya? Baiklah.
Aku setuju. Sekarang, kau ikut aku."
"Eh? Ke
mana?"
"Demi mensyukuri para pengembus api, aku akan
mentraktirmu minum. Bawalah aku ke tempat langgananmu.'
"Wah,
tidak usah repot-repot. Silakan Anda pergi sendiri saja.
Omong-omong, harga tongkat itu lima ryou. Kami harap Anda raembayar
uang muka dulu." "Astaga, kau tidak percaya padaku?" Chi
Shin melemparkan beberapa
keping uang perak lalu keluar dari bengkel pandai besi
diiringi asap membubung. Lalu dia memandang berkeliling.
Dia
memasuki dua atau tiga warung arak, namun di mana pun dia ditolak
tanpa kecuali. Akhirnya dia sampai ke pinggir kota dan di situ masih
terdapat warung yang atap cucurannya sudah compang-camping, Di atap
itu terpasang umbul-umbul yang bertuliskan arak. Ketika mendekat ke
warung itu, pada dindingnya yang bercampur kotoran sapi, Chi Shin
menyadari tertulis di sana coretan-coretan yang berbunyi "lukisan
raabuk Ri Haku", entah siapa yang main-main
menuliskannya.
"Lukisan yang menarik. Kalau bisa, aku juga ingin
mabuk seperti itu," Chi Shin berbicara sendiri sambil memasuki
warung.
"Hei, pemilik warung. Aku bukan pendeta dari Gunung Go
Dai. Karena itu kau tidak usah khawatir. Beri aku secangkir
arak."
"Baik. Baik. Anda datang dari mana?"
"Aku pendeta
musafir yang mengelilingi seluruh negeri dan sekarang sedang berada
di tengah perjalanan.
Meskipun begitu aku bukan pendeta pengemis.
Aku punya uang. Cepat beri aku arak dengan mangkuk besar
Dengan
lahap, Chi Shin menenggak arak sampai
kerongkongannya
berbunyi.
Segera
saja dia
menghabiskan belasan
mangkuk. Selanjutnya dia berdiri
dan pergi menuju dapur yang agak gelap, lalu mengambil sebongkah
daging seperti paha kelinci yang sudah dibakar dari atas tungku
masak. Tapi pada saat dia akan menggigitnya, si pemilik warung
berkata, "Wah, Pendeta. Jangan! Itu tidak cocok untuk Anda." "Kenapa
kau melarangku makan ini?" "Itu daging anjing. Jadi bagaimanapun..."
"Daging anjing? Ya, tidak mengapa. Meskipun ini daging anjing, kita
tidak boleh memandang rendah. Perutku adalah Buddha penolong, jadi
mau kera, mau kijang, semuanya akan diperlakukan secara adil. Tidak
boleh ada diskriminasi. Wah, ini enak juga."
Dengan bumbu adonan
kacang dan bawang putih, daging itu segera saja tinggal tulang. Lalu
Chi Shin membuang tulang tadi ke dekat kakinya dan mengambil
sepotong paha lagi.
Kalau Cuma makan, tidak enak juga, Hei tolong
ambilkan guci itu dan letakkan di sini. Itu arak beras kuning, kan?
Hmm! Enak ...enak". Akhirnya, pada saat hari menjelang senja,
seperti dewa yang turun dan akan pulang ke awan, Chi Shin berjalan
sempoyongan menuju Gunung Go Dai. Di tengah jalan dia hampir
bertabrakan dengan sepasang laki-laki dan perempuan. Lalu sambil
menatap mereka yang akan melarikan diri, Chi Shin tergelak.
"Tuan
Chi Shin mau lewat! Apa kalian tidak tahu ada peribahasa yang
berbunyi 'Untuk orang yang sedang mabuk, kaisar pun akan membuka
jalan ? Ayo minggir! Minggir!.
Keesokan paginya, di sebelah barat
lima puncak Gunung Go Dai masih terlihat sinar bulan temaram,
permukaan tanah di bawah pohon-pohon cemara baru akan mulai terlihat
jelas.
"Uh, dingin sekali. Eh? Mengapa aku tidur di tempat
ini?"
Chi Shin tidak ingat apa yang telah terjadi dan berusaha
bangkit. Dia kedinginan karena tertidur di atas lempengan batu.
Selain itu, yang dia peluk saat tidur ternyata patung dewa pelindung
yang besarnya dua kali lipat tubuhnya. Pasti itu patung dewa
pelindung di gerbang Gunung Go Dai.
Ketika menengadah, gerbang
gunung yang biasa dilihatnya telah porak-poranda bagaikan habis
dilanda angin topan. Patung gerbang yang sebuah lagi juga sudah
tidak terlihat berada di tempatnya. Seiring dengan semakin terangnya
hari, semakin jelaslah betapa bongkahan tangan serta leher patung
dewa pelindung, genteng, pecahan-pecahan dinding batu, dan
sebagainya, kini dalam kondisi berantakan. Semua ada mengelilingi
tubuh Chi Shin.
Tak lama kemudian, seorang pendeta penjaga datang
ke tempat itu dan berteriak, "Hei, Chi Shin! Akhirnya kau bangun
juga. Pendeta kepala dan yang lainnya sedang menunggumu. Segera kau
pergi ke aula besar!"
Tampaknya kepala Chi Shin belum jernih
benar. Dia berjalan sempoyongan. Ketika dilihat, di sana ada Pendeta
Kepala Chi Shin beserta jajarannya. Di koridor aula besar berbaris
semua pendeta pejabat dengan wajah angker. Begitu melihatnya datang,
pendeta pembantu umum bangkit dari duduknya.
"Chi Shin! Dengarlah
baik-baik. Kabarnya tadi malam lagi-lagi kau pergi ke kaki gunung
dan melanggar larangan minum arak, lalu kau kembali ke gunung dalam
keadaan mabuk berat. Tidak hanya itu saja, di gerbang gunung kau
melakukan kekerasan dan melukai belasan pendeta penjaga,
sampai-sampai kau juga merobohkan patung dewa pelindung yang menjadi
pusaka Mon Ju in, menghancurkannya serta mengencinginya sambil
bertenak senang. Setelah melakukan perbuatan tersebut, tidur
seenaknya di tempat itu sampai pagi ini. Semua merupakan perbuatan
di luar batas. Maka, berdasarkan alasan tersebut, mewakili semua
pendeta di gunune ini dan setelah meminta pertimbangan Pendeta
Kepala, kami memutuskan untuk mengusirmu dari tempat suci ini"
katanya menjatuhkan vonis dengan penuh kemarahan. Mulanya Chi Shin
mendengarkan seakan kata-kata itu bukan ditujukan kepada dirinya,
tetapi begitu menyadari dialah yang dimaksud, dia terperangah,
"Apa?
Aku telah melakukan semua itu?"
Mendengarnya, para
pengawas kuil, juru tulis, tetua pendeta, pendeta bagian keuangan
serentak mencaci-maki.
"Pura-pura tidak tahu! Beraninya kau
bersikap seperti itu. Coba kautengok ruang para pendeta di sana,
pendeta-pendeta yang cedera karena kakinya kaupatahkan sekarang
sedang terbaring mengerang kesakitan!"
"Tidak hanya itu. Ketika
pulang menuju gunung, kau menghancurkan dangau yang pemandangannya
bagus. Juga ketika melihat anak gadis di sekitar situ, kau
mengejar-ngejarnya seperti serigala memburu ayam.
"Kalau
disebutkan satu demi satu perbuatanmu, tidak akan ada habisnya. Kau
sudah bertindak di luar batas namun berani sekali berpura-pura tidak
tahu.
Chi Shin tidak mampu berkata-kata lagi. Lalu ketika dengan
lunglai meninggalkan tempat itu, dia dipanggil lagi oleh Pendeta
Kepala.
"Lagi-lagi kau membuat kekacauan.
Kalau kau berada di sini, tentunya akan lebih menyusahkan
saudara Chou yang telah menanamkan budi kepadamu.
Untuk itu,
sebaiknya kautinggalkan tempat ini dengan lapang dada."
Di
hadapannya sudah disiapkan penutup kaki dan tutup tangan warna biru,
satu setel baju pendeta, sepasang sepatu, dan uang sedekah sebanyak
sepuluh ryou.
Chi Shin pun mengalirkan air mata. Lalu seperti
kucing dia memohon, "Saya tidak tahu apa yang mesti saya katakan,
selain minta maaf. Saya sendiri merasa bahwa saya tidak mampu
mengendalikan diri. Meskipun demikian, saya juga tidak berniat
menggantung diri. Kehidupan seperti apa yang sebaiknya dijalani oleh
saya, Pendeta?"
Pendeta Kepala Chi Shin bersemedi cukup lama
seolah mencari ramalan, lalu dia menggumamkan doa sutra, "Akan
muncul setelah menemukan hutan, akan kaya setelah menemukan gunung,
akan bangkit setelah menemukan air, dan akan berhenti setelah
menemukan sungai. Perubahan setelah bertemu dengan keempat unsur
tersebut merupakan karma dari takdir yang kaumiliki sejak lahir. Ro
Chi Shin! Sekarang kaujalani saja kehidupanmu seperti yang ada saat
ini. Pergilah ke manapun kau mau pergi."
Baik, Pendeta. Saya akan
mengikuti saran Anda." "Meski begitu, jika tidak punya tempat untuk
menenangkan diri sementara ini, tentunya kau akan kesusahan.
Kebetulan beberapa waktu lalu adik seperguruanku berada di Kuil
negara Dai Sou di Tou Kei, Kaihou, dan masyarakat di sana
menyanjung-nyanjungnya sebagai Chi Sei Zen Shi. Bawalah surat ini
dan pergilah ke Kuil negara Dai Sou. Cobalah kau memohon kepada Zen
Shi."
"Terima kasih untuk segalanya, Pendeta. Kalau begitu,
meskipun sebenarnya saya enggan meninggalkan tempat ini, saya mohon
pamit."
Ketika Chi Shin menundukkan kepala dengan wajah penuh
keseriusan, pendeta-pendeta pejabat yang ada di situ
tertawa.
"Enggan bagaimana?" Bagi mereka, tentunya kepergian Chi
Shin sangatlah melegakan.
Pada hari itu, dengan wajah lesu Chi
Shin turun menuju kota di kaki gunung. Lalu dia tidur di penginapan
di sebelah bengkel pandai besi, menunggu selesainya tongkat yang
dipesannya. Setengah bulan kemudian tongkat itu selesai dibuat.
Tongkat seberat 62 kin dengan tempaan air itu hasilnya cukup
bagus.
"Bagus! Dengan tongkat ini, semua yang ada "' bumi ini
akan menjadi bawahanku."
Segera saja kemuraman di wajah Chi Shin
lenyap berganti keceriaan. Kemudian dia berangkat menuju Kai Hou Tou
Kei.
RO CHI SHIN menjadi perantau,
berkali-kali tidur di gunung dan berbaring di padang. Mungkin karena
takut, tidak seekor pun binatang buas atau burung pemangsa yang
mendekati tempatnya tidur mengorok. Dengan sendirinya tempat itu
menjadi surga semalam baginya. Tanpa gangguan apa
pun.
Bagaimanapun Chi Shin sama sekali tidak memiliki bekal
makanan, uang pun tidak ada dalam kantong P'nggangnya. Jadi,
penyerang jenis apa pun tidak akan wsa mengambil apa-apa darinya.
Malam itu, dengan Perut berkeruyuk, akhirnya dia tiba di sebuah desa
di pegunungan.
"Banyak sekali pohon plum di tempat ini. Tentunya
sekarang bunga-bunganya sedang bermekaran. Sebaiknya malam ini aku
tidur di hutan plum itu saja. Anggap saja aku berada di dunia
impian."
Tiba-tiba muncul seorang lelaki tua berpenampilan
seperti bangau. Dia muncul dari hutan yang hendak dituju Chi
Shin.
"Selamat siang, pendeta musafir. Maaf, di tempat kami
sekarang sedang ada kesibukan. Lagi pula saya khawatir Anda mendapat
cedera tanpa sengaja, jadi sebaiknya Anda pergi ke tempat lain
saja."
"Anda siapa?"
"Saya kepala keluarga Ryu, keluarga tua
di desa bunga plum ini." Wajah tua berwarna tanah liat itu mendadak
berkedut seolah hendak menangis.
"Ada apa?"
Ketika ditanya
seperti itu, si tua Ryu betul-betul menangis terisak-isak.
"Sebenarnya..." Dia menjelaskan malam itu adalah malam pernikahan
anak gadis kesayangannya.
"Apa? Pernikahan anak gadis yang hanya
satu-satunya?"
Karena penasaran, Chi Shin terus mengorek
informasi dari lelaki tua itu. Menurut si lelaki tua, di Gunung Tou
Ka yang adalah daerah pedalaman tempat itu, tinggal sekelompok
perampok yang sudah menyusahkan tentara kabupaten di Provinsi Sei
tersebut.
Lalu yang akan menjadi calon suami anak gadisnya adalah
Shu Tsu yang dianggap adik oleh sang pemimpin perampok. Dengan
demikian, tentu saja pernikahan itu bukanlah keinginan pihak si
lelaki tua.
"Pada saat bunga plum bermekaran, kami akan datang
bersama sang calon pengantin laki-laki. Tentu saja dengan mengirim
utusan dari gunung sebelum kedatangan. Di malam calon pengantin
laki-laki datang, sebaiknya calon pengantin perempuan sudah
membersihkan diri. Lalu arak dan makanan juga harus dipersiapkan
supaya pernikahan ramai," demikian pesan Shu Tsu. Apabila keinginan
mereka ditentang, dalam semalam Desa Tou Ka akan dibakar hangus
sampai rata dan semua penduduknya akan dibantai sampai habis. Si
lelaki tua gemetaran membayangkan semua itu.
"Di zaman ini masih
ada orang yang menggunakan cara lama. Baiklah. Jadi perampok dari
Gunung Tou Ka itu akan datang mengantar calon pengantin laki-laki di
tengah malam? Bapak Ryu, Anda tidak usah khawatir
lagi."
"Meskipun Pendeta berkata seperti itu..."
"Sebenarnya
saya Ro mantan polisi militer di I Sui. Saya sudah terbiasa
menangani hal-hal seperti mi. Sebaiknya antarlah saya ke kamar anak
gadis Bapak."
"Sejak kemarin putri saya terus menangis, tidak
mungkin dia mau bertemu siapa pun."
"Tidak mengapa. Yang penting
sekarang, cepat sembunyikan anak gadis Anda di suatu tempat. Saya
akan menggantikan gadis itu tidur di ranjang dengan kelambu
terjuntai. Nanti saat Shu Tsu datang, buatlah seolah-olah memang
sedang diadakan pesta besar, lalu kelabui dia supaya minum arak
sebanyak-banyaknya dan bawa ke kamar. Tapi saya pastinya akan bosan
menunggu di kamar anak Anda sendirian, jadi jangan lupa pula membawa
arak ke kamar."
Si rua Ryu lebih merasa takut daripada bimbang.
Tetapi, karena semakin banyak keluarga berdatangan, akhirnya dia
bersedia mencoba rencana Chi Shin. Seperti peribahasa tiada rotan
akar pun jadi, maka dia mulai menggantungkan diri pada taktik Chi
Shin.
Malam itu Chi Shin bersembunyi di kamar pengantin perempuan
dan membiarkan kelambu di ranjang dalam keadaan terjuntai. Dia
sendiri berbaring di tempat tidur. Lalu tentu saja, karena
disediakan arak dan makanan untuknya, dia pun makan sepuasnya dan
tertidur.
Kadang-kadang dia terjaga. Dia tidak tahu pukul berapa
itu. Di depan, mungkin rombongan pengantin laki-laki sudah tiba,
terdengar bunyi tambur dan gendang. Terdengar pula ramainya nyanyian
desa penyambutan pengantin laki-laki.
"Tampaknya upacara
selamatan akan segera dimulai."
Sampai di situ dia masih sadar,
tetapi tak lama kemudian dia tertidur lagi. Malam semakin larut dan
ketika bayangan seperti raja setan mendekat dari luar kamar dengan
dipandu cahaya lilin, dia sama sekali tidak menyadarinya.
Lalu,
tampaknya si tua Ryu, dengan suara lirih berkata, "Menantuku, aku
mengantar sampai sini saja. Aku mohon pamit."
Bersama dengan itu,
si tua Ryu cepat-cepat berlalu. Setelah memastikan langkah kaki
lelaki tua itu sudah menjauh, Shu Tsu si perampok, perlahan-lahan
masuk ke kamar.
"Gelap sekali. Oh, gadis itu malu
rupanya."
Sambil berbicara sendiri, dengan meraba-raba, Shu Tsu
mendekati tempat tidur pengantin perempuan. Lalu kembali lagi dia
bergumam, "Wah, di sini bau araknya menyengat sekali. Rupanya di
kamar pengantin perempuan mungkin juga ada kebiasaan minum-minum
arak. Hei, gadis—bukan—istriku. Kau tidak usah malu-malu seperti
itu."
Tetapi sebenarnya tidak sesuai dengan profesinya, Shu Tsu
sendiri yang agak gugup. Dengan malu-malu dia menerobos masuk ke
tempat tidur, lalu mengulurkan tangan ke bagian dalam pakaian
pengantin perempuan. Pada saat itu teraba olehnya sesuatu yang
kasar. Rasanya seperti pusar, tapi ada bulunya.
"Wah! Mereka
mengganti pengantin perempuannya!"
Ketika Shu Tsu terjatuh karena
terkejut dari tempat tidur dengan suara berdebum keras, barulah Chi
Shin terjaga. Dia cepat-cepat bangkit, dan dengan tetap roemakai
gaun pengantin perempuan dia berseru, "Suamiku, tunggu. Tega benar
kau kabur meninggalkan diriku," katanya sambil mengejar ke arah
hutan pohon plum yang ada di belakang.
Begitu melepaskan kudanya
yang terikat di pohon lilt, dan dengan menjadikan ranting pohon liu
itu sebagai cambuk, Shu Tsu melarikan diri. Chi Shin melompat
menaiki kuda anak buah Shu Tsu dan mengejarnya. Ha] itu tidak
menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah keributan di keluarga
Ryu setelahnya.
Ketika para anak buah perampok yang tertinggal di
situ menyadari adanya keanehan, segera saja mereka mengikat si tua
Ryu dan menyeretnya pergi. Pagi berikutnya, mereka tiba di sarang
mereka di Gunung TouKa.
Tetapi, apa yang terjadi? Di sana yang
tampak malah kepala perampok bersama Ro Chi Shin tertawa-tawa dengan
akrab sambil minum arak. Sedangkan si pengantin laki-laki—yaitu Shu
Tsu yang adalah adik angkat kepala perampok, berada di samping
mereka dengan wajah yang kelihatan lemas dan lesu.
"Pak tua Ryu.
Kasihan sekali Anda ditangkap. Hei, pengantin laki-laki, cepat buka
ikatannya!"
Sambil tertawa terbahak-bahak, Ro Chi Shin
menceritakan segalanya dengan terperinci.
Malam tadi ketika
mengejar si pengantin laki-laki sampai ke gerbang persembunyian
perampok, yang muncul untuk membantu adik angkatnya itu ternyata si
penjual obat oles di kota I Sui—Ri Chu si Jenderal Penggebuk
Harimau.
"Mereka memang orang-orang tolol, menjadi perampok di
tempat seperti ini segala. Padahal menjadi penjual obat oles bakal
jauh lebih menguntungkan."
Ro Chi Shin menasihati
mereka.
Masalahnya bagi Ri Chu, si Jenderal Penggebuk Harimau,
dan laki-laki yang bernama Shu Tsu yang menjadi adik angkatnya,
kehidupan seperti ini cocok dengan sifat bawaan mereka. Meski
begitu, di hadapan Chi Shin mereka tidak banyak tingkah, mereka
menjadi penurut sekali.
"Ya. Untuk ke depan, kami tidak akan
mengganggu anak gadis Bapak Ryu lagi."
Dia berjanji seperti itu,
namun kelihatannya tidak sungguh-sungguh.
Ketika Chi Shin
tertawa, Ri Chu merasa sedikit mendapat angin dan berkata, "Chi
Shin, aku pergi merantau setelah menjual tanah di I Sui, dan ini
sebenarnya gara-gara dirimu. Karena kau membunuh Tei, orang yang
berpengaruh di Kan Sei Go Ro, maka kami juga menjadi incaran polisi.
Mereka mulai menangkapi orang-orang kami serta memasukkan mereka ke
sel penjara. Tidak hanya aku, Shi Shin juga meninggalkan I Sui, dan
menghilang entah ke mana."
"Oh, begitu. Memang kalau
dipikir-pikir, aku hams bertanggung jawab. Tapi sebaiknya kalian
menghendkan pekerjaan-pekerjaan kuno yang remeh, seperti mengancam
rakyat jelata atau menculik gadis kampung. Kalau mau, sebaiknya
lakukan pekerjaan yang jauh lebih besar dan lebih terhormat sebagai
laki-laki. Raihlah cita-cita yang tinggi."
Tampaknya Chi Shin
berpikir tidak baik untuk berlama-lama di tempat itu. Dia pun
meminta mereka berdua untuk berjanji tidak akan melakukan balas
dendam kepada keluarga Ryu dan Desa Tou Ka. Kemudian setelah melihat
mereka mematahkan anak panah dan bersumpah, dia menyuruh si tua Ryu
pulang ke desanya. Dia sendiri berlalu tanpa tujuan.
Chi Shin
melanjutkan lagi perjalanan yang sudah dimulainya berkali-kali
dengan tujuan Tou Kei. Tanpa disadarinya, dia tiba di kuil yang
sangat aneh dan sudah bobrok. Dia mampir di kuil tersebut dengan
niat menginap semalam di sana, menghindari hujan serta embun yang
dingin. Di sinilah dia melihat sosok manusia yang tidak mungkin ada
di dunia.
"Pada zaman kuil ini didirikan, tentunya ada utusan
kaisar, ada sekumpulan pendeta, asap dupa mengepul, kain sutra yang
melilit, dan sebagainya. Tentunya dulu kuil ini sangat megah. Tetapi
sekarang bisa sebobrok ini."
Chi Shin melangkah ke halaman Kuil
Ga Kan dan terperangah melihat pemandangan yang begitu
menyedihkan.
Pagoda tempat genta dan cucuran kuil berada daJam
keadaan hampir roboh. Kuil utama pun sekarang tampaknya sudah
menjadi sarang burung gereja. Ketika melongok ke dalam, patung Dewi
Kan On sudah diselimuti rumput jalar dan pada atap menganga lubang
besar. Jejak kaki yang ada di dalam semuanya adalah tapak kaki rubah
atau cerpelai, di sana-sini terlihat pula kotoran burung dan
binatang lainnya. Betul-betul seperti berada di dunia lain.
"Oi!
Apakah tak ada seorang pun manusia di sini? Apa tidak ada yang
tinggal di sini?"
Tiba-tiba dari ruang belakang muncul seorang
pendeta yang tinggal kulit dan tulang. Pendeta itu berkata, "Kau
pendeta musafir? Di sini tidak ada makanan untuk orang yang
menginap. Sebaiknya cepat pergi dari sini."
"Tidak ada makanan?
Kalau begitu, asap apa yang mengepul di belakang itu? Lagi pula
makanan yang kalian makan juga sedekah dari orang-orang desa, bukan?
Aku lapar sekali. Aku juga ingin dapat bagian."
"Sama sekali
tidak mungkin. Kami sudah sangat kekurangan. Kalau kau mengeluarkan
suara keras seperti itu, kulit di tubuh pendeta kepala pun dapat
terlepas. Cepat pergi dari sini!"
"Apa Pendeta mengusirku karena
keinginan sendiri atau karena merasa tidak enak pada
seseorang?"
"Ada pendeta jahat bernama Sai Dou Sei dan pengelana
kejam bernama Kyu Shou Ichi yang menguasai daerah ini, dan mereka
telah menguasai Kuil kami. Kami di sini harus dapat hidup dengan
hanya menyeruput kuah bubur."
"Hmm. Sai dan Kyu. Apa kalian takut
pada orang-orang seperti itu? Coba ceritakan lebih terperinci.
Namun, sebagai imbalannya, beri aku semangkuk bubur gandum
itu."
Ketika pergi ke bagian dapur, Chi Shin melihat
pendeta-pendeta yang sudah seperti kerangka sedang makan bubur
dengan lahap mengelilingi tungku hitam berbara merah yang seperti
tempat pembakaran mayat.
Karena Chi Shin mengulurkan tangan ke
panci di atas tungku itu, mereka mundur ke belakang. Lalu ketika Chi
Shin menyeruput bubur di mangkuk ketiga, mereka mernerhatikannya
dengan iri lalu mengalirkan air mata. Meskipun Chi Shin berperangai
buruk, jika melihat hal seperti ini, makanan pun tak mungkin bisa
lewat di tenggorokannya. Maka, meskipun masih lapar, dengan perasaan
tidak enak, Chi Shin menyisihkan mangkuk gompal yang dia
pegang.
Pada saat itu dari luar tiba-tiba terdengar nyanyian
kampung, tetapi dinyanyikan dengan suara yang cukup bagus. Chi Shin
melihat seorang pemuda berpenampilan pendeta musafir sedang lewat
dengan memikul sesuatu. Di dalam pikulan itu terlihat daging sapi
berwarna merah yang dibungkus daun teratai, arak, sayuran, dan
lain-lain. Melihat itu, mata Chi Shin berbinar-binar.
"Diakah?
Orang yang bersarang di Kuil ini, yang tidak memberi makanan kepada
kalian?"
"Benar. Dia Kyu Shou Ichi yang dijuluki iblis
terbang."
"Jadi masih ada seorang lagi, si pendeta jahat yang
disebut Sai Dou Sei. Baiklah. Daging sapi yang baru kulihat tadi,
akan aku rebut."
"Jangan! Jangan melakukan yang tidak-tidak.
Nyawamu dapat melayang. Tidak hanya itu, mungkin kami juga bakal
ikut menderita akibatnya."
"Mengapa kalian gemetar begitu?
Pokoknya perhatikan saja. Malam ini kalian akan kuberi daging
sekerat-sekerat sebagai sedekah."
Bagaikan macan kumbang, Chi
Shin melompat ke luar. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat
mengilat yang baru dibuat dan masih mengeluarkan bau besi.
Ketika
tiba di halaman yang dulunya mungkin pekarangan Kuil, si pendeta
musafir yang tidak menyadari keberadaan Chi Shin menurunkan
pikulannya, lalu mengobrol dan tertawa-tawa dengan dua orang yang
menunggunya. Ketika dilihat lebih jelas, ternyata di bawah pohon
pagoda yang besar, Pendeta Sai sedang duduk menghadap meja sambil
mencumbu seorang perempuan muda.
Tampaknya mereka berniat
minum-minum sambil mengapit perempuan itu. Mereka mulai menjajarkan
wadah keramik dan mangkuk arak di meja. Pada saat itu, Ro Chi Shin
mendekat ke arah mereka.
"Siapa kau? Dapat izin dari siapa kau
datang ke sini?"
"Apa tidak boleh datang ke sini? Tunggu dulu.
Perempuan itu. Kau ini tentunya istri orang atau gadis yang diculik
ke sini. Di sini berbahaya. Cepat minggir." "Apa?
Bahaya?"
Seorang begundal bisa mengenali sesama begundal. Begitu
Sai bangkit, dari tangannya sebilah pedang menyambar beberapa senti
di depan dada Chi Shin bagaikan air mancur. Namun Chi Shin tidak
perlu menghindar. Tongkat di tangan Chi Shin mendesing ke arah Kyu
Sho Ichi yang berada di samping Sai. Kyu mundur, dan dengan cepat,
dia juga mencabut pedangnya. Semangat serta sorot liar mata keduanya
tidak kalah dengan Chi Shin.
Tetapi Chi Shin adalah orang yang
tidak kenal takut. Selain itu dari dulu dia belum pernah mengalami
kekalahan. "Uuuuoooo!" Sudah lama Chi Shin tidak berteriak seperti
itu. Lalu dia memasang kuda-kuda seolah-olah mengundang lawan agar
menyerang. Mereka mengapit dirinya. Ujung pedang mereka menyusur
tanah sedikit demi sedikit mendekatinya. Seakan-akan memiliki mata,
sekecil apa pun gerakan Chi Shin, kedua ujung pedang itu terus
mengikutinya.
Chi Shin mulai sedikit berkeringat. Apa karena
perutku lapar? pikirnya. Tampaknya bukan juga. Aura kedua pedang itu
seolah-olah mengeluarkan sejenis mantra yang mengikat. Akhirnya Chi
Shin mulai wawas diri. Astaga. Repot juga. Sudah lama aku tidak
bertemu orang-orang lihai seperti ini, pikirnya.
Setiap kali Chi
Shin menggerakkan tongkat untuk memecah kebekuan, Kyu Shou Ichi
melompat ke udara dan mengarahkan pedang bulan sabitnya ke kepala
Chi Shin, sementara Sai Dou Sei merunduk rendah menyabetkan pedang
menyusur tanah mengincar kakinya. Satu di atas, satu di bawah,
teriakan-teriakan terus silih berganti, namun kedua belah pihak
belum meneteskan setitik darah pun. Hanya kelebatan
bayangan-bayangan hitam yang terus berputar bagaikan angin puting
beliung. Kemudian ketiga sosok itu terdiam kembali, saling menatap
tajam.
Akhirnya, yang pertama-tama merasa lelah adalah Ro Chi
Shin. Kenyataannya, perutnya kosong dan lawannya orang-orang kuat
yang beium pernah dia hadapi. Sedikit demi sedikit dia mulai
terdesak. Tak lama kemudian tampaknya dia menyadari batas
kemampuannya. Karena itu dia segera berbalik dan melarikan diri.
Karena tubuhnya sangat besar, maka pada saat melarikan diri dia
terlihat lucu. Bagaikan bola api yang terus berputar, dia meloncati
gerbang, berlari melesat di jalan, menyeberangi jembatan batu.
Ketika dia mengambil napas sejenak dan menengok ke belakang, mungkin
karena di situ sudah memasuki batas wilayah, Sai dan Kyu yang
mengejarnya sedang bersandar di langkan jembatan batu, beristirahat
dengan santai seolah-olah berkata, "Hei, Pendeta. Kalau sudah
istirahat, serang lagi kami."
Dari balikpersembunyiannya, Chi
Shin memerhatikan mereka.
"Memang dunia ini luas sekali. Jika ada
manusia semacam mereka, aku pun harus wawas diri. Aku sungguh
penasaran, namun untuk kali ini biarlah aku mengalah. Kalau
menyerang mereka lagi, kematianku akan sia-sia. Tapi tunggu dulu.
Wah, sial!"
Chi Shin sadar kantong pendeta yang sangat penting
sudah tidak ada lagi di lehernya. Mungkin jatuh, pikirnya panik.
Tetapi setelah dipildr-pikir, dia ingat kalung itu ketumpahan
buburselagi makan di dapur Kuil, sehingga dia melepasnya dulu.
"Ini gawat. Di dalam kantong itu ada surat dari Pendeta Kepala
Chi Shin yang ditujukan kepada Chi Sei Zen Shi, pengurus Kuil
negara. Jika kembali untuk mengambilnya, aku pasti tertangkap mereka
di jembatan batu itu. Tapi kalau tidak membawa surat itu, tidak ada
gunanya lagi aku pergi ke Tou Kei."
Apakah tidak ada jalan lain
untuk kembali ke sana tanpa melewati jembatan? pikirnya. Lalu
terlihat olehnya jalan yang menurun ke arah sungai. Chi Shin
menuruni jalan itu dan ketika mendaki lagi, dia muncul di sebelah
utara Kuil Ga Kan. Di sekelilingnya terdapat hutan cemara merah. Ke
arah mana pun dia memandang, hanya ada cemara merah. Tapi tak lama
kemudian, dia tiba di tempac yang seperti hutan kematian. Mungkin
ini bekas kebakaran, pikirnya. Sebatas mata memandang tidak ada
setitik pun warna hijau, yang ada hanya pohon-pohon yang sudah
ranggas.
Pada saat itu, mungkin karena mendengar langkah kakinya,
dari balik batu sekitar sana mendadak muncul sosok berpakaian
serbaputih memandang ke arahnya. Seperti orang yang sudah akrab, dia
mendekati Chi Shin. Namun, begitu melihat Chi Shin dengan jelas,
sosok putih itu berdecak. "Huh! Cuma pendeta kotor." Lalu tanpa
menoleh lagi dia berlalu di antara pohon-pohon ranggas. Chi Shin
tidak senang mendengar orang itu mengeluarkan suara seakan meludah.
Dia melompat mengejarnya dengan tongkat melintang di tangan.
"Hei
tunggu! Mengapa kau barusan tertawa mengejekku?"
"Aku tidak
tertawa. Cuma mengatakan 'pendeta kotor'."
"Di sini tidak ada
manusia lain. Artinya kata-katamu itu ditujukan pada
diriku."
"Silakan berpikir sesukamu. Mungkin dugaanmu tepat.
Karena akhir-akhir ini, aku belum pernah lagi melihat pendeta sejati
di dunia ini."
Kata-kata lelaki itu sangat lugas, penampilannya
pun anggun. Pakaian putihnya seperti pakaian musafir. Mungkin dia
salah seorang teman Kyu Shou Ichi.
Matahari hampir tenggelam.
Lelaki itu tampaknya tergesa-gesa menuju puing-puing bekas kuil di
sebelah sana. Sambil tertawa sinis sekali lagi, dia mulai berjalan.
Memanfaatkan kelengahannya, Chi Shin mendadak berteriak keras
"Hyaaa!" Dia menduga lelaki yang diserangnya itu akan langsung
merunduk. Tapi lelaki itu hanya melompat ke samping dan dengan
tenang menggenggam gagang pedang di pinggangnya.
"Pendeta, jangan
salah lihat. Aku bukan dewa kematian. Tidak ada gunanya aku meminta
nyawamu."
"Kau congkak sekali."
Kali ini lawan tidak lagi
menunggu ayunan tongkat. Dengan secepat kilat dia mengayunkan
pedang. Jika Chi Shin tidak mengayunkan tongkat melintang untuk
melindungi diri, mungkin kepalanya sudah terbelah dua seperti
semangka. Chi Shin melompat ke belakang memegang tongkatnya
erat-erat.
Kemudian, dari pandangan yang menerobos kegelapan
senja serta melalui kilatan mata pedang yang terdiam, terdengar
suara yang tenang.
"Hei! Tunggu. Tunggu dulu!"
"Kau mulai
takut, musafir?"
"Tidak. Sejak tadi aku memikirkan sesuatu. Kalau
ridak salah kau Polisi Militer Ro, bukan?"
"Apa? Sebenarnya siapa
kau yang tahu masa laluku?"
"Astaga! Hampir saja..."
Si
musafir segera memasukkan pedang ke sarungnya, lalu datang mendekati
Chi Shin.
"Aku Shi Shin, si Naga Sembilan yang berpisah denganmu
di I Sui. Memang penampilanku seperti ini, tetapi perubahanmu itu
betul-betul luar biasa. Bahkan sekalipun kita bertabrakan, aku tidak
akan mengenalimu. Dari seorang polisi militer menjadi pendeta,
betul-betul perubahan yang luar
biasa."
Pesta Arak Dibawah Pohon Liu
"INI
kebetulan yang luar biasa. Kapan manusia berpisah dan bertemu lagi,
tidak pernah bisa kita ketahui," kata Ro Chi Shin. Shi Shin si Naga
Sembilan pun merasa pertemuan ini ikatan takdir yang tidak akan
putus. Kemudian sambil berjalan berdampingan mereka kembali ke Kuil
Ga Kan. Di perjalanan, Chi Shin bercerita kepada temannya mengapa
dia mendadak menjadi pendeta. Si Naga Sembilan pun berkisah bahwa
setelah meninggalkan I Sui, dia berkeliaran di En An dan Hoku Kei,
dan betapa sampai saat ini dia belum bertemu gurunya, Ou Shin.
Akhirnya untuk sementara, dia melewatkan hari-harinya di reruntuhan
Kuil yang terletak di hutan meranggas ini.
"Tampaknya nasib kita
mirip, banyak mengalami kemelut hidup. Aku berniat pergi ke kuil
besar negara di Tou Kei. Shi Shin, bagaimana denganmu?"
"Aku
berada di tempat ini sekarang, berpura-pura menjadi musafir juga
hanya untuk melewatkan hari-hari. Untuk sementara ini, aku tidak
memiliki tujuan ke mana pun, tapi kudengar kabar Shu Bu berada di
Gunung Shou Ka, maka aku berencana pergi ke Sana untuk
mengunjunginya."
"Itu juga mungkin ide bagus. Karena
bagaimanapun, dalam kondisi masyarakat yang membusuk seperti
sekarang ini, kita yang sama-sama tidak seperti otang kebanyakan,
takkan dapat menjadi orang saleh. Aku kira kita akan kesulitan
tinggal bersama mereka. Hei, hei, tunggu dulu. Mereka masih ada di
sana."
"Ada apa, Pendeta?"
"Mereka itu, yang bersandar di
langkan jembatan itu. Pendeta Sai dan si musafir Kyu Shou Ichi yang
tadi membuatku kerepotan. Mereka masih berkeras mengawasiku."
Si
Naga Sembilan tertawa. "Rupanya penjahat-penjahat yang tinggal di
Kuil Ga Kan. Pendeta, kali ini kau tidak perlu takut. Sekarang sudah
ada penolong yang bernama si Naga Sembilan."
Ketika Shi Shin
berkata seperti itu, di atas jembatan di sebelah sana, Musafir Kyu
dan Pendeta Sai sudah melihat mereka. Dari kejauhan, terlihat mata
besar mereka bersinar-sinar tajam menunjukkan sikap akan
menyerang.
Tetapi kali ini keadaannya berbeda dengan jika
menghadapi Chi Shin sendiri. Sungguh malang nasib mereka berdua.
Meskipun mereka sendiri yang datang menantang, akhirnya nyawa mereka
melayang begitu saja di bawah pedang si Naga Sembilan dan tongkat
Chi Shin.
"Karena sudah membereskan mereka, aku harus segera
kembali ke dapur kuil untuk mengambil kantong pentingku yang
terlupakan. Shi Shin, kau tunggu di sini."
"Tidak. Aku juga
ikut."
Ketika tiba di dapur, beruntung sekali kantong itu masih
ada di sana. Tetapi pendeta tua dan rekan-rekannya yang selama ini
menjalani kehidupan melarat, serta perempuan yang tidak diketahui
asal-usulnya tadi, semuanya sudah mad dalam keadaan tergantung di
palang kuil. Mungkin mereka tahu Chi Shin mengalami kekalahan dan
dikejar-kejar Sai dan Kyu. Mereka pun takut akan apa yang bakal
mereka hadapi nanti. Mungkin juga mereka merasa putus asa dengan
kehidupan yang mereka jalani saat itu, lalu memilih kematian.
"Astaga mereka semua... Betapa menyedihkan. Tapi roh-roh yang
melayang-layang di sini, tolong jangan salah sangka, ini bukan
gara-gara diriku."
Tidak seperti biasanya, Chi Shin menangkupkan
kedua telapak tangan lalu membaca doa sutra yang sedikit dihafalnya.
Melihat itu, si Naga Sembilan yang berdiri di sebelahnya berkata,
"Kuil ini tidak menunjukkan fungsinya sebagai kuil, malah menjadi
sarang penjahat. Maka beginilah jadinya. Untuk itu, demi masa depan,
sebaiknya sekalian saja kita bakar kuil ini."
"Benar. Kita akhiri
semuanya, kita doakan arwah-arwah yang ada di sini, lalu kita turun
dari gunung."
Pada tungku yang beberapa saat lalu menyediakan
bubur bagi orang-orang itu, masih tersisa bara kecil yang menyala
seperti api roh. Chi Shin mengambil kayu bakar yang masih menyala
lalu membakar dapur. Selanjutnya kedua orang itu dengan cepat
menurum jalan menuju kaki gunung.
"Pendeta, kaulihat vvarna merah
di atas gunung itu?"
Chi Shin menoleh. Di langit terlihat kobaran
serta percikan-percikan bunga api yang indah. Pada awal zaman
Dinasti Sou, Kuil Ga Kan yang terkenal itu masih bersinai dipenuhi
orang-orang yang berziarah, dengan aroma dupa yang semerbak serta
genta yang berbunyi nyaring. Namun sekarang, setelah waktu berlalu
seratus tahun lebih, seiring dengan membusuknya pemerintahan, sinar
Buddha pun sirna dalam sekejap. Kini di hari akhirnya, tanpa rasa
sesal, kuil itu menyinari kegelapan dunia dengan cahaya
apinya.
Selama dua hari Chi Shin dan si Naga Sembilan melakukan
perjalanan bersama. Akhirnya ketika tiba ke persimpangan jalan
menuju Ka Shu dan Kai Hou, mereka berpisah setelah berjanji akan
bertemu lagi.
Tidak sampai satu hari kemudian Chi Shin tiba di
Kai Ho Tou Kei, yang merupakan ibukota pada saat itu. Tanpa menunda
waktu lagi, dia mengunjungi pendeta negara Chi Sei Zen Shi di Kuil
Dai Sou Koku.
"Saya Chi Shin salah seorang murid di Gunung Go
Dai. Saya disuruh pendeta gunung Go Dai untuk lebih menempa diri di
bawah bimbingan pendeta di sini. Untuk itu saya dititipi surat untuk
Pendeta. Saya mohon surat ini disampaikan kepada beliau."
Chi
Shin mengeluarkan surat dari Pendeta Kepala Chi Shin dan
menyerahkannya pada pendeta pejabat, lalu duduk di sebuah ruangan,
menunggu berita.
"Bisa-bisanya Pendeta Kepala Chi Shin di Gunung
Go Dai mengirim orang 'hebat' seperti dia ke kuil ini." Setelah
membaca riwayat Chi Shin dalam surat itu, pendeta negara Chi Sei
menunjukkan wajah agak suram. Meski begitu, mungkin karena dia
pendeta Zen, dia merasa agak tertarik.
Di kalangan pendeta,
memang banyak yang memiliki riwayat aneh, tetapi yang seperti Chi
Shin memang sangat langka. Mantan polisi militer di Provinsi I,
memiliki rasa kebenaran, tetapi suka berkelahi dan gemar arak.
Lelaki yang menjadi pendeta karena pernah melakukan kejahatan, yaitu
membunuh orang.
"Tentunya pendeta-pendeta di Gunung Go Dai sudah
putus asa menanganinya. Pendeta Kepala Chi Shin adalah temanku sejak
dulu. Jadi kalau aku tidak bersedia menerimanya, temunya dia akan
menertawaiku, pendeta Zen yang penakut, begitu pasti katanya. Nah,
sekarang apa yang harus kuperbuat?"
Semua pendeta pejabat
dikumpulkan dan rapat dilangsungkan.
"Tamu kali ini sama sekali
tidak kelihatan seperti pendeta. Penampilannya sangat
sangar."
"Begitu melihat wajahnya, kita tahu dia bukan orang
baik-baik. Ada sesuatu yang menakutkan pada dirinya. Saat menyambut
kedatangannya tadi, dia sama sekali tidak tahu tata cara kependetaan
Zen. Tidak hanya itu, dia juga canggung menggunakan alat-alat
pedupaan, alat duduk, dan tidak tahu cara berpakaian."
"Kurasa
akan lebih bijaksana untuk kuil ini jika kita menolaknya secara
baik-baik."
Semua pendeta pejabat mengeluarkan pendapat yang
sama. Tak ada seorang pun bersedia menerima Chi Shin dengan senang
had. Karenanya Pendeta Chi Sei merasa gundah. Tetapi kemudian
pendeta bagian umum mengemukakan gagasan bagus.
"Gunting pun akan
bermanfaat di tangan otang bodoh apabila tahu cara menggunakannya.
Orang semacam dia juga, kalau kita tempatkan di bagian pengurusan
ladang sayuran, munglcin saja cocok."
"Benar juga. Kalau dia
dijadikan pengawas di ladang sayuran, mungkin akan
berguna."
"Ladang sayur di luar gerbang San Sou sangat luas. Para
tentara dari tangsi di dekat sana sering mencuri sayuran kita.
Selain itu, yang paling menyulitkan kita adalah
berandalan-berandalan di luar gerbang kuil. Sepanjang tahun mereka
banyak mencuri ketimun dan lobak, juga memakan kuda dan sapi
pengolah lahan pertanian. Penjaga dan para pendeta tidak bisa
melakukan apa-apa. Orang-orang itu sangat kejam."
"Itu gagasan
bagus. Bagaimana menurut Pendeta? Sebagai percobaan kita tempatkan
Ro Chi Shin sebagai pengawas di ladang."
"Jika semua setuju,
tidak ada masalah." Berdasarkan rembukan seluruh pendeta pejabat,
maka keputusan itu diberitakan kepada Chi Shin melalui pendeta
tetua. Wajah Chi Shin agak memberengut. Tampaknya dia berharap bisa
menjadi pejabat meskipun untuk jabatan paling rendah sekalipun,
seperti kepala pendeta musafir atau kepaia pemandian.
"Jangan
kecewa. Nanti jika hasil penempaan dirimu bagus, kau bisa menjadi
kepala upacara minum teh, kepala pengurus aula, kepala gudang,
pengawas kuil, dan sebagainya. Tetapi untuk saat ini, cobalah
menjadi pengawas ladang."
Sambil terus dihibur, meskipun enggan
akhirnya Chi Shin bersedia ditempatkan di ladang yang berada di luar
gerbang San Sou. Istilah "kantor pengurus ladang" atau "ruang
pengawas ladang" memang kedengaran hebat, namun begitu tiba di sana,
yang dimaksud hanyalah dangau besar untuk penjaga
kebun.
"Menyebalkan! Baiklah. Kalau sudah menempatkanku sebagai
orang-orangan pengusir burung, jangan harap orang lain bisa campur
tangan dengan tindak-tandukku di sini. Aku akan hidup senang."
Demikianlah sifat liarnya mulai muncul lagi. Pendeta Chi Shin telah
mengangkat diri sendiri sebagai tuan tanah di sana.
Beberapa hari
kemudian, di lingkungan berandalan kota terjadi perubahan besar.
Orang yang masuk untuk mencuri sayuran di ladang kembali dari sana
dan bercerita.
"Ketika aku pergi ke sana, ternyata penjaganya
sudah diganti. Kali ini seorang pendeta menakutkan dengan wajah
seperti ubi bertanduk delapan. Selain itu, di depan dinding gerbang
dia memasang pengumuman yang sulit dimengerti."
"Diganti? Seperti
apa dia? Mari kita lihat wajahnya. Apa pula isi pengumuman
itu?"
Berandal-berandal itu berdiri mengelilingi tonggak
pengumuman. Dalam pengumuman itu tertulis kata-kata seperti berikut:
Mulai sekarang kami menugaskan Pendeta Chi Shin untuk mengurus
ladang. Seluruh aturan yang berkaitan dengan petani dan pemasukan
sayuran ke dapur kuil diserakkan kepada yang bersangkutan.
Orang
yang tidak berkepentingan dilarang masuk.
Apabila melanggar
aturan tersebut di atas, pelaku dipastikan akan mendapat
hukuman
Bagian Umum Kuil Negara Dai Sou
"Apa ini? Cuma
kata-kata kosong. Mari kita lihat dulu seperti apa Pendeta Chi Shin
itu. Apakah dia ada di pos jaganya?"
"Ada. Sedang apa dia?
Perutnya terbuka sampai terlihat pusarnya. Wajahnya melongo seperti
pura-pura tidak tahu apa-apa."
"Pasti dia takut kepada kita.
Karena kita ramai-ramai menghampirinya, dia pura-pura tidak
melihat."
"Tapi kalau tidak menggertaknya lebih dulu, dia bisa
menganggap enteng kita. Bagaimana kalau kita memakai cara yang biasa
kita lakukan setiap kali pergantian penjaga?"
"Mandi di kubangan
kotoran? Ya, kalau kira pakai cara itu, siapa pun takkan banyak
omong lagi. Baiklah, kita coba. Kalian semua siap-siap."
Ketika
begundal-begundal itu mendekat, Chi Shin bersikap seolah-olah tidak
tahu. Dia menguap lebar-lebar, menuruni tangga dangau, dan berjalan
santai ke arah ladang.
"Selamat siang. Bukankah Anda pendeta
penjaga baru?"
Ri Shi si Ular Sawah dan Chou San si Tikus Tanah
mengangguk-angguk di depan Chi Shin, setelah menyuruh tiga puluh
rekan mereka bersembunyi di belakang rumpun semak. Lalu, untuk
menunjukkan ketangguhan, mereka coba-coba memperkenalkan
diri.
"Kami warga sederhana yang tinggal di dekat sini. Setelah
melihat papan pengumuman, kami menyadari pendeta penjaga di sini
sudah diganti. Karena itu, kami datang untuk memperkenalkan diri.
Mulai saat ini, kami mohon kerja sama dan persahabatan dari
Anda."
"Mau apa kalian?" kata Chi Shin sambil melotot. "Aku kira
kalian barisan pengantar jenazah dari kampung, yang salah mengambil
jalan."
"Lucu juga kata-kata pendeta ini. Hei kalian semua,
tampaknya pendeta penjaga kali ini bisa diajak bicara. Keluar kalian
semua, beri salam kepada pendeta!"
"Tidak perlu, tidak perlu. Aku
tidak butuh penghormatan murahan seperti itu. Tapi kalau kalian
datang untuk mempcrkcnalkan diri, tentunya kalian membawa
arak."
"Astaga, ini terbalik. Jika mengikuti aturan siapa yang
mesti memperkenalkan diri, seharusnya kaulah yang menghadap kami.
Jadi jangan bicara seperti orang yang tidak tahu aturan. Hei,
Meppa!" Chou berseru kepada salah seorang rekannya. "Pendeta ini
ingin minum-minum bersama kita. Sekarang kau cepat pergi ke kota, ke
tukang arak dan tukang daging. Katakan untuk pendeta
penjaga."
"Baiklah." Lalu dua atau tiga orang bergegas ke
kota.
Mereka menjadikan keberangkatan
orang-orang itu sebagai isyarat, lalu begundal-begundal itu saling
memberi kode dengan gerakan mata dan mengelilingi Chi Shin.
Kemudian, sambil mengoceh untuk mengalihkan perhatian, mereka
menggiring Chi Shin ke arah kubangan kotoran. Chi Shin tidak
menyadari muslihat mereka dan tidak tahu bahwa di belakang tempatnya
berdiri ada kolam kotoran. Jika dilihat sekilas, takkan ada yang
tahu bahwa itu kubangan kotoran karena di atasnya dipenuhi lalat
bertumpuk-tumpuk seperti kedelai hitam yang dihamparkan tebal-tebal.
Warna kotoran pun tidak terlihat serta baunya tidak tercium. Sejenak
Chi Shin bisa melupakan kebosanannya karena sikap manis serta
perbincangan mereka, sehingga dia merasa gembira.
Tiba-tiba salah
seorang begundal berkata, "Wah, di kaki Pendeta ada lalat pengisap
darah yang sangat besar!" Lalu dia merunduk ke arah kaki Chi Shin
berpura-pura akan memukul lalat itu, padahal dia berniat mengangkat
kaki Chi Shin. Kalau kaki Chi Shin terangkat, pasti dia akan jatuh
ke kubangan. Tapi bahkan sebelum si begundal menyentuh kakinya, Chi
Shin sudah merunduk dan menendang. Lalu seolah menempeleng anak
kecil, dia menempeleng pipi seorang begundal lain yang sedang
berusaha mengangkat kakinya yang sebelah lagi. Kedua tubuh begundal
itu melayang bersamaan ke kubangan. Karena jatuhnya mereka, sontak
berkoarlah bunyi dengungan seperti genta yang dipukul. Serta-merta
lalat beterbangan ke segala arah, sampai-sampai sinar matahari pun
menjadi suram. "Hei! Tangkap dia!"
Terdengar perintah yang sama
itu diulang beberapa kali. Namun tak lama kemudian tubuh para
begundal yang berkerumun mendekati Chi Shin beterbangan seperti
lalat-lalat di sana. Selesai mengurus mereka, dengan cepat Chi Shin
kembali ke dangau, sendirian dia tertawa tergelak-gelak sambil
memegangi perut.
Dia tidak tahu bagaimana mereka pulang setelah
mengangkat rekan-rekan mereka yang cimbul-tenggelam di dalam kolam
kotoran tadi. Hanya dengan membayangkannya, Chi Shin ingin tertawa
lagi. Pada awalnya Chi Shin menganggap pekerjaan menjadi penjaga
ladang sangat membosankan, tapi ternyata dia menemukan sesuatu yang
sangat menarik hatinya. "Sekali-sekali datanglah lagi untuk mencuri
sayuran di sini. Kadang-kadang aku punya rasa belas kasihan juga."
Sejak saat itu Chi Shin menunggu-nunggu kedatangan mereka dengan
penuh harap.
Begundal-begundal kota itu pun terus berembuk
mencari cara membuat Chi Shin jera.
"Kalian harus tegar. Kurasa
penjaga ladang kali ini bukan hanya berbeda bentuk kepalanya, tapi
isinya juga. Apa pun caranya, kita harus berusaha membuatnya jera
karena sudah mempermainkan kita. Kalian punya gagasan?"
Beberapa
belas hari kemudian, mereka sudah menyusun rencana matang-matang. Ri
si Ular Sawah dan Chou si Tikus Tanah mendatangi pos jaga untuk
meminta maaf.
"Kami mohon maaf sebesar-besarnya atas kejailan
anak buah kami beberapa waktu lalu," kata mereka penuh khidmat
sambil menyentuhkan dahi ke lantai berkali-kali. Lalu mereka berkata
ingin mengajak Chi Shin minum-minum di suatu tempat sebagai tanda
permintaan maaf.
Karena Chi Shin kehausan akibat panasnya udara
di sana, tanpa banyak bicara dia menerima tawaran itu. Dia mengikuti
mereka sampai ke tepi kolam penampungan air untuk ladang. Di bawah
pohon dedalu yang kelihatan teduh di sana, tampak tergelar
tikaryangdi atasnya sudah dipersiapkan guci arak, serta masakan
daging dan buah-buahan dalam keranjang. Sekitar tiga puluh begundal
yang terlihat tempo hari, berkumpul di situ menunggu kedatangan Chi
Shin dengan hormat.
"Mulai sekarang kami takkan lagi mencuri
sayuran di ladang. Lalu apabila Anda memiliki keperluan apa pun yang
berhubungan dengan urusan ladang, silakan panggil kami. Pokoknya,
sejak saat ini silakan perlakukan kami seperti petani bawahan
Pendeta."
"Hari ini kelakuan kalian baik sekali. Sayur-sayuran
itu juga tidak akan termakan habis di kuil, jadi kalian boleh ambil
secukupnya. Namun sebagai imbalan, jangan lupa bawakan upeti
untukku."
Tanpa sungkan Chi Shin makan dan minum sepuasnya. Para
begundal terheran-heran melihat jumlah arak yang diminum Chi Shin.
Sampai tiga kali mereka puiang-pergi ke warung arak.
"Apa
ini?"
Dari atas pohon dedalu, ada yang jatuh beberapa kali ke
pundak dan kepala Chi Shin. Meraba-raba dengan tangannya adalah
kesalahan. Itu kotoran burung gagak atau burung heron.
"Huh!
Tidakadalawan yang yang lebih menyebalkan selain yang tidak bisa
melawan," Chi Shin bergumam, lalu dia pindah tempat duduk. Semua
begundal dalam suasana had riang, ada yang bernyanyi, ada pula yang
bertepuk tangan. Lalu lagi-lagi dari atas pohon dedalu, di balik
dedaunan, burung gagak ikut ribut berkaok-kaok. Kali ini bertaburan
sesuatu seperti bubuk jerami ke leher Chi Shin dan ke dalam mangkuk
arak yang sedang dipegangnya. Chi Shin kesal, lalu berdiri.
"Ini
menjengkelkan. Tampaknya di pohon siluman ini ada sarang
burungnya."
"Maafkan kami, Pendeta. Kami akan membawa tangga
untuk mengambil sarang itu."
"Tidak usah buang waktu. Gagak-gagak
di sini juga kelompok yang suka mencuri sayuran di ladang. Aku akan
buat mereka kapok."
Serentak para begundal berreriak
terkagum-kagum ketika Chi Shin membuka pakaian bagian atasnya. Mata
mereka terpana menatap rajah seratus bunga di tubuh Chi Shin yang
memerah karena arak.
Bukan hanya itu yang membuat mereka
tercengang. Chi Shin membungkuk dan memeluk batang pohon dedalu yang
besar itu, kemudian mendadak tanah di sekitar akar pohon mulai
bergerak-gerak. "Hup!" teriak Chi Shin. Dari tubuh Chi Shin terlihat
asap mengepul dan dari dalam tanah, mulai terlihat akar induk pohon
besar itu. Ketika akar-akar bulu pohon telah menunjukkan diri, tak
lama kemudian pohon itu pun tumbang. "Bagaimana pertunjukan
tambahanku tadi?" Chi Shin bermaksud bercanda, tapi dia harus
kecewa. Ketika dia menoleh, begundal-begundal yan tadi ada di
sekitarnya sudah lebih dulu dan lebih cepat kabur daripada
burung-burung gagak. Mereka terkejut bukan karena kagum, tapi
ketakutan setengah mati sampai-sampai rencana yang sudah mereka buat
sama sekali terlupakan. Tampaknya mereka langsung melarikan diri ke
kota.
Sejaksaat itu, mereka sudah tidak mau lagi membalas dendam
karena benar-benar ketakutan. Selanjutnya, meskipun ada di sekitar
ladang Kuil, mereka hanya akan berkumpul di suatu tempat di kejauhan
bagaikan sekumpulan laba-laba. Mereka memuja-muja Chi Shin dengan
sebutan Yang Mulia Pendeta, Yang Mulia Lelaki Berbunga, dan
sebagainya, namun sama sekali tidak mau mendekat.
"Kalau begini
caranya, aku jadi kesepian," gerutu Chi Shin. "Aku harus mengundang
mereka untuk membalas budi."
Maka dia menyiapkan arak juga daging
dan kali ini mengundang mereka ke ladang. Dengan senang had, para
begundal pun berdatangan. Pada saat seperti itu, Chou si Tikus Tanah
maupun Ri si Ular Sawah yang sehari-harinya terlihat sangar, di luar
dugaan sangatlah ceria. Mereka minum, menari, bernyanyi, tidak
bosan-bosannya menunjukkan kebolehan mereka.
"Omong-omong,
Pendeta Bunga, hari ini kami mempunyai satu permintaan. Apakah Anda
mau mendengarkan?"
"Minta apa padaku yang miskin ini?"
"Anda memiliki tongkat
yang bagus sekali. Bagaimana kalau
Anda tunjukkan kebolehan Anda bermain tongkat? Ini
permintaan kami semua."
"Jadi kalian minta aku mempertunjukkan
keahli-anku? Itu bisa kulakukan dengan gratis. Permintaan yang
sangat murah."
Sudah lama dia tidak memainkan tongkat
kesayangannya yang terbuat dari besi seberat 62 kin. Begitu
memegangnya, dia langsung pergi agak menjauh dari tempat minum arak.
Pertama-tama dia menggerak-gerakkan tongkat dengan sebelah tangan,
lalu dia mempertunjukkan jurus membabat ke delapan penjuru, pukulan
dari atas dan sodokan. Selanjutnya dia praktekkan jurus belah embun,
jurus puting beliung, jurus pukul ombak, jurus tusukan dari langit,
jurus sodokan dari dasar bumi. Akhirnya bagi yang hadir di sana,
tidak lagi terlihat manusia maupun tongkat, hanya ada bunyi pusaran
angin yang meraung-raung seperti kincir serta sinar putih yang
membentuk lingkaran.
Tiba-tiba pada saat itu, dari celah dinding
benteng yang pecah terdengar komentar seseorang, "Wah, hebat sekali.
Bagus sekali."
Karena suara itu konsentrasi Chi Shin buyar. Lalu
kepada kumpulan begundal yang terbengong-bengong, dia bertanya,
"Siapa yang mengintipku dari tempat itu.”
"Oh, beliau adalah
orang hebat dalam ilmu bela diri. Beliau salah seorang pelatih di
ketentaraan istana Ben, namanya Rin Chu."
"Pelatih Rin?
Permainanku disaksikan orang hebat. Aku harus memberi salam
kepadanya. Tolong salah seorang dari kalian susul dia dan undanglah
dia ke sini dengan
baik-baik."
Angin Topan Runtuhkan Sarang Pasangan
Bebek Peking.
RIN CHU memiliki julukan si Kepala Macan Kumbang.
Dahi sempit yang merupakan bawaannya sejak lahir memang seperti dahi
milik macan kumbang. Matanya agak kecokelatan serta dagunya tajam
bagai burung walet. Ciri-ciri inilah yang menyebabkannya dijuluki
demikian, Dari penampilannya, dia benar-benar terlihat seperti ahli
ilmu bela diri dari ibukota. Pakaiannya pun terlihat mewah. Jubah
yang dipakainya dihiasi gambar bunga-bungaan dan di sabuk peraknya
terselip sebilah pedang yang bagus. Sepatunya pun anggun, seperti
sepatu yang selalu dipakai kalangan istana. Usianya mungkin 34 atau
35 tahun. Kini sosoknya yang sangat besar tampak mendatangi tuan
rumah.
Chi Shin menyambutnya dan mempersilakannya duduk. Lalu
setelah saling memperkenalkan diri, mereka minum bersama. Seperti
kata pepatah, sesama laki-laki sejati akan selalu dapat mengenali
satu sama lain, dan bahwa jalan yang ditempuh mereka akan selalu
bersinggungan. Dengan segera mereka berdua merasa cocok.
"Pendeta
Bunga, mulai sekarang aku akan meng-hormadmu sebagai kakak angkat.
Karena bila dilihat dari keahlian maupun usia, kau jauh lebih senior
daripadaku."
Mendengar itu, Chi Shin berkata, "Bagiku sangat
berlebihan memiliki adik sepertimu. Namun karena kau sudah berkata
begitu, marilah kita minum bersama sebagai tali pengikat
persaudaraan."
Demikianlah, mereka berdua lupa akan berlalunya
waktu. Angin sepoi yang berembus dari balik pepohonan yang menghijau
pun sangat menyegarkan, seolah diciptakan untuk mereka
berdua.
Tetapi tak lama kemudian, terdengar seruan perempuan yang
mencari-cari Rin Chu. "Juragan! Juragan!" Rin Chu segera bangkit
dari duduknya, kemudian menoleh ke arah tembok yang hampir runtuh.
Di sana tampak sosok perempuan yang berpenampilan pelayan.
"Hei,
Kin Ji! Aku di sini. Ada urusan apa?"
"Gawat, Juragan. Nyonya..."
Kin Ji si pelayan itu mengoceh tidak keruan. Lalu setelah dekat ke
tempat juragannya berdiri, sambil menangis dia melapor. Setelah
mendengar berita itu, dahi Rin Chu yang seperti macan kumbang
berkerut marah dan
khawatir.
"Sudahlah.Janganmenangis/'katanyamenenangkan Kin Ji.
Lalu kepada Chi Shin dia berkata, "Ada sesuatu yang mencemaskan
terjadi pada istriku. Aku mohon pamit, Pendeta Bunga, kapan-kapan
kita bertemu lagi." "Apa yang terjadi dengan istrimu?" "Ketika
pulang ziarah dari Pemakaman Tou Gaku di dekat sini bersama Kinji,
dia diganggu pemuda-pemuda dari istana dan sekarang dia dalam
kesulitan. Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Aku
pamit."
Selesai mengucapkan itu, tubuh Rin Chu melesat terbang
melewati tembok yang runtuh. Bayangannya tarnpak seperti macan
kumbang yang terbang membelah angin.
Rin Chu mencemaskan istri
yang baru dinikahinya setelah beberapa tahun mereka memadu cinta.
Ketika tiba di langkan jalan antara Pemakaman Tou Gaku dan Puri Go
Gaku, dia melihat pemuda-pemuda seperti tentara sebanyak kira-kira
sepuluh orang sedang duduk-duduk di sana. Mereka memainkan tabung
sumpit, busur, seruling, sementara kelompok lainnya menutup
jalan undakan, sepertinya sedang
melakukan suatu permainan.
"Astaga. Mereka adalah
anak buah putra angkat Kou."
Memang benar. Di bawah selasar
panjang beratap melengkung tampak kuda putih dengan pelana emas yang
biasa dilihatnya sehari-hari. Pengurus kuda pun bakal tahu jika
ditanya siapa yang paling berkuasa di Istana Ben di bawah Kaisar Ki
Sou. Dia Jenderal Kou Kyu, menteri istana. Kou Kyu memiliki putra
angkat. Pemuda itu berasal dari keluarga Kou, anak paman Kou Kyu
yang bernama Kou Saburou. Setelah diurus oleh Kou Kyu, dia pun
menjadi salah seorang keluarga istana, putra Jenderal Kou yang
sedang naik daun.
Sang putra angkat ini memanfaatkan kekuasaan
ayahnya hanya untuk bersenang-senang. Teman-temannya pun kelompok
berandalan anak-anak pejabat tinggi. Orang-orang di kota menyebut
mereka "pemburu perempuan". Masyarakat menjelek-jelekkan sang putra
dengan mengatakan, "Sifat buruknya memang sudah turunan."
Tidak
sedikit di antara penduduk kota yang masih Ingat bahwa Kou Kyu, si
anak emas kaisar, dulunya tidak lebih dari seorang berandalan, suka
berkelahi, berjudi, meski jugaahli melukis, berkesenian, dan
sebagainya. Dia memang memiliki bakat luas. Suatu ketika dia disukai
oleh penguasa dan karena kepandaiannya bermain bola, akhirnya dia
dikenal oleh Kaisar Ki Sou. Setelah itu, kedudukan tinggi diraihnya
dengan sangat cepat. Itulah sebabnya apabila sang putra memburu
perempuan atau istri orang, orang-orang tidak akan heran karena
mereka menganggap itu sudah sifat turunan dari ayahnya. Kita tunda
dulu kisah yang satu itu. Istri baru Rin Chu
memegang erat-erat pintu gerbang yang ada di Puri Go
Gaku, tampak sedang beradu mulut dengan putra Kou yang
mengotot.
"Tidak mau. Aku istri orang. Aku tidak mau masuk ke
ruang penyimpanan patung Buddha karena ajakan kalian yang tidak
kukenal. Lepaskan aku. Lepaskan!"
"Tidak apa-apa. Kau memang
tidak mengenalku, tapi betapa aku sudah sering memimpikanmu. Berkat
Makam Tou Gaku inilah kita akhirnya dapat bertemu. Ah, bibir dan
matamu itu..."
"Dasar lelaki mesum! Mau apa kau?" "Semua
perempuan memang sama, awalnya saja galak. Coba kenali dulu lelaki
lain. Aku jamin kau pasti akan ketagihan setelahnya."
"Sungguh
kurang ajar! Dasar buaya darat!" "Aduh!
Kenapa kaupukul aku
dengan kipas tanganmu? Kalau begitu, bersiaplah kubalas
dengan kekerasan juga. Kekerasan cinta bagaikan api!"
"Tolong!"
Rin Chu berlari menaiki jembatan, menyerbu para anak
buah putra Kou yang berdiri menutupi jalan sampai mereka
terpental.
"Manusia bejat! Mau kauapakan istri orang?" teriaknya
sambil mendorong putra Kou keras-keras. Sebelum orang-orang
sepenuhnya sadar akan apa yang teriadi, dia menarik istrinya menuju
tikungan. Kemudian dari sana, dia memasang sikap waspada,
bersiap-siap menghadapi serangan balasan.
Tapi saking
terkejutnya, tidak ada di antara mereka yang bergerak untuk
menyerang.
"Astaga, dia Pelatih Rin!"
"Si Kepala Macan
Kumbang!"
Mereka saling bergumam. Lalu dengan cepat mereka
berlari menuruni tangga, menaikkan putra Kou ke pelana emas pada
kuda putih, lalu pontang-panting melarikan diri.
Sejak saat itu,
rumah tangga baru Rin Chu selalu terselubung bayangan hi tarn yang
menakutkan. Pasangan pengantin muda yang malang itu terus-menerus
dihantui mimpi buruk berupa tangan-tangan setan yang tidak diketahui
wujudnya.
Keadaan lebih mengerikan lagi karena mereka tahu ini
akibat hasrat terpendam dan cinta bertepuk sebelah tangan yang
dialami putra Kou. Putra Kou adalah keluarga istana yang memiliki
kedudukan tertinggi. Sedangkan Rin Chu hanyalah pelatih tentara.
Tidak mungkin bisa melawan putra Kou.
"Istriku, jika aku tidak
ada di rumah atau kau sedang bepergian,
berhati-hatilah."
"Akhir-akhir ini aku sudah tidaklagi pergi
berbelanja. Semua kuserahkan kepada Kin Ji. Ke luar rumah pun aku
tidak pernah."
Meskipun berada di dakm rumah, Rin Chu dan istri
mudanya bicara dengan suara pelan. Mereka kini merasa cemas apabila
mendengar ada sesuatu yang berbunyi di pagar sekalipun. Alchir-akhir
ini si istri memang terkadang diserang seseorang. Atau ketika Rin
Chu sedang minum-minum di rumah teman, di rumahnya akan terjadi
sesuatu yang di luar dugaan. Seolah-olah rumahnya dikutuk keanehan
misterius.
"Bukan hanya aku yang diincar. Jika kau men-cintaiku,
kumohon jaga dirimu. Terutama saat pulang dan pergi ke pusat
ketentaraan di istana."
Setiap kali Rin Chu meninggalkan gerbang
rumah, istrinya selalu mengucapkan itu dengan mata berkaca-kaca.
Tetapi seorang laki-laki tidak mungkin terus tinggal di rumah. Rin
Chu hanya membalasnya dengan senyum.
"Jangan khawatir. Aku tidak
akan apa-apa. Biar begini juga, dalam ilmu bela diri, takkan ada
musuh yang bisa berdiri di depan si Kepala Macan Kumbang."
Pada
suatu hari, kebetulan dia bertemu Ro Chi Shin di perempatan Etsu Bu
Bo. Mereka sudah beberapa kali minum bersama sehingga hubungan
pertemanan mereka semakin akrab.
"Ada apa denganmu, Kepala Macan
Kumbang? Setiap kali bertemu denganmu, kulihat wajahmu selalu
kelihatan muram. Bagaimana kalau kita minum di suatu tempat?"
Rin
Chu pun menerima ajakan Chi Shin dan mereka masuk ke warung arak.
Jika mengobrol dengan si Pendeta Bunga, dia dapat melupakan
segalanya. Meski begitu, dia tetap tidak mau bicara sedikit pun
mengenai masalah istrinya. Rekannya pun tidak bertanya.
Senja
hari, mereka meninggalkan warung arak di Etsu Bu Bo, lalu berjalan
di kota. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara berbisik
menawarkan sesuatu dan ada laki-laki mengikuti mereka.
"Dunia ini
memang bebal. Begitu banyak manusia di ibukota ini, tapi tak satu
pun yang punya mata. Menyedihkan sekali, tidak ada yang menyadari
betapa bagusnya pedangku ini."
Chi Shin dan Rin Chu hanya menoleh
sejenak, lalu mereka kembali asyik mengobrol.
"Aku berbeda dengan
penjual pedang jalanan biasa. Padahal pedang ini terpaksa kujual
karena alasan tertentu. Kalau tidak dibeli sekarang, selama hidup
kalian tidak akan pernah bertemu lagi dengan pedang pusaka seperti
ini."
Pada saat itu, kedua orang yang dibuntutinya berpisah di
perempatan jalan. Ro Chi Shin berkata, "Sampai jumpa lagi" dan Rin
Chu mengikutinya dengan pandangan mata.
"Memiliki teman sejati
adalah kebahagiaan," gumam Rin Chu.
Ketika dia akan melangkah
pergi, tiba-tiba laki-laki tadi menghampirinya. Lelaki itu berusia
empat puluhan, mengenakan pakaian katun biru dan penutup kepala
segitiga seperti seorang prajurit. Dia mendekati Rin Chu sambil
memegang pedang pusaka yang sangat bagus, ada sejumput rumput diikat
di gagangnya, menandakan pedang itu dijual.
"Bagaimana? Ini cuma
3000 kan. Murah." "Di pinggangku sudah ada pedang. Di rumah juga.
Aku tidak memerlukannya."
"Tampaknya kesatria seperti Anda juga
buta." "Apa?"
"Ini sangat berbeda dengan pedang-pedang biasa yang
ada. Jika Anda punya mata, saya akan perlihatkan kepada
Anda."
"Kelihatannya memang bagus." "Anda seperti amatiran saja.
Saya tidak menjual gagangatau ukiran di sarung pedang. Anda perlu
melihat bilahnya."
Tanpa sadar tangan Rin Chu terulur, lalu
menceng-keram gagang pedang itu. Si laki-laki melepaskannya. Rin Chu
menimbang-nimbang. Bobotnya mantap, terasa enak pegangannya. Ketika
pedang dilepas dari sarungnya, ditimpa cahaya petang, bilah pedang
itu tarapak berselimut embun yang berkilauan. Rin Chu
memandangi-nya. Matanya seolah-olah ditarik oleh jiwa pedang pusaka
yang langka itu dan dia tergoda keinginan untuk
memilikinya.
"Kenapa kau berniat melepaskan benda pusaka
ini?"
"Kenapa? Jika Anda melihat pakaian saya yang
compang-camping ini, tentunya Anda mengerti. Saya ditunggu
anak-istri yang kelaparan. Anda tidak perlu bertanya lebih jauh
lagi."
"Tidak akan. Berapa?"
"Kemarin dan hari ini saya
memasang harga 3000 kan, tapi sama sekali tidak ada yang beli.
Karena saya melihat Anda mengerti pedang, maka saya berikan setengah
harga saja."
"Aku mau. Tapi uangku tidak cukup."
"Seribu kan
saja. Tidak kurang lagi seperak pun. Bagaimana?"
"Boleh. Tolong
kauikuti aku ke rumah."
Akhirnya Rin Chu mendapatkan pedang itu.
Istrinya pun merasa senang.
Mereka tidak hanya mendapatkan bcnda
pusaka naniun juga penolak bala, karena menurut k-genda, pedang yang
terkenal itu bisa pula mengusir setan siluman jahat. Dengan
mendapatkan pedang itu, mereka juga mendapatkan ketenangan.
Tiga
hari kemudian, datang utusan Riku Ken, ajudan JenderaJ Besar Kou
Kyu, yang membawa surat. Di surat tersebut tertulis kata-kata
sebagai berikut:
Menurut berita yang kami dengar beberapa waktu
lalu, Anda beruntung mendapatkan sebilah pedang yang sangat iangka.
Meski demikian, sebagai kesatria tetaplah Anda rendah hati menaati
jiwa kekesatriaan. Paduka yang mulia Jendera! Kou juga merasa senang
atas keberuntungan Anda ini.
Isi suratnya berupa ucapan sclamat,
yang kemudian ditutup dengan kata-kata sebagai berikut:
berkaitan
dengan itu, paduka yang mulia jenderal berkeinginan melihat langsung
pedang tersebut, dan membandingkannya dengan pedang pusaka yang
tersimpan di ruang rahasia keluarga Kou.
Karena ituiak besok kami akan mengutus orang untuk
menjemput Anda. Kcdatangan Anda sangat kami harapkan.
Hormat
kami.
Ajudan jenderal
Riku
"Siapa yang tahu dan bercerita tentang pedang
ini? Tapi karena aku membeli pedang ini di jalanan, mungkin saja ada
yang melihat."
Rin Chu curiga, istrinya pun merasa ada udang di
balik batu. Tetapi karena surat itu ditandatangani Wakil Jenderal
Riku, permintaan itu sama saja dengan undangan resmi. Tidak mungkin
ditolak. Kemudian jika memang isi surat tersebut benar, undangan ini
dapat dianggap sebagai kehormatan. Apa pun yang menunggunya, Rin Chu
tetap harus pergi. Keesokan harinya, dengan mengenakan pakaian
resmi, Rin Chu membawa pedang pusakanya dan pergi bersama utusan
menuju istana jenderal.
Ketika memasuki gerbang istana yang
dikawal penjaga, utusan yang menjemput berkata, "Masuklah melalui
gerbang tengah itu, lalu berjalanlah ke timur melalui selasar di
sana. Di jembatan itu tentunya petugas atau wakil jenderal sudah
menunggu kedatangan Anda."
Mengikuti petunjuk yang dikatakan sang
utusan, Rin Chu terus masuk. Tetapi di situ tak ada seorang pun yang
menunggu.
Ketika menoleh, di kejauhan, penjaga yang tidak
dikenalnya menunjuk ke selasar di sebelah utara tanpa mengatakan apa
pun. Apakah utusan tadi salah memberitahu atau aku sendiri yang
salah dengar, pikir Rin Chu. Dia pun berjalan ke arah utara dan
menemukan sebuah gerbang lagi. Tampaknya di balik gerbang tersebut
adalah wilayah terlarang, karena di sana berdiri tegak penjaga
dengan pakaian prajurit yang gagah memegang tombak. Namun begitu
melihat Rin Chu, dia mengangguk tanpa berucap seperti orang bisu.
Rin Chu, meskipun seorang pelatih tentara di istana, belum pernah
masuk ke tempat ini.
Rin Chu kebingungan, tidak tahu harus pergi
ke mana. Ketika dia menaiki tangga sebuah gerbang indah dan melongok
ke dalam, di sana terlihat pekarangan tengah. Kemudian di pekarangan
tersebut hanya tampak sebuah bangunan yang dikelilingi pagar
hijau.
"Mungkin aku harus ke sana. Tampaknya di situ ada
orang."
Setelah menyeberangi jembatan, dia mengintip sebuah
ruangan yang pintunya ditutupi kain berjuntai. Ketika melihat ke
dalam, pada papan di bawah atap ruangan di hadapannya tertulis empat
kata besar-besar yang berbunyi "Ruang Hyaku Kou Setsu." Melihat itu,
Rin Chu terperanjat.
"Wah, aku tidak boleh ke sini. Ini ruang
rahasia tempat tentara mengadakan rapat. Kudengar selain
perwira-perwira tinggi yang penting, tak ada yang diizinkan memasuki
ruangan ini. Mengapa aku tersasar ke tempat yang menakutkan seperti
ini?"
Dia berniat cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Tetapi
terlambat. Bersamaan dengan bunyi langkah sepatu yang nyaring, pintu
lain di ruangan itu terbuka. Dari sana muncul seorang jenderal.
Inilah orang yang dulu dikenal sebagai pemain bola andal, Kou Kyu,
yang dengan pesatnya mendapatkan jabatan tinggi di kedinastian Ki
Sou. Kini dia telah menjadi jenderal panglima tertinggi.
"Hei!
Siapa kau? Berani sekali kau mengintip ruang rahasia ini!"
"Oh,
Paduka Yang Mulia Kou. Saya Pelatih Rin Chu yang mendapat undangan
dari Paduka."
"Apa? Undangan dariku? Kapan aku mengun-dangmu? Aku
tidak pernah mengundangmu. Jangan memberikan dalih yang
tidak-tidak!"
"Betul, Paduka. Saya didatangi utusan dari wakil
Paduka, Ajudan Jenderal Riku."
"Hei! Di mana Riku Ken? Cepat
tangkap orang ini! Ada orang yang mau mencoba membunuhku di
sini!
"Saya tidak berniat membunuh Paduka!"
Namun saat itu Rin
Chu sudah dikelilingi para prajurit yang bersiaga bagaikan
tonggak-tonggak besi. Di antara mereka terlihat sosok yang
dikenalnya, Ajudan Jenderal Riku Ken. Rin Chu berseru kepadanya,
"Bukankah Anda yang mengirimkan utusan kepada saya? Buktinya di
rumah saya ada surat Anda. Mengapa Anda menjebak saya seperti ini?
Jangan hanya tertawa.
Cepat jawab!"
Meskipun Rin Chu berteriak
penuh kemarahan, Riku Ken sama sekali tidak memedulikannya. "Jangan
bermimpi! Mana mungkin Paduka Yang Mulia Kou mau mengundang pelatih
rendahan macam dirimu. Tentunya kau menyusup masuk untuk mencuri
rahasia ketentaraan demi negara musuh, atau mungkin kau berniat
membunuh Paduka Yang Mulia karena menaruh dendam. Tujuanmu pasti
salah satu di antaranya. Tangkap dia! Jangan sampai dia menggunakan
pedang pusaka itu!"
Seketika para prajurit mengerubungi Rin Chu
dan mengikat kaki serta tangannya. Lalu pada hari itu juga, dia
dijebloskan ke penjara.
Penjara berada di lingkungan kantor
pengadilan Kai Hou. Keluarga Kou yang dihormati menuntutnya agar
segera dipancung. Namun sang hakim, sebagai penguasa di pemerintahan
daerah itu, tidak mungkin begitu saja menjatuhkan hukuman. Dia
menyerahkan penyelidikan kasus ini kepada Song, seorang petugas
hukum. Rin Chu masih memiliki waktu sampai bukti-bukti
didapat.
Bagi Rin Chu, situasi ini keberuntungan dalam musibah.
Mungkin juga ini berarti bahwa tugasnya di dunia belum
selesai.
Di antara masyarakat umum dan para tahanan, petugas
hukum Song sangat dihormati sebagai orang yang adil dan baik hati.
Dia dijuluki Song San sang Buddha dan tidak ada orang yang tidak
mengenalnya.
Song sangat mengenal Rin Chu dan dia juga meyakini
bahwa peristiwa di ruang rahasia adalah jebakan keluarga Kou. Oleh
karena itu, dia mengajukan diri untuk menyidik peristiwa ini secara
saksama.
Dari hasil penyidikannya, dia mengetahui bahwa putra Kou
jatuh cinta kepada istri Rin Chu, tetapi cintanya tidak berbalas.
Selain itu diketahui pula bahwa orang-orang di sekeliling putra Kou,
seperti Riku Ken dan Fu An yang adalah pejabat penjilat, telah
secara lihai memerangkap Rin Chu. Semua ini sesuai dengan pembelaan
Rin Chu yang diungkapkan di depan sidang pengadilan.
"Teka-teki
ini sudah bisa saya pecahkan. Ini ulah putra Kou yang berniat
membunuh Rin Chu dan merebut istrinya. Selama ini putra Kou sudah
sering mengancam dan menyusahkan istri, serta rumah tangga Rin
Chu."
Hakim yang menjadi ketua sidang menyetujui hal itu.
Sayangnya, sang hakim takut terhadap kekuasaan Kou. Sehingga
meskipun bisa menunjukkan bukti dan saksi yang menyatakan Rin Chu
tidak bersalah, hakim tidak mungkin menyatakannya tidak bersalah.
Namun dia juga takut memberi hukuman yang lebih ringan daripada
hukuman mati.
Pada hari penjatuhan vonis, melenceng dari sifatnya
yang biasanya tenang, petugas hukum Song maju ke depan hakim dengan
wajah merah. "Apakah pengadilan ini hanya ada untukkeluargajenderal
Kou? Bukan untuk rakyat dan pemerintah?" tukasnya
berapi-api.
"Song Tei, bicara apa kau? Kata-katamu
keterlaluan!"
"Tapi melihat sikap Anda sckarang, rakyat akan
menganggap pengadilan ini seolah-olah fasilitas pribadi keluarga
Kou. Lagi pula, meskipun tidak membicarakannya, rakyat tahu semua
kebusukan keluarga Kou dan berandal macam apa putra Kou."
"Kalau
begitu, sebaiknya hukuman apa yang harus diberikan kepada Rin
Chu?"
"Jangan sekali-kali Anda jatuhkan vonis mati pada dirinya.
Meski saya tahu Kou dan putranya tidak akan senang jika Rin Chu
mendapat hukuman ringan. Bagaimana dengan hukuman pengasingan ke
tempat terpencil?"
"Apakah keluarga Kou akan menyetujui hukuman
itu?"
"Tidak usah khawatir. Di pihak keluarga Kou juga ada
keteledoran. Dalam penyelidikan, saya menemukan surat dari Ajudan
Jenderal Riku Ken di rumah Rin Chu. Jika surat itu diumumkan, segera
akan diketahui bahwa ini perangkap. Sebesar apa pun kekuasaan
keluarga Kou, saya sangat yakin mereka tidak akan menuntut."
Di
akhir masa Dinasti Sou yang penuh kekeruhan, masih ada pejabat yang
baik seperti ini. Pada hari itu juga diputuskan bahwa Rin Chu akan
menjalani hukuman pengasingan.
Sebagai kebiasaan pada saat itu,
orang yang dijatuhi hukuman akan ditelanjangi dan punggungnya akan
dipukul dengan tongkat sebanyak dua puluh kali. Wajah mereka pun
akan diberi rajah. Kemudian saat digiring ke tempat pembuangan, di
leher mereka akan dipasangi pasung kayu yang dilapisi logam dengan
kunci disegel.
Tempat pembuangan bagi Rin Chu adalah penjara Sou
Shu di Provinsi Ka Hoku. Yang dimaksud dengan penjara di sini adalah
tempat para penjahat dari seluruh provinsi menjalani hukuman yang
sangat berat. Keluarga Kou tidak bisa menentang keputusan
pengadilan. Tanpa mengucapkan apa pun mereka membubuhkan cap
keluarga pada surat keputusan itu.
Akhirnya hari pemindahan Rin
Chu pun tiba. Sosok Rin Chu keluar dari gerbang pengadilan. Hanya
dalam tempo sebulan, tubuhnya telah menjadi kurus kering, tulang
pipinya menonjol, dan langkahnya terlihat lemas tidak bertenaga.
Laki-laki dan perempuan yang berkerumun di jalan serta kerabat yang
mengantar keberangkatan Rin Chu, hampir semua mencucurkan air mata
melihat keadaannya. "Apakah ini benar-benar Pelatih Rin Chu yang
dulu?" ratap mereka.
Dianrar ratusan pandangan mata, Rin Chu
menye-berangi jembatan provinsi. Di luar gerbang pos penjagaan
ibukota sudah menunggu sekumpulan orang. Di antara kerumunan itu,
istri serta ayah mertua Rin Chu melangkah ke depan.
"Menantuku,
kami sudah menunggumu. Mari kita masuk dulu ke warung arak itu untuk
saling melepaskan rindu."
Sang mertua membimbing Rin Chu masuk ke
warung arak yang sangat sederhana. Tentu saja setelah memberi uang
suap yang cukup banyak pada pengawal pengantar. Meskipun sudah
diberi kesempatan sangat terbatas untuk menumpahkan rindu, istri Rin
Chu tetap tampak tak ingin berpisah. Tanpa memedulikan orang-orang
di sekitar mereka, dia terus membenamkan wajah di dada Rin Chu dan
menangis. Kendati di luar pengawal pengantar berteriak, "Waktunya
habis!" tetap saja dia tidak mau melepas suaminya.
Rin Chu
memejamkan mata dan menguatkan hati. Kemudian dengan sangat tenang
dia berkata, "Sampai kapan pun kita menangisi perpisahan ini, tidak
akan ada akhirnya. Setelah kupikirkan secara mendalam, kasih sayang
tidak hanya dapat ditunjukkan dengan menangis pilu. Jika aku tidak
ada, tentunya putra Kou akan kembali mengganggu dirimu juga ayah
mertua. Maka sebaiknya secepat mungkin kalian menyembunyikan diri ke
suatu tempat. Lalu karena kau masih muda, kalau ada jodoh yang baik,
menikahlah dengan orang itu dan berbahagialah. Lupakan
diriku."
Kemudian dia meminjam kuas dan tinta dari lelaki tua
pemilik warung arak, menulis surat cerai, dan menitipkannya kepada
sang mertua.
"Menyedihkan sekali. Kau menyangka aku perempuan
seperti itu. Aku tidak mau. Meskipun harus mati, aku tidak mau
melakukan hal seperti itu."
Istrinya histeris, terus memegangi
kaki Rin Chu dan menangis pilu. Pada saat itu pengawal pengantar
mengetuk-ngetuk pintu warung dan berteriak, "Ayo cepat!"
Akhirnya
si ayah mertua dengan paksa menarik putrinya yang menangis keras,
lalu keduanya berdekapan sambil bertangisan. Tanpa memedulikan itu
semua, rantai yang diikatkan ke pinggang Rin Chu terus
ditarik-tarik, mendesaknya tanpa ampun untuk segera menuju tempat
pembuangan yang masih sangat jauh.
Pengawal yang bertugas
mengantar Rin Chu adalah Tou Chou dan Setsu, petugas rendahan.
Sebagaimana kebiasaan pada zaman Dinasti Sou, tcrdapat ketentuan
bahwa pengawal yang mcngantar terhukum tidak usah membayar biaya
penginapan selama perjalanan. Karena itu, setibanya di penginapan
mereka segera menyalakan api scndiri dan memasak makanan. Mereka
menjadikan biaya perjalanan yang hanya sedikit sebagai keuntungan
bagi mereka. Makanan untuk terhukum hanya mereka berikan agar si
terhukum tidak mati kelaparan.
Dua hari telah berlalu sejak
mereka meninggalkan gerbang ibukota Ton Kei. Petang harinya mereka
tiba di dekat penginapan. Di sana telah ada laki-laki yang menunggu
mereka dengan kudanya di sebuah warung arak desa. Laki-laki itu
memakai jubah hitam, penutup kepala berhiaskan swastika Buddha,
penutup kaki dari kulit berwarna kuning, serta sepatu khusus untuk
naik kuda.
Sambil mengepit cambuk, dia berkata,
"Pengawal-pengawal, kalian baru tiba. Tentunya kalian
lelah."
Tampaknya mereka sudah melakukan perjanjian untuk bertemu
di tempat itu. Ketika isyarat dengan gerakan mata diberikan, kedua
pengawal pergi ke penginapan, lalu mengikatkan rantai di pinggang
Rin Chu ke tiang di dalam ruangan. Kemudian mereka segera kembali ke
warung arak tadi.
Si laki-laki bertopi sudah menunggu mereka di
meja yang di atasnya sudah disajikan arak dan makanan. Lalu di meja,
di depan tempat duduk kedua orang itu, juga sudah disiapkan dua
tumpuk uang yang masing-masing berjumlah 20 ryou.
"Ayo. Jangan
sungkan-sungkan, minumlah. Dari sini kalian akan melakukan
perjalanan jauh ke Sou Shu yang jaraknya masih beratus-ratus li',
lagi pula kalian tidak akan menemukan warung seperti ini
lagi."
"Ya. Terima kasih, tapi kami mcrasa kikuk di depan Wakil
Panglima Besar."
"Tidak usah begitu. Ini kan pertemuan tidak
resmi. Jadi tidak usah sungkan. Aku juga dalam penyamaran. Kalian
paham perintah yang kuberikan melalui utusan yang kukirim ke rumah
kalian sehari sebelum kalian meninggalkan pengadilan,
bukan?"
"Um, untuk masalah itu, Paduka, kami dalam posisi
terjepit. Kami berdua sudah mencoba membicarakannya, tetapi pihak
pengadilan mewanti-wanti agar menjaga keselamatan si terhukum sampai
di tempat buangan. Jadi kalau terjadi apa-apa dengan si terhukum,
kami juga akan mendapat ganjaran."
"Aku juga tahu soal itu.
Karena itulah atas nama keluarga Kou, aku minta tolong kepada kalian
dengan sembunyi-sembunyi. Kalau kalian tidak bisa melakukannya, aku
Riku Ken sebagai wakil panglima pun tidak dapat pulang begitu saja.
Apakah kalian keberatan?"
"Sa-sama sekali tidak, Paduka. Jika ada
permintaan rahasia langsung dari Panglima Besar kepada kami yang
rendahan, tentu saja kami tidak mungkin menolak. Tapi gaji kami
sehari-hari sangat kecil dan di rumah kami memiliki istri dan
anak-anak, serta orangtua yang setiap hari kelaparan. Apabila kami
kehilangan pekerjaan, maka mulai hari itu..."
"Sudah kubilang,
jika sebelum sampai di Sou Shu, kalian bisa membunuh Rin Chu dengan
tangan kalian sendiri tanpa menimbulkan kecurigaan, selain mendapat
hadiah uang, kalian akan diurus dan dipekerjakan seumur hidup
sebagai pengurus halaman atau di posisi apa pun di rumah keluarga
Kou. Aku tidak akan membuat kalian kesulitan makan."
"Ya, untuk
itu kami berterima kasih sekali. Saya juga sudah memberitahu teman
saya ini bahwa kami akan memperoleh pekerjaan seumur hidup,
tapi..."
"Tampaknya tekad kalian belum bulat. Apa lagi yang
membuat kalian bimbang?"
"Kalau si terhukum adalah rakyat jelata,
kami akan mengerjakannya dengan mudah. Tapi ini si Kepala Macan
Kumbang Rin Chu, pelatih tentara kekaisaran. Kalau kami
gagal.
"Tolol kalian! Pasung papan di leher dan rantai di
pinggangnya itu menurut kalian untuk apa? Kalian bisa saja
memukulnya dengan galah di pedalaman gunung pada saat tidak ada
orang. Atau kalian dapat jerumuskan dia ke sungai jika kalian sedang
berjalan di tepinya. Lalu tinggal kalian pastikan saja kematiannya.
Meski begitu, sebagai bukti bahwa kalian sudah membunuh Rin Chu,
kalian harus menguliti wajahnya yang dirajah dan membawanya pulang.
Mengerti? Nah, kalau sudah mengerti, silakan sekarang
bersenang-senang dan minumlah sepuas kalian. Ambil saja uang 20 ryou
yang ada di hadapan kalian itu sebagai uang muka."
Bagi mereka
pegawai rendahan, uang suap adalah makanan sehari-hari dan mereka
anggap sebagai pemasukan tambahan, tetapi untuk kali ini penyuap
serta jumlah uangnya sangatlah berbeda. Mereka merasa kesepakatan
ini bisa memberi mereka keuntungan seumur hidup.
Keesokan
harinya, setelah berpisah dengan Riku Ken, keduapegawai rendahan itu
melanjutkan perjalanan jauh mereka sambil mendorong-dorong punggung
Rin Chu dengan tongkat, menuju Sou Shu yang berada di balik
bayang-bayang pegunungan. Tekad mereka saat itu tampaknya sudah
bulat.
Seperti Kelokan-kelokan Jalan di
Dunia.
PERJALANAN menuju Sou Shu merupakan perjalanan sekitar
2000 li dan jaian menuju tempat itu curam juga berbelok-belok tajam.
Kedua pengawal memegang ujung tali yang mengikat Rin Chu,
menyuruhnya melangkah dengan cepat.
"Di mana kita akan bunuh dia?
Kalau dia orang biasa, tidak akan sulit, tapi dia biasa melatih
delapan ratus ribu tentara istana. Meskipun di lehernya ada pasung,
jika kita gagal membunuhnya, justru kepala kitalah yang bakal
terpisah dari leher.
Tanpa mereka sadari, mereka sudah berjalan
belasan hari. Karena pembunuhan harus dilakukan dengan sangat
hati-hati, mereka merasa sulit mendapat kesempatan.
"Hei, Setsu,"
salah seorang pengawal, Tou, berbisik pada rekannya. "Kalau begini
terus setiap hari, tidak akan ada akhirnya. Bagaimanapun caranya,
kita harus segera melakukannya."
"Aku tahu, tapi bakal sulit jika
harus langsung membunuhnya. Mulai besok kita buat kaki Rin Chu sakit
sebagai oleh-oleh menuju dunia sana. Kalau sudah begitu, kita tidak
akan kesulitan membunuhnya dan tidak mungkin gagal."
Malam itu,
begitu tiba di penginapan di gunung, Setsu si pengawal pergi menuju
bagian belakang penginapan dan kembali lagi membawa sebaskom air
mendidih.
"Pelatih Rin Chu, sebaiknya cuci kaki dengan air ini.
Untuk kaki yang pegal, tidak ada yang lebih baik selain air hangat.
Kau akan bisa tidur nyenyak di malam hari."
"Terima
kasih."
"Oh ya, pasung di lehermu menghalangi sehingga kau sulit
membungkuk. Baiklah, kalau begitu, biar aku yang melepaskan
sandalmu."
"Jangan. Masa petugas membukakan sandal
tahanan?"
"Tidak masalah. Selonjorkan kakimu. Kalau di ibukota
memang tidak mungkin terjadi seperti ini, tapi karena sekarang kita
sedang sama-sama melakukan perjalanan jauh, maka tidak usah
sungkan."
Karena keramahan sikap para petugas, tanpa menyadari
air itu mendidih, Rin Chu mencelupkan kakinya ke baskom.
"Aaaa!"
Rin Chu terlambar menarik kakinya dan pergelangan kakinya pun
melepuh. Sambil memegangi kaki, dia berguling-guling akibat rasa
sakit yang dapat membuatnya pingsan.
"Ah, kau berlebihan," ejek
para pengawal.
Kedua pengawal itu lalu sama sekali tidak
mengacuhkannya. Seperti biasa mereka mulai memasak sesuai dengan
anggaran untuk penginapan, kemudian bersenang-senang minum arak.
Tentu saja mereka memberi makan Rin Chu juga, tapi hanya berupa
bubur kuning yang dituang ke cawan kayu dan diletakkan di atas
pasung kayu seperti memberi makan kuda.
Karena luka bakarnya
terasa sangat menyakitkan, Rin Chu sama sekali tidak memiliki selera
makan. Lalu di malam hari pun dia tidak bisa tidur. Esok harinya,
karena dia diberi sandal jerami baru, baru berjalan beberapa li saja
tali jerami sandalnya sudah berlumuran darah. Darah yang mengering
serta debu yang menempel pun mengoyakkan kulit kakinya.
"Hei! Ada
apa denganmu, Pelatih Rin? Kalau berjalan seperti itu, kita baru
tiba setengah tahun lagi di Sou Shu. Ayo cepat jalan!"
"Aku tidak
mampu berjalan lagi. Kakiku sakit sekali."
Setsu mengangkat
tongkat untuk memukul, namun Tou menghentikannya.
"Sudahlah. Kau
tidak usah naik pitam. Nanti juga kakinya sembuh. Ayo kita berjalan
lagi."
Mereka menusuk-nusuk punggung dan pinggang Rin Chu dengan
ujung tongkat mereka. Ini jauh lebih menyakitkan daripada
dipukuli.
Tiga hari setelah itu, mereka memasuki hutan Ya Chou
yang berupa belantara. Karena setiap malam kurang tidur serta
menderita kelelahan yang amat sangat, Rin Chu yang kuat sekalipun
terkadang tertidur sambil berdiri dan saat melangkah tubuhnya
sempoyongan. Kedua pengawal saling bertukar pandang.
"Wah, capek
sekali rasanya. Bagaimana kalau kita tidur siang dulu
sejenak?"
"Boleh saja. Tapi bagaimana dengan tali yang
mengikatnya? Kalau Pelatih Rin Chu melarikan diri saat kita tidur,
kita bakal repot."
Karena Rin Chu juga ingin beristirahat, niaka
dia berkata, "Jangan khawatir. Ikatlah tubuhku seerat-eratnya pada
batang pohon."
"Kalau begitu, untuk sementara kami akan
mengikatmu seperti yang kauminta."
Rin Chu pasrah menuruti apa
yang mereka lakukan. Mereka berdua mengikat kaki dan tangan Rin Chu
erat-erat pada batang pohon. Begitu selesai, tiba-tiba mereka
berkata, "Nah, sekarang kau sudah tidak berkutik."
Melihat
perubahan raut mereka, Rin Chu bertanya tcrkejut, "Kalian mau apa?"
Namun terlambat, kedua pengawal itu telah siap menyerangnya dari dua
arah dengan tongkat.
"Rin Chu, jangan menaruh dendam pada kami.
Hidupmu memang sudah ditakdirkan hanya sampai di sini. Bagi kami,
ini pintu gerbang keberhasilan. Jika kami membunuhmu lalu membawa
pulang kulit wajahrnu yang berajah itu, keluarga Jenderal Kou
menjanjikan kami hidup senang seumur hidup. Ini perintah Wakil
Panglima Riku Ken. Kalau kau ingin mendendam, dialah sasaranmu
sesungguhnya."
Begitu selesai bicara, kedua tongkat di tangan
mereka mendesing di udara, bertujuan memecahkan kepala Rin Chu.
Tetapi tiba-tiba salah satu tongkat melayang ke udara dengan suara
berkeretak dan sebuah tongkat lagi terpelintir bersama lengan yang
memegangnya. Dalam seketika, kedua pengawal itu terjungkir ke
tanah.
Orang yang muncul adalah Ro Chi Shin, si Pendeta Bunga,
yang begitu mendengar kesulitan yang dialami Rin Chu, segera
menyusul dari gerbang ibukota Kai Hou.
"Kalau aku sudah ada di
sini, kalian pengawal rendahan sama saja dengan
budak-budakku."
Chi Shin melangkah menuju pepohonan, kemudian dia
memperlihatkan keahlian permainan tongkatnya. Pohon-pohon yang
terkena hantaman tongkat Chi Shin mengelupas kulitnya dan tumbang
seolah habis diinjak-injak gajah raksasa. Kedua pengawal terdiam
sambil gemetaran.
"Pelatih, keadaanmu sangat menyedihkan." Si
Pendeta Bunga memang mudah terharu. Sambil menghibur Rin Chu, dia
melepaskan ikatannya dari batang pohon.
"Apa yang akan kaulakukan
sekarang, Kepala Macan Kumbang? Apakah kau akan melarikan diri atau
tetap menuju Sou Shu diantar pengawal-pengawal ini?"
"Terima
kasih, Pendeta Bunga," kata Rin Chu dengan agak terisak karena
begitu senang dapat bertemu lagi dengan temannya. "Aku seorang
laki-laki. Jadi, aku tidak mau memikirkan keselamatan diri sendiri
saja. Jika sekarang aku melarikan diri, artinya sama saja dengan
mengorbankan istri dan mertuaku yang ada di Tou Kei. Aku akan tetap
pergi ke Sou Shu untuk menjalani
hukuman."
"Memangharusbegitutampaknya. Kalau begitu, aku akan
mengantarmu sampai ke dekat Sou Shu. Sekarang, naiklah ke
punggungku. Aku akan membopongmu."
"Mana mungkin. Aku hanya
seorang tahanan."
"Jangan sungkan. Bukankah kita sudah mengikat
persaudaraan di ladang sayuran Kuil negara Dai Sou? Kau adik
angkatku. Jadi dengarlah kata-kata kakakmu."
Demikianlah, dalam
beberapa hari perjalanan, Rin Chu digendong si Pendeta Bunga.
Sementara itu kedua pengawal hanya bertugas sebagai pembawa barang
dan pesuruh, lalu di setiap penginapan, mereka diperlakukan seperti
budak.
Kaki Rin Chu berangsur-angsur sembuh dan karena setiap
hari cukup makan, kesehatannya pun pulih seperti sediakala.
Mendapatkan teman seperjalanan yang adalah sahabat karib dan dengan
kedua pengawal berperan sebagai budak, Rin Chu melupakan nasib yang
menunggu di tempat tujuan dan lupa akan rasa lelah selama perjalanan
jauh itu. Dalam beberapa hari berikutnya, dia pun berjalan dengan
penuh ceria.
"Saudaraku, sebenarnya aku masih ingin menemanimu,
tapi besok kita sudah akan memasuki Kabupaten Sou Shu. Untuk itu,
malam ini marilah kita minum bersama demi perpisahan kita."
Malam
itu, si Pendeta Bunga mengadakan acara perpisahan sederhana di
penginapan. Mereka minum-minum sepuasnya, saling mengisi cangkir
arak, namun mereka berdua tidak bisa mabuk karena sedih.
"Kepala
Macan Kumbang, kau tentu mencemaskan istri dan ayah mertuamu di
ibukota. Selang beberapa lama, aku masih akan berada di ladang
sayuran Kuil negara Dai Sou, jadi aku akan menjaga mereka meskipun
dari kejauhan. Kau tidak perlu cemas. Selain itu, aku membawa
sedikit uang. Seperti kata pepatah, kesengsaraan di neraka pun akan
ringan jika ada uang, jadi bawalah uang ini," kata si Pendeta Bunga
sambil menyerahkan 20 ryou kepada Rin Chu. Kepada kedua pengawal itu
pun dia melemparkan beberapa keping uang perak.
"Hei! Kepala sapi
dan kepala kuda!"
"Ya."
"Meskipun mulai besok aku tidak ada di
sini, jangan coba-coba lagi menyakiti Pelatih. Kalian akan kembali
ke Kai Hou Tou Kei setelah melaksanakan tugas, bukan? Ingatlah
baik-baik wajahku ini."
"Kami mengerti sekali."
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali, Chi Shin mengucapkan kata perpisahan
kepada Rin Chu. Lalu bagaikan angin, dia kembali ke Kai Hou Tou
Kei.
Pada hari itu rombongan ini memasuki Kabupaten Sou Shu.
Perkampungan di sana menunjukkan bahwa mereka sudah mendekati kota.
Gadis-gadis dan anak-anak yang berkeliaran di jalan tampak terdidik.
Ketika tiba di dekat jembatan sungai yang airnya digunakan untuk
mengairi sawah dan ladang kampung itu, terdengar pembicaraan
penduduk setempat.
"Hei! Hei! Juragan Sai tampaknya baru pulang
berburu."
Semua laki-kki dan perempuan yang sedang menangkap ikan
di pinggir sungai, juga petani-petani yang sedang mengangkut hasil
ladangnya dengan gerobak, semua berkumpul di sisi jalan. Mereka
bersikap seolah hendak menyambut seorang tuan tanah.
Salah satu
pengawal bertanya kepada seorang penduduk, "Di seberang jembatan
terlihat bangunan yang sangat megah, apakah itu rumah keluarga
Sai?"
"Ya. Kau tidak kenal Juragan Sai Shin? Padahal kau pengawal
yang selalu mengantar tahanan ke Sou Shu."
"Aku jarang bertanya,
jadi aku tidak tahu. Apakah beliau sangat terkenal di daerah
ini?"
"Bukan di daerah ini saja. Namanya mernang Sai Shin, namun
beliau lebih dikenal dengan julukan Angin Beliung Kecil. Beliau
sangat baik pada orang-orang miskin dan selalu mempersilakan
orang-orang yang tidak bermajikan raenjadi tamu di rumahnya. Tamunya
bisa berpuluh-puluh. Bahkan tahanan buangan seperti dia juga, jika
mampir di depan rumahnya pasti akan diberi sedekah atau disuruh
menginap dulu untuk menghilangkan rasa lelah. Pokoknya beliau adalah
orang kaya yang sangat bijaksana."
"Ah, aku ingat sekarang," kata
Rin Chu. "Aku pernah dengar bahwa di dekat Sou Shu ada keluarga
terkenal yang memiliki benda pusaka turunan yang telah disahkan oleh
kaisar pertama dinasti Sou, Kaisar Bu Toku."
"Itulah beliau. Sang
Angin Beliung Kecil. Wah! Beliau sudah kelihatan. Itu yang duduk di
punggung kuda."
Terlihat serombongan pasukan dengan beberapa
orang yang naik kuda datang dari arah hulu sungai.
Dengan sekali
pandang, dapat dilihat bahwa rombongan itu baru pulang berburu. Di
antara pengikut Sai Shin ada yang memikul babi hutan, rusa, burung
berekor panjang, dan sebagainya sebagai hasil buruan. Sedangkan Sai
Shin sendiri duduk di atas pelana yang sisi-sisinya dilapisi logam
pada kuda putih bersurai ikal. Di kepalanya bertengger penutup
kepala dari kain katun. Jubahnya berwarna dasar ungu dihiasi
bunga-bunga bundar dengan sabuk bertatahkan mutiara, celananya
bergaris-garis hijau, sedangkan sepatunya sepatu khusus berkuda dari
kulit berwarna merah. Usianya kira-kira 34 atau 35 tahun. Alisnya
mencuat ke atas, matanya tajam, bibirnya merah, benar-benar
penampilan lelaki tampan pesoiek namun memiliki keberanian. Di
punggungnya tergantung tabung anak panah dan tangannya menggenggam
busur yang dililit tali rotan.
Ketika lewat, Sai Shin tiba-tiba
menoleh, lalu berkata kepada pengikutnya, "Coba kaupanggil orang
yang dipasung lehernya di pinggir jalan itu, yang akan dikirim ke
Sou Shu, tapi minta izin dulu kepada pengawalnya. Rasanya
penampilannya bukan seperti orang biasa. Sehari-hari aku sering
melihat tahanan yang akan dikirim ke Sou Shu, tapi aku belum pernah
melihat orang yang berpenampilan seperti laki-laki
itu."
Pengikutnya segera berlari. Tidak lama kemudian dia membawa
Rin Chu beserta kedua pengawalnya ke hadapan Sai Shin.
Bahwa
pertemuan ini akan mengubah nasib Rin Chu, si Kepala Macan Kumbang,
baru dapat diketahui di kemudian hari. Tetapi, pada saat itu,
setelah mereka saling menyebutkan nama, Sai Shin berkata, "Ternyata
pandangan mataku tidak salah. Sampai beberapa waktu yang lalu kau
adalah Rin Chu yang sangat masyhur dalam ilmu bela diri, yang
bertugas sebagai pelatih di ketemaraan istana. Dari tamu-tamu serta
pemuda-pemudayang tinggal di tempatku, sering kudengar cerita bahwa
saat berada di ibukota, mereka pernah mendapat pelajaran darimu.
Kumohon malam ini kau menginap semalam di tempatku."
Demikianlah,
akhirnya Rin Chu memasuki gerbang kediaman keiuarga Sai disertai
pemilik rumah. Tidak hanya itu, pada malam harinya pun diadakan
pesta penyambutan. Di antara anggota keiuarga serta tamu-tamu yang
ada di sana, terdapat seorang ahii ilmu bela diri yang sombong dan
angkuh yang dipanggil "Guru Kou." Dia terus-menerus minum arak dan
karena Sai Shin kerap menyanjung dan memuju-muji kehebatan Rin Chu,
juga karena Rin Chu disediakan tempat yang
lebih tinggi darinya,
tampaknya Guru Kou sangat tidak senang.
Sai Shin, yang tidak
menyadari hal itu, berkata dengan riang, "Tolong kedua pengawal itu
juga diberi minuman. Juga beri uang dan kain atau apa pun yang
mereka mau. Tapi untuk malam ini aku yang bertang-gung jawab untuk
Saudara Rin Chu."
Tentu saja uang yang diberikan kepada kedua
pengawal adalah suap untuk membuka pasung di leher Rin Chu. Kedua
pengawal tidak berani membantah, lagi pula mereka mendapatkan
pemasukan tidak terduga. Maka malam itu Rin Chu bisa menikmati
hidangan sepuasnya tanpa pasung di leher.
Guru Kou jengkel
melihatnya. Pandangannya seolah-olah berkata dengan penuh hina,
"Setinggi apa ilmu bela diri Rin Chu? Lagi pula dia hanya
tahanan."
Pada saat itu bulan di atas pelataran sangat terang dan
jernih bagaikan cermin, seakan-akan ingin melukis pelataran dengan
cahayanya yang menembus malam. Pesta semakin meriah dan
lama-kelamaan akhirnya Sai Shin menyadari sikap Guru Kou.
"Guru
Kou, sehari-hari kau hanya melatih anak-anak muda di rumah ini dan
ahli-ahli pedang kampung saja," kata Sai Shin. "Jadi tidak ada
kesempatan untuk mempertunjukkan ilmu yang scbenarnya yang
kaumiliki. Kebetulan di sini sekarang ada man tan pelatih di
ketentaraan istana, Saudara Rin Chu. Ini keuntungan yang
tidak disangka-sangka. Bagaimana
kalau kau bertanding dengannya sejurus atau dua
jurus?"
Tampaknya Guru Kou sudah menunggu-nunggu kesempatan itu,
lalu dengan sikap pura-pura berat hati dia melirik Rin Chu. "Aku
tidak keberatan, namun aku memiliki pedang yang sangat kuat yang
takkan member! ampun musuh-musuhku. Kalau dia bersedia
memaklumi
"Saudara Rin Chu, Guru Kou sudah berkata seperti itu.
Bagaimana denganmu?"
"Entahlah. Keahlianku bukan ilmu hebat yang
bisa dipertunjukkan di depan orang banyak."
"Kalau begitu,
silakan kalian berdua memasuki pekarangan."
Kedua pengawal senang
melihat Guru Kou berdiri di pelataran dalam terpaan cahaya bulan
sambil menggenggam pedang telanjang. Jika Rin Chu dikalahkan sabetan
pedang besar itu, tanpa turun tangan, tujuan mereka pun akan
tercapai. Berbeda dengan minat orang-orang di sekitar, mereka berdua
menonton dengan ketegangan penuh harap.
Akan tetapi hanya dalam
sekejap, pertandingan di bawah sinar bulan itu dimenangi oleh Rin
Chu. Rin Chu mengambil tongkat lalu berdiri di hadapan Guru Kou.
Lalu begitu tongkat dan pedang yang berkilat beradu, tak satu mata
pun mampu mengikuti gerakan tongkat Rin Chu yang mendesing dan
menyambar. Yang terlihat jelas hanyalah sosok Guru Kou yang
telentang di tanah dengan lengan patah.
"Wah! Hebat! Hebat
sekali! Keahlianmu jauh lebih hebat daripada yang kudengar. Melihat
keandalanmu, permainan nasib apa yang membuatmu harus menjalani
hukuman berat di tempat pembuangan?"
Tampaknya Sai Shin semakin
bersimpati terhadap Rin Chu. Keesokan harinya, pada saat Rin Chu
akan berangkat, dia menitipkan surat untuk pejabat tertinggi di Sou
Shu, kepala penjara dan kepaJa sipir, serta uang 25 ryou yang
dimasukkan ke dua amplop.
"Sekarang, jaga kesehatan dan
laksanakanlah tugas di sana. Nanti aku juga akan mengirimkan baju
musim dingin untukmu," ucap Sai Shin menyemangati. Kemudian dia
menyuruh dua pemuda untuk menemani mereka hingga ke luar gerbang
penjara.
Tugas Berat Dalam Timbunan Es dan Salju
Dapat Dilewati Dengan Selamat.
"RUPANYA inilah penjara besar yang
sejak dulu kudengar, daerah sengsara di luar dunia
beradab."
Daratan beku di hadapannya tampak bagaikan kulit pucat
orang mati. Ada bayangan burung bangau yang terbang melintas, Rin
Chu heran mengapa mereka masih bisa hidup di daerah sedingin
ini.
"Sedikit pun aku tidak mengira akan menjalani hukuman di
tempat seperti ini."
Berkali-kali Rin Chu menghela napas. Meski
begitu, betapa bermanfaatnya surat serta uang yang diberikan Sai
Shin di tempat seperti ini. Di sini, sebagai peraturan, terhukum
yang baru masuk pertama-tama dipukuli dulu dengan tongkat kematian
sebanyak seratus kali sampai dia pingsan. Setelah itu, mereka akan
"sadar kembali untuk menjalani kehidupan di neraka", tapi Rin Chu
terlepas dari aturan itu.
Selanjutnya si terhukum akan dihadapkan
kepada kepala penjara, lalu di depannya si terhukum akan
dipermainkan dan dihina secara tidak manusiawi. Mereka ditelanjangi,
dubur mereka ditusuk dengan tongkat besi, mereka disuruh
mengeluarkan lidah, atau disuruh mencukur rambut alat kelaminnya,
dan sebagainya. Rin Chu pun terbebas dari hal ini.
Setelah
pemeriksaan daftar nama serta rajah di wajah selesai, maka tinggal
dilakukan penentuan tempat kerja. Apabila tempat kerja sudah
ditetapkan, dia akan menjadi salah satu penduduk neraka dan
kehidupan penuh siksaan tanpa akhir, dengan pekerjaan yang sangat
berat pun akan dimulai.
"Hei, orang baru, kemari kau. Pekerjaanmu
sudah ditemukan. Kau menjadi penjaga Ruang Raja Langit. Ini
pekerjaan yang diberikan atas belas kasihan. Jadi,
syukurilah!"
Kepala sipir mengajaknya pergi. Mereka menyusun
wilayah penjara yang sangat luas, dan akhirnya ketika sampai di
tempat patung Dewa Neraka berdiri, dia menunjuksebuah bangunan
tua.
"Tempat ini disebut sebagai Ruang Raja Langit. Narapidana
yang tidak menaati peraturan akan dibawa ke sini dan di depan
bangunan ini dikubur hidup-hidup, digergaji, atau dipotong hidung
dan telinganya. Ini tempat pelaksanaan hukuman mati di antara
tempat-tempat hukuman berat lainnya. Kau cukup bekerja sebagai
penjaga saja. Hanya menyalakan dupa setiap pagi dan sore, serta
bersih-bersih."
"Jika dibandingkan dengan yang lain, pekerjaan
ini sangat membahagiakan saya."
"Tentu saja. Kalau kau tidak
menganggapnya sebagai budi baik, kau akan kena kutuk."
"Mungkin
saya keterlaluan, tetapi apakah saya bisa mengajukan permintaan
lagi? Saya ingin pasung di leher ini dilepas."
"Kau ingin pasung
itu dilepas? Biayanya cukup besar."
"Kalau masalah uang, saya
memilikinya. Saya tidak akan menyesal menyerahkan seluruh uang
saya."
"Begitu. Lagi pula, kau nanti j uga akan mendapatkan uang
dari keluarga Sai. Baik, soal itu serahkan padaku. Aku akan
mengurusnya."
Kepala sipir menerima uang lalu kembali ke
kantornya. Sorenya dia kembali untuk melepaskan pasung di leher Rin
Chu.
Memasuki pertengahan musim dingin, meskipun seluruh daratan
tertutup salju, tidak ada istirahat sehari pun bagi puluhan ribu
narapidana yang ada di sana. Sejak fajar menyingsing, orang-orang
kurus kering berpakaian compang-camping, penuh daki, tahi mata, dan
ingus, sudah berduyun-duyun keluar laksana semut. Petang harinya,
mereka kembali ke sel masing-masing dengan terseok-seok kelelahan,
untuk alchirnya jatuh terlelap.
Luas penampungan narapidana ini
mungkin sekitar 34 meter persegi. Bidang pekerjaan bagi para
narapidana di sini sangat banyak, seperti pertanian, pembangunan,
pandai besi, kerajinan dari kayu, pencelupan, penyamakan kulit,
peternakan, pemerahan susu, pertenunan, dan sebagainya. Tentu saja
hasil semua pekerjaan ini tidak dikonsumsi di daerah itu. Hampir
semuanya dikirim ke ibukota dan dimanfaatkan untuk kemewahan,
kekuasaan, serta anggaran militer Dinasti Sou.
Tetapi berkat Sai
Shin, Rin Chu tidak mendapatkan tugas berat. Karena Sai Shin
membagikan upeti kepada semua petugas di penjara, maka Rin Chu
mendapat perlakuan dan kebebasan yang istimewa. Kadang-kadang dia
juga diperintahkan pergi berbelanja ke kota.
Kemudian di suatu
hari ketika dia diberi tugas ke kota, dari belakangnya terdengar
suara orang memanggil, "Tuan! Tuan!" Ketika Rin Chu menoleh, di
hadapannya muncul seorang lelaki berpenampilan seperti pedagang yang
tampak berseri-seri.
"Wah, benar juga. Anda rupanya, Juragan Rin
Chu. Saya Ri Shou Ji. Kenapa Tuan sampai berada di tempat seperti
ini?"
"Ascaga, ini memalukan sekali. Bukankah kau pelayan warung
arak dekat rumahku di Kai Hou?"
"Benar.
DuluTuansangatbaikkepadasaya. Sekarang pun saya masih suka
membicarakan Tuan dengan istri saya. Saya tidak akan raelupakan budi
baikTuan."
"Memangnya aku sudah berbuat baik apa
kepadamu?"
"Dulu, sewaktu masih muda dan gegabah, saya banyak
menggunakan uang toko dan hampir saja saya dilaporkan ke kantor kota
oleh majikan saya. Namun, saat itu saya mendapat pertolongan Tuan.
Sekarang pun saya belum mengembalikan uang pengganti yang Tuan
berikan kepada majikan saya."
"Wah, itu cerita yang sudah lama
sekali." "Setelah itu, karenamalu, saya meninggalkan tempat majikan,
dan setelah terlunta-lunta akhirnya sampailah di Sou Shu ini. Di
sini saya mendapat ketenangan sampai mempunyai warung kecil tempat
minum-minum. Nah, sudikah Tuan mampir ke tempat kami? Kalau melihat
Tuan, istri saya pasti akan terkejut."
Berawal dari pertemuan
tersebut, setiap kali pergi ke kota, dia sering mampir di warung Ri
Shou Ji. Warungnya berada di jalan kecil dan selain istrinya, Ri
Shou Ji mempekerjakan pelayan. Ri Shou Ji sendiri yang memasak
hidangan. Karena dia memiliki banyak kenalan petugas penjara, maka
pada saat pergi ke kantor penjara, dia juga mengunjungi Ruang Raja
Langit, mengurus cucian Rin Chu serta bajunya yang harus dijahit,
atau mengiriminya bakpau daging. Karena suami-istri ini betul-betul
baik, Rin Chu juga sangat senang. Dia merasa mendapatkan kenalan
yang sangat berharga.
Setahun berlalu dan di suatu hari, Ri Shou
Ji tiba-tiba berlari mendatangi Rin Chu di penjara.
"Tuan Rin
Chu! Gawat!"
"Ada apa, Ri Shou Ji? Mukamu sampai pucat
begitu?"
Rin Chu yang sedang menyapu sampah di sekitar sana
dengan segera mengajak masuk Ri Shou Ji yang kelihatan panik, lalu
menutup pintu rapat-rapat.
Ri Shou Ji meninggalkan warungnya
begitu saja untuk menyampaikan kabar buruk kepada Rin Chu. Petang
itu dua lelaki angkuh mendatangi warungnya. Salah satunya adakh
laki-laki pesolek bertubuh kecil dan berkulk putih pucat, sementara
yang satu lagi berpenampilan seperti tentara dan bermuka merah.
Keduanya kira-kira berusia tiga puluhan. Dengan bersahaja Ri Shou Ji
mempersilakannya, namun setelah itu dia terkejut. Rasanya dia pernah
melihat salah satu lelaki itu di ibukota. Lalu tidak salah lagi,
ternyata si muka merah adalah Riku Ken, ajudan Panglima Besar
Jenderal Kou.
Karena merasa curiga, dia menyuruh istrinya untuk
melayani tamu, serta menanyakan pesanan makanan dan mengajak mereka
mengobrol. Dia menguping percakapan mereka dari balik jendela dapur.
Bahasa yang mereka gunakan memang dialek Kai Hou, dan mereka
membicarakan Jenderal Kou beserta keluarganya.
Saat itu belum
terjadi masalah, tetapi keadaan berubah ketika Riku Ken tiba-tiba
memerintah, "Hei! Pemilik warung! Di tengah jalan kami sudah
mengirim utusan ke penjara. Tak lama lagi kepala penjara beserta
kepala sipir akan segera datang ke sini. Kalau mereka sudah datang,
kau dilarang memasukkan tamu lain. Seluruh warung ini kami
sewa."
Tak lama kemudian, kepala penjara dan kepala sipir pun
datang. Mereka menambah makanan dan minuman. Untuk beberapa saat
mereka membicarakan hal-hal biasa, tetapi kemudian suara tawa
berhenti dan tiba-tiba suasana menjadi sunyi.
Ri Shou Ji menyodok
bokong istrinya lalu berbisik. Istrinya mengangguk, lalu diam-diam
berdiri di antara dapur dan ruang tamu sambil menajamkan telinga. Di
belakang, Ri Shou Ji memerhatikan. Tak lama kemudian tubuh istrinya
tampak gemetaran. Pasti dia telah mendengar sesuatu yang sangat
menakutkan.
Empat orang yang berkerumun mengelilingi meja
akhirnya mengangkat kepala dan tertawa keras-keras.
Dari tangan
Riku Ken terulur uang dalam jumlah banyak ke arah kepala penjara dan
kepala sipir.
Setelah itu, mereka kembali makan dan minum.
Beberapa saat kemudian, mereka meninggalkan warung ketika cahaya
merah matahari sore masih menerangi atap-atap di kota.
Mendengar
cerita itu, Rin Chu juga terkejut. "Tentunya laki-laki pesolek yang
datang bersama Riku Ken itu Fu An si penjilat. Dia manusia jahat
yang menjadi antek terdekat putra keluarga Kou. Tapi apa maksud
mereka jauh-jauh datang ke Sou Shu ini?"
"Mereka datang ke sini
untuk membunuh Tuan. Istri saya sampai menggigil mendengar kabar
itu."
"Jadi mereka datang ke sini untuk menyogok kepala penjara
dan kepala sipir dengan uang dan kekuasaan."
"Tentunya begitu.
Ini masalah besar, Tuan harus hati-hati."
"Itu bukan masalah. Toh
aku sudah menjadi narapidana. Ri Shou Ji, katakan pada istrimu agar
tidak usah cemas."
Tetapi setelah Ri Shou Ji pulang, Rin Chu
merasa tidak tenang. Tidurnya dihantui mimpi buruk.
"Baiklah!
Kalau kalian begitu dendam kepadaku dan terus mengincarku, biar
saja. Aku tidak akan begitu mudah memberikan nyawaku."
Untuk
berjaga-jaga dia sudah mempersiapkan pedang dan tombak pendek
berhiaskan tali-temali, yang dibelinya secara sembunyi-sembunyi.
Sekarang kedua senjata tersebut tersembunyi di bawah patung Dewa
Neraka. Setelah menyelipkan pedang pendek itu di balik baju di
pingangnya, dengan berpura-pura ada urusan, dia pergi ke
kota.
Kota Sou Shu tidak begitu luas dan dia berniat mencari
mereka untuk menyerang lebih dulu. Keadaan berbalik, si pemburu
menjadi yang diburu. Tapt setelah beberapa hari mencari, Rin Chu
tidak menemukan mereka di mana pun dan keadaan tetap tenang.
Sarafnya yang tegang pun mulai mengendur. Selama beberapa waktu, dia
tidak mampir ke warung Ri Shou Ji. Tetapi di petang hari kesepuluh,
dia mampir ke warung itu.
"Aneh. Sampai hari ini tidak terjadi
apa-apa," bisiknya kepada suami-istri yang tampak lega.
"Kami
senang mendengarnya. Sekarang, silakan Tuan minum dulu."
Rin Chu
menikmati arak yang sudah cukup lama tidak dikecapnya dan pulang ke
penjara petang harinya. Tidak lama setelah itu ada panggilan dari
pengawas penjara.
"Mulai besok kau diperintahkan untuk pindah
kerja ke tempat pakan kuda diluar gerbang timur, kira-kira lima
belas li dari sini. Untuk tempat tinggalmu, gunakanlah salah satu
gubuk pakan yang ada di tengah."
Konon, pekerjaan di tempat itu
juga tidak begitu berat. Untuk pengeluaran dan pemasukan pakan
kudapun harus ada uang suap, jadi pekerjaan ini sangat diincar para
narapidana.
Setelah mengepak barangnya yang tidak banyak, malam
itu juga Rin Chu pindah ke bagian luar gerbang timur. Deru angin
yang sangat kencang membelah kegelapan malam musim dingin. Kabut
putih di langit terlihat bergulung-gulung bagaikan embusan napas
iblis.
Di sana tampak dinding tanah kuning yang sudah hampir
roboh serta sepasang pintu besar yang sudah bengkok. Setelah masuk,
Rin Chu melihat ada gubuk yang paling besar di tengah-tengah
kompleks pakan kuda, tampalcnya bangunan itu tempat tinggal berdapur
bagi penjaga. Dari pintunya terpancar sinar lentera kekuningan.
Penjaga di sana melongokkan kepala ketika mendengar langkah kaki Rin
Chu.
"Oh, kau yang kali ini bertugas menjaga pakan ternak? Tadi
siang ada surat perintah yang menyuruhku bertukar tempat dengan
orang dari Ruang Raja Langit."
"Maaf saya datang agak terlambat.
Di Ruang Raja Langit saya meninggalkan alat-alat makan dan
sebagainya. Kalau tak keberatan, silakan Anda pakai."
"Di sini
juga banyak bergeletakan guci arak, panel, dan cawan yang biasa
kugunakan. Silakan kaupakai. Tempat tidur ada di sudut sebelah sini
dan di dalam sana ada karung arang bertumpuk-tumpuk. Di sini
betul-betul dingin. Di musim dingin kita harus terus menyalakan api
di tungku."
"Saya harus ke mana jika ingin berbelanja?" "Kalau
kau mengarah ke barat melalui jalan yang banyak semaknya itu,
kira-kira tiga li dari sini, di situ ada tukang arak dan tukang
daging. Tapi karena gudang pakan kuda ini menjadi incaran pencuri,
sebaiknya kau berhati-hati."
Dengan begitu, penghuni gubuk pun
berganti. Berbeda dengan Ruang Raja Langit, gubuk ini berupa
bangunan tua dari lempengan papan. Tempatnya sangat dingin.
Sepertinya karena itulah di sini banyak karung arang dan ada tungku
besar.
Mungkin karena belum terbiasa, pada malam pertama Rin Chu
gemetar kedinginan dan sama sekali tidak bisa tidur nyenyak. Fajar
menyingsing diiringi hujan salju lebat yang tampaknya tidak akan
reda seharian. Rin Chu merasa bosan.
Petang harinya. Seorang
petugas patroli yang tampaknya bawahan kepala sipir mengintip dari
celah-celah papan gubuk ke dalam ruangan. Bunyi langkah kakinya
teredam gemuruh salju.
"Kalau saja ada simpanan arak, sedikitnya
aku bisa sedikit bersenang-senang."
Tungku api yang muram membuat
Rin Chu merindukan warung Ri Shou Ji. Tetapi kota terlalu jauh.
Ketika dia melihat ke arah dinding, di situ tergantung guci arak
yang bentulcnya bagus.
"Petugas tadi berkata ada warung arak
sebelah barat dari sini. Sebaiknya aku ke sana."
Dia
menggantungkan guci arak pada tombak pendeknya, lalu dengan memakai
caping berlapis kain dan jubah hujan dari jerami, dia membuka pintu
dan berjalan menembus salju lebat. Tetapi kemudian, karena
mencemaskan keadaan gubuk, dia kembali ke dalam dan menimbun api di
tungku dengan abu sebanyak-banyaknya dan memadamkan lentera. Dia
menengadah menatap atap yang berlubang.
"Dengan begini, mungkin
tidak akan terjadi apa-apa," gumamnya. Lalu dia memasang palang
pintu dan pergi.
Malam itu dataran tampak putih dalam badai
ganas. Tumpukan salju membuat sandal melesak dalam. Angin kencang
bertiup menyamping menyapu permukaan salju, sampai arah ke depan pun
tidak kelihatan. Napas Rin Chu terasa sesak, salju menempel di
alisnya, membeku dan mengerak. Ketika sudah berjalan kira-kira
setengah li', Rin Chu beristirahat sejenak di pinggir jalan. Di sana
terlihat olehnya sebuah bangunan, entah untuk pemujaan dewa entah
makam. Pemandangan ini tampaknya membuat kepercayaan akan Buddha di
had Rin Chu tergerak, dia pun bersujud di atas
salju.
"Rasa-rasanya di kehidupan masa lalu aku tidak pernah
berbuat dosa, tapi sekarang aku terbuang ke daerah liar ini bagaikan
mayat hidup. Kasihanilah aku. Aku mohon Buddha melindungiku. Juga
lindungilah istriku di ibukota yang jauh dari sini." Setelah
menggumamkan doa seperti itu, dia berangkat lagi.
Sesampainya di
warung, dia minum segelas arak dan mengisi guci araknya, tidak lupa
membeli sebungkus daging bakar. Pada saat dia menapaki jalan pulang,
malam sudah larut. Salju turun semakin lebat dan angin membuat
langkah kaki terasa berat. Dengan seluruh tubuh diselimuti salju,
dia berjalan cepat-cepat sambil memegangi bagian depan capingnya
menuju tempat penyimpanan pakan kuda.
Dia mendorong pintu kayu di
tembok dengan kakinya dan masuk ke halaman. Namun apa yang terjadi?
Meskipun gubuk-gubuk yang lain masih berdiri tegak, gubuk tempatnya
tinggal ambruk sampai rata dengan tanah. Mungkin karena berat salju
yang menumpuk di atasnya.
"Astaga! Bagaimana ini? Tidak bisa
masak nasi dan tidak ada tempat untuk tidur." Rin Chu kebingungan.
"Kalau terus di sini, aku takut bakal tertimbun salju.
Sebaiknya
malam ini aku tidur di makam tua yang tadi saja. Besok baru
dipikirkan bagaimana selanjutnya."
Dia membongkar papan atap
untuk mengambil kasur, lalu memanggul kasur itu menuju makam tua di
pinggir jalan setapak tadi.
Bagian dalam makam ternyata luas. Di
sana terdapat patung Dewa Perang menakutkan yang memakai baju zirah
dan topi perang berwarna emas, disertai dua patung setan kecil. Di
atas altar pemujaan terdapat sisa-sisa sesajen dan lilin, serta
bertebaran serpihan kertas berwarna-warni. Dia menggelar kasur di
depan altar.
"Memang tidak ada manusia yang bisa meramalkan apa
yang bakal terjadi. Siapa sangka aku akan melewatkan malam di tempat
aneh seperti ini? Syukurlah aku punya guci penuh arak."
Dia
membuka bungkusan daging bakar, lalu membuka tutup guci dan
menenggak arak dingin. Kemudian dia berbaring berbantalkan lengan
namun tidak dapat tidur. Salju yang mencair terus meresap melalui
baju katun putih dan pakaian dalamnya. Kemudian dia dikejutkan gema
berkeretak yang terdengar dari kejauhan bercampur suara embusan
angin badai. Dia membuka mata.
"Eh! Aneh. Di luar terang sekali."
Dia bangkit berdiri. Dari celah-celah dinding yang rusak di makam
itu terlihat langit malam memerah.
"Gawat! Itu dari arah gubuk
pakan kuda!"
Di kepalanya terbersit bahwa mungkin kebakaran itu
discbabkan api tungku, sedangkan di sana tidak hanya ada satu gubuk.
Mungkin saja seluruh gubuk yang ada di tempat penyimpanan pakan kuda
itu akan terbakar.
"Aku tidak mungkin tinggal diam." Dia
mengambil tombak yang tadi dia sandarkan ke dinding dan bermabud
pergi untuk memadamkan api. Tetapi mendadak dia terpaku.
Tepat di
depan makam terdengar orang-orang sedang bicara. Rin Chu langsung
menajamkan telinga.
"Rencanamu berhasil, Kepala Penjara. Aku
ucapkan selamat juga untuk Kepala Sipir. Rin Chu pasti sudah
gosong."
Rin Chu mengenali suara itu. Pasti Riku Ken, ajudan
Panglima Besar Jenderal Kou.
Lalu tidak salah lagi yang
memberikan tanggapan adalah Kepala Penjara dan Kepala Sipir. Yang
satu lagi tentunya orang yang dibawa oleh Riku Ken, si Fu An. Sambil
melihat api yang berkobar-kobar di kejauhan, dia tertawa
terbahak-bahak.
"Semua ini berkat ide bagus Kepala Penjara dan
Kepala Sipir. Melihat salju yang begitu lebat, Kepala Sipir
memerintahkan bawahannya untuk mengintip si Rin Chu dan melepaskan
tiang gubuknya yang sudah reyot. Tentu saja langsung ambruk. Salju
yang berat pastinya juga telah membuatnya tergencet kayu palang atap
dan langsung tewas dalam tidur. Sungguh cara mati yang bagus bagi
Rin Chu."
"Kalau hanya itu rasanya belum sempurna. Jadi kami
berdua, pada waktu menuju ke sini, melemparkan sekitar sepuluh obor
ke atas gubuk yang ambruk itu. Dengan begitu, kemungkinan dia
bertahan hidup takkan tersisa sedikit pun."
"Kepala Penjara
memang hebat. Benar-benar tuntas pekerjaannya." Pujian terus
mengalir dari mulut Riku Ken. "Nah, kalau begitu, tugas yang
diberikan majikan kami sudah selesai. Kami bisa kembali ke ibukota
dengan tenang. Tentunya akan ada berita dari keluarga Kou tentang
hadiah untuk kalian berdua, jadi tunggu saja. Sekarang kami hendak
pamit."
"Kalian sudah mau pulang?"
"Tidak baik kalau kami
terlihat orang. Kami akan kembali dulu ke penginapan, kemudian besok
pagi-pagi baru pulang. Fu An! Ayo!"
Saat mereka akan berpisah,
Rin Chu muncul dari dalam makam sambil menendang pintu dan berseru,
"Tunggu! Hei, manusia-manusia rendah!"
Dia segera menyerbu orang
yang paling dekat dengannya, si Kepala Sipir, dan menusuknya dengan
tombak pendeknya. Bersamaan dengan darah hitam yang muncrat, si
Kepala Sipir pun terpental jatuh.
"Astaga! Kau!"
"Kaget?
Melihat Rin Chu masih hidup?"
"Aaaah! Tolong! Tolong kami!"
"Dasar pengecut! Apa yang kauteriakkan?" Wajah Rin Chu sudah kembali
seperti Kepala Macan Kumbang yang dulu. Seraya membungkukkan badan
seperti macan kumbang, Rin Chu menghunjamkan tombak pendeknya
secepat kilat. Pertama-tama dia menusuk Fu An, selanjutnya dia
menikam tubuh besar Kepala Penjara seperti menusuk sate. Kemudian
dia mengejar Riku Ken yang pontang-panting melarikan diri dalam
salju.
"Hei, pejabat jahat! Mau lari ke mana?" Dia melemparkan
tombak di tangannya seperti anak panah. Tombak pun menancap di
punggung Riku Ken. Seketika terdengat jeritan, darah segar yang
memancar ke segala arah pun mewarnai salju di malam hari.
"Ah,
aku telah membunuh empat orang pejabat negara. Kini aku benar-benar
telah menjadi penjahat yang tak akan mendapat tempat dalam Dinasti
Sou." Rin Chu menyesali tindakannya, meski begitu dia segera
membalikkan tubuh lalu bersujud di depan makan dan berterima kasih
kepada Dewa Perang.
"Kalau gubuk itu tidak roboh di malam hari,
mungkin aku sudah mad terbunuh di bawah impitan kayu atap serta
kobaran api, sesuai rencana jahat mereka. Kalaupun aku masih hidup
malam ini, kukira itu karena kemginan dewa di makam ini. Sungguh
pertolongan dari langit. Untuk ke depannya, semoga dewa berkenan
melindungiku."
Kemudian, setelah membersihkan tombak pendek¬nya,
sebelum fajar menyingsing dia bergegas melangkah di atas salju dan
menghilang.
*
Api di tempat penyimpanan pakan kuda tampaknya
segera padam karena salju yang begitu lebat. Tetapi selama api
berkobar, kentongan serta genta dipukul bertalu-talu sehingga
orang-orang di tempat tahanan maupun warga desa-desa yang tak jauh
dari sana terbangun dan berjaga-jaga.
Karena itulah pelarian Rin
Chu kerap menghadapi jalan buntu. Dia hanya dapat berlari ke sana
kemari bagai tikus dalam perangkap. Meski begitu dia tidak kehabisan
akal. Ketika melihat api unggun besar yang dikelilingi warga desa di
gerbang jalan, dia segera ikut bergabung dengan mereka.
"Uh,
dinginsekali. Izinkansayaikucmenghangatkan diri. Anda semua tentunya
juga kelelahan."
"Silakan! Silakan! Hangatkan tubuh Anda."
Sekitar lima puluhan warga desa mengajaknya bergabung tanpa
curiga.
Tetapi tiba-tiba seseorang berkata, "Hei! Tampaknya kau
bukan penduduk desa sini dan di wajahmu ada rajah."
"Benar. Saya
pesuruh dari penjara."
"Apa? Pesuruh dari penjara? Jangan
dekat-dekat kalau begitu. Kenapa bajumu penuh darah?"
"Ini darah
yang menempel ketika saya sedang menyembelih sapi. Kepala Penjara
dan Kepala Sipir kedatangan tamu, jadi saya disuruh menyembelih
sapi, domba, dan sebagainya."
"Oh, begitu. Tapi tampaknya darah
itu masih kelihatan segar."
Warga desa
berpandangandenganwajahtakut, tetapi karena sehari-hari mereka
terbiasa melihat kejahatan orang-orang yang dihukum buang, mereka
tidak lagi bertanya lebih dari itu. Rin Chu sendiri merasa suasana
ini tidak menguntungkan baginya, maka dia bersikap hati-hati. Tetapi
ketika dia menoleh, di dekat api unggun terletak beberapa botol arak
yang sudah terbuka. Untuk menghilangkan rasa dingin, tentunya warga
desa minum arak itu. Rin Chu pun tidak tahan lagi.
"Maaf.
Bolehkah saya minta secangkir arak?"
Tak scorang pun angkat
suara. Semuanya diam.
Karena tak ada yang menjawab, Rin Chu
mengambil wadah yang ada di sekitar situ dan minum dua-tiga
cangkir.
Pada saat itu, ada orang yang datang berlari dari arah
makam tua. Orang itu berbisik-bisik dengan temannya di belakang Rin
Chu. Akhirnya dia menghampiri Rin Chu.
"Tampaknya Anda sangat
haus. Ayo, minumlah arak banyak-banyak, soalnya hawanya dingin
sekali," katanya. Dia terus menawari Rin Chu.
Rin Chu berpikir,
dia sudah cukup banyak minum. Tetapi ketika akan meletakkan cangkir,
dia kembali lagi menuang arak. Tak lama kemudian, dia sudah hampir
menghabiskan setengah guci. Lalu ketika dia hendak bangkit untuk
mengucapkan terima kasih, tiba-tiba saiah satu laki-laki yang ada di
depannya melemparkan jaring perangkap ke kepalanya.
"Nah! Aku
sudah menangkapnya!"
Serta-merta tubuh Rin Chu dihujani pukulan
berbagai macam alat, seperti tongkat, tombak, pengait, dan
pelanting. Kemudian bagaikan memikul bangkai babi hutan, mereka
mengangkut Rin Chu ke desa dan memasukkannya ke tempat pengeringan
gabah.
"Mungkin orang ini bukan orang biasa. Begitu hari terang,
kita bawa dia ke tempat kepala penjara. Mungkin kita akan mendapat
hadiah." Demikianlah mereka ramai-ramai berbicara.
Tak lama
kemudian kepala desa datang. Dia berkata, "Barusan ada pemuda yang
datang dari rumah Juragan Sai Shin. Katanya jangan sekali-kali
mencederai orang yang kalian tangkap itu, karena orang itu dulu
pernah menjadi tamu kehormatan Juragan Sai Shin. Dia bilang,
sebentar lagi utusan Juragan Sai Shin akan datang ke sini untuk
membawanya."
"Apa? Kenalan Juragan Sai? Wah, kami sudah berdndak
macam-macam kepadanya, Bagaimana ini?"
"Jangan khawatir. Beliau
tidak akan memarahi kita. Tapi Jangan sekali-kali kalian
membicarakan kejadian ini. Kalau ada yang sampai berbicara, orang
itu tak akan dibiarkan tinggal di desa ini lagi. Kedudukanku sebagai
kepala desa juga akan lenyap. Jadi, tolong kalian jaga mulut. Jangan
bicara sepatah kata pun kepada pihak penjara."
Akhirnya, setelah
lewat tujuh atau sepuluh hari, berita kejadian malam itu mulai tidak
dibicarakan lagi.
Kini di sebuah ruangan di rumah orang ternama
di daerah itu, si Angin Beliung Kecil Sai Shin, tampakiah Rin Chu si
Kepala Macan Kumbang. Dia sedang mengucapkan rasa terima kasih
sedalam-dalamnya atas kebaikan sang tuan rumah sekaligus
berpamitan.
Dia sama sekali tidak ingat telah ditolong Sai Shin
malam itu. Rin Chu dibawa ke rumah Sai Shin dan dirawat
sebaik-baiknya. Rin Chu baru tahu keesokan harinya, setelah dia
diberitahukan bagaimana kelanjutan kisah hari itu.
Di rumah ini
terdapat berpuluh-puluh anak muda yang kuat serta beberapa tamu.
Karena itulah, berita tentang kebakaran di tempat penyimpanan pakan
kuda serta kejadian aneh di depan makam tua segera masuk ke telinga
Sai Shin. Begitu mengetahui hal itu, Sai Shin langsung mengambil
tindakan.
"Sepertinya orang-orang yang datang dari ibukota,
begitu juga Kepala Penjara serta Kepala Sipir itu berniat mencelakai
Pelatih Rin Chu. Tapi mereka malah tewas di tangannya. Memang
reputasi buruk Kepala Penjara dan Kepala Sipir sehari-hari kerap
terdengar. Dengan demikian, tewasnya mereka juga mungkin hukuman
dari atas. Sebaliknya, kita justru harus merasa kasihan kepada
Pelatih Rin Chu. Kita tidak boleh membiarkannya terbunuh."
Demikianlah, dia segera memerintahkan anak buahnya untuk mencari Rin
Chu dan mereka menemukannya pada waktu yang sangat tepat pula. Rin
Chu akhirnya dibawa ke rumah Sai Shin.
Sai Shin yang melihat
kesehatan Rin Chu sudah pulih merasa gembira, tetapi dia juga agak
kecewa karena harus segera berpisah. Dia berkata, "Sebenarnya kalau
bisa, aku ingin kau tinggal lebih lama di rumah kami. Tapi
sepertinya tidak mungkin. Sejak kejadian itu, di empat penjuru jalan
masuk ke wilayah penjara ini dipersiapkan tempat pemeriksaan yang
sangat ketat, yang konon semut pun tidak dapat lepas dari
pemeriksaan. Meld begitu kau tidak perlu mencemaskan masalah itu,
serahkan saja kepadaku. Untuk sementara, kau pergilah ke San Tou.
Aku sudah raemikirkan siasat agar kau terlepas dari
pemeriksaan."
"Terima kasih atas segala kebaikan Anda. Budi baik
ini tidak akan saya lupakan seumur hidup. Mestinya saya sudah mati
saat ini, namun berkat pertolongan Anda, saya masih bisa hidup.
Untuk itu, saya akan mengikuti segala petunjuk yang Anda
berikan."
"Nah, aku sudah membuat surat rekomendasi. Bawalah
surat rekomendasi ini ke Ryou Zan Paku, dan tunggulah sampai datang
kabar baik."
"Mm, apa yang Anda maksud dengan Ryou Zan
Paku?"
"Oh, kau belum tahu? San Tou adalah kampung air di Sai Shu
yang menghadap ke sungai. Daratan seluas delapan ratus li' itu
ditumbuhi pohon reed dan di sekelilingnya terdapat benteng yang
didirikan oleh tiga laki-laki. Pemimpin di sana adalah laki-laki
bernama Ou Rin, dan wakil-wakilnya adalah dua orang hebat bernama
Sou Man dan To Sen. Anak buah mereka ada sekitar tujuh ratus orang,
yang semuanya sudah dianggap sampah masyarakat. Menurut kabar,
orang-orang yang tidak diterima pemerintahan Dinasti Sou sedikit
demi sedikit mulai masuk ke sana untuk menghindari bahaya. Dengan
kata lain, tempat itu dunia lain yang terbentuk secara alami bagi
orang-orang terkucilkan. Aku kenal baik ketiga pemimpin di tempat
itu. Kukira kau tidak akan diperlakukan semena-mena."
"Wah,
tempat seperti itulah yang saya dambakan. Saya betul-betul ingin
pergi ke sana, tetapi bagaimana saya dapat melepaskan diri dari
pemeriksaan di gerbang jalan Sou Shu ini?"
"Jangan khawatir. Aku
sudah membuat rencana dan aku akan mengantarmu sampai pertengahan
jalan. Karena itu, segeralah bersiap-siap."
Rin Chu pun berganti
baju dengan pakaian pemberian keluarga Sai. Dia juga dibekali uang,
alat-alat perjalanan, dan kelengkapan lain.
Sai Shin sendiri
memakai pakaian berburu yang kelihatan sangat ringan dan berwarna
mencolok. Dia menaiki kuda lalu melewati gerbang rumah. Di luar
sudah menunggu belasan pengikut termasuk beberapa tamu. Ada yang
membawa bendera, eiang, atau anjing pemburu. Di tangan mereka
tergenggam tombak, tongkat, dan berbagai senjata.
Secara cerdik
Rin Chu disamarkan menjadi salah satu anggota pengikut. Demikianlah,
mereka berangkat dengan gagah menyusuri jalan Sou Shu. Di pinggir
jalan tampak gambar-gambar Rin Chu yang sedang dicari pemerintah,
sedangkan di persimpangan terpancang papan pengumuman yang
bertuliskan "Perintah Penangkapan Narapidana Rin."
"Anda lihat
semua itu?" kata Sai Shin dari atas kudanya, menoleh ke belakang ke
arah Rin Chu dan tersenyum. Rin Chu membalas senyumnya tanpa
mengatakan apa-apa.
Tak iama kemudian di jalan raya sebelah timur
terlihat pintu gerbang berjeruji dengan pos jaganya. Ketika
rombongan Sai Shin hendak melewati gerbang, tiba-tiba terdengar
seruan, "Tunggu! Tunggu!"
Penjaga gerbang dan anak buahnya
bermunculan dari rumah jaga.
"Oh, ternyata Juragan Sai. Hari ini
juga mau berburu?" kata kepala penjaga dengan sikap yang berubah
ramah.
Sai Shin balas menunjukkan wajah yang ceria. "Oh, ternyata
pasukan dari penjara. Tentunya kalian sangat lelah gara-gara
peristiwa yang lalu itu. Apa orang yang gambarnya tertempel di
sana-sini itu belum tertangkap?"
"Sama sekali tidak ada
tanda-tanda sudah ter¬tangkap, Tuan. Kami yang repot jadinya.
Siang-malam harus terus-menerus bertugas di tempat ini. Kami sampai
tidak pernah lagi melihat sinar lampu di kota belakangan
ini."
"Sudah pasti begitu. Tapi tak usah bersedih. Sepulangnya
nanti, kami akan membawa oleh-oleh banyakdaging rusa dan burung. Aku
juga akan menyuruh orang mengirim arak kepada kalian."
"Wah, kami
akan menunggunya, Tuan. Terima kasih banyak."
"Baik. Nah,
tentunya kalian harus tetap bertugas Silakan periksa dulu pengikutku
seorang demi seorang!"
"Tidak perlu, Tuan. Kami percaya Tuan tahu
benar akan hukum. Kami tidak perlu melakukannya. Silakan Tuan
langsung lewat."
"Tapi kalau di antara pengikutku ada narapidana
yang menyusup bagaimana?"
Para penjaga terkekeh. "Jangan
bercanda, Tuan."
Sai Shin ikut tertawa. "Baiklah. Kalau begitu,
kami pergi dulu."
Rombongan yang terdiri atas tiga puluh orang
lebih itu melewati gerbang penjagaan dengan mudah.
Setelah
berjalan kira-kira sepuluh li, Rin Chu memisahkan diri dari
rombongan dan mengambil jalan yang berbeda. Selanjutnya, selama dua
puluh hari dia melakukan perjalanan melalui gunung dan padang.
Akhirnya pada suatu hari, sampailah dia di tempat yang angin
dinginnya menusuk kulit serta saljunya teramat tebal. Tempat itu
terletak di pinggir sungai di mana sebatas mata memandang, hanya
tampak alang-alang dan gelagah kering.
Di tepi sungai tempat
tertambatnya perahu-perahu, terdapat sebuah warung yang menjual
arak. Ketika Rin Chu sedang minum arak di sana, si pemilik warung
menatapnya dengan curiga.
"Anda pelancong? Anda bermaksud pergi
ke mana di San Tou ini?"
"Aku justru ingin bcrtanya kepadamu.
Menuju ke mana perahu yang ada di penyeberangan ini?"
"Ini bukan
tempat penyeberangan perahu. Ini hanya tempat berlabuhnya
perahu-perahu yang pulang setelah menangkap ikan."
"Oh. Jadi aku
tidak mungkin minta diantarkan ke Ryou Zan Paku? Sulit
juga."
"Memangnya Anda berrnaksud pergi ke Ryou
Zan
Paku?"
"Ya."
Si pemilik warung semakin curiga. "Saya
tidak tahu Anda mendengar dari mana, tapi kalau sudah berniat pergi
ke Ryou Zan Paku, Anda tentunya sedang dikejar-kejar polisi
pemerintah atau memiliki tujuan tertentu. Kalau sudah menyeberang ke
sana, Anda tidak akan bisa kembali dengan mudah."
"Aku sudah tahu
itu. Sebenarnya begini, aku dititipi surat ini untuk pemimpin di
Ryou Zan Paku," kata Rin Chu sambil menunjukkan surat dari Sai
Shin.
Si pemilik warung bolak-balik menatap tulisan di amplop
lalu memandang Rin Chu. Sikapnya mendadak berubah dan dia berkata,
"Maaf sekali. Ini pasti tulisan Juragan Sai dari Sou Shu. Maaf saya
telah bersikap tidak sopan. Baiklah, saya akan segera memanggil
perahu penjemput. Silakan Anda minum lagi untuk menghilangkan rasa
dingin."
Siapakah sebenarnya pemilik warung itu? Sepertinya dia
salah satu anak buah San Tou Ryou Zan Paku yang bertugas sebagai
mata dan telinga mereka. Rupanya sebagai penyamaran, dia menjadi
pemilik warung.
Tak lama kemudian si pemilik warung muncul lagi
sambil membawa busur. Dia memasang anak panah yang besar, lalu
melepaskannya ke arah pepohonan gelagah dan alang-alang nun jauh di
sana. Dengung anak panah bergema di atas permukaan air, meninggalkan
sisa bunyi yang sangat panjang. Lalu di sebelah sana, tiba-tiba saja
sekelompok burung bangau beterbangan. Kini tampak sebuah sampan yang
melaju kencang mendatangi mereka, membelah ombak di antara
rerumpunan gelagah dan
alang-alang.
LUAS Ryou Zan Paku, entah berapa ratus
li, tidak bisa diketahui secara pasti. Namun, pada waktu itu
diperkirakan luasnya mencapai delapan ratus li. Saat badai datang,
tempat itu memang sangat menakutkan. Akan tetapi ketika cuaca cerah,
pegunungan yang diselimuti awan putih, rimba belantara yang hijau,
gelagah yang berderet rimbun sejauh mata memandang, serta
alang-alang di tepi sungai, benar-benar pemandangan yang sangat
indah, seolah-olah sedang memandangi lukisan Cina yang ternama "Ro
Teki San Sui."
Di tempat inilah berkumpul beratus-ratus orang
yang tidak dapat diterima dengan baik dalam masyarakat pemerintahan
Dinasti Sou, serta orang-orang yang mereka diperlakukan tidak adil.
Mereka membangun benteng dan secara terang-terangan menentang
pemerintah. Mereka menamakan diri perampok budiman, yang kerap
meresahkan orang-orang yang bepergian lewat air atau darat. Tentara
pemerintah sering datang ke daerah ini untuk menumpas mereka, namun
tak satu pun dari tentara itu yang pulang dalam keadaan hidup.
Demikianlah, Ryou Zan Paku merupakan "benteng terapung manusia
pelanggar hukum" yang sangat besar.
Pada hari itu, Rin Chu naik
perahu yang dipanggil Shu Ki, si pemilik warung yang sebenarnya anak
buah kelompok Ryou Zan Paku. Dia turun di Kin Sa Tan di tepi sungai
seberang. Sambil berjalan, dia terkagum-kagum melihat keadaan
benteng di sana.
Perairan di antara gelagah merupakan labirin
bagi gerak perahu, sedangkan jalan di darat tampak seolah
menyesatkan. Tepi sungainya yang sepi mirip tepi Sungai Sai.
Beberapa pintu air yang berbentuk gua, jalan di lembah-lembah, serta
pedalaman belantara dapat membuat orang yang masuk tidak tahu jalan
kembali.
Ketika sampai di Dan Kin Tei di perut gunung, dia
bertemu kepala Ryou Zan Paku, Ou Rin.
Ou Rin sebenarnya seorang
pelajar yang sangat ulet di ibukota dan pernah berusaha mengikuti
ujian pejabat negara. Namun ketika melihat kebusukan birokrat serta
mengetahui kondisi masyarakat sebenarnya, dia pun menganggap belajar
hanya merupakan kebodohan. Karena dia juga akhirnya tidak lulus
dalam ujian, akhirnya dia menjalani kehidupan yang seenaknya tanpa
tujuan. Ketika tiba di Ryou Zan Paku, dia mendapat teman, yaitu Sou
Man, To Sen, Shu Ki, dan lain-lain. Akhirnya dia diangkat menjadi
kepala dengan membawahi sekitar tujuh ratus atau delapan ratus anak
buah.
"Kau si Kepala Macan Kumbang Rin Chu, yang membawa surat
rekomendasi dari Saudara Sai Shin di Sou Shu? Silakan
duduk."
"Oh, Andakah Saudara Ou Rin? Saya Rin Chu yang dulu
bertugas sebagai pelatih di ketentaraan istana. Sekarang saya tidak
memiliki tempat lagi di dalarn masyarakat. Apakah Anda mengizinkan
saya tinggal di sini?"
"Mengenai asai-usulmu, aku sudah
membacanya dalam surat dari Saudara Sai Shin. Dulu aku sering
ditolong Saudara Sai Shin. Karena itulah, sebenarnya aku ingin
menerimamu di sini, tapi..."
Ou Rin menoleh pada Sou Man dan To
Sen yang ada di kiri-kanannya dengan agak sungkan.
"Kalau aku
boleh jujur, Ryou Zan Paku kini dihuni tujuh ratus hingga delapan
ratus orang sehingga bahan makanan untuk mereka saja selalu kurang.
Sulit bagiku untuk mengatakannya, tapi tak ada pilihan lain.
Bagaimana bila kuberi dirimu uang sebanyak sepuluh ryou, untuk
ongkosmu pergi ke tempat lain? Kemudian untuk kehidupan ke depan,
silakan kaupikirkan nanti di sana."
Dengan marah Rin Chu menolak.
"Terima kasih untuk kebaikannya, tetapi saya datang ke sini bukan
untuk mengemis. Kalau begitu, harap kembalikan saja surat itu. Saya
akan pergi."
Dengan cepat, Sou Man dan To Sen menghentikan niat
Rin Chu. Mereka kemudian mulai bicara pada Ou Rin.
"Kurasa
tindakanmu tidak beralasan. Pertama-tama, cara seperti itu ibarat
mencorengkan arang ke muka Saudara Sai. Kedua, tentunya bila kita
mengusir orang yang membutuhkan bantuan, semua yang ada di Ryou Zan
Paku bakal disebut sebagai orang-orang yang tidak tahu kebenaran dan
tidak tahu balas jasa. Sedangkan semua yang ada di sini hidup
berdasarkan budi dan kebenaran. Bagaimana jadinya kita
nanti?"
"Tapi kita tidak bisa begitu saja memasukkan seseorang
menjadi anggota. Ini mungkin akan membahayakan kita," kata Ou
Rin.
"Kita sama-sama tahu itu cuma dalih. Jika kau curiga, suruh
saja dia bersumpah untuk menjadi anggota kita."
"Hmm. Baiklah.
Mari kita coba. Rin Chu, aku tidak akan menyuruhmu menulis janji,
tetapi sebagai gantinya, kau harus mengerjakan apayangkuperintahkan
dalam tiga hari. Bersediakah kau melakukannya>'
"Kalau
dengan begitu Anda mengizinkan saya '
tinggal di sini, apa pun akan saya lakukan."
"Bagus. Kalau
begitu, tinggalkan dulu Ryou Zan Paku ini, dan bersembunyilah di
jalan San Tou di pesisir sebelah sana. Dalam tiga hari, kau harus
membawa sebuah kepala manusia. Itu pun tidak boleh kepala petanl
atau nelayan, tapi harus kepala pejabat pemerintah atau kepala
kesatria."
"Baik."
Malam harinya di Balairung En Shi di
benteng Ryou Zan Paku, Rin Chu disambut dengan pesta minum-minum dan
dikelilingi banyak orang. Namun dalam pesta itu pun Ou Rin seperti
acuh tak acuh kepadanya. Melihat itu, Rin Chu
berpikir.
Tampaknyaoranginipencemburusekali.Pikirannya picik
pula. Pasti dia cemas kedudukannya direbut oleh orang yang bernasib
sama dengannya. Sebenarnya aku juga tidak mau dipimpin orang berhati
picik seperti dia, tapi karena tidak ada lagi tempat untuk tinggal,
apa boleh buat.
Dengan wajah muram, Rin Chu memutuskan untuk
melaksanakan janji mengikuti kemauan Ou Rin selama tiga
hari.
Keesokan harinya Rin Chu bersiap-siap. Dia membawa sepucuk
pedang panjang dan menyuruh prajurit pemandunya mendayung perahu
menuju jalan San Tou di Sai Shu.
Pada hari pertama, dia tidak
bertemu dengan satu pun manusia. Pada hari kedua, cuaca sangat
cerah. Kalau hari ini pasti ada, pikirnya sambil bersembunyi di
pinggir jalan atau menyelinap di antara rumpun pepohonan. Namun yang
dia temui hanyalah seorang nelayan miskin yang akan pulang dan
sepasang suami-istri petani yang lewat dengan membawa anak
mereka.
Kini waktunya tinggal sehari lagi. Karena lelah dan
panik, pandangan Rin Chu sudah mirip binatang buas. Untungnya lewat
tengah hari, dia melihat pelancong yang sedang menyusuri jalan
setapak di antara pepohonan sambil menggendong bungkusan besar
menuju ke arahnya. Bagus! pikirnya, lalu dia berlari mendatangi
pelancong itu tanpa berpikir lagi.
"Hei, Pelancong! Tunggu!" seru
Rin Chu sambil mengentakkan ujung pedangnya ke tanah. Melihat itu,
si pelancong terkejut dan menjatuhkan bawaannya.
"Hah! Pembunuh!"
teriak si pelancong sambil lari pontang-panting ke dasar lembah.
Mendengar jeritan dan melihat caranya berlari, jelas pelancong itu
bukan pejabat pemerintah atau kesatria. Rin Chu merasa
kecewa.
"Astaga! Hari ketiga sudah hampir berakhir. Sepertinya
aku bernasib sial."
Tanpa sengaja dia menengok ke arah barang
yang dibawa pelancong tadi, kemudian entah dari mana datangnya, hawa
pembunuh terasa menepis pipinya.
Dia menoleh dengan kaget dan
tepat pada saat itu, terdengar suara yang berseru, "Hei, Pencuri!
Coba saja ambil barang itu, nyawamu pasti melayang!"
Suara itu
gabungan antara kemarahan dan tawa sinis. Kata-katanya terasa
bagaikan pedang tajam yang mengancam. Ketika Rin Chu memerhatikan,
tampaknya yang bersuara adalah majikan orang yang tadi melarikan
diri.
Orang itu laki-laki tegap berusia tiga puluhan, di sebagian
wajahnya ada tanda lahir biru dan dia memiliki jambang kemerahan
yang jarang dan tampak kusut. Di punggungnya tergantung caping dari
Han You dengan hiasan benang berjuntai, sementara bajunya yang lusuh
sudah tidak bisa dikenali lagi warna aslinya. Dia mengenakan celana
pendek bergaris-garis merah dan biru, sepatu kulit sapi berbulu, dan
di pinggangnya tersandang pedang yang sangat indah.
Laki-laki itu
tertawa melibat Rin Chu yang tegang terpaku.
"Kau ini sayang
nyawa tapi menginginkan barangku! Hei, Pencuri! Gantikan orang yang
tadi melarikan diri dan pikul barang ini sampai kota. Aku juga
bukannya tanpa perasaan. Kalau kau bersedia menemaniku sampai kota,
aku mungkin akan mentraktirmu secangkir arak. Piiih salah
satu."
"Setelah kulihat-lihat, tampaknya kau ini bukan orang kota
biasa. Kau pasti kesatria."
"Betul sekali. Mungkin sekarang aku
hidup berkelana seperti ini, tapi sebelumnya aku cicit salah satu
dari lima pangeran, Pangeran You, dan pernah menjadi pengawal
pribadi Kaisar Ki Sou yang sekarang. Jadi aku kesatria unggul
dibanding yang lain. Nah, demikianlah adanya aku, kau
bagaimana?"
"Bagus! Kalau begitu, aku minta kepalamu."
"Apa?
Jangan main-main!"
Pada waktu nyaris bersamaan, muncul kilatan
sinar putih di antara kedua orang itu bagaikan dua naga yang sedang
menyemburkan bunga api berpijar. Walaupun demikian, meski pedang
mereka berpuluh-puluh kali beradu dengan jurus simpanan
masing-masing, tak sehelai pun rambut lawan yang tertebas. Akhirnya
ali-ali dekat pegangan pedang mereka beradu. Napas mereka
tersengal-sengal dan keringat membasahi jambang
mereka.
Tiba-tiba, dari tempat yang agak tinggi terdengar
teriakan, "Hei, kalian, berhenti dulu! Rin Chu, janjimu yang tiga
hari cukup sampai di situ. Lalu wahai kesatria pelancong, silakan
sarungkan pedang Anda."
Ternyata orang itu Ou Rin, si
cendekiawan, yang mengenakan pakaian putih. Dia datang bersama To
Sen dan Sou Man disertai sekelompok anak buah yang tampaknya berniat
melihat bagaimana Rin Chu memenuhi janjinya.
"Hebat betul jurus
pedangmu," Ou Rin menyapa si kesatria. "Kuharap kau bersedia
mcngunjungi bcnteng kami malam ini. Kami akan mcnceritakan sccara
terperinci tentang Rin Chu, kemudian mungkin kau juga akan bersedia
membagi cerita mengenai dirimu."
Ou Rin membawa mereka ke
balairung pertemuan benteng Ryou Zan Paku. Malam hari itu diadakan
pesta besar.
Rupanya Ou Rin berpikir bahwa kalau hanya menerima
Rin Chu di tempatnya, kedudukannya dapat terancam. Tetapi apabila
ada seorang lagi dengan kemampuan yang sebanding Rin Chu, dengan
sendirinya mereka berdua akan saling mcngawasi. Ou Rin akan mudah
menguasai mereka berdua dan kedudukannya bakal tetap aman. Karena
itulah dia terus-menerus menjamu si kesatria dan memberinya
penghormatan.
"Kami sudah mendengar cerita tentang
pengem-baraanmu. Nah, sekarang bagaimana kalau kau tinggal di sini
dan hidup dalam suasana menyenangkan sebagai laki-laki sejati?"
dengan ringan Ou Rin menawari si kesatria.
"Aku berterima kasih
atas tawaranmu. Tapi karena aku masih memiliki rumah serta keluarga
di Kai Hou, bagaimanapun aku harus pulang dulu ke Sana. Lagi pula
alasanku sampai hidup terlunta-lunta seperti ini sebenarnya
memalukan."
Si kesatria menenggak araknya sampai hahis lalu
menertawakan nasibnya sendiri dengan sinis. Semakin dia mabuk, tanda
lahir biru di wajahnya kian tcrlihai membirti.
"Keluargaku secara
turun-temurunadalah pciigjw.il kaisar Dinasti Sou. Selain bertugas
sebagai pengawal di istana, aku juga pernah menjadi perwira pasukan
yang langsung berada di bawah Jenderal Kou. Tapi setahun lalu,
ketika Kaisar Ki Sou membuat taman di istaiu terpisah di Gunung Ban
Zai, sepuluh orang perwira dikirimkan ke Sei Kou untuk membawa bacu
terkenal dari sana dan mengangkutnya ke ibukota.
"Aku termasuk
sepuluh perwira itu. Waktu itu, kami mengangkut batu-batuan yang
langka dari Sei Kou dengan perahu besar melalui Sungai Kou Ga. Namun
naas, akibat dilanda baclai yang sangac besar, kami tidak dapat
menuntaskan tugas. Karena merasa malu, aku bersembunyi di kampung.
Baru beberapa waktu kemudian, aku mendengar bahwa telah dikeluarkan
keputusan untuk memaafkan para perwira yang tidak tuntas
melaksanakan tugas tersebut."
"Begitu. Aku mengerti. Jadi kini
kau sedang dalam perjalanan menuju ibukoca?"
"Betul. Aku berniat
kembali ke ibukota untuk mengembalikan nama baik keluarga dengan
cara mendapatkan kembali pekerjaan yang dulu. Kalau tidak berhasil,
aku takkan dapat mengangkat muka lagi di hadapan nenek moyangku.
Bahkan aku sampai membawa berbagai upeti untuk menyuap
pejabat-pejabat yang harus kutemui demi kelancaran niat tersebut.
Tapi kctika tiba di tempat tadi, tiba-tiba saja aku diserang orang
bernama Rin Chu itu. Hampir saja kepala yang cuma satu-satunya ini
terlepas dari leher," lanjut si kesatria sambil
tertawa.
Mendengar itu, untuk pertama kalinya Rin Chu juga
membuka mulut. "Maaf terlambat memperkenalkan diri. Aku sendiri dulu
berada di bawah perintah Jenderal Besar Kou, berkedudukan sebagai
pelatih di ketentaraan istana. Namaku Rin Chu, si Kepala Macan
Kumbang. Ketika aku mendengar ceritamu, tampaknya dapat dikatakan
kita ini sejawat. Kalau tidak salah, bukankah kau ini You Shi yang
disebut-sebut sebagai Iblis Muka Biru?"
"Oh. Benar sekali. Aku
memang You Shi, si Iblis Muka Biru. Tetapi mengapa Pelatih Rin yang
terkenal bisa berada di tempat scperti ini?"
"Yah, lihatlah rajah
ini," kata Rin Chu, menuding rajah di dahinya sambil tertawa pahit.
Lalu dia bercerita secara terperinci tentang pengasingannya dari
ibukota ke Sou Shu sebagai hukuman, juga tentang bagaimana dia
melarikan diri dari tempat penahanan sampai tiba di sini.
Aku
tidak akan melanjutkan dengan member! contoh buruk lainnya. Namun
seperti yang bisa kita
pelajari dari kisahku, Jenderal Kou Kyu
sungguh pejabat jahat yang tidak dapat diandalkan. Bukan hanya dia,
para tentara dan pejabat yang ada di sekelilingnya, kemudian semua
orang di Kekaisaran Ki Sou memang sudah terbukti kebusukannya. Dalam
kondisi seperti itu meslcipun kembali ke ibukota, kau pasti takkan
dapat hidup tenang dalam waktu lama. Daripada kembali ke ibukota,
bagaimana kalau kau mencoba hidup sesuai saran Saudara Ou Rin? Hidup
di dunia terpisah ini dengan berpegang pada tujuan hidup sebagai
laki-laki sejati."
"Aku juga sangat tertarik dengan saranmu,
namun seperti yang sudah kukatakan tadi, aku tidak bisa."
"Yah,
kalau kau tetap berkeras seperti itu, aku tidak akan
menghalang-halangimu," kata Ou Rin pasrah.
"Kalau begitu, malam
ini kita harus bersenang-senang untuk mendoakan agar jalan di depan
You Shi si Iblis Muka Biru terbuka lebar. Tapi kuharap kau selalu
ingat bahwa di Ryou Zan Paku ini ada sekelompok manusia yang hidup
demi untuk menentang kebusukan Dinasti Sou. Lalu suatu saat nanti,
jika kau mau bergabung dengan kami, kami akan sangat
senang."
"Aku pasti akan membantu kalian. Sepertinya kita memang
sudah ditakdirkan untuk saling membantu."
Keesokan harinya,
setelah diberi uang jalan serta dilepas secara besar-besaran oleh Ou
Rin dan anak buahnya, You Shi meninggalkan Ryou Zan Paku sambil
mclambaikan tangan dari perahu.
Kini cerita beralih pada
perjalanan kesatria bertubuh tinggi dan bermuka biru, You Shi, ke
ibukota Tou Kei di Kai Hou.
Setelah tiba di ibukota, You Shi
membuka bungkusan barang bawaannya. Dari bungkusan-bungkusan
tersebut, dia mengeluarkan ukiran dari emas perak, batu gerusan
terkenal, batu permata, dan banyak lagi, yang dia kumpulkan dari
daerah-daerah yang dikunjunginya. Tanpa merasa sayang, dia
menggunakan semua barang berharga itu untuk menyuap para pejabat.
Akhirnya tanda-tanda dia akan bisa kembali menduduki jabacannya
mulai terlihat.Tinggal menunggu pengecapan surat-suratnya oleh
Panglima Besar Jenderal Kou.
"Dengan begini, tampaknya aku akan
bisa kembali menduduki jabatan lamaku dengan lancar," katanya
menunggu hari dengan penuh harap.
Beberapa hari kemudian,
akhirnya datanglah perintah dari istana untuk menghadap. Karena hari
itu cuaca cerah, dia mengenakan pakaian istimewa yang bersih.
Sesampainya di sana, dia menunggu di salah satu ruangan di istana.
Tak lama kemudian, Jenderal Kou datang. Lalu begitu bersandar di
kursinya, dia langsung bertanya, "Jadi, kau yang bernama You
Shi?"
"Betul sekali, Paduka. Hamba You Shi, salah satu dan
sepuluh petugas yang dulu mengcmban perintah."
"Tak tahu malu
betul kau berani datang ke sini! Dari riwayat hidup serta surat
permohonanmu, kulihat kau berasal dari keluarga yang turun-temurun
mendapatkan banyak budi dan jasa dari keluarga Sou. Tapi tahun lalu,
saat kau mendapat tugas dari Kaisar untuk mengangkut batu-batuan
dari Sei Kou, di tengah perjalanan kau membuat perahu tenggelam.
Tidak hanya itu, setelah itu tanpa melapor kau menghilang begitu
saja. Sampai hari ini kau terus bersembunyi, bukan? Apa namanya
orang yang bertindak seperti itu kaJau bukan
pembangkang?"
"Paduka, mengenai alasan hamba tidak kembali sudah
hamba tulis secara terperinci dalarn surat permohonan itu. Karena
kemudian hamba mendengar bahwa ada pembebasan untuk kami semua,
hamba memberanikan diri datang ke sini. Mohon Paduka berkenan
memberikan kebijaksanaan kepada hamba."
Diam kau, bodoh! Perintah
pembebasan itu bukan untukmu! Dari sepuluh orang yang bertugas itu,
dua dan tiga orang kembali ke Sei Kou dan menunggu hukuman mereka.
Perintah pembebasan itu hanya untuk mereka. Karena kau adalah
pembangkang yang melarikan diri begitu saja, aku tidak akan
mengizinkanmu kembali menduduki jabatan. Permohonan ini kutolak.
Cepat keluar dari sini!"
You Shi tersentak mendengarnya.
Penolakan tersebut membuatnya putus asa. Sejak saat itu, dia terus
bergelut dalam kegamangan dan kesedihan.
"Baru sekarang aku
menyadari bahwa kata-kata Rin Chu benar. Karena tidak tega mengotori
nama keluarga dari nenek moyang serta nama diriku sendiri yang
merupakan pusaka orangtua, aku menolak ajakan Ou Rin dan malah
datang ke ibukota untuk melanjutkan cita-cita. Ternyata benar bahwa
ibukota di bawah kekuasaan Kou Kyu ini bukanlah tempat yang bisa
kutinggali."
Sekarang tak ada lagi yang bisa dikerjakan You Shi.
Dalam dirinya pun tidak ada keinginan untuk mencari pekerjaan. Dia
sudah menghabiskan segala benda berharga yang dimilikinya untuk
menyuap, demi mengambil kembali jabatannya. Sampai-sampai untuk
makan hari esok pun dia kesulitan.
"Oh ya. Aku masih punya pedang
turun-temurun dari nenek moyang. Kujual saja pedang itu, kemudian
uangnya kubagikan kepada orangtua dan anak-anak yang ada di
tempatku. Sisanya akan kugunakan untuk biaya perjalanan ke kabupaten
lain. Barulah nanti di tempat itu, kupikirkan bagaimana aku hams
menjalani hidup."
Hari itu juga dia pergi membawa pedangnya untuk
dijual, lalu dia berdiri di perempatan Kota Ba Kou.
Malangnya tak
seorang pun yang menanyakan harga pedang tersebut. You Shi kemudian
pindah tempat ke sisi Jembatan Ten Kan Shu yang cukup ramai.
"Ini
pedang yang sangat terkenal. Pedang pusaka yang sangat langka. Tak
adakah yang memerhatikan pedang ini?" katanya menawarkan pedangnya
kepada setiap pejaJan kaki.
Tiba-tiba, seorang laki-laki
berperawakan besar dengan dada berbulu lebat datang menghampirinya
dengan langkah lebar. Dari tubuhnya tercium bau arak bercampur
minyak yang sangat tajam. Melihat itu, orang-orang yang sedang
berjalan langsung berbisik-bisik.
"Coba lihat. Si Harimau Tak
Berbulu hend.ir mengganggu penjual pedang itu."
"Jangan-jangan
Gyu Ji, si Harimau Tak Berbulu, man mempermainkan
dia."
Orang-orang pun mulai berkerumun mengelilingi mereka. Benar
saja. Berandal kota yang disebut Gyu Ji alias si Harimau Tak Berbulu
ini sejak awal sudah memandang enteng You Shi. Dia mulai meledek
kesatria buangan tersebut.
"Apa? Pedang tua seperti ini dihargai
3000 kan'. Heh! Jangan kaukira semua orang di sini buta ya!"
You
Shi tertawa. "Kau mabuk, ya? Aku tidak memintamu untuk membelinya.
MinggirlaJl. Pergi dari sini."
"Siapa yang mau? Kau kira aku
tidak mampu membelinya?"
"Pedang ini pusaka keluarga kami.
Menjual pedang ini rasanya seperti berpisah dengan anak. Jadi aku
tidak mau pedang ini dimiliki olehmu."
"Kalau begitu, aku beli!
Jika kau sudah menghinaku seperti itu, aku harus membcli pedang itu.
Tap' tentunya pedang itu tidak tumpul, kan?"
"Kau masih juga
berkeras. Padahal sudah kubilang aku takkan mau menjualnya
padamu."
"Jangan main-main. Aku mau beli, tetapi coba
kautunjukkan dulu ketajamannya. Atau kau takut, ya? Bcrarti kau ini
memang seorang penipu."
"Kalau kau mengataiku penipu di depan
orang banyak, aku tak bisa membiarkanmu begitu saja."
"Huh, kalau
cuma tabu atau akar teratai, pedang mana pun tentu bisa memotongnya.
Nab, apa yang bisa dipotong oleh pedang seharga 3000
kan?'
"Dengar ya. Biar dipakai memotong besi dan baja, mata
pedang ini tak akan rompal sedikit pun."
"Itu saja?"
"Rambut
juga, kau terbangkan rambut, pedang ini bisa membelahnya. Karena
itu, pedang ini dinamai Pedang Pembelah Rambut Terbang."
"Hebat
sekali omonganmu. Tapi kalau tidak bisa memotong manusia hidup,
pedang itu tidak berguna, kan?"
"Biar digunakan pada manusia,
pedang ini tidak akan meninggalkan tetes darah di bilahnya.
Sudahlab. Kukira penjelasanku sudah cukup. Tolong minggir."
Tidak
mau. Sekarang baru mulai menarik. Coba potong ini!"
Gyu Ji
menumpuk uang tembaga di langkan Jembatan Shu seperti
pagoda.
"Hei! Tukang tipu! Coba potong uang ini. Kalau bisa
memotongnya, kau akan kuberi uang sebanyak 3000 kan. Tapi kalau
tidak, kaulah yang tidak akan kubiarkan begitu saja!"
Orang-orang
yang berkertimun segera membentuk lingkaran. Berandalan yang cukup
tersohor di kota sedang berperang mulut dengan penjual pedang.
Orang-orang yang berkerumun semakin banyak jumlahnya, ingin tahu
bagaimana akhir perdebatan.
"Baiklah. KaJau begitu, akan
kuperlihatkan." You Shi pun melangkah ke dekat langkan Jembatan.
Selama beberapa saat dia menatap tajam uang logam itu. Kemudian
tanpa terlihat kapan tepatnya dia melepas pedang, dalam sekejap uang
logam terpotong menjadi beberapa bagian dan terpental dari kedua
sisi pedang. Tak tertinggal bekas goresan sedikit pun di langkan.
'Wah! Benar-benar terpotong!" Mendengar
teriakan kagum para
penonton, si Harimau Tak Berbulu semakin
berang. Tingkahnya semakin pongah. Tiba-tiba dia mengulurkan
segumpaJ jenggotnya dan berseru, "Tunggu dulu, kesatria
tak bertuan. Permainan sulap
seperti itu sudah biasa
dilakukan oleh tukang-tukang sulap jalanan. Sekarang, coba potong
seperti kata-katamu tadi."
"Baik. Coba kauperhatikan
baik-baik."
You Shi menerima gumpalan rambut itu dengan tangan
kiri. Lalu dengan perlahan dia meniup rambut di tangannya itu ke
atah pedangnya yang berkilauan.
"Wah! Hebat sekali!"
Para
penonton terkesima. Rambut yang ditiup oleh You Shi tampak seakan
terisap sang pedang pusaka. Begitu terlepas dari tangannya, rambut
itu terbelah dua, lalu melayang-layang seolah-olah menari dan
berjatuhan.
"Betisik! Aku belum mau mengaku kalah! Kau bilang,
jika pedang ini dipakai menebas orang, tidak setitik pun darah akan
menempel di badan pedang, kan? Coba buktikan!"
"Baik. Bawa ke
sini seekor anjing."
"Kau mau apa dengan anjing?"
"Kau pasti
tahu, kan? Mana mungkin aku menebas manusia."
"Sudan kuduga kau
akan bilang begitu. Dalih seorang penipu memang sudah dapat ditebak
sebelumnya. Kalau kau tidak bisa, bilang saja terus terang dan
langsung minta maaf pada penonton."
"Aku tidak akan menjual
pedang ini kepadamu. Kita cukupkan sampai di sini saja."
"Tidak
bisa," kata si Harimau Tak Berbulu, lalu dia mencekal pergelangan
tangan You Shi. "Pedang ini akan kubeli. Jadi sekarang buktikan
kata-katamu bahwa meskipun menebas manusia, di bilah pedang ini
tidak akan tersisa setitik darah pun."
"Kalau kau memaksa, coba
keluarkan dulu uangnya."
"Sekarang aku tidak bawa uang. Uangnya
dapar dibayar kemudian. Yang penting sekarang adalah kau harus
menebas dulu manusia hidup. Tunjukkan bahwa pedangmu itu memang
seperti yang kaukatakan. Atau apa kau mau minta maaf dengan bersujud
ke tanah?"
You Shi yang sudah kewalahan tampaknya tidak bisa lagi
menahan diri. Meskipun wajahnya yang biru tampak sangat geram, dalam
berkata-kata dia tetap tenang.
"Kalau begitu, tolong kalian jadi
saksi," kata You Shi kepada para penonton. "Seperti yang kalian
lihat, berandalan ini sejak tadi terus menggangguku. Aku sudah
mencoba meredamnya, tetapi tidak berhasil. Bahkan dia memintaku
menebas orang hidup dan tidak mau membatalkan permintaannya itu.
Nah, sekarang apa yang harus kulakukan?"
Tiba-tiba
dari segala penjuru
penonron mulai berseru-seru.
"Tebas saja dia. Tebas!
Perlihatkan ketajaman pedang itu pada si Harimau Tak
Berbulu."
"Kalau dia sudah tidak ada, kota ini akan mem'adi
tenang dan ceria. Yang merasa gembira tentunya sangat banyak, tak
seorang pun yang akan merasa sedih. "Kesatria, tolong tebas dia
saja."
Mendengar itu, si Harimau Tak Berbulu tidak tahan juga.
Tabiat aslinya semakin terlihat. Tiba-tiba dia menyeruduk You Shi
dan mencoba mengambil pedang yang ada di tangan kesatria itu. Tetapi
serudukannya tidak mengenai sasaran dan dia malah melayang di udara.
Itu pun hanya sekejap. Sekonyong-konyong, di hadapan para penonton
muncul kabut merah darah yang seolah-olah membentuk sekuntum bunga
besar.
"Astaga! Dia betul-betul menebas si Harimau Tak
Berbulu!"
Mereka tidak menyangka You Shi betul-betul akan
melakukannya. Para penonton menjerit ngeri. Di bawah kaki You Shi
tetgeletak tubuh besar si Harimau Tak Berbulu yang terbelah dua.
Lalu di bilah pedang yang dipegang You Shi dalam posisi lurus,
memang betul tidak terlihat sedikit pun bekas
darah.
"Saudara-saudara sekalian," katanya kepada para penonton.
"Tenanglah. Aku tidak akan membuat kalian semua mengalami kesulitan.
Seperti yang baru saja kalian lihat, di Jembatan Ten Kan Shu, siang
ini aku telah membunuh orang. Tindakan ini tentu saja tidak akan
terlepas dari konsekuensi hukum. Saudara-saudara semua merupakan
saksi hidup kejadian ini. Sekarang aku akan melaporkan diri ke
kepolisian. Karena itu, tolong beri jalan untukku."
Sikapnya
benar-benar gagah. Orang-orang pun tampaknya kagum akan sikapnya
itu. Mungkin karena mendengar kabar ini, di depan gerbang kantor
polisi yang dimasuki You Shi, orang-orang tampak berkerumun.
"Si
Harimau Tak Berbulu yang salah. Setiap saat Gyu Ji meresahkan
orang-orang dan sekali pun belum pernah berbuat baik untuk
masyarakat. Tolonglah penjual pedang itu," teriak mereka. Sejak itu,
mereka mengajukan surat permohonan pembebasan bagi You Shi, memberi
makanan, sampai mengumpulkan uang bantuan. Orang-orang kota yang
bersimpati juga melakukan berbagai gerakan untuknya.
Setelah enam
puluh hari terkurung sebagai tahanan. akhirnya keputusan dijatuhkan.
Sebagian besar petugas kepolisian juga merasa kewalahan dengan si
Harimau Tak Berbulu yang terkenal keberandalannya. Mulai dari
petugas pengadilan hingga penjaga tahanan, harnpir semuanya
bersimpati terhadap You Shi. Keputusan untuk hukumannya pun akhirnya
sangat ringan.
"Hukuman buang ke Hoku Kei, pangkat diturunkan
menjadi prajurit dua, serta ditempatkan di bawah komandan penjagaan
di wilayah pemerintahan daimyo"
Begitulah vonis yang dijatuhkan
kepada You Shi. Bersamaan dengan itu diputuskan pula bahwa, "Pedang
pusaka yang dimiliki si terhukum disita untuk dijadikan barang
pemerintah."
You Shi tidak dapat menolak ketika dahinya dirajah
karena tindakan itu sudah menjadi bagian aturan hukum.
Kemudian
dia digiring pengawal menuju tempat di bawah naungan
langit Hoku
Kei.
PADA saat itu, Hoku Kei disebut sebut wilayah
pemerintahan daimyo dan terkenal pula sebagai salah satu ibukota
dari lima ibukota besar yang ada.
"Jika bisa meredam sungai
utara, dunia akan bisa ditaklukkan. Jika sungai utara banjir, dunia
pun akan kacau-balau."
Sesuai dengan ungkapan yang sudah ada
sejak zaman Tou itu, wilayah ini sangat sulit ditaldukkan karena di
sebelah barat terdapat Pegunungan Tai Kou, di sebelah utara terdapat
Laut Hok Kai, dan di sebelah utara terdapat benteng Ban Ri yang
dapat menangkal serangan dari bangsa-bangsa yang ada di utara. Tetap
karena akhir-akhir ini ada kemungkinan muncul serangan dari Jo Shin
(Kin) dari Man Shu dan RyOUj maka Kaisar Ki Sou yang menganggap
penting wilayah ini menempackan seseorang yang bisa diandalkan
sebagai panglima ketentaraan dan penjagaan di daerah
ini.
Panglima itu bernama Sei Ketsu Ryou Chu Sho.
Ryou Chu Sho
adalah menantu Paduka Yang Mulia Sai Kei, perdana menteri di
ibukota. Di Hoku Kei ini tentu saja kedudukannya sangat tinggi
sebagai penguasa kemiliteran serta pemerintahan. Dengan demikian,
kehebatan penampilannya tidak perlu diungkapkan lagi.
"Oh, jadi
pangkat You Shi di ibukota sudah diturunkan menjadi prajurit biasa,"
gumam Ryou Chu Sho suatu hari, ketika melihat dokumen yang
diserahkan kepadanya oleh pengawal pengantar.
Karena pada
dasarnya You Shi berasal dari keluarga yang terkenal, sedikit -
banyak Ryou Chu Sho tahu tentang kesatria itu. Setelah memberikan
cap pada surat penerimaan You Shi dan menyuruh pengawal itu pulang,
dia segera memanggil You Shi ke kediamannya.
"Kejahatan apa yang
kaulakukan sampai kedudukanmu diturunkan menjadi prajurit rendahan
seperti sekarang?" tanyanya mengorek keterangan. Kemudian setelah
mendengar penjelasan You Shi yang sangat terperinci, dia berkata,
"Oh, begitu. Hanya karena itu ya. Baiklah. Tunggu saja waktunya. Aku
tidak akan membiarkan orang sepertimu tetap menjabat sebagai
prajurit rendahan," katanya menghibur dan untuk sementara You Shi
ditempatkan sebagai prajurit di istana kediamannya.
Tetapi
meskipun memiliki jabatan yang sangat tinggi, Ryou Chu Sho tidak
mungkin begitu saja mengangkat kedudukan You Shi tanpa alasan. Maka
dia menunggu waktu latihan ketentaraan di Hoku Kei yang diadakan
sehari penuh di lapangan besar di luar istana. Ryou Chu Sho akan
melihat keahlian bela diri You Shi. Jika You Shi memiliki kebolehan
yang menonjol, dia akan memberi You Shi penghargaan serta kedudukan
yang layak. Demikianlah pikirnya.
Waktunya adalah pada bulan dua,
saat awal musim semi. Lapangan besar tempat para prajurit berlatih
dipenuhi kuda serta bendera dari ketiga pasukan yang ada di Hoku
Kei. Ketika waktunya tiba, terompet dari kerang besar dibunyikan,
tambur bertalu-talu, dan dengan diiringi musik pasukan pemusik
tentara, muncullah Ryou Chu Sho disertai wakil serta pembesar
lainnya menuju tempat upacara.
Setelah melakukan inspeksi pasukan
secara khidmat, di bawah aba-aba dua jenderal besar, yaitu Ri Ten
Nou Ri Sei dan Mo Dai Tou Bun Tatsu, seluruh pasukan menghadap ke
arah tempat duduk Chu Sho dan memberikan penghormatan sambil
berteriak tiga kali. Teriakan mereka membuat bumi seolah-olah
bergetar.
Segera saja para tentara berpisah menjadi dua kelompok
besar, kemudian bendera merah dan putih pun dikibar-kibarkan. Dengan
ditandai bunyi tambur, setiap kelompok mempertunjukkan jurus
serangan sayap bangau, burung awan, aliran air, putaran roda,
lembut-keras, dan banyak lagi sebanyak 36 bentuk jurus serangan. Di
akhir pertunjukan, sambil berteriak lantang kedua kelompok itu mulai
bertempur, bersaing menunjukkan kebolehan masing-masing untuk saling
mengalahkan.
Di anrara tentara-tentara itu, wakil panglima
pasukan merah, Shu Kin tampak sangat menonjol. Tidak seorang pun
yang sanggup bertahan menghadapi kelihaian ilmu tombaknya.
"Shu
Kin! Penampilanmu hari ini hebat sekali. Kau pastilah giat berlatih
setiap hari," Ryou Chu Sho memuji Shu Kin dari kursinya yang
berwarna perak gemerlap. Kemudian dia melanjutkan, "Omong-omong, di
sini ada You Shi, mantan perwira kekaisaran yang diturunkan
jabatannya menjadi prajurit dan dikirim ke sini. Sekarang dia
menemaniku di belakang. Sebagai perwira pengawal kaisar, dia sangat
unggul dalam ilmu bela diri secara umum. Cobalah kau bertanding
dengannya di sini untuk memperlihatkan kebolehan jurus tombak
masing-masing."
"Maaf, Paduka," kata Shu Kin agak cemberut.
"Keterlaluan sekali kalau saya harus bertanding dengan prajurit
buangan."
"Jangan membantah," bentak Ryou Chu Sho dengan suara
agak meninggi. "Sekarang ini di mana-mana perampok merajalela dan di
perbatasan, bangsa Ryou dan bangsa Jo Shin sedang mengintip
kelengahan kita. Jadi, hari ini merupakan hari yang baik sekali
untuk mencari bibit unggul yang berguna bagi negara. Kalau dia
benar-benar memiliki keunggulan dalam ilmu bela diri, meskipun dia
hanya seorang prajurit, kita harus memanfaatkannya. Kalau tidak,
sama saja artinya dengan tidak setia kepada negara. Apa kau masih
tidak puas?"
"Maksud saya sama sekali tidak seperti itu,
Paduka!"
You Shi yang muncul di situ sejak lama sudah menyadari
bahwa dia sangat diperhatikan oleh Ryou Chu Sho. Dia sendiri sama
sekali tidak keberatan dengan perintah Ryou Chu Sho.
You Shi dan
Shu Kin diberi baju zirah warna hitam dan kuda hitam. Senjata yang
digunakan adalah tombak yang ujungnya dibalut dengan kain hingga
berbentuk bulat. Pada kain itu diberi banyak bubuk
kapur.
"Mulai!"
Di hadapan Ryou Chu Sho, sambil menunggang
kuda, mereka mulai saling beradu tombak. Karena bukan tombak asli
agak sulit untuk menilai kalah-menangnya, namun perbedaan kebolehan
di antara keduanya tampak jelas. Setelah beberapa saat bertanding,
pada kuda serta baju Shu Kin terlihat banyak bekas noda putih yang
menempel, sedangkan patia kuda maupui! itubuh You Shi tidak ada noda
putih setitik pun.
Tambur yang menandakan penentuan siapa yang
kalah dan menang pun ditabuh. 'I'iba-tiba komandan kavaleri yang
bernama Ri Sei maju ke depan dan menghadap ke tempat duduk sang
pemimpin.
"Tampaknya Shu Kin penasaran, Paduka. Dia ahli memanah.
Dengan demikian, sudilah kiranya Paduka mengizinkannya bertanding
sekali lagi dengan menggunakan busur."
"You Shi!
Bagaimana?"
"Baik, Paduka!"
Sekali lagi bendera biru
dikibar-kibarkan di atas podium komando. Tambur serta genta ditabuh
bertalu-talu. Kuda-kuda pun berlarian saling mengejar menuju arah
selatan di lapangan tempat latihan itu.
You Shi memacu kudanya.
Shu Kin melepaskan tiga anak panah, namun ketiga anak panah itu
dengan sigap ditepis You Shi menggunakan tameng yang ada di
tangannya.
Sekarang giliran You Shi yang mengejar. You Shi
menarik busurnya, namun dengan sengaja dia tidak mengincar bagian
yang vital dan hanya melepaskan panah ke arah pundak Shu Kin.
Tetapi, meskipun hanya pundak tentunya terasa sakit juga. Shu Kin
menjerit dan jatuh terguling dari atas kuda.
"Memang betul jurus
You Shi merupakan jurus bela diri kelas atas di pusat. Shu Kin
bukanlah tandingannya. Untuk semcntara, aku akan mcnyerahkan
kedudukan Shu Kin kepada You Shi, dan mulai hari ini dan seterusnya
kujadikan You Shi sebagai wakil panglima. Segera buat surat
pengangkatan dan berikan kepada You Shi!" perintah Ryou Chu
Sho.
Begitu Ryou Chu Sho selesai memberikan perintah, tiba-tiba
seorang laki-laki bertubuh besar meloncat ke luar
barisan.
"Kata-kata Paduka barusan tidak menggembirakan saya,
Saku Chou. Saya berkata begini bukan karena Shu Kin murid saya,
melainkan karena Paduka berkata bahwa jurus-jurus You Shi merupakan
jurus bela diri kelas atas di pusat. Dengan begitu, Paduka
seolah-olah berkata bahwa dari semua tentara yang ada di Hoku Kei,
tidak seorang pun yang memiliki kemampuan seperti You Shi. Jikalau
Paduka ingin memuji dia seperti itu, saya mohon agar dia bisa
mengalahkan saya dulu."
Ryou Chu Sho tertawa. "Aku kira siapa.
Ternyata Saku Chou, si Jenderal Garis Depan. Baiklah! Baiklah! Kalau
itu keinginanmu, bertandinglah!'
Situasi semakin memanas. You Shi
dan Saku Chou diperintahkan untuk mengenakan baju zirah yang kuat,
kemudian tempat bertanding dipindahkan ke dekat tempat duduk Ryou
Chu Sho. Ryou Chu Sho maju sampai mendekati pagar di panggung itu.
Saat itu di atas menara tujuh gerbang di Hoku Kei, matahari mulai
condong ke arah barat mendekati awan senja, sehingga para pendamping
menaungi pemimpin mereka itu dengan payung besar yang pinggirannya
dihiasi dengan indah.
Musik mars penanda dimulainya pertandingan
dibunyikan. Begitu musik berhenti, di belakang pagar di kedua sisi
lapangan terdengar genta dan tambur bertalu-talu. Di atas menara,
bendera kuning tanda persiapan dikibar-kibarkan.
Jauh dari sisi
lapangan kuda, bunyi meriam penanda bahaya berdentum, bergema di
langit sore. Di bawah bendera di gerbang sebelah barat terlihat sang
Jenderal Garis Depan Saku Chou, sedangkan di gerbang sebelah timur
terlihat si Iblis Muka Biru, You Shi. Masing-masing memakai baju
zirah dan topi perang yang garang. Mereka berdua terlihat sangat
bersemangat seolah-olah akan menuju medan perang. Mereka sating
mendekat.
"Hyaaaaa!"
Kedua kesatria berkuda itu segera saling
menempel, berputar-putar bagaikan ikan mas yang berenang.
Saku
Chou menunggang kuda putih dan memegang kapak berukir api berwarna
emas, sedangkan You Shi memegang sebilah tombak yang sangat tajam.
Mereka berdua memacu kuda mereka,
bcrputar-putar saling mengincar kelengahan lawan.
Pertandingannya
benar-benar indah. Wibawa serta kepiawaian mereka memainkan
jurus-jurus bela diri membuat para penonton berdecak lidah.
Berpuluh-puluh kali kemilau kapak beradu dengan kilatan tombak.
Meskipun kedua kuda yang mereka tunggangi sudah berkeringat, hasil
pertandingan belum juga bisa ditentukan. Penonton sama sekali tidak
bersuara, sementara matahari sore hari semakin condong ke ufuk
barat. Semangat kedua orang yang bertanding masih sangat tinggi.
Sampai-sampai terlihat seolah pertandingan ini tak akan berakhir.
Tanpa sadar Ryo Chu Sho pun sudah berdiri dari kursi peraknya dengan
antusias. Dia sangat puas. Dia merasa seakan-akan mendapatkan dua
pahlawan untuk wilayab kekuasaannya.
Seorang pembawa instruksi
berlari dari tempatnya. Kemudian terdengar bunyi tambur yang
menandakan bahwa pertandingan berakhir seri. Anak buah Saku Chou
berseru riuh-rendah seolah-olah menang perang, sedangkan di pihak
You Shi pekik gembira juga terdengar.
Kedua orang itu kini
berdiri berjajar di bawah panggung dan menerima hadiah yang sama.
Pada malam harinya, diadakan pesta besar-besaran sebagai acara
syukuran di puri. Pada saat itu, Ryou Chu Sho memberikan tugas
kepada Saku Chou dan You Shi.
"Mulai sekarang, Saku Chou dan You
Shi harus berjalan berdampingan mengemban tugas sebagai komandan
polisi milker."
Dalam kenyataannya kelanjutan nasib manusia
memang tidak bisa diketahui sebelumnya. Sejak saat itu, You Shi
menjadi orang yang sangat disukai Ryou Chu Sho. You Shi sendiri
merasa sangat berutang budi pada Ryou Chu Sho, sehingga You Shi
berniat mengabdikan diri dengan sepenuh hati kepadanya.
Musim
panas semakin dekat, suasana bulan ke-5 pun mulai terasa. Dan hari
itu adalah tanggal 5 bulan 5.
Setelah para tamu di hari yang
perlu disyukuri itu pulang, akhirnya Ryou Chu Sho bisa bersantai
berdua dengan istrinya, Sai, di kamar pribadi mereka. Kemudian
sambil menuangkan arak ke cangkir istrinya, dia berkata, "Kalau
terus-menerus disibukkan tugas berat seperti ini, aku jadi jarang
sekali dapat melihat wajahmu yang penuh senyum itu." Dia sengaja
mengatakan sesuatu yang bisa menggembirakan istrinya.
Dengan
wajah manja tetapi penuh keangkuhan ciri khas keluarganya, Nyonya
Sai berkata, "Tapi bukankah kedudukan terhormat serta kejayaan ini
sesuatu yang sangat diinginkan banyak orang? Tidak boleh
disia-siakan."
"Tentu tidak. Aku bukannya mengeluh. Justru aku
sangat berterima kasih kepada ayahmu, Menteri Sai, yang telah
mengangkatku seperti ini. Saat tidur pun aku tak pernah melupakan
kebaikan ayahmu."
"Nah, sebentar lagi kan ulang tahun ayahku. Apa
kau lupa?"
"Mana mungkin aku lupa. Ulang tahun beliau itu tanggal
15 bulan 7, bukan? Aku terus memikirkan cara agar tahun ini aku
tidak mengulangi kegagaJan seperti tahun lalu."
"Benar. Tahun
lalu kita memang sangat ceroboh. Padahal waktu itu kita mengirimkan
etnas permata yang sangat banyak ke Tou Kei untuk ulang tahun Ayah,
tapi di tengah jalan justru dirampok."
Seolah-olah menyaJahkan
kesembronoan suaminya, mata Nyonya Sai menyorot wajah Ryou Chu Sho
lebih tajam danpada sinar yang memancar dari giwang zamrudnya. Ryou
Chu Sho tidak berkata apa-apa lagi. Sejak awal tahun, dia sudah
kebingungan memikirkan masalah ini.
"Nah, suamiku, apa rencanamu
untuk tahun ini?"
"Untuk tahun ini aku sudah mendapatkan
barang-barang antik dan intan berlian senilai seratus ribu kan yang
kukumpulkan dari ibukota tua Hoku Kei ini. Semua barang itu telah
kusimpan di gudang, sebisa mungkin tanpa menarik
perhatian."
"Bukan itu yang kumaksud. Maksudku, bagaimana cara
agar semua pusaka yang begitu berharga itu sampai ke tangan Ayah di
Tou Kei dcngan sclamat? Bukankah itu jauh Icbih penting?"
"Kita
membutuhkan orang-orang khusus. Kita harus memilih orang yang dapat
dipcrcaya sckaligus pemberani, orang yang tak mungkin kalah
menghadapi perampok terkuat sekalipun."
"Apakah di antara seratus
ribu tentara di Hoku Kei ini tidak ada orang cocok untuk kebutuhan
itu?"
"Hmm, tidak ada...," kata Ryou Chu Sho, tetapi dia segera
batal melanjutkan kata-katanya. "Orang-orang yang berani memang ada.
Ahli ilmu bela diri juga tidak sedikit. Tapi coba kaupikir. Seratus
ribu kan itu harta yang sangat banyak. Meskipun seluruh tabunganku
kugabungkan, secara pribadi aku tidak mungkin dapat mengirimkan
barang-barang berharga sejumlah itu kepada ayahmu di ibukota. Aku
tidak mungkin menyampaikan hal ini kepada orang yang kuat tetapi
hatinya jahat. Tidak bisa pula menyuruhnya mengirimkan barang-barang
itu sebagai utusanku. Karena itu, untuk memilih orang yang kita
butuhkan itu, aku harus sangat berhati-hati."
"Betul juga. Kalau
dipikir-pikir, mungkin tidak ada orang yang bisa kita mintai
bantuan. Tapi untuk tahun mi, kau pasti akan merasa sangat bersalah
jika Ayah sampai mendapatkan kegembiraan kosong lagi."
"Tunggulah
dulu. Masih ada waktu beberapa puluh hari lagi. Lagi pula, di dalam
kepalaku bukannya tidak ada calon yang kupikirkan sama sekali.
Tetapi aku masih menimbang-nimbang apakah orang itu betul-betul
dapat dipercaya atau tidak. Kita lihat saja nanti."
Yang ada
dalam pikiran Ryou Chu Sho sebagai calon untuk tugas itu hanya satu.
Tidak lain dan tidak bukan adalah You Shi, si Iblis Muka
Biru.
BARU-BARU ini di Kabupaten Un Jo wilayah
Provinsi Sai, daerah San Tou, ada bupati baru yang datang untuk
bertugas.
Dia bermarga Ji dan namanya Bun Bin. Reputasinya di
antara penduduk kabupaten sangat baik. Meski kondisi raasyarakat
sekarang amat buruk, di antara pejabat yang sangat banyak jumlahnya
masih ada pejabat yang baik. Bun Bin adalah pejabat yang sangat
bijaksana dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Di
waktu senggang, dia sangat gemar mengurus bunga anggrek serta
memainkan kecapi. Dia juga suka membaca buku.
"Setelah datang ke
tempat ini, aku belum melakukan pekerjaan yang bisa dilihat baik,
namun sebagai pcrmulaan, aku ingin menjadikan wilayah ini aman dan
tenteram."
Suatu hari, dia menempelkan slogan keamanan rakyat
pada dinding balairung kantor kabupaten. Lalu kepada semua pejabat
yang berkumpul di halaman kantor dia berkata, "Hingga saat ini, di
mana pun aku bertugas sebagai pejabat, aku tahu betapa sulitnya
membuat rakyat merasa tenang, juga sulitnya bersatu dengan rakyat
dalam suasana yang menyenangkan. Terutama wilayah ini, kukira sangat
sulit untuk diamankan. Mengapa begitu? Karena di wilayah ini ada
sarang penyamun yang disebut Ryou Zan Paku. Tempat itu dikelilingi
perairan. Jalan-jalan di tempat itu rusak parah dan penduduknya
bertabiat kasar. Selain itu, aku sering mendengar bahwa para pejabat
tidak ada yang dapat menunjukkan prestasi dalam menumpas para
penjahat ini, sehingga mereka dianggap tidak mampu. Pada gilirannya,
mereka pun dipandang sebelah mata baik oleh rakyat maupun oleh para
penyamun itu."
Semua pejabat terdiam. Mereka merasa malu, meski
ada pula yang tidak senang mendengar sindiran itu. Dengan wajah
memerah serta telinga tegak, dua laki-laki bertubuh besar bangkit
berdiri.
Keduanya adalah kepala pecugas keamanan. Dengan kara
lain, mereka kepala pasukan yang bertugas menangkap para perampok
atau penyamun.
Salah satu dari mereka adalah kepala kavaleri
bernama Shu Dou. Karena memiliki janggut seperti tokoh Kan U, dia
dijuluki si Janggut Indah.
Sementara yang satu lagi, si kepala
brigadir infantri, juga berbadan besar dan tingginya lebih dari dua
meter. Selain memiliki kekuatan tangan yang melebihi orang
kebanyakan, dia juga sangat lihai dalam melompati tembok dan sungai
kecil. Oleh karena itu, dia dijuluki si Harimau Bersayap. Namanya
sendiri Rai Ou.
Tatkala sang bupati memulai memberikan nasihat
dan instruksi pun, kedua orang ini menunjukkan sikap menentang.
Menyadari hal itu, Bun Bin dengan senyum terulas di bibir
mengalihkan pembicaraan.
"Untuk yang sudah terjadi, apa boleh
buat. Tapi untuk ke depannya, kita harus bekerja sama dalam
mengamankan daerah kita ini. Untuk itu, aku menginstruksikan kedua
kepala pasukan Rai Ou dan Shu Dou...."
Kedua orang itu langsung
menegakkan tubuh. Kumima kalian membawa anak buah kalian, satu
kelompok berpatroli di desa-desa mulai dari gerbang sebelah barat,
dan yang satu kelompok lagi dari gerbang sebelah timur. Jika ada
penyamun atau perampok, segera tangkap mereka. Jika ada rakyat yang
mengalami kesusahan, segera tolong mereka. Lalu kedua pasukan bisa
bertemu di gunung yang ada di Desa Tou Kei, dan saat itu silakan
kalian bertukar informasi."
"Siap! Kalau begitu, kami segera
berangkat!"
"Tunggu! Mereka bilang di puncak gunung di Desa Tou
Kei itu terdapat pohon langka yang terkenal dengan daunnya yang
berwarna-warni. Tak ada pohon lain yang daunnya seperti itu. Sebagai
tanda bahwa kalian telah melaksanakan patroli dengan benar, bawalah
daun berwarna itu ke sini. Mengerti? Kalau gagal melaksanakannya,
kalian akan dihukum."
Rupanya bupati baru Bun Bin ini sangat
fleksibel, bisa bersikap keras, bisa pula lunak.
Sore itu juga,
Shu Dou berangkat dari gerbang barat, tetapi kita simpan dulu
tindak-tanduk Shu Dou. Sekarang mari kita lihat gerak-gerik Rai
Ou.
Dengan membawa dua puluh lebih anak buahnya, Rai Ou
meninggalkan gerbang timur dan mulai berpatroli di desa-desa.
Keesokan harinya, dengan melalui jalan kabupaten dia menuju Gunung
Tou Kei sebagaimana yang diinstruksikan bupati baru. Kini dia
berdiri di bawah pohon besar daun berwarna itu. Tak lama kemudian,
pasukan Shu Dou juga datang. Setelah bertukar informasi, tiba-tiba
mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
"Sungguh merepotkan. Justru
di saat seperti ini, kita malah tak menemukan pencuri kelas teri
sekalipun.
Seolah-olah kita berpatroli demi mendapatkan daun
warna pohon ini saja."
Saat mereka pulang, hari sudah malam.
Masing-masing berjalan mengikuti jalur yang berbalikan dari semula.
Mereka menuruni gunung dengan obor di tangan
masing-masing.
Ketika kelompok yang dipimpin Rai Ou tiba di
pinggir makam pahlawan, mereka melihat pintu masuknya terbuka sangat
lebar bagaikan mulut siluman.
"Aneh sekali. Padahal di sini tidak
ada penjaga makam."
Rai Ou berhenti melangkah. Nalurinya yang
sudah tertempa bertahun-tahun mencium sesuatu yang
mencurigakan.
"Hei! Coba kalian bawa obor dan masuk ke sana.
Hanya untuk memastikan."
Dengan aba-aba Rai Ou, anak buahnya
berlompatan memasuki makam itu. Di dalam ruangan makam, di atas meja
sesajen, tampak seorang laki-laki bertubuh besar dalam keadaan
telanjang. Lelaki itu tidur lelap sambil mendengkur keras
berbantalkan gulungan bajunya, seolah-olah kegelapan yang dipenuhi
sarang laba-laba di situ adalah surganya.
Wah! Dia tertidur
dengan wajah yang kelihatan tenang sekali. Sedikit pun tidak merasa
terganggu," kata anggota pasukan heran.
Bulu kaki dan dadanya
sangat lebat, kulitnya hitam legam. Kakinya yang terbiasa berjalan
tanpa alas kaki tampak seperti kulit gajah. Wajahnya dipenuhi
tembong merah, sedangkan alisnya sulit dilihat masih ada atau tidak.
Dia tertidur begitu nyenyak sampai-sampai tidak merasakan air
liurnya menetes dari bibirnya yang tebal.
"Aha! Rupanya dia
seorang gelandangan. Kalau kuinterogasi, tentu ada yang dia
sembunyikan. Lagi pula, mana mungkin aku pulang hanya dengan membawa
daun berwarna ini," gumam Rai Ou. Begitu selesai bergumam, Rai Ou
segera menendang meja itu sampai terbalik bersama tubuh si
laki-laki.
"Ikat dia! Jangan biarkan dia bicara apa pun!" katanya
menyuruh anak buahnya.
Tentu saja pemuda bertembong merah itu
berteriak-teriak dan berusaha melawan.Tetapi mengingat lawannya dua
puluh orang, upayanya sia-sia saja. Bagai babi hutan yang terluka,
dia diseret ke kaki Gunung Tou Kei. Di kaki gunung terdapat dua
perkampungan, yaitu Desa Sei Kei dan Desa Tou Kei. Keduanya dibatasi
sejalur sungai.
Dahulu kala, konon hantu sering muncul di Desa
Sei Kei, bahkan pada siang hari. Dalam kenyataannya, di lubuk sungai
itu tanpa alasan jelas ada saja orang, baik perempuan maupun
laki-laki, yang mati tenggelam. Terkadang sapi atau kuda masuk ke
sungai seolah-olah .ida vang menyeret. Di lubuk itu memang sering
terjadi pcristiwa aneh.
Suatu ketika, seorang pendeta musafir
datang dan mengatakan, "Biar saya yang meredam roh-roh gentayangan
di sini dan mendoakannya."
Lalu dia menyuruh orang-orang mengukir
doa sutra pada lempengan batu hijau dan melakukan doa pengusiran
roh-roh gentayangan.
Setelah itu, Desa Sei Kei menjadi aman
tenteram. Semua roh dari Desa Sei Kei melarikan diri ke Desa Tou
Kei. Demikianlah berita yang menyebar.
Penghulu Desa Tou Kei,
Chou Gai, marah mendengar berita ini. "Berapa pun hantu yang mau
dacang, silakan saja, tapi selama menjadi penghulu di sini, aku tak
akan tinggal diam kalau mereka mau menggangguku. Hei, warga Desa Sei
Kei, tunggu saja kejutan dariku besok pagi."
Di tengah malam
sendirian, Chou Gai menyeberangi sungai, lalu pulang sambil memikul
batu penangkal roh dari Desa Sei Kei. Lalu dengan santai dia
meletakkan batu itu di tempat yang berpemandangan bagus di Desa Tou
Kei.
Sejak itu, penghulu Desa Tou Kei ini dijuluki Raja Langit
Pemikul Batu Monumen. Julukan ini kemudian jauh lebih terkenal
daripada namanya sendiri.
Saat itu dini hari, tepatnya sebelum
subuh menjelang.
"Hei! Bangunlah! Dari tadi ada yang menggedor
pintu gerbang. Dasar kalian semua tukang tidur!"
Meskipun sejak
tadi berteriak-teriak, Chou Gai sendirilah akhirnya yang keluar dari
kamar tidurnya dan menghampiri pintu gerbang.
"Hei! Ribut sekali.
Siapa sih yang datang di waktu seperti ini?"
Ketika gerbang
dibuka, tampak bayangan hitam yang cukup banyak. Dengan bantuan
sinar obor, dia melihat laki-laki bertubuh besar yang terikat, juga
wajah yang sudah dikenalnya, Rai Ou.
"Astaga! Saya kira siapa.
Ternyata kepala polisi dari kabupaten. Ada apa
gerangan?"
"Saudara Chou Gai, maafkan saya membawa orang begini
banyak. Saya ingin memberi sarapan kepada anak buah saya. Jadi bila
tidak keberatan, bolehkah kami untuk sementara, meminjam satu
ruangan di tempat Anda."
"Itu soal mudah. Apakah Anda menangkap
penjahat kelas kakap?"
"Tidak juga, tidak sebesar itu. Tadi di
dalam ruang makam ada laki-laki mencurigakan yang sedang tidur, maka
saya tangkap dan ikat dia. Sekarang kami sedang dalam perjalanan
pulang ke kabupaten. Karena tempat itu berada di desa ini, rasanya
kurang baik kalau saya tidak mampir dulu ke tempat
Anda."
"WahlTidak usah merasabegitu. Silakan masuk. Saya akan
segera mcnyuruh pegawai di sini mempersiapkan sarapan."
Tak lama
kcmudian rumah penghulu menjadi ramai. Karena tamu mcreka adalah
pejabat kabupaten, maka cidaklah bisa dilayani seadanya. Tentu saja
selain arak dan makanan, mereka juga menyediakan air hangat untuk
mandi.
Di sela-sela waktu itu, Chou Gai mengintip ke dalam
ruangan gelap di antara rumah-rumah yang ada di dekat gerbang.
Sebagai penghulu kampung, mungkin dia merasa berkewajiban melihat
laki-laki yang dalam keadaan terikat itu.
Di ruangan itu tampak
seorang laki-laki muda berkulit sawo matang dengan luka di
sana-sini. Dia sedang berdiri dengan ujung kaki karena kedua
tangannya digantung pada balok kayu di bawah atap. Seluruh wajahnya
yang bertembong merah, yang mungkin bekas luka bakar,
berkedut-kedut, dan dia menahan rasa sakit dengan merapatkan
gigi.
"Rasanya aku belum pernah melihatmu di kampung ini. Hei!
Dari mana asalmu?" tanya Chou Gai.
"Saya datang dari jauh. Saya
datang ke sini dengan tujuan bertemu seseorang. Entah mengapa dan
tanpa alasan, mendadak saya diikat seperti ini," jawab pemuda itu
sambil mengerang kesakitan.
"Jangan merengek seperti itu. Siapa
sebenarnya yang akan kautemui itu?"
"Raja Langit Pemikul Batu
Monumen dari Desa Tou Kei."
"Apa? Memang ada perlu apa?"
"Saya
tidak bisa mengatakannya. Tapi katanya, Saudara Chou Gai itu
penghulu desa. Pak, apa nama desa ini?"
"Ini Desa Tou Kei. Dan
akulah Chou Gai."
"Oh! Jadi Bapaklah Chou Gai itu. Kalau begitu,
tolong dengarkan. Saya ini kelahiran ProvinsiTou Ro."
"Ada yang
datang. Cepat katakan apa yang sebenarnya ingin
kausampaikan!"
"Begini. Menurut berita yang saya dengar, ada
sesuatu yang bisa memberikan keuntungan sangat besar, karena itu
saya datang ke sini untuk memberitahukannya kepada Bapak. Karena
saya pikir Bapak adalah orang yang bisa diajak bicara."
"Baiklah.
Ceritamu akan kudengarkan nanti."
"Bagaimana bisa nanti kalau
saya menjadi tahanan seperti ini?"
"Aku akan menolongmu. Kau
mengaku saja sebagai keponakanku. Karangiah cerita bahwa kau telah
meninggalkan desa ini ketika berusia lima atau enam tahun. Lalu
berdasarkan kabar angin tentang diriku, kau datang ke sini untuk
mengunjungiku. Mengerti?
Ceritamu harus cocok dengan ceritaku.
Akan kubuat suatu kondisi agar aku dapat bicara
denganmu."
Seolah-olah tidak terjadi apa-apa, Chou Gai pergi ke
tempat Rai Ou beristirahat.
"Sepertinya Anda sudah mau berangkat
lagi," dia menyapa Rai Ou.
"Oh! Saudara Chou Gai. Maaf kami sudah
merepotkan Anda dengan kedatangan kami yang tidak memilah waktu.
Karena tampaknya hari mulai terang, kami bermaksud berangkat
lagi."
"Wah! Padahal tentunya Anda masih kelelahan. Apabila ada
kesempatan lagi datang ke daerah ini, janganlah sungkan-sungkan
mampir ke tempat saya."
Di gerbang, anak buah Rai Ou sudah
bersiap dengan peralatan mereka, seperti tombak, tongkat, tombak
bercagak, dan sebagainya. Dengan gagah, Rai Ou pun pergi menuju
gerbang.
Seolah-olah mau mengantar, Chou Gai mengikuti dari
belakang, dan dilihatnya pemuda yang dalam keadaan terikat itu
diseret dari ruangan dekat gerbang.
"Astaga! Laki-laki itu besar
sekali," katanya seraya pura-pura membelalakkan mata.
Pada saat
itu, sepertinya sudah paham akan maksud Chou Gai, si pemuda yang
terikat mendadak berteriak-teriak.
"Ah! Paman! Paman! Tolonglah
saya!" "Ap... apa?"
Chou Gai sengaja menunjukkan wajah heran, dan
selama beberapa saat dia menatap wajah pemuda itu.
"Hei! Bukankah
kau Ou Shou San?"
"Betul, Paman! Ah! Ternyata Paman masih ingat
padaku."
Para penangkapnya terperangah. Terutama Rai
Ou.
"Astaga! Jadi laki-laki ini keponakan Anda? Gelandangan
seperti ini..."
"Mohon beribu maaf. Betul-betul memalukan. Dia
anak kakak perempuan saya. Ketika anak ini masih berusia lima atau
enam tahun, kakak saya dan suaminya kabur ke Nan Kei, dan sejak itu
tidak ada kabar sedikit pun dari mereka. Setelah itu, karena Shou
San ini sangat nakal, dia mengalami luka bakar di kepalanya. Lalu
ketika remaja, dia kembali ke kampung ini bersama ibu dan bapaknya.
Tapi karena pengaruh kehidupan kota, si Tembong Merah ini jadi
pemalas, karena itu dia pergi lagi meninggalkan tempat ini. Sejak
itu, tampaknya kakak saya dan suaminya itu mengalami nasib buruk
secara beruntun. Sementara anaknya yang bertembong merah ini, saya
dengar ikut-ikutan menjadi berandalan di kota dan tidak mau berbakti
pada orangtuanya. Saya tidak menyangka kalau dialah yang ditangkap
oleh Saudara Rai Ou."
"Hmm. Ada juga kejadian di luar
dugaan."
Dengan tajam Chou Gai memelototi keponakan
palsunya.
"Hei, Shou San! Kenapa kau melakukan kejahatan di
kampungmu sendiri?"
"Tidak, Paman. Karena lapar dan tidak ada
tempat berraalam, saya tidur di ruang makam. Cuma itu."
"Kalau
tidak melakukan kejahatan, mengapa kau
ditangkap?"
"Saya tidak
tahu. Seperti mimpi saja. Ketika sadar, saya sudah dalam keadaan
terikat."
"Jangan bohong!
Dengan berpura-pura marah besar,
Chou Gai mengambil tongkat salah seorang prajurit, lalu memukul
pundak pemuda itu dua-tiga kali.
"Hei! Katakan yang
sebenarnya!"
"Mau bilang apa lagi, Paman? Memang begitu adanya.
Sepetti yang Paman bilang, saya bukan anak yang berbakti kepada
orangtua, dan saya mengunjungi Paman dengan perut kosong untuk
memohon agar sifat buruk saya bisa diluruskan oleh Paman. Saya tidak
melakukan pencurian sekecil apa pun. Saya mengira pagi ini saya
sudah bisa mencapai rumah Paman."
"Kau mau membuatku merasa iba
ya? Mana mungkin aku terpancing siasatmu!"
Ketika Chou Gai
mengangkat lagi tongkatnya, Rai Ou buru-buru menghentikannya. Dia
bukannya bersimpati kepada Sho San. Tetapi dia sendiri menangkap Sho
San berdasarkan kecurigaan semata. Dia pun berusaha meredam
kemarahan Chou Gai.
Kepada anak buahnya dia memerintah, "Karena
dia keponakan Saudara Chou Gai, kita tidak usah menginterogasinya
lagi. Cepat buka ikatannya!"
"Huh! Nasibmu mujur sekali. Sho San!
Jangan kaulupakan budi baik Saudara Rai Ou!" kata Chou Gai. Kemudian
dia berkata kepada Rai Ou, "Maaf beribu maaf. Saya merasa
seolah-olah sudah membuat tugas Anda menjadi sia-sia. Sekarang,
bagaimana kalau sebelum berangkat, Anda mencuci mulut sekali lagi di
sebelah sana?"
Dengan agak memaksa, dia mulai lagi melayani Rai
Ou, lalu secara sembunyi-sembunyi, memberikan beberapa uang perak
kepadanya. Kepada anak buah Rai Ou, dia juga memberikan
bermacam-macam batang. Tampaknya rencananya berjalan lancar dan tak
lama kemudian, pasukan Rai Ou pun meninggalkan gerbang
kediamannya.
Selanjutnya, mari kita lihat apa yang terjadi di
dalam rumah si penghulu. Gelandangan tadi, setelah mengenakan
pakaian dan tutup kepala baru serta diberikan sarapan, tampak mulai
segar kembali. Di depan Chou Gai dia mulai menceritakan
asal-usulnya.
"Sebenarnya, scjak awal memang saya seorang
penganggur yang lahir di Provinsi Tou Ro. Marga saya Ryu, sedangkan
nama saya Tou. Itulah nama yang diberikan orangtua saya yang tidak
pernah saya lihat karena mereka sudah meninggal ketika saya lahir.
Karena wajah saya yang merah, orang-orang menjuluki saya si Kuda
Merah atau si Setan Rambut Merah. Untuk ke depan, saya berharap
Bapak bisa terus mengenal saya," demikian secara resmi dia
memperkenalkan diri.
"Sudah lama saya mcndengar nama Bapak yang
tersohor, dan saya ingin bisa berkenalan dengan Bapak. Beberapa
waktu lalu, saya mendengar kabar angin yang sepertinya akan
menguntungkan dari teman-teman saya yang bekerja sebagai pedagang
gelap di San Tou dan Ka Hoku. Saya kemudian berpikir, tidak ada
orang yang tepat untuk diajak membicarakan hal besar semacam ini
selain Raja Langit Pemikul Batu Monumen, Bapak Chou Gai. Karena itu
saya datang ke tempat ini."
"Aku mengerti. Tapi apa sebenarnya
yang kaumaksud dengan kabar angin yang menguntungkan itu?"
"Apa
saya boleh mengatakannya di sini?"
"Tunggu sebentar." Chou Gai
berdiri, lalu mengunci pintu dan menurunkan kerai jendela. "Nah,
sekarang kau bisa bercerita dengan aman."
"Sebenarnya begini.
Dalam waktu dekat, pembesar dari Hoku Kei, Ryou Chu Sho, akan
mengirimkan emas perak, intan berlian, serta benda-benda antik
senilai seratus ribu kan ke Kai Hou Tou Kei secara diam-diam.
Tentunya Bapak tidak tahu akan hal ini."
Benar. Aku memang tidak
tahu. Tujuannya untuk apa?"
"Benda-benda itu akan dikirimkan
kepada Menteri Sai yang kini menempati kedudukan paling tinggi di
antara menteri-menteri di Kekaisaran Sou, sebagai hadiah ulang
tahunnya. Menteri Sai sendiri adalah ayah istri Ryou Chu
Sho."
"Oh. Jadi dengan kata lain, itu uang suap besar yang selalu
dilakukan antarpejabat pemerintah secara terang-terangan,
begitu?"
"Pasti begitu. Tentunya hadiah itu kekayaan yang mereka
kumpulkan dengan cara memeras keringat dan air mata rakyat kecil
dengan semena-mena. Saya pikir jika kita mengambil benda-benda
kiriman itu, tentunya para dewa pun tidak akan menganggap kita orang
jahat."
"Kudengar tahun lalu mereka juga dirampok di tengah
perjalanan."
"Karena itu, sayang kalau harta tersebut diambil
orang lain. Menurut kabar yang saya dengar, Raja Langit Pemikul Batu
Monumen adalah laki-laki yang sangat gagah, lihai dalam seni bela
diri tombak dan tongkat, dan sangat menentang
kebatilan."
"Sudahlah! Aku tidak akan terpancing
sanjungan."
"Maaf. Saya tidak berniat seperti itu. Yang saya mau
tekankan di sini adalah, meskipun dia panglima besar tentara Hoku
Kei, kalau setiap tahun dia memberikan upeti senilai seratus ribu
kan kepada mertuanya dalam kondisi masyarakat seperti sekarang ini,
berarti dia betul-betul penjahat besar. Saya jadi ingin mencoba
merebut harta itu. Bagaimana menurut pendapat Bapak?"
"Mereka
sudah mengalami kegagalan tahun lalu. Tentunya tahun ini mereka
tidak akan mengirimkan hadiah dengan pengawal-pengawal biasa yang
mudah dirampok, bukan?"
"Tidak usah khawatir. Biar begini, saya
juga memiliki kebolehan. Apalagi kalau Raja Langit Pemikul Batu
Monumen mau ikut serta."
"Ini memang berita bagus. Semangatku
jadi terbangkitkan."
"Oleh karena itu, berita menguntungkan ini
saya serahkan kepada Bapak."
"Hmm. Mari kita pikirkan dulu
baik-baik. Sebaiknya kau minum arak dulu di ruang tamu dan
beristirahatlah. Aku akan memikirkan dulu rencana bagaimana yang
sebaiknya kita lakukan. Setelah itu, baru kita tundingkan
lagi."
Tanpa bicata lagi, Ryu Tou pergi ke ruang tamu dan
sendirian menenggak arak yang disuguhkan. Tetapi dia tidak merasa
puas. Jawaban tidak tegas Chou Gai membuatnya
penasaran.
"Tentunya dia mengira aku ini cuma berandalan biasa.
Dipikirnya aku tidak cukup berharga untuk diajak
berunding."
Karena berpikir seperti itu, timbullah kemarahan di
hatmya. Pengaruh arak yang dia minum pun menambah kekesalannya.
Ketika memandang ke luar jendela, dia melihat seeker kuda tak
berpelana tertambat di gerbang belakang. Entah apa yang dipikirkan
Ryu Tou.
"Baiklah!" dia bergumam sendiri. Lalu dia mengambil
sebilah pedang panjang dari tempat penyimpanan tombak di
dinding.
"Tentunya Inspektur Polisi Rai Ou belum jauh. Semua
berawal dari dia. Gara-gara dia, aku diikat sampai harus
memelas-melas minta dikasihani. Pastinya karena itu, Chou Gai
melihatku sebagai laki-laki menyedihkan. Aku akan mengejar Rai Ou
dan kalau aku berhasil mendapat surat permintaan maaf darinya, atau
memotong sebelah lengannya dan memperlihatkannya kepada Chou Gai,
tentunya pandangan Chou Gai terhadapku akan berubah."
Entah
datang dari mana kepercayaan dirinya, si Setan Rambut Merah meloncat
dari jendela, menaiki kuda yang ada di gerbang belakang rumah si
penghulu itu, lalu berderap bagai anak panah di jalan kabupaten.
Pada saat itu matahari sudah meninggi, membuat embun di dedaunan
yang ada di padang rumput mengering. Di dahan pohon. burung-burung
berkicau. Kabut tipis mengambang nun jauh di pegunungan. Sungguh
pemandangan yang indah. Kalau saja di bumi ini tidak terjadi
peperangan antarmanusia dan pemerintahan Dinasti Sou tidak sebusuk
sekarang, dunia ini bakal terasa bagai
surga.
PASUKAN inspeksi berjalan santai di jalan
kabupaten, karena mereka memang tidak perlu tergesa-gesa.
Setelah
mendapat jamuan arak di pagi hari pada saat mereka kelaparan,
langkah Rai Ou dan anak buahnya menjadi lebih ringan. Lalu jika
jembatan batu yang ada di sebelah sana sudah terlewati, mereka akan
tiba di perbatasan dengan desa lain. "Hei! Rai Ou!
Tunggu!"
Tiba-tiba saja dari belakang mereka terdengar teriakan
yang membuat mereka kaget. Ketika dilihat, ternyata si Tembong
Merah. Dia meloncat turun dari kuda tak berpelana itu lalu
menambatkannya ke pohon dedalu. Kemudian dia
mendekat sambil men nyabetkan pedang panjangnya.
"Hei! Kau
keponakan penghuiu yang dibebaskan, bukan? Mau apa kau mengejarku?
Rai Ou.
"Aku datang untuk minta surat pernyataan. kau tulis
sekarang juga. Tulis surat permintaan yang bunyinya 'Minta maaf atas
kesalahan yang telah dilakukan, menangkap orang dengan seenaknya
padahal orang itu tidak mempunyai kesalahan.' Begitu. Lalu segera
serahkan kepadaku."
"Enak saja. Kau lupa dengan kebaikan kami,
ya?"
"Kebaikan apa? Kau menerima suap beberapa lembar uang perak
dari pamanku, kan? Payah. Sekarang kau tulis saja surat permintaan
maafmu dan berikan padaku. Kalau tidak, akan kupotong sebelah
lenganmu dan kubawa pulang"
"Lancang benar kau ini!" kata Rai Ou
sangat marah. "Kau kumaafkan karena kau keponakan Saudara Chou Gai,
tapi kau malah bertingkah!"
"Memang! Kau pikir aku ini siapa?
Sewaktu di makam aku tidak bisa melawan karena sedang tidur. Tapi
sekarang lain. Rasakan pembalasanku atas perbuatanmu semalam, Rai
Ou!"
Pedang panjang Ryu Tou menyarnbar dengan sangat cepat. Rai
Ou tidak akan sempat mengelak, karena itulah dia mencabut pedang
tentara di pinggangnya dan menyambut sambaran itu dengan pedangnya.
Kedua pedang beradu berpuluh-puluh kali dan setiap kali beradu,
timbul percikan api.
Anak buah Rai Ou yang berada di sekeliling
mereka sedikit pun tidak mendapat kesempatan untuk membantu pemimpin
mereka.
"Anak ingusan seperti ini, cukup aku sendiri yang
menghajarnya. Kalian menonton saja. Jangan sekali-kali memberikan
bantuan," sesumbar Rai Ou kepada anak buahnya sambil terus
bertarung.
Tetapi apakah hasilnya akan sesuai dengan apa yang
diucapkannya atau tidak, sama sekali belum kelihatan. Dalam jurus
pedang Rai Ou terlihat unsur-unsur burung phoenix, sedangkan pada
jurus pedang si Setan Rambut Merah terlihat jurus kepakan burung
elang. Pada saat bayangan si Setan Rambut Merah berputar-putar
bagaikan angin beliung, sosok Rai Ou melayang ke atasnya dengan
kecepatan sangat tinggi. Masing-masing memiliki aliran dan jurus
bela diri yang tinggi. Mereka terus mengadu jurus-jurus rahasia
mereka sehingga tidak bisa diketahui kapan pertarungan itu akan
berakhir.
Tetapi tampaknya anak buah Rai Ou sudah mulai tidak
sabar.
"Wah! Pemimpin kita dalam bahaya!" teriak salah seorang
dari mereka.
Bersamaan dengan itu, mereka
mulai bergerak untuk memberikan bantuan.
Tepat saat itu,
dan pintu pagar anyam kayu di-depan sebuah rumah yang sangat tenang
dan dipenu pepohonan hijau, muncul seseorang yang berlari cepat
bagaikan bangau.
"Kalian berdua! Tunggu!" seru orang itu. Dia
menyelinap ke antara mereka berdua sambil memegang rantai yang
ujungnya berbandul. "Sarungkanlah pedang kalian. Aku tidak tahu apa
alasan kalian bertarung, tapi aku tidak bisa tinggal diam dan hanya
menonton jika pertarungannya dilakukan di depan rumahku. Mari kita
bicarakan permasalahannya."
Dia berkata dengan sangat tenang dan
kata-katanya disertai tawa lepas. Tanpa sadar, baik Rai Ou maupun
Ryu Tou menarik pedang masing-masing, lalu menoleh pada orang itu.
Inilah dia guru Kuil di kampung, guru yang memiliki berjuta
pengetahuan dan sebenarnya kurang tepat berada di kampung. Dia
bernama Go You, nama Buddha-nya Ka Ryou dan julukannya adalah si
Cendekiawan. Singkatnya dia sering dipanggil Cendekiawan Go atau
Guru Go You.
Dia memakai baju katun berkeliman hitam serta topi
pelajar. Walaupun janggutnya sudah panjang, dia bukan orang tua yang
bungkuk. Kulitnya yang putih bersih serta bibirnya yang merah
menunjukkan semangat muda. Di dasar matanya yang sangat tenang,
tersembunyi sifat banyak akal khas Cendekiawan. Cendekiawan Go
berasal dari keluarga yang secara turun-temurun terkenal di tempat
itu. Menurut kabar yang beredar di masyarakat, keluarga ini sudah
menulis buku berpuluh-puluh ribu jilid, unggul dalam siasat
peperangan. Pengetahuan yang mereka miliki mendekati Sho Katsu Kou
Mei, dan bakat mereka bisa dikatakan sejajar dengan Chin Pei.
Selain itu, berkat keluarga
tersebut,
lagu anak-anak tidak
pernah hilang dari masyarakat. Penduduk
menjadi begitu suka membaca buku sampai-sampai di
padang rumput pun dapat terdengar suara orang yang
membaca buku. Demikianlah pujian yang diberikan kepada keluarga
Cendekiawan Go.
"Tolong minggir, Guru Kuil! Kalau tidak, Anda
bisa terluka."
Dengan napas tersengal Ryu Tou berteriak. Tentu
saja Rai Ou juga tidak tinggal diam. Sebagai petugas pemerintah, dia
juga tidak mau kalah gertak.
"Cendekiawan, biarkan saja kami.
Saya tidak bisa membiarkan begitu saja kelancangannya."
"Apakah
dia pencuri?"
"Bukan! Dia bilang, dia kcponakan penghulu."
Ryu
Tou juga berteriak, "Aku bukan pencuri, tapi dia mengikatku
seolah-olah aku seorang pencuri. Betul-betul kepala petugas yang
tolol."
"Jangan banyak bicara!"
"Sampai kapan pun aku akan
terus minta surat permintaan maaf"
"Kau! Apa kau mau diikat
lagi?"
Kedua orang itu pun menjejakkan kaki hendak bertarung
lagi, tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar suara Chou Gai, "Hei,
tolol! Kau sedang apa di sini?"
Chou Gai muncul dengan napas
tersengal. Dia melompat turun dari atas kudanya dan segera
memposisikan diri di tengah-tengah kedua orang itu. Pertama-tama dia
meminta maaf kepada Rai Ou.
"Maaf beribu maaf. Anak ini memang
sangat sulit diatur. Tentunya Anda kesal sekali, namun saya harap
Anda mau memaafkannya."
Dia memukul pundak Ryu Tou. "Hei,
pemabuk! Baru saja kutinggal sebentar, kau langsung minum arak. Aku
tidak mengerti apa yang ada di pikiranmu sampai mengejar-ngejar Tuan
Rai Ou!"
Lalu dengan cepat dia merebut pedang yang ada di tangan
Ryu Tou dan berniat memukul Ryu Tou dengan punggung
pedang.
Melihat itu, Cendekiawan Go kaget, lalu mencoba
menghalanginya.
"Bapak tidak usah marah seperti itu. Menurut yang
saya dengar tadi, ternyata dia cuma mau balas dendam karena
kesalahpahaman kecil. Apalagi kalau dia dalam pengaruh arak, Anda
harus memaafkannya. Tuan Rai Ou juga, tentunya sulit untuk
memaafkannya karena tugas, tetapi untuk kali ini, dengan melihat
Saudara Chou Gai dan saya sendiri, tolong maafkanlah dia."
Dengan
permintaan maaf dari kedua orang ini, Rai Ou tidak bisa menolak
lagi. Dia segera mengumpulkan anak buahnya dan berlalu. Sementara
Ryu Tou, setelah disuruh pergi oleh Chou Gai, menaiki kuda tak
berpelananya, dan sambil tersenyum nakal kembali ke tempat Chou
Gai.
Kini tinggal Go You dan Chou Gai saja. "Astaga. Hari ini
saya melihat sesuatu yang luar biasa. Untung saja Anda datang. Kalau
tidak, saya tidak tahu sampai kapan dan siapa yang akan menang dalam
pertandingan pedang panjang dan pedang pejabat pemerintah itu. Rai
Ou adalah ahli ilmu pedang yang terkenal, namun si Tembong Merah
juga sangat lihai. Jangan-jangan kalau diteruskan, Rai Ou mungkin
saja kalah."
"Apa Kuda Merah itu begitu lihainya?" tanya Chou
Gai.
"Haha, julukan Kuda Merah itu tepat juga. Memang kelihatan
seperti kuda merah yang disayang Ryo Fu pada zaman Go Kan. Saya
dengar dia keponakan Anda."
Bukan, Guru. Soal itu ada ceritanya.
Sebenarnya ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan Guru.
Bagaimana?"
"Penting? Apa benar-benar penting?"
"Ya.
Benar-benar penting. Sampai-sampai saya t bisa memikirkannya
sendiri."
"Tunggu sebentar. Sayang hari ini hari belajar." saya
akan menulis pengumuman dulu di dinding."
Go You masuk ke rumah.
Dia mengatakan sesu kepada beberapa wanita tua di dalam rumah,
mengambil kuas dan menuliskan sesuatu di atas kertas. Kemudian dia
menempelkan kertas itu di dinding kelas, di tempat yang mudah
dilihat para murid.
"Dengan ini, persoalan beres. Nah, Saudara
Chou Gai, mari kita berjalan-jalan," katanya sambil keluar. Tapi
Chou Gai tidak segera beranjak karena dia tertarik dengan kata-kata
yang tertulis pada kertas tempel yang ditinggalkan Go You di
dinding. Kata-katanya mudah dibaca oleh anak-anak sekalipun.
Tulisannya sebagai berikut:
Hari ini guru
Tidak ada di tempat
karena urusan mendadak
Latihan membaca libur
Latikan menulis
kerjakan di rumah
Yang mau main
Bermainlah dengan
katak
Sulit tidaknya perundingan tergantung pada apa yang
dirundingkan.
Barang-barang berharga senilai seratus ribu kan
akan dikirim Ryo Chu Sho dari Hoku Kei kepada Menteri Sai di ibukota
sebagai hadiah ulang tahunnya. Chou Gai melontarkan berbagai
pertanyaan seperti, "Apakah harus kita rampok? Atau kita biarkan
saja?" dan "Kalau kita rampok, apakah Guru punya siasat untuk
merampoknya?" Meskipun memiliki berjuta pengetahuan dan
disebut-sebut sebagai Kou Mei zaman sekarang pun, Guru Go You
tentunya tidak dengan serta-merta dapat menjawabnya.
Mereka
berada di ruang perpustakaan di rumah Chou Gai yang sepi, tidak ada
orang selain mereka berdua.
Begitu mendengar informasi yang
terperinci dari Chou Gai si tuan rumah tentang asal-usul Ryu Tou,
dan segala hal lain yang berhubungan dengan kabar yang dibawa Ryu
Tou, Cendekiawan Go terdiam dalam waktu yang cukup lama.
Sebelum
menjawab, dia berpikir. Ini semua adalah gambaran kesesatan alami
yang tergambar di masyarakat akibat kebusukan Dinasti Sou. Kekesalan
serta keluhan orang-orang terhadap kondisi seperti ini mungkin juga
hanya merupakan kebodohan.
Kalaulah kejahatan dianggap sebagai
awan, maka awan kejahatan yang ada di puncak akan semakin
pekat.
Kemudian semakin tinggi awan, ukurannya pun loan akan
membesar. Kondisi ini membuat sang pelaku tanpa malu-malu melakukan
kejahatan, secara terang-terangan berselimut rasionalitas,
bersembunyi di belakang politik dan kekuasaan.
Demikiankh
kejahatan yang dilakukan rakyat kecil, kejahatan yang mereka lakukan
hanyalah kejahatan kecil pula. Hanya untuk hidup dan untuk sedikit
menikmati hidup. Untuk memenuhi keserakahan yang sama-sama dimiliki
manusia. Atau juga sebagai tanda tentangan.
Terutama pada saat
ini, banyak sekali orang yang berontak dan menentang. Lagi pula
bukankah para penentang ini bermunculan karena kebusukan Dinasci Sou
itu sendiri? Dengan adanya para pembesar dan pejabat yang kelewat
berpuas diri dan menganggap "dunia ini milik dirinya
sendiri"?
Ryo Chu Sho, Nyonya Sai, Menteri Sai. Mereka juga hanya
merupakan contoh tiga bintang yang arogan.
Kemudian di dunia ini,
suatu saat pasti akan muncul bintang-bintang penentang yang akan
melawan bintang-bintang arogan di lapisan atas.
Bintang-bintang
penentang ini pada dasarnya adalah bintang yang tinggal di atas bumi
rakyat jelata. Meskipun memiliki sifat usil, mereka tidak akan
melakukan hal-hal jahat dan sedikit-banyak mengetahui kebenaran.
Mereka bersifat penyayang, tidak pernah menganiaya yang lemah, dan
mereka sebagai laki-laki tcrkadang bisa juga mengucurkan air
mata.
Mereka bisa dianggap sosok yang awam, liar, patut disayangi
dan dikasihi, dan sebagai manusia mereka tidak kehilangan jati
diri.
Jika mereka dirangkul dan dijadikan teman senasib
sepenanggungan serta dituntun ke jalan yang baik, lalu diberi makna
dan tujuan hidup dalam masyarakat yang busuk seperti sekarang,
tentunya mereka akan berusaha menjadikan dunia ini tempat yang
menyenangkan. Kalau sudah begitu, di bumi rakyat yang hitam pekat di
bawah pemerintahan kotor Dinasti Sou ini akan berembus angin
harapan segar. Angin segar yang pastinya nanti menciptakan padang
dan ladang hijau.
"Saudara Chou Gai!"
Setelah berdiam diri
beberapa saat, akhirnya Cendekiawan Go mengangkat wajah dan berkata,
"Lakukanlah. Saya juga akan mencari akal untuk itu."
Kata-katanya
singkat, namun sangat jelas dan mengandung keputusan yang amat
tegas.
Betulkah? Dan Guru
mau menolong kami? Sebenarnya, tadi malam
saya bermimpi aneh." "Mimpi seperti apa?"
"Tujuh bintang utara
(Ursa Mayor) jatuh di atap rumah saya. Lalu ketika saya masih
terheran-heran dengan mimpi itu, kemarin subuh terjadilah kejadian
tersebut. Saya bingung apakah ini pertanda baik atau buruk. Tapi
setelah mendengar ucapan Bapak, saya * merasa tegar."
"Saya
larang sekalipun, tentunya Anda tidak akan menghentikan niat Anda,
bukan?"
"Betul sekali. Bagi saya, tanpa melakukan hal-hal yang
berbahaya, dengan kedudukan sebagai penghulu turun-temurun di
kampung ini, saya tidak akan kesulitan mendapatkan sandang dan
pangan. Tetapi bila melihat kondisi masyarakat saat ini, hati saya
tidak tenang menjalani kehidupan. Rasanya setiap hari hati saya
kalut. Lalu tatkala saya merasakan hal seperti itu, muncullah
pembicaraan ini. Saya harus jujur bahwa niat ini mungkin juga
berawal dari keserakahan saya, meski kemudian didorong rasa
kebenaran."
"Tapi tentunya tahun ini Ryou Chu Sho tidak mau
mengalami kegagalan yang sama dengan tahun lalu. Ini akan
sulit."
"Saya tahu. Jadi, bagaimana menurut pendapat
Guru?"
"Untuk rencana ini, sedikitnya kita memerlukan tujuh atau
delapan orang yang bisa diandalkan. Meskipun Anda memiliki pegawai
dan pekerja berpujuh-puluh, sejumlah besar orang biasa tidak akan
ada gunanya."
"Mimpi saya semalam adakh tentang tujuh bintang
utara. Di sini ada Guru, lalu saya dan si Kuda Merah Ryu. Berarti
hanya tiga orang. Tidak bisakah kita mengumpulkan orang sejumiah
bintang itu.
"Entahlah," kata Cendekiawan Go sambil mengerutkan
dahi lagi. Tetapi kemudian dia berkata, "Wah, sebenarnya tidak
sulit. Saya baru ingat ada bebcrapa orang yang tepat."
"Guru
sepertinya taliu orang-orang yang sangat Guru andalkan. Siapa
mereka?"
"Tiga bersaudara. Mereka bertiga sangat baik, lihai
dalam ilmu bela diri, dan jika menghadapi sesuatu, mereka tidak akan
mundut sekalipun itu lautan api."
"Begitu. Wah, di zaman seperti
ini masih ada orang-orang yang seperti itu. Di mana mereka, Guru?"
tanya Chou Gai sangat tertarik.
Cendekiawan
Go dengan antusias menjawab,
"Ketiga bersaudara itu Gen Shou Ji, Gen Shou Go, dan Gen Shou
Shichi. Mereka saudara sekandung. Mereka tinggal di Desa Sekka di
pinggir Ryou Zan Paku, Provinsi Sai. Sehari-hari mereka bekerja
sebagai nelayan di sekitar teluk, tapi di kalangan mereka,
perdagangan gelap di atas air lazim terjadi. Pada dasarnya mereka
bukan orang yang berpendidikan, namun untuk rasa kebenaran serta
keterampilan bela diri, saya menilai mereka cukup tinggi. Sudah
hampir tiga tahun saya tidak bertemu mereka, tetapi saya rasa mereka
tidak akan lupa kepada saya."
"Wah, kalau tentang tiga bersaudara
Gen, saya juga pernah mendengat kabar angin. Mengenai Desa Sekka,
lokasi itu bisa ditempuh dalam dua hari. Bagaimana kalau saya
mengirimkan utusan untuk mengund mereka datang ke sini?"
"Mana
mungkin mereka mau datang? Sekalipun saya sendiri yang datang ke
sana dan merayu mereka dengan bersilat lidah, belum tentu mereka mau
datang."
"Oh, begitu. Kalaulah mereka laki-laki semacam itu,
justru lebih bisa diharapkan. Apa Guru bersedia pergi ke
sana?"
"Boleh saja.Tapi, kalau begitu, saya harus menuliskan
perpanjangan waktu libur di kertas pengumuman buat anak-anak yang
belajar."
"Kalau Guru berangkat malam ini, lusa siang sudah bisa
sampai di sana. Tapi sebelum itu, saya harap Guru mau minum-minum
dulu, sekalian dengan si Kuda Merah."
"Baiklah. Memang benar di
dalam kehidupan ini kita tidak tahu apa yang akan
terjadi."
Cendekiawan Go pulang dulu ke tempat anak-anak belajar
lalu kembali ke sana pada sore harinya. Saat itu, Ryu Ton, si Kuda
Merah juga hadir, dan sepertinya dia sudah mendengar perincian
pembicaraan dari Chou Gai sang tuan rumah.
Mereka bertiga minum
sampai larut malam. Kadang-kadang suara mereka memelan, mungkin
karena mereka sedang membicarakan sesuatu yang sangat rahasia.
Andaikata hadiah ulang tahun senilai seratus ribu kan itu
benar-benar akan diangkut dari Hoku Kei ke Tou Kei, kira-kira rute
mana yang akan diambil? Apakah mereka akan mengambil rute perjalanan
yang sama atau tidak?
Soal ini dapat dikatakan masih menjadi
teka-teki rumit. Sekarang awal bulan ke-5. Pesta ulang tahun konon
akan diadakan pada tanggal 15 bulan 7. Masih ada sekitar tujuh puluh
hingga delapan puluh had lagi.
"Untuk persiapan, waktu kita masih
cukup banyak. Tap! lebih baik kita cepat-cepat mengajak tiga
bersaudara itu."
Cendekiawan Go hanya minum sedikit arak dan
segera bersiap-siap melakukan perjalanan. Di luar, kabut malam tipis
melayang-layang hangat, waktu yang cukup bagus untuk melakukan
perjalanan.
"Maaf kami tidak bisa mengantar Guru." "Hmm.
Sebaiknya kita menghindari pandangan orang. Lalu kuharap Saudara Ryu
Tou bisa bersikap tenang sampai aku kembali. Tetaplah berada di
rumah." "Saya tidak akan lagi merepotkan. Saya menunggu kabar baik
dari Guru."
Bayangan cendekiawan Go yang berlalu melewati gerbang
semakin lama semakin samar tertelan kabut tipis malam.
Selang
sehari. Tengah hari pada hari kedua.
Sosok Cendekiawan Go sudah
terlihat di pinggir perkampungan air Desa Sekka.
Dia sudah pernah
datang ke tempat ini beberapa kali. Dengan demikian, dia tidak usah
mencari-cari lagi rumah Gen Shou Ji. Rumah laki-laki itu
membelakangi bukit menghadap teluk. Dari tonggak yang merupakan
tempat menambatkan perahu hingga ke pagar gubuknya, terpasang
jemuran jaring ikan yang sudah robek-robek.
"Permisi. Ada orang
di rumah?"
Cendekiawan Go melongokkan kepala dari bawah atap
cucuran ke dalam. Di sana tampak ada orang yang sedang tidur
siang.
"Siapa ya?"
Seorang anak muda muncul ke depan.
Anak
muda itu Gen Shou Ji. Dia memakai celana nelayan sebatas pinggang
dan bertelanjang dada. Bulu dadanya yang lebat tidak begitu
mengherankan, tetapi lebar dadanya cukup mengingatkan kita akan
tebing curam di Shi Shen.
"Ascaga, Guru." Alis tebalnya segera
terangkat, mulutnya yang besar menjadi ceria. "Tumben sekali. Angin
apa yang membawa Guru datang ke sini?"
"Aku datang karena ada
permintaan yang sifatnya mendesak."
"Oh, begitu. Ada urusan apa,
Guru?"
"Kenalanku yang kaya raya akan mengadakan pesta
pernikahan. Aku diminta mencarikan sepuluh ekor ikan mas dengan
berat sekitar sepuluh kilogram. Lalu karena permintaan ini sangat
sulit kutolak, aku jadi bingung sendiri."
"Silakan masuk dulu,
atau sekalian saja kita pergi ke teluk di sebelah sana. Di situ ada
tempat minum-minum yang cukup bagus."
Gen Shou Ji yang berlalu
begitu saja tanpa alas kaki segera melepaskan ikatan sampan dari
tonggak, lalu membantu Cendekiawan Go naik ke sampan dan mulai
mendayung. Caranya mengemudikan sampan di atas sungai sama seperti
sedang berjalan kaki saja.
Tak lama kemudian di tengah-tengah
sungai, ketika sampan sedang melaju, di balik gerumbul ilalang di
sebelah sana, terlihat sebuah sampan lain. Gen Shou Ji berseru,
"Hei! Shou Shichi! Mana Shou Go?"
Dari sana terdengar jawaban
yang bergema di atas air.
"Ternyata Kak Shou Ji. Memangnya ada
urusan dengan Kak Shou Go?"
"Ya, ini aku. Hei, aku datang bersama
Guru Go."
"Apa? Guru Go? Jangan bohong!"
"Aku tidak bohong.
Aku mengajak Guru Go pergi minum-minum. Kau ikutlah
juga."
"Astaga, maaf sekali. Aku sudah bicara
sembarangan."
Dengan mendayung membelah gerumbul ilalang, Gen
Shou Shichi segera mendekat. Inilah dia si adik bungsu, yang di desa
itu dijuluki si Raksasa.
Sepercinya dia sedang memancing. Dia
mcmakai caping bambu dengan baju kotak-kotak seperti papan catur
berlengan lurus. Meskipun berada di balik caping, matanya yang besar
terlihat jelas. Bentuk tubuhnya sungguh penggambaran tepat untuk
istilah "berotot kawat bertulang besi." Dengan cekatan dia
mcrapatkan sampannya di sebelah sampan kakaknya.
"Maafkan saya,"
ucapnya kepada Cendekiawan Go. "Karena sudah lama sekali Guru tidak
muncul di sini, saya jadi bicara yang tidak-tidak."
"Mau ikut
bersama kami?"
"Tentu. Saya akan menemani Guru, tapi izinkan saya
mampir dulu ke rumah Ibu. Kita ajak Kak Shou Go juga."
Sampan
menepi ke sisi sungai terdekat. Di sini juga terdapat perkampungan
yang dikelilingi air. Dari atas sampan, Shou Shichi berteriak ke
arah sebuah rumah.
"Bu! Kak Shou Go ada?"
"Tidak ada!"
terdengar jawaban yang sangat ketus. "Katanya aku ibu para nelayan.
Tapi dalam beberapa hari ini aku tidak pernah melihat ikan. Anak itu
setiap hari kerjanya hanya berjudi. Aku capek. Barusan dia
menghilang dengan membawa pergi jepit sanggulku.'
Shou Ji
menggaruk wajah, lalu seperti melarikan diri, dia mulai mendayung
lagi.
"Maaf, Guru jadi mendengar hal yang tidak enak. Tolong
Jangan dimasukkan ke hati.
Cendekiawan Go tergelak. "Keributan
keluarga semacam itu bukanlah yang pertama kali kudengar."
"Tapi
waktunya kurang tepat. Kak Shou Go sepertinya belum bernasib baik.
Tampaknya kami ini orang-orang yang sangat suka judi namun tidak
pandai bermain."
"Apa akhir-akhir ini kalian kalah
terus?"
"Masih lumayan kalau cuma akhir-akhir ini. Sudah hampir
setahun lebih kami kalah terus, sepeser pun kami tak punya sekarang.
Kalau cuma menangkap ikan, berapa pun ikan yang kami tangkap, tidak
akan mencukupi."
"Sudahlah, Kak Shou ]i," kata Shou Shichi dari
samping.
"Padahal aku sudah minta maaf kepada Guru Go karena
sampai mendengarkan hal yang tidak enak. Tapi sekarang malah aku
sendiri yang mengeluh. Kenapa ya?"
"Wah, betul juga. Guru silakan
tertawa saja."
Cendekiawan Go pun tertawa keras sesuai permintaan
mereka. "Sungguh menyenangkan melihat kalian yang selalu ceria.
Nasib itu ada waktunya. Kalau waktunya sudah tiba, bunga yang
menghadap ke arah sana pun, suatu pagi tertentu akan mekar ke arah
sini."
Sambil berkata seperti itu, di hati Cendekiawan Go
tebersit suatu harapan. Dia tersenyum penuh kemenangan, kalau begini
keadaannya, mereka pasti mau ikut serta di dalam rencana kami,
pikirnya.
Setelah beberapa lama sampan didayung, akhirnya
terlihatlah kota nelayan. Di situ tampak umbul-umbul tempat minum
arak. Jemuran di rumah-rumah di pinggir jembatan juga terlihat.
Sampan mereka dengan cepat menuju pesisir.
"Waktunya tepat
sekali. Di situ ada Kak Shou Go."
"Di mana?"
"Lihatlah di
sana."
Mereka memandang ke arah yang ditunjuk Shou Shichi. Betul
juga, di sana ada seorang laki-laki yang baru saja menuruni jembatan
dan kini sedang melepas ikatan sampannya. Di lengannya tampak
tergantung dua untai uang logam tembaga.
Wajahnya yang tampak
menyembunyikan nafsu membunuh itu bukan hanya disebabkan
kekalahannya dalam judi, sejak dulu penampilannya memang sangar
begitu. Oleh sebab itulah dia dijuluki Si Anak Kedua Pemarah. Dia
sangat cekatan dalam berkelahi, ini dapat dilihat dari pundaknya
yang menonjol serta tulang betisnya yang panjang. Di dadanya yang
muncul dari balik baju nelayan compang-camping tampak rajah macan
kumbang kebiruan. Pada penutup kepalanya yang dipasang menyerong, di
dekat relinganya, terselip setangkai bunga delima, yang malah
menambah angker penampilannya alih-alih mengurangi.
Dia mengayuh
sampannya mendekat sambil menatap tajam.
"Hei, Saudara Shou Go,"
Cendekiawan Go menyapa. "Bagaimana kelihatannya, kau akan
bernasib
balk?"
"Saya kira siapa," kata Shou Go tertawa
mengurai wajahnya yang tadi terlihat tegang. "Sejak tadi saya
memerhatikan Guru dari atas jembatan. Hei, Kak Shou Ji, kita mau
pergi ke mana?"
"Kami mau ke tempat minum di sebelah sana. Kau
ikut juga?"
"Di samping jembatan juga ada. Bahkan ada
perempuannya di Sana."
"Wah, kalau kita menjamu Guru Go, kukira
pemandangan indah jauh lebih penting daripada perempuan. Dari
sekarang hingga saatnya matahari tenggelam, Guru bisa melihat
ilalang di atas air, perahu yang pulang, dan gunung-gunung di Ryou
Zan Paku yang sedikit demi sedikit berubah warna dari jingga ke
ungu. Kami sendiri terpesona melihatnya. Seperti itulah yang
diperlukan Guru. Ayo, kita mendayung lagi sampai ke warung
itu."
"Baik. Kita dampingkan sampan kita bertiga menuju tempat
itu."
Shou Go yang memakai penutup kepala dengan selipan
setangkai bunga delima itu melompat ke sampannya. Lalu dengan cepat,
dia mendayung me-nyusul kedua sampan di
depannya.
"AH. Araknya sungguh enak, sampai-sampai
udaranya pun terasa enak pula. Kita bisa bertemu seperti ini,
tentunya karena kita masih bernapas. Sudan lama sekali ya. Akhirnya
aku bisa minum-minum lagi bersama kalian tiga bersaudara
ini."
"Tampaknya Guru
menyukai warung ini."
"Hmm. Kelezatan minuman di warung
perkam-pungan nelayan kecil kadang-kadang melebihi minuman dalam
cangkir perak di restoran mewah Gaku You di kota utara. Hijaunya
daun dedalu dan pohon pagoda di tepi sungai terlihat samar, dan jika
memandang ke bawah warung, tampaklah bunga teratai di kolam
seolah-olah tiga ribu putri cantik istana sedang melambai-Iambaikan
lengan baju."
Shou Ji tertawa. "Baru kali ini saya melihat Guru
begini senang. Betul kan, Dik?"
Mendengar ucapan kakaknya, Shou
Go dan Shou Shichi serempak menjawab, "Syukurlah. Padahal tadi
sewaktu akan rnembawa Guru ke sini, kami agak ragu-ragu, takut tidak
dapat membuat Guru senang."
Shou Go melanjutkan, "Omong-omong,
mungkin saya saja yang belum mendengarnya, sebenarnya ada urusan apa
Guru sampai tiba-tiba datang ke dosa kami?"
"Nah itu dia," Gen
Shou Ji, kakak tertua mereka, menimpali sambil menggaruk-garuk
kepala. "Guru meminta kita menyediakan sepuluh ekor ikan mas seberat
sekitar sepuluh kilogram. Sayangnya akhir-akhir ini di tempat kami
menangkap ikan, kami tidak mungkin mendapatkan ikan sebesar itu.
Tapi karena ini permintaan kenalan untuk pesta pernikahan, Guru
merasa kebingungan. Masalah ini sungguh sulit."
"Hmm. Memang
sulit... Oh, bagaimana kalau Guru tambah segelas lagi?"
"Aku
sudah mabuk berat. Hari pun tampaknya mulai gelap. Tubuhku mulai
lemas."
Wah! Pokoknya malam ini Guru menginap di gubuk kami saja,
meskipun gubuk kami sangat sederhana. Lagi pula, waning ini tidak
buka sampai malam."
"Aku jadi merepotkan. Baiklah, aku menginap
saja di rumah kalian. Pokoknya kalau tidak membawa sepuluh ekor ikan
mas itu, aku tidak akan bisa pulang karena malu pada
temanku."
Sebenarnya ini hanyalah dalih. Sejak awal yang dimaksud
oleh Cendekiawan Go dengan ikan mas bukanlah ikan bersisik berwarna
emas. Niatnya adalah menjerat ketiga bersaudara ini ke dalam jaring
yang dipasangnya dan membawa mereka pulang guna dijadikan sekutu
untuk pekerjaan besar kelompok Chou Gai. Tetapi dia mcnimbang
situasinya sedang kurang tepat untuk mengatakan niat itu secara
terus terang.
"Kita pulang sekarang. Hei, Pak, tolong hitung
semuanya," Cendekiawan Go memanggil pemilik warung.
" Tidak
boleh. Kami tidak mau Guru membayar minum untuk kami. Untuk biaya di
sini scrahkan pada kami bertiga."
"Baiklah. Kalau begitu, aku
akan membawa sesuatu untuk dibawa ke rumah. Pak, tolong isikan arak
ke dalam guci besar, lalu daging sapi lima kilo dan ayam dua ekor.
Tolong muat ke sampan itu."
Cendekiawan Go menyerahkan uang satu
ryou kepada pemilik warung.
Tiga bersaudara Gen juga naik ke
sampan masing-masing. Lalu setelah membantu Cendekiawan Go naik,
mereka mulai mendayung sampan di atas ombak senja menuju
rumah.
"Silakan masuk, Guru!"
Ternyata dia dibawa ke rumah Gen
Shou Ji, yang tadi siang mereka singgahi sebentar. Dari keriga
bersaudara itu, baru dia yang memilikj istri. Dia segera menyuruh
istri dan bocah pembantu memasak daging dan ayam yang mereka
bawa.
"Nah, kalau di sini, Guru bisa minum semalaman. Jadi,
silakan minum sepuasnya seperti di rumah sendiri."
Cendekiawan Go
dipersilakan masuk ke kamar belakang yang menghadap ke air. Ketika
kerai dibuka, cahaya bulan pun masuk.
Masakan sudah selesai
dibuat dan pesta minum arak dimulailah. Rasa mabuk di warung sungai
yang tadinya sudah agak berkurang segera kembali memuncak.
Pembicaraan pun berjalan lancar.
"Saudara-saudara sekalian, maaf,
aku ingin bertanya lagi tentang masalah tadi. Sebenarnya kesulitan
seperti apa yang menyebabkan Saudara-saudara kerepotan untuk
mengumpulkan sepuluh ekor ikan mas itu?"
"Begini. Meskipun sangat
ahli dalam ilmu pengetahuan dan strategi kemiliteran, Guru mungkin
kurang paham situasi masyarakat sekarang."
"Memang, sepertinya
aku kurang dalam hal tersebut. Jadi apa alasannya, tolong jelaskan
kepadaku."
"Orang menyangka di laut dan di sungai, di mana pun,
pasti ada ikan, apa pun jenisnya. Mereka tidak tahu apa-apa, kalau
saya boleh berterus terang."
"Tampaknya serius
sekali."
"Betul, Guru. Masalah ini sangat serius. Danau Sekka
yang menjadi tempat pencaharian kami ini hanya selebar daun kelor.
Untuk bisa mendapatkan seekor ikan mas seberat sepuluh kilogram,
kami harus mendayung sampai ke sekitar Ryou Zan Paku yang terlihat
jauh di sana."
"Aneh. Ryou Zan Paku masih sewilayah dan juga
terlihat dari sini, bukan? Kenapa tidak bisa mencarinya di
sana?"
"Ryou Zan Paku itu gerbang setan."
"Gerbang setan?
Kedengarannya semakin aneh. Mengapa begitu?"
"Wah, karni tidak
bisa membicarakannya."
"Jangan-jangan, di daerah itu ada
peraturan yang melarang penangkapan ikan, ya?"
"Bukan aturan
pelarangan penangkapan ikan, tetapi kalau kita pergi ke sana, nyawa
kita bisa melayang. Dulu sekali, Ryou Zan Paku adalah wilayah tempat
kami tiga bersaudara banyak menghasilkan uang. Tapi setelah itu,
suasana jadi kacau sehingga kami menjadi miskin seperti sekarang.
Memang sangat menyebalkan, tetapi kami tidak bisa berbuat apa-apa
lagi. Betul kan, saudara-saudaraku?"
Keti'M bcrsaudarj itu
berp.mdang.m s.imbil menghela napas panjang.
Berhasil, teriak
Cendckiawan Go didalam hati. Sepertinya inilah kunci umuk menarik
perhatian ketiga bersaudara Gen. Dengan pikiran seperti itu, dia
meletakkan cangkir araknya.
"Oh, begilu. Kalau itu menjadi
penyebab kalian terpuruk. bukankah dampaknya akan sangat besar bagi
kehidupan kalian seterusnya? Kalian bertiga masih muda dan kuat
melebihi orang biasa, tetapi mengapa kalian rela dikalahkan nasib
dan hanya gigit jari? Aku sama sekali tidak bisa mengerti. Sekarang
ceritakanlah secara lebih terperinci."
Meskipun wilayah Desa
Sekka kecil, ketiga bersaudara ini cukup ternama di kalangan
penduduk desa, jadi tentu saja mereka tersinggung ketika dikatakan
"Mengapa kalian rela dikalahkan nasib dan hanya gigit jari?" Ketiga
bersaudara itu pun mulai mengadu dengan penuh kemarahan, pertanda
pasti bahwa mereka sudah masuk jaring perangkap yang ditebar
Cendekiawan Go.
"Masalahnya begini, Guru. Ryou Zan Paku itu
sarang penyamun. Dengan kata lain, tempat itu sarang orang-orang
yang tidak tahu aturan dan tidak takut apa pun. Kami tidak mungkin
mampu melawan mereka."
"Ini berita baru bagiku. Orang-orang macam
apa yang berkumpul di sana?"
"On Rin, si pintar berbaju Putih
mungkin jenderalnya. Konon, dia gagal dalam ujian negara untuk
menjadi pejabat di Ibu Kota. Selanjutnya ada To Sen, si Cicak; Sou
Man, si Pelindung Awan; Shu Ki, si Tanah Kering sebagai bawahan
langsungnya. Mereka juga membawahi sekitar enam ratus anak buah.
Jadi sekalipun berani unjuk gigi, kami tidak mungkin bisa melawan
mereka."
"Hmm. Jadi, sarang penyamun itu begitu kuat... Kalau
begitu keadaannya, bisa dipahami."
"Ditambah lagi, akhir-akhir
ini ada Rin Chu si Kepala Macan Kumbang, bekas pelatih tentara
kekaisaran Dinasti Sou, yang konon menjadi konco mereka. Menurut
kabar angin, dia sangat mumpuni. Sekarang ini, kalau diancam dengan
kata Ryou Zan Paku, anak-anak yang sedang menangis pun akan berhenti
menangis, begitu katanya."
"Tapi sepertinya aneh..."
"Kenapa
Guru tampak bingung?"
' Begini. Meskipun situasi zaman sekarang
sangat kacau, bukankah di pusar ada pemerintahan Dinasti Sou,
penjaga keamanan di setiap provinsi, demikian juga walikota dan
bupati di setiap kota dan kabupaten? Jadi sukar dipercaya ada
sekelompok penyamun berkuasa di satu wilayah San Tou tanpa merasa
takut sedikit pun.'
"Justru itu. Pejabat sekarang sangat mudah
disuap, namun kepada rakyat mereka sok bcrkuasa. Kalau datang ke
suatu daerah untuk melakukan pemeriksaan atau untuk membahas suatu
kasus, mereka akan menghabiskan babi, domba, ayam, sampai bebek yang
ada di daerah itu. Pada malam harinya mereka meminta rakyat
menyediakan gadis-gadis untuk bersenang-senang. Kemudian ketika
pulang, mereka minta dimuatkan oleh-oleh ke atas kuda mereka. Tapi
jika berhadapan dengan penyamun atau berandalan yang cukup kuat,
mereka pasti kabur ketakutan. Kalau kami mengadukan soal pencurian
atau berandalan, mereka belum pernah tiba di tempat pada waktu yang
dibutuhkan."
"Sungguh menyebalkan. Apa betul begitu?"
"Kalau
tidak percaya, silakan Guru tinggal di sini sedikit lebih
lama."
"Kalau begitu, aku tidak akan bisa melihatnya. Tapi untung
saja, di daerahku ada penghulu yang cukup hebat bernama Chou Gai.
Mungkin karena itulah keadaannya tidak seburuk di
sini."
"Singkatnya, hanya ada dua cara untuk menghadapi mereka.
Uang atau kekuatan. Jika melihat rakyat yang jujur, mereka langsung
pamer kekuasaan. Seperti itulah pejabat pemerintah zaman
sekarang."
"Tindakan mereka seolah-olah mengatakan bahwa rakyat
jelata yang miskin adalah dunia musim semi mereka.
Kita tidak bisa
tinggal diam. Kita harus
bertindak.
"Tentu saja, Guru. Sebenarnya kami tidak berniat
mengintip kehidupan pejabat, tapi dalam kenyataannya, mereka hidup
berfoya-foya, pakaian mereka pilih dengan seenaknya, dan makanan
mereka makan dengan sesuka hati. Lalu karena semua itu mereka
dapatkan dengan cara menyengsarakan rakyat, kami jadi sangat geram.
Kadang-kadang kami sedih karena sekeras apa pun bekerja, tetap saja
kami tidak bisa meniru kehidupan mereka."
"Astaga. Kok laki-Iaki
mengeluh!" Di sini Cendekiawan Go yang penuh akal berkata dengan
nada tinggi seolah-olah menegur mereka. Dia lalu menatap wajah
ketiga bersaudara itu satu demi satu dengan tajam.
"Baru saja
kalian membicarakan kejahatan para pejabat yang saking busuknya
seolah-olah dapat membuat mulut yang menyebutnya menjadi kotor. Tapi
kemudian dengan mulut itu juga, kalian malah berkata ingin dapat
meniru kehidupan para pejabat tersebut. Itu bukan omongan yang
pantas dikeluarkan oleh laki-laki hebat."
Maafkan kami, Guru.
Karena emosi, keluhan keluar begitu saja dari mulut kami. Kami
sangat malu."
"Kalian tidak usab meminta maaf. Aku pun
mengatakannya karena menyayangi kalian bertiga.
Mengapa tiga
laki-Iaki hcbal seperti kalian hams hidtip sengsara seperti
ini."
"Terima kasih banyak, Guru. Yang berkata sepcrii itu di
hadapan kami hanya Guru. Kalau saja ada orang seperti Guru yang man
mcmanlaatkan scmangat dan kckuatan kami ini.
Tapi dalam kondisi masyarakat
seperti ini, harapan seperti itu mungkin hanya angan-angan belaka."
"Pasti ada!" "Benarkah?"
"Begini, bagaimana kalau kalian mencoba
pergi ke Ryou Zan Paku?"
"Tidakbisa, Guru."
Ketiga bersaudara
itu menggeleng-geleng sambil tertawa meledek.
"Kalau cuma itu,
tidak diajari oleh Guru pun kami sudah bisa mengerti. Kalau ada
niat, dari dulu kami sudah pergi ke Ryou Zan Paku yang setiap pagi
dan sore kami lihat. Tapi tempat itu dipimpin si Pintar Berbaju
I'utih Ou Rin yang kami benci. Kami dengar dia laki-Iaki picik yang
tidak punya rasa kebenaran dan solidaritas. Jadi selapar apa pun,
kami tidak ingin berada di bawah pimpinan laki-Iaki busuk seperti
itu."
"Bagus, aku senang mendengarnya. Kalau semangat kalian yang
seperti itu lenyap, kalian bukan laki-Iaki lagi. Nah, jika begitu,
kalau ada orang yang bisa kalian percayai dan hormati, lalu karena
melihat sifat jantan kalian dia mau menarik kalian, bagaimana
pendapat kalian?"
"Haha. Orang seperti itu tidak mungkin
ada."
"Kan sudah kubilang, kalau ada..."
"Kalau ada, tidak
dikatakan pun, Guru pasti tahu jawabannya. Ijki-laki akan mengabdi
kepada sesama laki-Iaki sejati, bukan?"
"Betul!"
"Kalau demi
orang seperti itu, kami berani menyeberangi lautan api sekalipun,
Guru."
"Kalau begitu, ada seseorang yang ingin kuperte-mukan
dengan kalian bertiga. Bagaimana, kalian mau?"
"Siapa orang
itu?"
"Orang itu Chou Gai, penghulu Desa Tou Kei yang letaknya
kira-kira beberapa puluh li dari sini. Aku menilai dia sebagai orang
paling bijaksana di wilayah Ka Hoku, San Tou."
"Oh, penghulu yang
dijuluki Raja Langit Pemikul Batu Monumen itu?"
"Kalian kenal
dia?"
"Tidak. Cuma pernah mendengar namanya. Kami dengar dia
menjunjung tinggi rasa kebenaran juga solidaritas, serta dalam soal
uang pun dia sangat bersih."
"Kukira aku tidak usah
menyembunyikannya lagi. Aku datang ke sini sebenarnya karena
permintaan Chou Gai itu."
"Oh, jadi ucapan Guru memerlukan
sepuluh ekor ikan mas itu bohong belakar'
"Itu siasatku saja.
Maafkan aku. Soalnya jika belum menyelami isi hati kalian, aku tidak
dapat membuka rahasia yang kubawa. Namun kini aku sudah tidak lagi
memiliki kecurigaan atas rasa kebenaran kalian, barang sedikit
pun."
"Sebenarnya masalah apa yang Guru bawa?"
"Untuk
perinciannya, nanti kalian berbicara saja langsung dengan Chou Gai
sambil minum arak demi keadilan. Yang bisa kusampaikan di sini bahwa
incinya, kabar ini akan amat menggembirakan bagi kita semua. Kita
bisa mendapatkan uang yang sangat banyak, sekaligus menghukum
pejabat-pejabat tinggi di pemerintahan yang sekarang begitu bobrok.
Dengan kata lain, kita bakal bisa melakukan keduanya secara serentak
menggunakan rencana ini. Chou Gai pun memohon dengan amat sangat
agar kalian bertiga juga ikut serta di dalam pelaksanaannya. Untuk
itulah aku datang ke tempat kalian."
"Betul begitu,
Guru?"
Mata ketiga bersaudara itu berbinar-binar. Sampai-sampai
si Anak Kedua Pemarah, Gen Shou Go menepak lehernya sendiri karena
sangat terharu.
"Hal semacam inilah yang sudah lama saya
tunggu-tunggu. Leher ini akan saya persembahkan bagi orang
yang
mau memanraatkan sifat jamanku ini. Betul kan, Kak?"
"Betul!
Padahal saya sedang berpikir bahwa kalau Guru mau memanfaatkan kami,
saya pasti akan langsung mengiyakan. Bila memang Saudara Chou Gai
juga ingin meminjam tenaga berdasarkan kemampuan kami, maka saya
tidak akan berkata panjang-lebar lagi. Sekarang juga kami akan
bersumpah. Nah, coba Guru ceritakan rahasia tersebut, apa pun itu.
Biar begini, kami bukanlah jenis manusia rendah yang biasa
berkhianat."
"Sebenarnya begini. Pada tanggal 15 bulan 7 ini,
secara diam-diam akan dikirimkan emas perak dan batu permata senilai
seratus ribu kan dari Hoku Kei untuk Menteri Sai seorang pejabat
tinggi di istana, sebagai hadiah ulang taliunnya. Pengirimnya adalah
suami-istri Ryou Chu Sho yang berkuasa di wilayah Hoku Kei sebagai
daimyo. Pada dasarnya semua kekayaan itu merupakan hasil keringat
dan jcrih payah rakyat yang diperas pemerimahan busuk mereka. Kalau
kita merampok kekayaan ini, dapat dikatakan kita telah memberikan
hukuman mewakili langit. Bagaimana cara kita merebut kekayaan
tersebut pada saat pengirimannya, haruslah kita rundingkan dulu
dengan Saudara Chou Gai dan kawan-kawan lainnya. Intinya seperti
itu. Bagaimana, kalian bersedia pergi denganku ke DesaTou
Kei?"
"Tentu saja!"
Baik Shou Ji maupun Slum Go serta-merta
menyanggupi.
"Hei, Shou Shichi! Yang kauimpikan selama ini selama
ini akhirnya bukan lagi impian dan sebentar lag! akan menjadi
kenyataan."
Demikianlah, ketiga bersaudara itu sangat gembira.
Mereka segera melakukan persiapan untuk perjalanan selama dua hingga
tiga hari. Di pagi buta keesokan harinya, dengan Cendekiawan Go
berjalan paling depan, mereka berangkat menuju Desa Tou
Kei.
Udara manis serta tiupan angin semilir yang harum
mengibas-ngibas lengan baju mereka, begitu menyegarkan seolah-olah
menunjukkan perasaan para pemuda itu.
Tiga hari kemudian, pada
tengah hari, mereka memasuki Desa Tou Kei. Mungkin karena
kepemimpinan sang penghulu desa yang sangat bagus, baik itu
kebersihan jalan, lumbung desa, maupun atap rumah-rumahnya, semua
menggambarkan suasana tenang yang tidak mungkin dapat disandingkan
dengan Desa Sekka.
Kemudian di luar gerbang sebuah rumah, di
bawah pohon pagoda, tampaklah Chou Gai dan tamunya, Ryu Tou si Setan
Rambut Merah, yang sudah menunggu-nunggu kedatangan mereka.
Dari
kejauhan kedua pihak sudah saling memberi salam sambil
melambai-lambaikan tangan dan bergerak saling
mendekat.
PESTA minum-minum
pada malam harinya sudah tentu sangatlah
meriah.
Cendekiawan Go, meskipun cukup banyak menghadapi
tantangan sebelum dapat membawa serta ketiga bersaudara itu, tidak
banyak bercerita tentang kesulitan yang dialaminya.
"Inilah
ketiga bersaudara Gen yang kurekomendasikan. Silakan kalian lihat
sendiri." Hanya itu yang dikatakannya.
Sekali lihat Chou Gai
langsung menyukai mereka. Ketiga bersaudara itu juga merasa
demikian. Melihat kesantunan serta rasa kebenaran yang tebal dalam
diri Chou Gai, mereka pun tampaknya langsung jatuh hati.
"Dengan
laki-laki scperti inilah sejak dulu kami ingin bergaul. Kalau
berteman dengan laki-laki seperti dia, seumur hidup kami tidak akan
pernah merasa menycsal.'
Ryu Tou, si Setan Rambut Merah yang
selalu dipanggil si Kuda Merah, jika berada di antara Cendekiawan Go
dan Chou Gai, memang kalah pamor. Meskipun demikian, dia laki-laki
yang gagah dan tidak jahat. Dia sangac cocok dengan si Anak Kedua
Pemarah, Sho Go.
Semalaman mereka minum dan berbincang, hampir
tidak tidur. Pagi harinya, keenam sahabat itu mencuci mulut dan
tangan, lalu berdiri berdampingan menghadap ke arah altar yang ada
di kamar belakang rumah Chou Gai.
Di depan DewaTao di atas altar,
lilin merah menyala terang. Kemudian di depannya berjajarlah sesajen
berupa uang yang terbuat dari kertas emas, kuda kertas, bunga, dupa,
serta kambing guling.
Ini merupakan upacara pernyataan sumpah.
Satu per satu anggota minum darah kambing dalam tembikar. Kemudian
Chou Gai menerima tulisan naskah sumpah yang dirancang oleh
Cendekiawan Go dan membacanya sambil menghadap ke
altar.
Berdasarkan berita yang kami dengar, Ryou Chu Sho. peiabaf
Dinasti Sou yang berada di Hoku Kei, dalam beberapa tahun ini telah
menyalahgunakan wewenang di pemerintahan untuk menyengsarakan rakyat
serta menimbun kekayaan untuk diri sendiri. Tidak hanya itu, untuk
hadiah ulang tahun ayah mertuanya, Menteri Sai, yaitu ayah dari
istrirrya, Nyonya Sai, setiap tahun dia mengirim uang dan barang fee
istana mertuanya di ibukota dalam jumlah yang sangat besar.
Pada
tahun ini, tanggal 15 bulan 7, untuk ulang tahun ayah mertuanya
tersebut, secara rahasia dia akan mengirimkan harta kotornya ke
ibukota sejumlah seratus ribu kan. Sebagai wakil langit, kami tidak
bisa tinggal diam melihat kejahatannya.
Dengan kala lain, kami
berenam, sebagai wakil langit berniat menghukumnya dan memberikan
deraan kepada pejakat busuk agar menjadi jera. Di sini kami
bersumpah jika di antara kami ada yang mengkhianati janji ini serta
memiliki niat selainyang kami niatkan sekarang, kami bersedia
mendapatkan hukuman dari yang di atas lanpa rasa dendam. Semoga para
dewa mengetahui sumpah yang kami buat ini.
"Silakan maju satu per
satu." Masing-masing berdoa sambil
membakar uang tiruan yang terbuat dari
kertas.
"Dengan ini, sumpah sudah selesai kita
laksanakan.
Lalu mereka membawa sesajen yang ada di altar dan
.embali ke ruang tamu uncuk minum-minum lagi.
Tiba-tiba dari arah
luar gerbang terdengar suara ibut-ribut. Ketika Chou Gai menajamkan
pendengaran, alah seorang pekerjanya datang dan dalam kebingungan,
melaporkan kejadian di depan gerbang.
"Tuan! Maaf saya mengganggu
Tuan pada saat cdang bersenang-senang, tapi tolong Tuan kc dcpan
ebcntar."
"Jangan berisik. Kau tahu kan di sini banyak amu? Lagi
pula, ada apa sebenarnya sampai ribut-ribut legitu?"
"Justru itu,
Tuan. Di luar ada seorang pendeta nusafir yang begitu ngotot, kami
tidak sanggup lagi nenangartinya."
"Pendeta musafir? Sungguh
kererlaluan pengelana laman sekarang. Dandanannya saja seperti
pendeta nusafir, padahal mereka itu tidak tahu aturan dan doa pun
tidak bisa mereka lantunkan dengan baik. Mereka sengaja datang ke
kampung-kampung cuma untuk mencari makanan. Suruh dia pergi, beri
saja beras dua liter."
Tapi, Tuan, makanan seperti itu hanya
dipandang sebelah mata olehnya."
"Kalau begitu, dia minta sedekah
apa?" 'Dia minta dipertemukan dengan Tuan."
"Macam-macam saja.
Mana sempat aku menemui segala macam musafir. Kalian juga, masih
muda begini, masa tidak sanggup menangani seorang musafir? Payah
betul."
"Tuan bisa bilang begitu, tapi... pokoknya silakan Tuan
lihat dulu sebentar. Dia menyebut diri Pendeta Issei. Jika ada orang
yang mencoba mendekatinya, dia akan segera mempermainkannya dan
melemparkannya."
"Apa? Dia melakukan perlawanan?"
"Justru
itulah kata-kata yang selalu diucapkannya, Tuan. Diamenggertak,
'Jika kalian beranimenggangguku, aku tidak akan sungkan-sungkan
melawan. Kalau tidak dipertemukan dengan Chou Gai, saya tidak akan
meninggalkan tempat ini,' Meskipun empat atau lima orang dari kami
bersatu dan melawannya, dengan mudah kami dikalahkan olehnya. Kami
tidak sanggup lagi meladeninya."
Akhirnya Chou Gai pun bangkit
dari tempat duduknya.
"Guru Go, juga kepada para tamu yang lain,
maat aku permisi dulu sebentar."
Ketika tiba di depan gerbang,
dia melihat semua anak buahnya gemetar dan hanya mengelilingi
musafir itu dari kejauhan. Tidak sedikit anak buahnya yang tampaknya
sudah terluka tangan atau kaki dan meringis kesakitan.
"Di mana
orang itu?"
"Itu dia. Duduk di bawah pohon pagoda sambil
tersenyum menyebalkan, Tuan.'
"Oh, dia rupanya."
Dengan
langkah besai-besar Chou Gai menghampiri si musafir. Si musafir pun,
begitu melihat Chou Gai, segera bangkit.
Dia mengenakan pakaian
putih-putih yang biasa dipakai musafir dari gunung dengan ujung baju
agak pendek. Di pinggangnya melilit sabukyang sangat dekil. Dia
tidak membawa kantong musafir, sebagai gantinya di punggungnya
tersandang sebilah pedang panjang dari tembaga tua. Sepatu kain
kasanya yang berlubang delapan juga sepatu yang biasa dipakai para
musafir. Usianya mungkin tidak lebih dari empat puluh tahun.
Wajahnya agak kecokelatan, janggutnya yang seperti janggut kambing
tampak berkibar-kibar, mulutnya besar, dan alisnya berbentuk
segitiga. Wajahnya cukup menarik, tetapi tubuhnya sangat tinggi,
bagaikan pohon ceraara. Kemudian yang paling menyebalkan adalah
gayanya saat mengibas-ngibas kipas angin dari kertas tempurung
kura-kura ke arah perutnya.
"Pendeta! Tampaknya Anda sangat
gusar."
"Yang ribut-ribut itu bukan saya. Mereka sendiri yang
minta dihadiahi hajaran."
"Sebenarnya Pendeta ini menginginkan
sedekah seperti apa?"
"Lagi-lagi bicara seperti itu. Saya
bukan pengemis."
"Kalau begitu mengapa tidak segera
pergi?"
"Saya ingin bertemu dengan penghulu di sini, Saudara Chou
Gai."
"Chou Gai itu saya sendiri."
"Oh! Jadi Anda Saudara Chou
Gai?"
"Saya ingin tahu maksud kedatangan Anda. Silakan sampaikan
secepatnya."
"Saya tidak bisa mengatakannya di sini, karena ini
sangat penting. Saya ingin bicara berdua saja dengan
Anda."
"Kalau begitu, silakan ke sini. Mungkin sudah takdir kita
untuk bertemu. Ayo mari, di dalam Anda bisa minum teh juga."
Chou
Gai mengajak si pendeta melewati gerbang. Meskipun demikian, dia
tidak membawanya ke ruang tamu yang ada di belakang. Si pendeta
hanya diajak masuk ke sebuah kamar yang seadanya.
Begitu
dipersilakan masuk dan duduk, si pendeta segera memberikan
penghormatan serta menyebutkan namanya dengan tatakrama yang
baik.
"Maafkan saya sudah membuat keributan di luar tadi. Nama
saya Kou Son Shou dan nama kependetaan saya Issei. Saya lahir di
Provinsi Kei. Anda mungkin akan tertawa mendengar maksud kedatangan
saya, tetapi terus terang, sejak kecil saya sangat menyukai ilmu
bela din. Karena itu, saya kerap mengunjungi berbagai perguruan yang
ada di mana-mana, sehingga nama saya cukup dikenal. Orang-orang
menjuluki saya Kou Son Shou si lagoan atau si Naga Terbang,
orang-orang juga cukup segan kepada saya. Selain itu, sedikit-banyak
saya juga bisa melakukan sihir. Bila ingin, saya bisa memanggil
hujan atau angin, juga memiliki ilmu menghilang dari pandangan. Tapi
semua itu tidak perlu dibesar-besarkan," kata Kou Son Shou, atau
Issei, sambil mengelus-elus janggut kambingnya. Pandangan matanya
yang tajam menusuk, menyorot dingin sebagaimana yang biasa dimiliki
oleh ahli sihir.
"Omong-omong, saya sudah lama mendengar tentang
Penghulu Chou Gai, namun tahu nama saja. Baru kali inilah saya bisa
langsung melihat Saudara. Untuk pertemuan pertama kita ini, saya
membawa sedikit oleh-oleh kecil untuk Saudara. Saya membawa berita
pekerjaan yang cukup menguntungkan, serta barang dan uang senilai
seratus ribu kan. Bagaimana, Saudara akan menerimanya?"
Mendengar
itu, tanpa sadar Chou Gai tertawa.
"Bukankah itu barang-barang
pusaka untuk hadiah ulang tahun yang akan dibawa dari daerah utara
ke ibukota?"
"Apa?"
Dengan sangat kaget, Pendeta Issei menatap
wajah lawan bicaranya dalam-dalam.
'Aneh sekali. Padahal tak
mungkin ada orang yang tahu. Kenapa Saudara Chou Gai tahu hal
ini?"
Chou Gai masih tergelak. "Anda ini bicara apa? Justru saya
yang merasa kaget."
"Mengapa begitu?"
"Soalnya saya tadi hanya
menebak-nebak."
"Itulah yang disebut naluri dewa. Jadi, Anda
harus menerimanya. Kalau tidak mengambil sesuatu yang mesti diambil,
apa itu namanya? Selain itu, barang-barang yang dibawa sebagai
hadiah ulang tahun itu kekayaan hasil pemerasan. Jadi kita tidak
usah merasa sungkan untuk mengambilnya."
Tatkala pendeta Issei
sedang berusaha meyakinkan Chou Gai, tiba-tiba saja ada orang yang
membuka pintu dan serta-merta berteriak pada Issei.
"Aku sudah
dengar semua pembicaraan rahasia kalian."
"Astaga!"
Seketika
Pendeta Issei melompat dari tempat duduknya. Tiba-tiba saja Chou Gai
serta Cendekiawan Go yang tadi masuk tertawa
terbahak-bahak.
"Saudara Kou Son, Anda tidak usah panik. Saya
akan perkenalkan beliau kepada Anda. Beliau ini..."
Cendekiawan
Go segera mengambil alih perkenalan dirinya, bahwa dia adalah Ka Ryo
si Bintang Banyak Akal. Kemudian dia berkata, "Benar-benar di luar
dugaan, saya bisa bertemu Anda di tempat seperti mi. Nama Kou Son
Shou, si Pendeta Issei, sudah lama saya dengar dari kabar-kabar yang
beredar di masyarakat."
"Kalau begitu, Anda ini Ka Ryo, si
Cendekiawan Go. Meskipun luas, dunia ini ternyata sungguh sempit.
Tapi sungguh, Saudara Chou memiliki kenalan orang-orang yang luar
biasa."
"Di belakang raasih ada kawan-kawan sehati lainnya sedang
berkurapul. PenghuJu, bagaimana kalau saudara Kou Son Shou juga kita
perkenalkan kepada mereka?"
"Ya, kalau Guru mengizinkan, boleh
saja."
Chou Gai bangkit dan kembali ke kamar tamu di belakang
dengan membawa serta Kou Son Shou, si orang baru. Tiga bersaudara
Gen ditambah tamunya yang pertama, Ryu Tou, maka kini ada tujuh
orang yang berkumpul.
"Kalau dipikir-pikir, ini benar-benar
aneh," kata Chou Gai. "Beberapa waktu lalu saya bermimpi tujuh
bintang dari utara jatuh ke atap rumah saya dan saya pun terjaga.
Sekarang, secara kebetulan di sini berkumpul tujuh orang. Mungkin
ini pertanda dari mimpi bahwa segala apa yang kita rencanakan akan
berhasil dengan baik."
"Betul sekali," Cendekiawan Go mengiyakan.
'Mungkin ini imbalan terhadap segala perbuatan baik yang telah
dilakukan oleh Saudara Chou. Tampaknya jalan kita ke depan akan
terbuka lebar. Untuk itu, saya akan mmta Saudara Ryu segera menyusup
ke wilayah Hoku Kei dan mencari informasi tentang jalan mana yang
akan ditempuh untuk pengiriman barang-barang
itu, berapa orang
pengawalnya, dan siapa pemimpinnya. Setiap ada yang perlu
dilaporkan, kami harap Saudara melaporkannya kepada kami."
"Kalau
untuk hal itu," kata Kou Son Shou menyela, "sebaiknya kita tidak
usah mengirimkan penyelidik. Semuanya sudah saya selidiki."
"Apa?
Anda sudah mengetahuinya?"
"Tahun ini mereka sengaja tidak akan
melewati jalan-jalan kecil, tetapi sepertinya akan melalui jalan
raya Bukit Kou Dei."
"Kalau begitu, itu akan sangat menguntungkan
kita. Kira-kira satu li di sebelah timur Bukit Kou Dei, saya
mempunyai kenalan yang berjuluk si Tikus Siang. Rumahnya sangat
tepat untuk kita jadikan tempat perhentian," kata Chou Gai
mengeluarkan pendapat.
"Untuk pelaksanaannya, kita akan
menggunakan jalan kekerasan atau cara halus?
"Tergantung situasi
dan kondisinya," kata Cendekiawan Go. "Kalau mereka melawan dengan
kekerasan, kita gunakan cara kekerasan. Jika mereka mengambil cara
mengadu akal, kita lawan dengan akal. Untuk perinciannya, kita tidak
bisa menentukannya sekarang karena kita belum mengetahui situasi dan
kondisi saat itu. Mereka juga pasti memiliki rencana tersendiri.
Kita harus sangat berhati-hati agar tidak terkecoh."
"Betul
sekali apa yang Guru katakan." Chou Gai dan Kou Son Shou sama-sama
menyetujui pendapat
Cendekiawan Go.
"Namun bila kita terlalu
yakin akan strategi yang telah kita buat, bergantung pada antisipasi
musuh, bisa sama artinya dengan mengantar kita ke kuburan kita
sendiri. Untuk itu, kita tidak boleh terlalu terpaku dan tenggelam
dalam satu strategi saja, kita harus mencari strategi yang membuat
kita leluasa bertindak sesuai situasi kondisi yang ada pada saat
itu."
Pada saat itu strategi yang akan digunakan bisa dikatakan
telah rampung. Sampai menjelang malam, semuanya minum-minum. Dini
hari besoknya, ketiga bersaudara Gen bergegas menyelesaikan sarapan
agar bisa segera kembali ke desa mereka, Desa Sekka.
"Jika
waktunya tiba, akan saya kirim kabar secepatnya. Semoga saat itu
tidak terjadi haJ yang tidak diinginkan."
"Jangan
khawatir."
Ketiga bersaudara itu tersenyum sambil memakai sepatu.
Chou Gai memberi mereka uang sebanyak 30 ryou sebagai uang jalan,
namun mereka menampiknya. Cendekiawan Go menertawakan kekerasan hati
mereka dan berkata, "Jangan berpura-pura tidak perlu. Bagi saudara
Chou, uang sebegitu, diterima atau tidak, sama saja. Sebaiknya
kalian terima saja. Ada baiknya jika uang itu digunakan untuk
membayar utang ke warung arak, bukan?"
Demikianlah. Ketiga
bersaudara pun meninggalkan tempat itu, sedangkan Kou Son Shou dan
RyuTou tetap tinggal di rumah Chou Gai sebagai tamu. Cendekiawan Go,
karena tempat tinggalnya dekat, pulang, dan kembali mengajar
anak-anak desa di rumahnya seperti biasa. Jika ada
waktu, kadang-kadang dia mengunjungi rumah
penghulu. Sambil minum teh, mereka membicarakan hal-hal rahasia yang
tidak diketahui masyarakat umum. Seusai berunding, seolah-olah tidak
terjadi apa-apa, dia akan kembali ke rumahnya dan bergabung lagi
dengan anak-anak
didiknya.
INI adalah
istana Ryou Chu Sho penguasa
wilayah Hoku Kei.
Di taman belakang gedung istana, bunga mawar
kuning begitu harum semerbak, dan di gazebo di tengah taman seekor
kucing Persia sedang tengkurap. Kucing itu pura-pura tidur, tetapi
sebenarnya dengan sebelah mata dia memerhatikan anjing Chaochao
putih dari Asia tengah yang sedang mempermainkan lebah yang
ditangkapnya. Semua itu merupakan mainan kebanggaan yang dikumpulkan
Nyonya Sai yang selalu senggang.
"Wah, airnya tidak ada. Padahal
aku selalu mewanti-wanti. Sekarang air untuk minum burung beo juga
sudah habis."
Nyonya Sai yang berdiri di bawah sangkar burung beo
berteriak keras memanggil pelayan di ruang belakang, mengalahkan
suara burung beo itu sendiri.
"Berisik amat. Tolong jangan
terlalu ribut!" Tiba-tiba suaminya, Ryou Chu Sho, muncul sambil
berdecak, melongok dari balik gorden jendela ruang baca.
"Oh.
Suamiku rupanya. Sedang apa di sana?"
"Sedang apa? Tentu saja
sedang memeriksa dokumen-dokumen."
"Kalau sudah luang, maukah kau
duduk-duduk di gazebo ini?"
"Tawaran yang menarik. Baiklah,
tolong mintakan teh untukku."
"Silakan duduk. Karena aku akan
membicarakan sesuatu yang sangat rahasia, para pelayan kusuruh
menjauh. Tehnya nanti saja setelah pembicaraan kita
selesai."
"Ada apa? Sepertinya penting sekali."
"Kau ini
bagaimana? Sekarang sudah tanggal berapa? Coba lihat ke langit,
sudah awan musim panas, kan?"
"Benar juga. Bunyi uir-uir pertama
pun sudah mulai terdengar."
"Ya ampun, suamiku, uir-uir sudah
berbunyi sejak dua puluh hari lalu. Begini, kapan kau mau
mengirimkan barang-barang hadiah ulang tahun ayahku ke Tou
Kei?"
"Tentu saja aku akan mengusahakan agar barang-barang itu
tiba sebelum tanggal 15 bulan 7. Tapi sekarang aku sedang bingung
memilih pemimpin pasukan yang akan mengirimkan barang-barang
itu."
"Bukankah dulu kaubilang kau sedang memper-timbangkan
seseorang? Apakah tidak mungkin me-nyuruh orang yang ada dalam
pikiranmu itu?"
"Mungkin atau tidaknya, hanya bisa diketahui
kalau kita mencoba menggunakannya."
"Kalau itu, semua orang juga
tahu. Memangnya aku bodoh?"
"Hei! jangan berteriak-teriak seperti
itu. Di luar gerbang tengah ada pengawal. Kalau terdengar mereka,
aku akan malu sekali."
"Ah, aku jadi teringat setelah mendengar
kata pengawal. Bagaimana kalau kita gunakan You Shi, si Iblis Muka
Biru, prajurit yang baru menjadi komandan itu?"
"You Shi memang
lihai dalam ilmu bela diri. Di antara sepuluh ribu tentara di Hoku
Kei, dia terhitung sangat unggul, tapi bagaimanapun dia belum lama
di sini. Perasaanku mcngatakan aku belum bisa memercayainya. Karena
itulah aku bingung."
Kalau kau selalu bilang seperti itu, siapa
pun orangnya pasti mencurigakan. Lagi pula, bukankah waktunya sudah
sangat mendesak? Bagaimana kalau kauputuskan saja memilih You Shi
dan memerintahkannya untuk mengemban tugas itu?"
"Kalau kau
setuju, You Shi juga boleh. Karena sejauh apa pun aku memikirkannya,
tetap saja pilihan akhirnya jatuh ke dia. Tidak ada orang yang lebih
tepat selain si Iblis Muka Biru."
"Kalau begitu, segeralah
bunyikan genta itu!" Nyonya Sai memerintah suaminya untuk
membunyikan genta kecil yang tergantung di bawah cucuran
gazebo.
Karena Ryou Chu Sho mendapatkan jabatan tinggi berkat
Menteri Sai, ayah Nyonya Sai, sehari-hari dia selalu mengalah pada
istrinya. Maka dengan sungkan dia berdiri dan memukui genta tanda
panggilan. Begitu genta berbunyi, pengawal yang berjaga di depan
gerbang tengah segera muncul, berdiri di halaman member!
hormat.
"Katakan pada You Shi, si Iblis Muka Biru, untuk segera
menghadap!" "Baik, Paduka!"
Pengawal pun berlalu. Tak lama
kemudian, yang muncul dan berlutut di pingir jembatan tak lain dan
tak bukan adalah si Iblis Muka Biru, orang yang telah membuat
sepuluh ribu pasang mata tentara terbelalak tatkala diadakan
pertandingan di lapangan besar Istana Hoku Kei.
"You Shi! Setelah
melihat prestasimu, kali ini aku akan memberimu tugas besar. Apakah
kau akan sanggup melaksanakan tugas itu dengan mempertaruhkan jiwa
dan raga?"
"|ika itu perintah dari orangyang telah menanamkan
budi baik kepada hamba, hamba tidak akan mcnolak. Namun, soal apakah
hamba akan sanggup melaksanakan tugas tersebut atau tidak, hamba
mohon Paduka menjelaskannya terlebih dahulu."
"Aku ingin kau
menjaga dan mengantarkan barang-barang hadiah ulang tahun Menteri
Sai, ayah istriku, ke Tou Kei. Tentu saja untuk pengiriman itu, aku
akan memberikan kebebasan kepadamu dalam memilih anggota pasukan
pengawal."
"Kapan keberangkatannya, Paduka?"
"Dalam tiga hari
ini."
"Dan apakah barang-barang itu?"
"Ada sepuluh kotak.
Untuk itu, aku sudah me-merintahkan kantor pemerintahan untuk
menyediakan sepuluh gerobak. Selain tentara pengawal, aku juga sudah
meminta komandan tentara menyediakan sepuluh orang kuat yang
masing-masing akan mendorong satu gerobak. Pada tiap gerobak akan
dipasangi bendera kuning bertuliskan Hadiah Ulang Tahun Menteri Sai.
Kurasa itu akan mengusir niat jahat orang-orang, sehinga kau bisa
berjalan secara terang-terangan di gunung dan padang."
"Hamba
sangat berterima kasih Paduka sudah memercayai hamba,
tapi..."
"Apa kau tidak bersedia?"
"Hamba mohon Paduka
memerintah yang lain saja. Hamba dengar tahun lalu barang-barang
berharga senilai seratus ribu kan telah dirampok di tengah jalan
oleh perampok."
"Karena itu, untuk tahun ini, setelah melihat
dirimu, aku menugaskanmu. Selain itu..."
Ryou Chu Sho tampaknya
mulai naik darah ketika berusaha meyakinkan You Shi. Bibirnya
mengering, matanya agak memerah.
"Aku menyukaimu. Karena itulah
aku berusaha membuatmu menjadi orang terpandang. Apakah sulit bagimu
untuk mengerti hal itu?"
"Hamba sangat berterima kasih untuk niat
Paduka..."
"Jawabanmu tanggung-tanggung. Di antara surat-surat
yang akan dipersembahkan kepada Menteri Sai, aku berniat memasukkan
sepucuk surat rekomendasi agar kau diberikan jalan untuk mendapatkan
jabatan. Jika tanpa kendala apa pun kau berhasil mengirimkan
barang-barang hadiah ulang tahun tersebut ke hadapan Menteri Sai,
bukankah jalan kesuksesanmu akan terbuka lebar? Apa yang sebenarnya
kaucemaskan?"
"Tapi dalam perjalanan panjang itu banyak sekali
tempat berbahaya, juga wilayah yang dikuasai perampok seperti Gunung
Shi Kin, Gunung Ni Ryu, Gunung Tou Ka, Gunung San Gai, Bukit Kou
Dei, Haku Sa U, Ya Un To. Hamba tidak mau mati sia-sia."
"Kau
rupanya beliun paham. Kau boleh membawa pasukan tentara, berapa pun
yang kauperlukan."
"Sebanyak apa pun tentara yang hamba bawa,
saat perampok bermunculan, tentunya mereka akan pontang-panting
bagai daun kering yang ditiup angin."
"Kau ini bicara apa?
Kedengarannya kau menyaran-kan agar aku tidak mengirimkan hadiah
ulang tahun itu."
"Ya. Hamba ingin menyarankan agar paduka
membatalkan pengiriman. Namun, jika kondisinya sudah seperti ini,
Paduka juga tidak mungkin membatalkannya. Untuk itu, meskipun agak
terpaksa, hamba akan pergi mengantar."
"Bagus. Jadi kau sudah
membulatkan tekad." "Meskipun demikian, ada persyaratan yang ingin
hamba ajukan kepada Paduka. Hamba minta Paduka tidak menggunakan
gerobak mewah pejabat serta bendera. Hamba sarankan agar
barang-barang dibungkus dengan cara biasa sehingga bisa dipikul oleh
orang per orang. Kemudian para tentara juga harus dibuat agar tampak
seperti pengangkut barang saja."
"Jadi seperti kelompok pedagang
dari San Tou?"
"Begitulah, Paduka. Hamba sendiri akan menyamar
sebagai pemimpin kelompok pedagang, sedapat mungkin menghindari
pandangan para perampok. Jika sudah memutuskan untuk menerima tugas
ini, hamba akan berusaha keras agar barang-barang ini sampai di
depan pintu gerbang Menteri Sai di Tou Kei dengan selamat."
"Kuserahkan semuanya kepadamu. Segeralah laksa-nakan persiapan
keberangkatan."
Dua hari persiapan berlalu.
Kini, You Shi
sendiri yang minta menghadap Ryou Chu Sho.
"Tampaknya tidak
mungkin, Paduka. Tugas ini sepertinya tidak tepat untuk hamba. Oleh
karena itu, hamba ingin mundur dari tugas pergi ke Tou Kei
ini."
"Mengapa kau berkata seperti itu?"
"Tampaknya
perjanjiannya berbeda, Paduka. Menurut berita yang hamba dengar,
selain barang-barang yang sudah direncanakan, banyak sekali tambahan
barang yang merupakan kiriman Nyonya untuk keluarganya di istana
Menteri Sai. Selain itu, katanya kepala rumah tangga yang bernama
Sha serta tiga anak buahnya juga akan ikut serta."
"Haha. Jadi
kauanggap mereka akan menjadi bebanmu, begitu?"
"Bukan begitu,
Paduka. Kepala rumah tangga dan anak buahnya yang langsung berada di
bawah penntah Nyonya kemungkinan besar tidak akan menurua instruksi
yang hamba berikan. Selain itu, untuk menghadapi kemungkinan
munculnya perampok, semua harus sudah mempersiapkan diri menghadapi
berbagai macam kesulitan dalam perjalanan yang jauh ini."
"Memang
harus begitu. Tentu saja ini akan menjadi perjalanan yang sangat
sulit."
"Hamba akan melecut para pengawal agar memiliki semangat
yang kuat, dan sudah tentu kami mungkin harus berangkat pada malam
atau subuh hari. Kami mungkin juga harus bersembunyi di balik
alang-alang atau merayap di atas pasir panas. Dengan demikian, jika
hamba tidak memiliki wewenang untuk menebas orang yang tidak mau
menuruti instruksi, hamba tidak mungkin bisa memimpin barisan
pengawal itu. Karena itu, kalau hamba harus membawa serta kepala
rumah tangga dan anak buah Nyonya.
"Tidak usah khawatir. Aku juga
akan memerintah orang-orang itu agar menuruti perintahmu secara
mutlak, sama seperti pengawal yang lain. Kalau mereka tidak mau
menuruti instruksimu dan melawanmu, kau boleh menebas mereka. Aku
juga akan memberitahukan hal ini kepada istriku."
"Kalau begitu,
hamba bersedia berangkat. Kemudian untuk kesahihan kata-kata Paduka
barusan, hamba menginginkan Paduka mewujudkannya dalam bentuk
tulisan."
"Baik. Kau juga harus membuat surat bukti penitipan
kotak benda pusaka yang kini jumlahnya menjadi sebelas dengan
ditujukan kepadaku."
"Baik, Paduka. Kami akan berangkat besok
pagi dari gerbang barat Hoku Kei. Untuk itu, hamba mohon agar Paduka
memberikan kemudahan."
Keesokan harinya, saat langit masih
teriihat gelap, di istana Ryou Chu Sho orang-orang mulai
sibuk.
Semua pengawal dari ketentaraan yang menyamar menjadi
pengangkut barang teriihat sangat kuat. Masing-masing memikul
gendongan yang sangat berat. Barisan mereka teriihat sangat gagah
dan cukup menenteramkan. Baik Ryou Chu Sho maupun istrinya, Sai,
berdiri di selasar mengantar kepergian mereka.
Nyonya Sai
memanggil Kepala Rumah Tangga Sha dan sekali lagi menekankan
kepadanya agar menuruti perintah You Shi, tidak bertengkar, serta
jangan sampai sakit di tengah perjalanan.
"Jangan khawatir,
Paduka. Hamba orang tertua dalam barisan ini. Hamba akan menjaga
agar di perjalanan kami selalu bisa akur. Saudara You Shi, mohon
bantuannya."
Di depan Nyonya Sai, mereka berdua berjabat tangan,
lalu berangkat.
Anggota barisan tersebut berjumlah tujuh belas
orang. Sebagian besar dari mereka tampil seperti pengangkut barang
yang kuat, sedangkan You Shi dan $ha tampil seperti pemimpin
kelompok pedagang. Mereka memakai caping San Tou agar terlindung
dari sinar matahari, baju biru tak berlengan dengan pakaian dalam
kain kasa, sepatu kain tebal, dan di pinggang di balik baju terlihat
menyembul gagang pedang.
Tak lama kemudian, mereka tiba di dekat
pintu gerbang bagian barat yang masih diselimuti kabut pagi. Hanya
You Shi sendiri yang mengepit sebilah cambuk dari rotan. Dengan
memegang ujung caping San Tou-nya dia menengadah ke menara gerbang
seraya berkata, "Kami utusan Ryou Chu Sho yang akan menuju ibukota.
Kami akan melewati gerbang," teriaknya. Dari menara gerbang kemudian
terdengar jawaban, "Siap!" Bersamaan dengan itu, karena gerbang ini
dibuka pada saat yang tak terduga, seluruh pasukan penjaga
bermunculan di dekat gerbang.
"Silakan lewat!" kata mereka sambil
mendorong kedua belah pintu besi ke kiri dan kanan yang mengeluarkan
bunyi berderit.
Saat itu bulan lima sudah lewat dan pasir di
daratan sudah panas membakar. Awan musim panas yang terik berbinar
menusuk mata dan membayang di garis horizon. Panasnya bumi, setelah
melewati dasar sepatu, terasa membakar telapak kaki.
Barisan
mirip semut yang sedang memikul barang itu berjalan dengan napas
tersengal-sengal. Keringat mereka menetes ke tanah. Di awal hari,
dengan mudah semua orang dapat mengucapkan Kai Hou Tou Kei dalam
satu napas. Namun setelah mulai menapaki selangkah demi selangkah
jarak seribu li ke sana sambil membawa barang berat, barulah terasa
pekerjaan ini tidak mudah. Tapi tidak, dibandingkan dengan apa yang
akan mereka hadapi di depan, panas matahari dan bumi yang membakar
mungkin masih dapat ditanggung.
Nun jauh di sana, di antara
puncak-puncak gunung yang menjulang ke awan, bahkan si Iblis Muka
Biru sekalipun tidak tahu bahwa dia akan melihat kelip tujuh bintang
Ursa Mayor yang jarang terlihat dan selalu ditunggu-tunggunya. Bila
dia saja tidak tahu, apalagi para pengangkut barang yang terus
bernapas tersengal-sengal. Tentunya mereka sama sekali tidak
menyangka bakal dapat melihat
bintang.
LIMA belas tentara dalam penampilan
pengangkut barang. Bayangan mereka yang berjalan bagaikan merayap di
atas daratan pasir yang sangat panas, serupa barisan panjang semut
pekerja yang sedang mengangkut makanan, terlihar bergerak maju
dengan sangat lamban.
Sebelas pikulan yang cligendong di punggung
masing-masing tak satu pun yang terlihat ringan. Semuanya dipenuhi
emas, perak, dan intan permata senilai seratus ribu kan yang akan
dikirim kepada Menteri Sai sebagai hadiah ulang tahunnya. Keringat
yang mereka kucurkan setiap hari itu begitu bernilai, yang bahkan
tak sepadan bila setetesnya dihargai sebutir permata di salah satu
pikulan yang mereka bawa.
"Kalian ini sama sekali tidak punya
semangat. Tempat yang kita tuju itu masih berjarak seribu U lagi.
Kalau baru sampai di sini kalian sudah kelelahan, bagaimana nanti ke
depannya? Ayo jalan! Yang malas akan kupukul dengan cambuk
ini."
Di tangan si Iblis Muka Biru tergenggam sebatang cambuk
dari rotan. Pedang di pinggangnya pun ada di sana bukan untuk
sekadar dipamerkan.
Dia mendapat wewenang mutlak dari Ryou Chu
Sho untuk menebas dengan pedang itu siapa pun yang menentang
perintahnya selama perjalanan. Bahkan bila orang itu adalah pemimpin
rombongan yang satu lagi, Sha si kepala ruraah tangga istana,
sekalipun. Dalam perjalanan ini, dia pun tidak boleh mengeluh atau
mengajukan ketidakpuasan kepada You Shi.
Syahdan waktu sudah
berlalu belasan hari sejak mereka meninggalkan gerbang istana Hoku
Kei. Selama itu, hanya dua kali mereka melihat hujan. Itu pun berupa
hujan sore hari yang sangat besar dan disertai gelegar halilintar
yang hanya berlangsung sekejap. Selanjutnya perjalanan yang mereka
alami selalu di bawah sinar matahari yang terik.
Pada malam itu,
begitu tiba di penginapan, You Shi mengumpulkan tentara pengangkut
barang serta kepala rumah tangga istana, Sha. Lalu terhadap keenam
belas orang ini dia berkata, "Nah, mulai dari sini adalah perjalanan
yang sebenarnya. Hoku Kei sudah jauh di belakang kita, sedangkan
ibukota yang kita tuju masih sangat jauh. Dilihat dari mata
pujangga, perjalanan di depan kita akan penuh pegunungan dan sungai
nan indah. Namun dari sudut pandang lain, kenyataannya yang akan
kita hadapi adalah tempat-tempat yang sulit, seperti Gunung Ni Ryu,
Gunung To Ka, Gunung San Gai, Bukit Kou Dei, Haku Sa U, Ya UnTo,
serta tcmpat-tempat lain yang konon sarang perampok. Untuk itu, kita
harus mempersiapkan diri dan membulatkan cekad. Kita harus menyadari
bahwa tugas kita bukan hanya memikul barang."
Setelah mengguyur
mereka dengan peringatan yang memupuskan semangat seperti itu, dia
menambahkan, "Karena itu, mulai besok, kalian boleh tidur sampai
agak siang. Kita tabung tidur sebanyak-banyaknya, lalu berangkat
dengan santai. Dengan cara seperti itu kalian akan mendapatkan cukup
istirahat."
Tetapi para prajurit sama sekali tidak menunjukkan
wajah senang. Hari itu, di tempat tidur, bisik-bisik ramai terdengar
di kalangan mereka.
"Kita mesti waspada. SiTembong Bjru mulai
bicara yang aneh-aneh lagi. Dia selalu saja menyuruh kita terus
berjalan sampai kencing pun rasanya tidak tenang. Tapi mengapa dia
bicara seperti tadi?"
"Memang aneh. Padahal setiap hari dia
selaiu mengucapkan tanggal 15 bulan 7 seolah-olah mantra, tetapi
tiba-tiba saja dia bilang kita boleh tidur hingga siang dan
berangkat agak lambat."
"Apa pun yang dia katakan tidak penting.
Yang penting bagi kita sekarang adalah tidur. Tidur adalah surga
kita. Kita harus berusaha tetap hidup, lalu kaiau kita bisa sampai
ke Kai Hou Tou Kei dengan selamat, tentunya pulangnya tidak akan
seperti ini. Pokoknya di kehidupan yang akan datang, aku tidak akan
mau lagi menjadi tentara."
Keesokan harinya, mereka berangkat
agak siang dan tiba di tempat peristirahatan cukup cepat saat
petang. Perjalanan yang dilakukan di siang hari saja berlangsung
seiama belasan hari.
Dengan cara seperti itu, tentunya keluhan
dari mereka berkurang. Meski sebenarnya tujuan utama You Shi adalah
untuk menghindari kemunculan perampok. Namun tetap saja, tidak
berarti mereka memiliki cukup waktu sampai batas waktu tanggal 15
bulan 7. Alhasil, demi mendapatkan jarak tempuh yang lebih jauh,
pada siang hari dia lebih banyak iagi menggunakan cambuk
rotan.
"Apa? Mau minum? Sabar! Sabar! Air hanya akan menambah
keringat. Bayangkan saja kau sedang rnenggigit buah plum"
"Mana
mungkin! Scsering apa pun akti mem-bayangkan scdang menggigit buah
plum, tctap saja air ludahku tidak keluar."
"Apa dcngan ini tidak
keluar juga?" kata You Shi sambil melecutkan cambuk rotannya di
udara.
"Kalian ini setiap malam kubiarkan untuk tidur sepuasnya,
kan? Jangan bertingkah!"
"Itu bcnar, tapi kalau sama sekali tidak
ada istirahat seperti ini, kami bisa kehabisan napas. Biarkan kami
beristirahat sebentar di bawah pohon. Kalau tidak, tubuh kami akan
kering kerontang."
"Diam! Dalam perjalanan musim panas macam mana
pun, belum pernah kudengar ada orang yang menjadi kering
kerontang."
"Aduh! Mataku mulai
berkunang-kunang!"
"Apa?"
"Tolong izinkan kami untuk membuka
bekal makanan. Kami sudah tidak sanggup melangkah lagi. Sudah tidak
ada tenaga."
"Cih! Setiap kali melihat pohon, kalian pasti akan
mengiba-iba meminta sesuatu. Kalian pikir sekarang sudah tanggaJ
berapa?"
"Wah, mulai lagi. Kami sudah tahu, Tuan." "Kalau kalian
tahu, makanlah sambil jalan. Jika terlambat sehari saja dari batas
waktu tanggal 15 bulan 7, kita akan terlambat untuk acara ulang
tahun Menteri
Sai. Ilalang yang tumbuh dalam seribu hari juga
akan habis terbakar dalam satu hari, begitu kata pepatah."
"Kami
sudah tidak memiliki keinginan apa-apa lagi."
"Kalau begitu,
kalian mau mati?"
"Kejam sekali. Biar begini juga kami ini punya
anak-istri, karena itu kami terus berusahadengan mengucurkan
keringat yang sudah tidak lagi terasa asin."
"Kalau begitu,
Jangan banyak omong lagi. Ayo terus jalan! Nanti kalau sudah sampai
di ibukota, kalian boleh makan-minum sepuasnya dan melakukan apa pun
semau kalian."
"Uh! Semoga hujan turun!"
Namun sayangnya,
hari-hari panas terus berlanjut. Sinar matahari di musim panas itu
jauh lebih terik daripada api yang disemburkan naga. Seluruh langit
seolah-olah dilapisi batu biru panas dan hari ini tak terlihat
sekeping pun awan.
Siang itu juga, akhirnya mereka memasuki jalan
setapak di gunung. Tapi di Sana daun-daun pepohonan tampak layu dan
angin pun seolah-olah mati. Meskipun ada lembah, airnya kering,
semua cadasnya retak, dan tidak setitik pun air keluar dari mata
air.
"Sepertinya kita sudah tiba di salah satu puncak Pegunungan
Tat Kou."
You Shi yang tidak memikul apa pun juga tampaknya sudah
kehabisan napas.
Gunung menjulang dan semakin terjal, sementara
jalan setapak telah tersapu habis air hujan sehingga kini yang
tertinggal hanya aiur bagai dasar sungai. Pohon yang tinggi tampak
bagai tumbuh di ujung tombak dan pcdang, mengingatkan pada
taring-taring tajam macan dan harimau.
You Shi yang tak berniat
berhenti melangkah sibuk memikirkan perjalanan yang sudah dilewati,
serta apa yang akan mereka jelang di depan. Tiba-tiba dia tersadar
bahwa ketika sampai di punggung sebuah gunung, baik Sha, si kepala
rumah tangga, maupun pengangkut barang serta tentara lainnya sudah
cidak berjalan lagi di belakangnya.
"Aku sudah tidak kuat lagi.
Mau diapakan juga silakan."
"Mau dicincang juga aku tidak akan
mau bergerak lagi."
"Silakan lakukan apa pun!"
Setelah
mengatakan hal-hal seperti itu, mereka semua menurunkan barang
bawaan dari punggung, lalu berselonjor atau tidur telentang. Jika
sudah begini kondisinya, tampaknya mereka sudah membulatkan tekad
untuk bergeming, tidak peduii hukuman apa pun yang akan mereka
terima.
"Oh. Dasar manusia rendahan!"
Begitu menyadari
kepasrahan yang diselimuti kenekatan mereka, You Shi segera berbalik
sambil berulang kali melecutkan cambuknya.
"Atas izin siapa
kalian istirahat? Kalian ini, lengah sedikit saja langsung
begini!"
"Sabar! Sabar!"
Yang mencoba meredam kemarahan You
Shi adalah Sha, si kepala rumah tangga.
"Apa pun aJasannya, tidak
memberikan waktu istirahat sedikit pun kepada mereka dalam udara
sepanas ini saya kira terlalu kejam. Pak You Shi, Bapak jangan marah
terus."
"Kepaja rumah tangga! Anda yang memberi mereka izin untuk
beristirahat?"
"Saya tidak memberi mereka izin apa pun. Begitu
sampai di puncak, mereka semua dengan sendirinya kelelahan seperti
itu. Bagi saya, berusaha lebih dari ini sangatlaK sulit, ibarat
harus mengeluarkan seluruh usus dalam perut melalui mulut.
Seandainya kita beristirahat barang setengah jam di sini, saya kira
kita tidak akan terlambat untuk hari ulang tahun Menteri
Sai."
"Kalau Anda yang memahami kondisi yang ada bisa berkata
seperti itu, memangnya saya mau melakukan perjalanan yang sulit
seperti ini dengan mengundang dendam dari mereka semua? Omong-omong,
tahukah Anda sekarang kita berada di mana?"
"Mungkin kita sudah
sampai di salah satu puncak Pegunungan Tai Kou. Kalau kita bisa
melewati puncak ini, saya kira kira takkan menghadapi
masalah."
"Mudah sekali Anda bicara!"
"Apa tidak
begitu?"
"Tidak juga. Dari tadi aku memerhatikan, justru wilayah
inilah yang disebut Bukit Kou Dei itu. Bukit tempat munculnya para
perampok yang sangat ditakuti masyarakat. Jika kita lengah di tempat
seperti ini, mungkin saja kita akan dilanda badai pasir
siluman."
Mendengar itu, seorang tentara pengangkut yang sudah
kepayahan berkata nekat, "Hahaha. Kepala Ekspedisi You mulai berulah
lagi. Setiap hari kita terus-menerus ditakuti seperti ini. Kalau di
siang belong seperti ini muncul siluman seperti icu, menarik juga.
Segala sesuatu itu harus kita alami. Sekarang aku malah jadi ingin
bertemu siluman itu."
"Dasar tolol!" bentak You Shi mengalihkan
kemarahan kepada tentara itu. "Sejak awal kalian selalu mengeluh dan
berkata kalian melakukan pekerjaan berat ini demi anak-istri, bukan?
Bagaimana kalau kalian benar-benar menghadapi kesulitan? Jangankan
mendapat hadiah, justru nyawa kalian yang akan melayang. Aku,
sebagai pemimpin kalian, terpaksa bertindak kejam karena aku tidak
ingin kalian mengalami hal seperti itu. Apa kalian tidak bisa
memahami cambuk kasih sayang yang kulecutkan kepada
kalian?"
"Hmm. Sama sekali tidak. Apa yang dimaksud dengan cambuk
kasih sayang itu?"
"Kau ini!"
You Shi mulai menunjukkan wajah
aslinya kembali dan berniat mencabut pedang yang ada di pinggang.
Melihat itu, Sha, si kepala rumah tangga, tetkejut dan serta-merta
bergcrak ke depan You Shi untuk menghalanginya.
"Tunggu! Saudara
You memang berniat bagus, tetapi Anda masih muda. Sifat Anda yang
lekas marah dengan sendirinya akan merusak suasana yang
ada."
"Tidak! Lepaskan saya. Mereka belum tahu bagaimana jadinya
kalau saya marah. Sebagai contoh, saya akan tebas leher salah
seorang dari mereka!"
"Kalau begicu, siapa nanti yang akan
memikul barang yang dibawanya? Saya sama sekali tidak
mau."
"Kalau cuma satu pikulan bisa diatur. Yang lebih penting
adalah menjaga semangat mereka semua. Orang tua jangan ikut
campur!"
"Tidak! Saya tidak bisa membiarkannya begitu saja.
Bagaimana Anda bisa menyatukan mereka semua kalau hanya mengandalkan
kekerasan? Harusnya Anda menggunakan cara yang lembut. Sayangnya,
Anda tidak dapat memahami apa sebenarnya arti 'susah'
itu."
"Jangan asal bicara. Saya juga pernah mengalami masa-masa
sulit, menggelandang. Saya juga pernah melakukan perjalanan jauh
dari Shi Sen, Kan Shii, sampai Kan
Ton."
"Kalau cuma perjalanan biasa, siapa pun pcrnah
melakukannya."
"Siapa bilang biasa? Anda tahu, sekarang ini
kondisinya sangat buruk di mana-mana. Dalam suasana masyarakat yang
tidak aman dan penuh kegelapan sepcrti itulah saya bcrkelana dan
mengalami berbagai macam kesulitan."
"Hei, kepala ekspedisi."
"Ada apa?"
"Untung sekarang kita berada di tengah pegunungan yang
tidak ada orang lain, tapi sebaiknya Anda jangan terlalu berani
mengatakan hal-hal seperti itu. Anda dilindungi Pangeran Ryou Chu
Sho dan mendapat gaji darinya, jadi apa maksud Anda mengatakan bahwa
sekarang masyarakat dalam suasana tidak aman dan penuh kegelapan?
Mudah-mudahan saja tidak ada yang memotong lidah Anda karena
kata-kata barusan," kata Sha.
Untuk hal ini, You Shi tidak bisa
menanggapinya. Perasaan yang terkubur di dalam hati, jika suatu
ketika terpancing sesuatu, tanpa disadari akan terucap juga. Dia
begitu menyesal, namun ucapannya tidak dapat ditarik lagi. Sekalipun
dia berhasil melaksanakan tugas besar, mengamarkan barang-barang
hadiah kepada Menteri Sai, jika suatu saat hal ini disampaikan Sha
kepada orang-orang di atas, semuanya akan sia-sia. Penyesalan di
wajah You Shi serta-merta membuatnya seperti orang
lemah.
Sekonyong-konyong pandangannya yang sangat tajam menangkap
sosok yang berkelebat. Sosok itu bergerak ke arah hutan cemara tak
jauh dari sana.
"Ah! Ada laki-laki mencurigakan!" teriak You Shi
ke arah hutan itu.
Rasa terdesak akibat adu kata dengan Sha yang
berbuntut tidak mengenakkan serta segala perasaan lain yang ada saat
itu, segera sirna bersama satu teriakan tadi. Mungkin bagi You Shi
itu kesempatan yang sangat menguntungkan dirinya. Entah apa yang
dilihatnya, tetapi dengan kecepatan yang sangat tinggi, dia melesat
mengejar bayangan lakj-laki yang bersembunyi ke hutan cemara.
Dia
kehilangan jejak laki-laki yang berlari bagaikan kijang di antara
pepohonan, namun tanpa diduga-duga dia bertemu sekelompok pedagang
keliling.
Mereka berkumpul di tempat teduh, lalu tersebar di
sana-sini terlihat tujuh buahgerobakdorongdari Provinsi Kou yang
masing-masing memuat tong. Pedagang itu berjumlah tujuh orang, tua
dan muda. Ada yang duduk bersila, ada yang berbaring, atau duduk di
bawah pohon dan pegangan gerobak. Tampaknya mereka semua sedang
bersenda gurau sambil mengelap keringat yang mengucur dalam cuaca
yang begitu panas.
"Hah?"
Seketika mereka terlonjak, terkejut
melihat sosok You Shi.
"Kalian siapa?" You Shi bertanya sambil
mendekat.
"Kau sendlri siapa?" kata pihak pedagang seolah-olah
membeo.
"Begini. Siapa kalian dan dari mana? Itu yang
kutanyakan."
"Kami juga bertanya, kau ini siapa? Oh!
Jangan-jangan kau orang jahat yang kami dengar sering muncul di
Bukit Kou Dei."
"Jangan macam-macam. Justru kalianlah yang
mungkin orang jahat itu."
"Sungguh tersanjung kami mendengarnya.
Sayang sckali, kami cuma orang tua dan anak muda pedagang kecil
miskin. Omong-omong, kau ini siapa?"
"Akusebenarnya juga
pedagang, dari Kai Hou. Kami baru membeli kulit binatang dari Ko
Hoku dan sedang dalam perjalanan menuju ibukota. Karena kami dengar
tempat ini berbahaya, begitu tadi aku melihat laki-laki mencurigakan
sedang mengamati kami lalu melarikan diri ke hutan cemara, maka aku
mengejar ke sini. Karena kupikir laki-laki itu orang
jahat,"
Ketujuh orang itu tertawa terpingkal-pingkal mendengar
cerita You Shi.
"WahlSepertinyakitasedangmainkucing-kucingan.
Kami juga seperti itu. Ketika sedang beristirahat di sini, dari arah
kaki gunung sebelah utara muncul belasan orang kekar yang mengangkut
sesuatu. Kami panik karena mengira perampok-perampok terkenal dari
Bukit Kou Dei sudah muncul, sehingga kami pun ketakutan. Untuk itu
kami mengutus salah satu dari kami untuk mengawasi mereka. Tapi
karena dia bilang kelinatannya mereka bukan orang jahat, kami pun
kembali mulai istirahat. Begitu."
You Shi tampaknya mulai percaya
dan sambil tersenyum dia berkata, "Jadi kita sama-sama pedagang. Ini
betul-betul menggembirakan. Omong-omong, apa yang kalian
jual?"
"Silakan lihat tong ini."
"Oh. Manisan pala. Jadi,
kalian ini pedagang manisan pala?"
"Kalau di kampung, yang
seperti ini bukan barang aneh, tapi kalau di ibukota, para peminum
selalu bilang bahwa untuk camilan minum arak tidak ada yang lebih
baik selain manisan pala. Untuk itu, kami bertujuh bersama-sama
berangkat dari Provinsi Go menuju ibukota. Tapi kalau udaranya
begini panas, pala di dalam tong bisa layu. Mencari uang itu memang
sulit."
"Betul sekali. Seperti kata peribahasa, uang bisa
menyusahkan dan bisa pula menghancurkan."
"Kalau kau suka, akan
kami beri sedikit pala ini."
"Tidak usah. Terima kasih atas
kebaikannya."
Dengan agak tertawa pahit, You Shi kembali ke
tempat teman-temannya berkumpul.
Begitu melihat kedatangan You
Shi, Kepala Rumah Tangga Sha berkata dengan agak sinis, "Kepala
ekspedisi. Bagaimana ketajaman pedang yang Anda bangga-banggakan
itu?"
"Saya sangka mereka perampok, tapi ternyata mereka cuma
kelompok pedagang kecil yang tidak perlu kita cemaskan."
"Oh,
begitu. Kalau berpijak pada kata-kata yang selalu Anda katakan,
mestinya di wilayah ini tidak ada manusia baik-baik,
bukan?"
"Janganlah berkata sinis seperti itu. Orang tua memang
selalu bersifat pendendam rupanya."
"Oh, tidak juga. Kalau
begitu, artinya kita bisa sampai dengan selamat. Saya tadi sudah
membuka bekal sisa. Bagaimana kalau Anda juga beristirahat
sebentar?"
"Baiklah," sahut You Shi. "Anggap saja hari ini kita
kehujanan. Hei! Kalian semua! Kalian boleh beristirahat dulu!"
Di
sini You Shi melakukan kesalahan kecil. Dia jadi tampak agak malu.
Sejak tadi para tentara memang sudah beristirahat dengan kemauan
sendiri berkat ide Kepala Rumah Tangga Sha. Cambuk You Shi pun
terpaksa bertekuk lutut terhadap kekompakan serta kenekatan
kelompoknya.
Selain itu, bisa dikatakan bahwa waktunya memang
sangat tepat. Entah dari mana asalnya, terdengar seseorang
melantunkan nyanyian desa. Suara laki-laki. Iramanya sesuai sekali
dengan langkah kaki laki-laki yang datang dengan memikul barang
bawaan di pundaknya. Semua tentara menoleh ke arah tanjakan yang ada
di belakang mereka. Dari sana muncul seorang laki-laki yang memikul
dua tong kayu. Dari kedua tong itu tercium aroma arak ubi yang
menyengat.
"Hei! Tunggu dulu!" panggil para tentara.
Laki-laki
itu menurunkan pikulannya.
"Ya. Ada apa?"
"Sepertinya itu arak
ubi, ya?"
"Memang betul."
"Mau dibawa ke mana?"
"Ke desa di
sebelah sana, di sisi lain gunung itu. Lusa ada pesta musim panas di
sana."
"Jadi arak ubi ini tidak kaujual?"
"Justru karena ini
barang dagangan, maka saya memikulnya seperti ini. Tergantung
harganya, saya bisa saja menjualnya kepada Anda semua."
"Berapa
harga satu tong?"
"Saya kasih murah. Satu tong lima kan. Karena
masih setengah perjalanan, jadi ongkos jalannya tidak usah
ditambahkan."
Para tentara itu berkumpul untuk berunding. Mereka
mirip anak-anak kelaparan yang disodori makanan di depan hidung
mereka. Kerongkongan mereka berdeguk. Hidung mereka bergerak-gerak.
Akhirnya masing-masing mengeluarkan uang receh. Tampaknya mereka
bcrembuk untuk membeli arak itu dengan nlenggabungkan uang saku
mereka.
You Shi yang sejak tadi mclotot, tiba-tiba mencabut
pcdang beserta sarungnya dari pinggang dan berjalan menuju tong
arak. Lalu dengan ujung pedangnya dia mengeruk-ngetuk tong
itu.
"Hei! Kalian berniat membeli ini dan meminumnya,
ya?"
"Kami membayarnya dengan uang kami sendiri."
"Bukan soal
uangnya. Memangnya kalian mendapat izin siapa untuk membeli ini?
Kalian jangan macam-macam!"
"Kami tidak ingin macam-macam. Tapi
kalau Tuan juga manusia, tolong pahami kami. Kami sudah tidak tahan
lagi. Kalau mdihat arak itu dan tidak meminumnya, bayang-bayang akan
arak itu akan rerus melekat di pikiran kami, membuat kami penasaran
sehingga tidak ada keinginan lagi untuk berjalan."
"Jangan
aneh-aneh. Pakai suara memelas segala seperti anak-anak. Buka
telinga kalian dan dengarkan baik-baik! Dalam perjalanan biasa pun,
kita tidak boleh tergiur arak yang dijual pedagang keliling. Apa
kalian tidak tahu? Berapa banyak kejadian yang menunjukkan bahwa
karena keserakahan yang didasari kedangkalan pikiran, banyak orang
yang seluruh uang di sakunya dirampok tukang arak keliling, karena
arak yang diminumnya sudah diberi obat bius. Kalian ini tidak mau
mengerti juga."
Mendengar itu, alih-alih para tentara, justru si
tukangarakkelilingyangtampakmarah.Huh.dengusnya sambil melotot. Lalu
dia segera memikul kembali barang dagangannya dan berlalu dari
Sana.
"Hei! Jangan berdiri di Sana! Menghalangi jalanku, tahu!
Benar-benar menyebalkan. Mana ada orang gila yang mau menjual obat
bius dalam cuaca sepanas ini? Sungguh
tolol!"
KATA-KATA yang diucapkan pedagang arak itu
memang ditujukan kepada You Shi, namun iai justru menambah rasa
penasaran para tentara.
"Hei! Tunggu! Kami sudah mengumpulkan
uang."
"Siapa peduli? Aku tidak akan
menjualnya. Selamat tinggal.' "Hei! Jangan marah begitu. Meskipun
cara bicaranya seperti itu, pemimpin kami ini sangai pengertian,
juga penuh belas kasih."
"Kalian asal bicara! Apa ada orang yang
sangat pengertian yang menjelek-jelekkan dagangan orang? Kaiau ini
terjadi di kola atau di desa, tentunya tidak akan dibiarkan begitu
saja."
Tampaknya si tukang arak benar-benar marah. Karcna itu
sikapnya semakin angkuh. Pada saat itu, dari bayangan hutan cemara
di sebelah sana, kclompok pedagang pala datang berlarian.
"Ada
apa ini?" kata mereka memana.s-manasi. Mata mereka berbinar-binar
penuh ingin tahu, scolah-olah mengharapkan terjadinya
sesuatu.
"Astaga! Kenapa kau marah-marah seperti itu, tukang
arak? Turunkan dulu arakmu."
"Oh. Ternyata para pedagang yang
tadi malam menginap di kaki gunung. Tolong dengarkan aku. Bagaimana
aku tidak marah...," katanya kemudian berkisah.
"Jadi lalu kau
bcrtcngkar dcngan saudara-saudara ini? Dari tadi kami mendengarnya
dari sana. Kami kira ada perampok yang muncul, jadi kami segera ke
sini. Tapi kalau hanya perang mulut, syukurlah. Sebaiknya disudahi,
Jangan diteruskan. Pertengkaran tidak ada gunanya."
"Memang benar
yang kaukatakan," kata si tukang arak ubi. "Tak seorang pun yang
ingin bmengkar, tapi karena ada orang yang bicara seenaknya, aku
jadi naik pitam. Dia bilang, barang jualanku diberi obat bius.
Betul-betul menyebalkan."
"Siapa yang seenaknya bicara seperti
itu?"
"Dia itu, orang yang seperti cabai hijau yang sedang
berdiri tegak di sebelah sana. Sejak dulu, secara turun- temurun,
keluargaku discbut sebagai penjual arak yang jujur. Jads kejadian
hari ini betiil-betul membuatku gusar."
"Sudahlah.
Jangan terialu dipikirkan. Tidak perlu marah-marah. Lagi pula, orang
itu sekarang diam saja, bukan? Mungkin dia menyadari omongannya
memang keterlaiuan dan sekarang menyesal. Daripada bicara terus,
lebih baik beri semua anggota kami rnasing-masing secangkir, soalnya
sekarang kami bctul-betul kehausan."
"Tidak mau."
"Kenapa? Kau
keras kepala juga, ya? Kami kati tidak minta arakmu secara
gratis."
"Aku tahu. Sebenarnya, sekalipun tidak bcrjualan di
tempat scperti ini pun, aku pcdagang arak yang tidak pernah
kekurangan pelanggan warisan orangtuaku. Jangan kaupandang enteng
soal itu."
"Hei, jangan bicara yang tidak-tidak. Bukan kami yang
membuatmu kesal, kan? Kau ini aneh juga. Nah sekarang, tolong beri
kami arak itu dan jangan marah-marah lagi. Berjualan arak itu harus
berbaik-baik dengan pembeli, bukan?"
"Kalau kau berkata seperti
itu dan mungkin karena aku ini memang tolol, aku akan menjual arak
ini kepada kalian. Tapi sayangnya, aku tidak membawa
cangkir."
"Tidak masalah. Kalau soal cangkir, jangan khawatir.
Ada di sana."
Dua penjual pala berlari ke arah gerobak mereka.
Mereka kembali dengan membawa dua mangkuk dari batok kelapa. Salah
satu dari mereka membawa setangkup penuh pala.
Kemudian dia
meletakkan pala itu di atas tutup tong arak.
"Nah, ini dia
camilannya."
Mereka bertujuh mengelilingi tong arak. Bergantian
mereka minum arak ubi dari mangkuk batok kelapa. Kelihatannya
menikmati sekali. Sambil minum, mereka makan pala. Daiam sekejap,
arak yang ada di salah satu tong itu hampir habis.
"Benar-benar
nikmat. Mungkin karena tanpa disangka-sangka kita bisa minum arak di
tempat seperti ini, arak ini terasa sangat lezat, tidak ada
tandingannya. Cuaca yang panas pun seperti terlupakan."
"Hei!
Hei!" seru salah satu penjual pala. "Kalian enak saja minum-minum,
padahal harganya belum ditanyakan. Hei, tukangarak, kamisudah
menghabiskan satu tong. Berapa harganya?"
"Karena harga satu
pikulan sepuluh kan, jadi kalau satu tong harganya lima
kan."
"Baik, ini uangnya, lima kan"
Ketika uang sedang
diseraiikan, salah satu satu penjual pala berkata, "Tolong satu
mangkuk lagi sebagai bonus." Dia membuka tutup tong yang satunya
lagi,
lalu mcmasukkan mangkuk kelapa untuk mengambil arak dan
meminumnya. Si tukang arak menoleh.
"Hei! Tidak boleh!" serunya
sambil berusaha merebut mangkuk yang kirn isinya tinggal separuh.
Namun, si pedagang pala yang sedang mcmegang mangkuk itu bcrkelii
dengan gesit, lalu cepat-cepat bcrlari menghindar ke arah hutan
cemara. Si tukang arak tampaknya sangat pcnasaran, jadi dia pun
mcngejarnya sambil mencad-maki. Melihat itu, para pedagang lain yang
masih ada dl sana malah memanfaatkan kesempatan baik ini. Mereka
mulal mengelilingi tong yang tidak ada penjaganya dengan mangkuk
kelapa yang sudah siap di tangan. Si tukang arak yang menoleh ke
tongnya kembali terperangah.
"Pencuri!" teriaknya sambil berlari
kembali ke arah tongnya. Begitu sampai, dengan kalap dia segera
merebut mangkuk-mangkuk kelapa itu. Lalu dia mencaci-maki para
pedagang pala yang melarikan diri.
"Sialan. Hei,
pedagang-pedagang jahat yang pura-pura alim, mampuslah
kalian!"
Tentara-tentara yang sejak tadi menonton sudah tidak
sanggup tertawa, hanya dapat menelan air liur. Rasa dendam akibat
makanan itu rupanya sangat serius. Apalagi di tengah hari yang
sangat terik membakar, ketika di depan hidung mereka orang-orang
makan-minum, tentunya pemandangan itu menjadi siksaan yang tak
tercahankan. Dalam kesunyian yang menekan,
mereka
400
memandang punggung You Shi yang duduk di kejauhan
dengan penuh dendam. Akhirnya, mereka sudah tidak tahan lagi dan
mulai mengeluh kepada Kepala Rumah Tangga Sha.
"Kepala Rumah
Tangga, toiong kami. Tolong mintakan izin Kepala Ekspedisi You. Kita
masih harus menghadapi tanjakan panjang di depan. Ketika sampai di
puncak, tidak mungkin ada air yang bisa kita minum. Tolong minta
beliau mengizinkan kami membeli dan minum arak dalam tong yang satu
lagi. Kami sudah sangat haus."
Sebenarnya Sha sendiri, memiliki
keinginan yang sama di dalam hatinya, namun tentu saja dia tidak
mungkin begitu saja menunjukkan perasaan itu di hadapan mereka.
Dengan wajah seolah-olah segan menerima permohonan mereka, dia
menghampiri You Shi. Dia berusaha menyampaikan keinginan mereka
kepada You Shi dengan nada seolah-olah menyarankan bahwa kalau tidak
berkenan, dia bisa berpura-pura tidak melihatnya.
"Hah!" You
menyergah. "Di mana semangat mereka itu?"
Meskipun You Shi
menunjukkan wajah yang tidak senang, dia menimbang-nimbang. Jikalau
nanti sesampainya di ibukota, kesalahan kata-katanya tadi disebarkan
baik oleh kepala rumah tangga maupun para tentara dengan
ditambah-tambahi, hal tersebut akan berdampak buruk pada dirinya.
Sclain itu, jika mcreka terus mcndendam, keadaan ini tidak akan
bagus untuk pcrjalanan ke depan.
Lagi pula berdasarkan
pengamatannya scjak tadi, tidak ada yang patut dicurigai pada kedua
tong arak ubi itu. Maka, dcngan wajah seolah tidak rcla, dia
berkata, "Apa boleh buat? Kalau Anda sendiri bilang seperti itu,
untuk hari ini saja saya akan bcrsikap pura-pura tidak melihat. Tap!
sebagai imbalannya, sctelah rasa haus mereka lenyap, saya harap kita
bisa berangkat lagi dcngan penuh semangat."
"Oh! Anda
mengizinkan.Tcntunya para tcntara akan menari kegirangan. Hci,
kalian semua! Bergembiralah! Sudah ada izin dari Tuan
You!"
Kepala Rumah Tangga Sha scndirl tcrlihat a mat sangat
senang. Begitu sampai di dekar tong arak bcrsama para tentara, dia
berteriak kegirangan.
" Fidak! Tidak! Aku tidak niau menjualnya
kepada kalian."
Tentara-tcntara berteriak kegirangan, tetapi si
penjual arak kembali lagi merajuk.
"Daripada berlama-lama di sini
dalam suasana yang tidak menyenangkan, lebih baik aku segera pergi
kc desa dan menyenangkan penduduk di sana. Ayo, minggir! Tampaknya
hari ini bukan hari baik untukku."
"Kau masih jengkcl rupanya.
Maafkanlah kami."
"Tak perlu buang tenaga. Aku tidak akan mau
menerima permintaan maaf kalian!" "Kau ini keras kepala juga."
"Memang. Lalu kenapa?"
"Hei! Kau berdosa kalau pergi begitu saja
tanpa menjual arak itu kepada kami. Padahal kami sudah susah-susah
mengumpulkan uang dan memohon-mohon seperti
ini."
"Kalian tidak
mau melepaskanku rupanya.
Tcrscrahlah. Kalau kalian
betul-betul begitu ingin minum arak, sana,
silakan saja ambil sesuka kalian!" "Tidak bisa begitu. Nih, kami
bayar lima kan\" "Sekarang harganya bukan lima kan" "Apa? Kau mau
menaikkan harganya?" "Aku tidak sepicik itu. Tong yang satu ini
sudah berkurang beberapa mangkuk karena diambil pedagang-pedagang
pala tadi. Karena itu, harganya kupotong. Cukup empat kan
saja."
"Oh, begitu. Kau ini ternyata orang jujur. Hebat." Salah
satu tentara memungut mangkuk tcmpurung kelapa yang tergeletak di
dekat sana, lalu dengan wajah serius mengitan tong menunggu gihran
minum.
Terdengar bunyi decak lidah. Terdengar bunyi teguk
kerongkongan. Terdengar pujian, teriakan senang, juga lelehan air
liur kegembiraan. Posisi mereka kini bagaikan lukisan sumur di surga
yang diketilingi arwah-anvah gentayangan.
"Hei! Hei! Yang sudah
dapac minum, silakan menjauh. Masa kalian mau mendahuEui Kepala
Rumah Tangga!"
"Oh, maaf. Kepala Rumah Tangga, silakan Anda minum
juga."
"Wah. Arak ini bctul-betul bagus. Enak sckali. Saya akan
menawari Tuan You Shi juga."
You Shi sama sekali tidak berniat
minum. Pada dasarnya You Shi bukanlah peminum, tecapi rasa haus juga
mendera dirinya. Maka, ketika arak dalam tong sudah hampir habis,
dia berkata, "Ya. Aku juga mau minum sereguk." Akhirnya dia juga
minum kira-kira setengah mangkuk.
"Terima kasih," kata si tukang
arak. "Bcrkat kalian semua, hari ini aku bisa segcra kembali ke kaki
gunung. Kalau begitu, selamat jalan."
Setelah mengucapkan tcrima
kasih, dia memikul tong-tongnya yang sudah kosong, lalu dengan
langkah cepat kembali menuruni gunung ke arah datangnya
tadi.
Ketika itu, dari suatu sudut hutan ccmara yang terpisah
agak jauh, ketujuh pedagang pala bergeming bagaikan tujuh patung
batu dan terus mcmerhatikan scgala sesuaru yang terjadi.
Saat itu
juga, dari arah bawah jalan turunan yang sudah cukup jauh>
terdengar nyanyian desa penjual arak yang sudah tidak kelihatan lag!
sosok tubuhnya.
Mungkin itu tandanya. Mendadak, ketujuh orang
itu screntak tertawa dan bertepuk tangan.
"Lihat bagaimana
hasilnya? Bagus sekali kan?"
"Memang sesuai dengan julukan Kou
iMei zaman sekarang, Guru Go, si Bintang Banyak Akal ini hebat
sekali. Semuanya berjalan sesuai rencana Guru."
"Rasakan! Dasar
pesuruh-pesuruh pejabat jahat."
"Mampuslah kalian tan pa merasa
penasaran!"
"Ayo, kita mulai bekerja!"
Serentak ketujuh orang
itu mulai mendorong gerobak masing-masing dari bayang-bayang hutan
cemara. Lalu dengan cepat dan tanpa ragu, mereka bergerak ke arah
You Shi, Kepala Rumah Tangga Sha, dan para tentara.
Mereka lalu
bergegas membuang semua pala di gerobak ke lembah. Sebagai gantmya,
mereka memuat sebelas pikul barang yang tadi diletakkan berjajar
oleh para pengangkut kelompok You Shi ke gerobak, masing-masing dua
atau tiga pikulan, lalu menyelubunginya dengan kain
penutup.
"Selesai sudah. Selanjutnya apa pun yang akan terjadi,
terjadilah."
"Selanjutnya. kalian akan jadi mangsa burung atau
binatang buas."
"Selamat tinggal! Selamac
tinggal!"
Seolah-olah mereka menyanyikan lagu kemenangan. Tcmunya
itulah yang terjadi. karena uang dan emas permata dari suami-istri
Ryou Chu Sho yang mestinya dikirim kepada Menteri Sai kini sudah
berubah arah. Meskipun demikian, mau diangkut ke mana scbenarnya
harta kekayaan senilai seratus ribu kan yang berada di balik kain
penutup gerobak itu?
"Uhoh..."
Setengah sadar You Shi melihat
scmua itu namun dia tidak bisa melakukan apa pun. Kepalanya terasa
kosong. Meskipun semua itu dapat dikctahui dengan matanya, saraf
indra penglihatannya tidak sampai ke otak. Tangannya masih bisa
menggenggam akar rerumputan, namun ke atas punggung tangannya, dia
hanya bisa meneteskan air liur. Pmggangnya terasa berat bagaikan
digantungi timah, seluruh rubuhnya terasa dingin. Mulutnya terbuka
lunglai, dan dari situ keluar suara namun tidak berupa
kata-kata.
"Apa yang terjadi pada Kepala Rumah Tangga? Dan para
tentara?"
Sel-sel otaknya mulai berpikir.
Dia mengangkat dahi
dari tanah, laJu menebarkan pandangan ke sekeliling.
Semuanya
sedang menggelepar-gelepar bagaikan ikan yang akan mati di danau
kering. Tak seorang pun berada dalam kondisi baik. Di mana-mana
hanya rerdengar erangan aneh seperti suara yang dikeluarkan orang
gagu, serta hanya terlihat gerakan-gerakan tubuh yang aneh pula.
"Oh. Sungguh menyedihkan."
You Shi dengan lunglai bangkit,
namun dia segera terjatuh kembali. Lalu setelah itu, tidak sedikit
pun kesadaran tersisa pada dirinya. Satu atau dua jam kemudian,
ketika kesadarannya kembali, di suatu sudut Pegunungan Tai Kou,
bulan memancarkan sinarnya yang kemilau bagaikan taring
setan.
Siapakah sebenarnya ketujuh orang pedagang pala itu?
Sebenarnya tidak usah dijelaskan lagi, tetapi kalaupun harus
disebutkan, mereka itu tidak lam orang-orang yang sudah dicentakan
sebelumnya, yaitu Chou Gai dari Desa Tou Kei, tamunya si Ryu Tou si
Setan Rambut Merah, Ccndekiawan Go yang sedesa dengan Chou Gai, uga
bersaudara Gen yang adalah para nelayan Desa Sekka yang diajak
Cendekiawan Go bergabung, serta Kou Son Shou Issei. Semuanya
berjumlah tujuh orang.
Tidak hanya mereka, masih ada satu lagi
orang luar yang ikut dalam kelompok tersebut. Orang ini pandaJ
sekaii bersandiwara. Diaiah laki-laki yang tclah berperan bagus
sebagai pedagang arak. Dia tidak memiliki pekerjaan tetap, bernama
Haku Shou, si Tikus Slang yang tinggal di desa dekat Bukit Kou Dei.
Karena dia orang yang mendapar perhatian dari Chou Gai, maka
rumahnya dipilih sebagai tempat berkumpul kelompok Chou Gai,
kemucfian dia scndirilah yang mcngajukan diri untuk memainkan
satu peran.
Selanjutnya, tentang rencana penggunaan obat bins.
Hal ini dirancang bcrdasarkan aJur yang sangat taktis. Pertama,
tujuh orang menghabiskan satu tong arak. Lalu mereka mernbayar uang.
Selanjutnya, pada saat membayar, tong yang satu lagi dibuka
penutupnya, dan yang minum setengah mangkuk kelapa tanpa izin itu
adalah Ryu Tou, si Setan Rambut Mcrah. Ryu Tou melarikan diri dan si
Tikus Siang yang berperan sebagai penjual arak mengejarnya. Pada
saat si penjual arak tidak berada di tempat, kelompok yang
tertinggal, ranpa izin berebut untuk mencoba minum arak dari tong
itu, atau setidaknya memperlihatkan bahwa mereka minum.
Mclihat
itu, Tikus Siang, si tukang arak, terkejut dan kembali, lalu mereka
berpura-pura hendak berkelahi. Pada saat itulah Cendekiawan Go
cepat-cepat memasukkan obat bius ke mangkuk, lalu dengan mangkuk itu
dia berusaha mengambil arak. Selanjutnya, bagaikan sulap, racun
sudah teraduk di seluruh arak yang ada dalam tong.
Selanjutnya,
mereka semua bersama-sama melarikan diri. Si tukang arak mencaci
maki sambii melemparkan mangkuk yang telah direbutnya dari tangan
mereka. Demikianlah, rencana memasukkan racun ke dalam rong arak pun
selesai. Pada zaman Selanjutnya, satu babak drama yang terjadi pada
saat itu disebut sebagai adegan "Perebutan badiah ulang tahun dengan
akal."
"Asraga! Kenapa aku ini?"
You Shi, si Iblis Muka Biru
yang tersadar mengamau keadaan dirinya, lalu menengadah ke langit
luas ke arah bayang-bayang bulan tanggal dua.
"Ah, ternyata aku
rertipu. Padahal aku sudah berusaha agar tidak sampai terkecoh, tapi
tetap saja masuk perangkap."
Seolah tak kuat menahan kesal, dia
meremas rambut dengan kedua tangan. Air mata kekecewaan pun mengalir
di pipinya.
"Bagaimana aku bisa kembali ke Hoku Kei dalam keadaan
hidup? Jika aku pergi ke ibukota, aku jadi orang buangan yang tidak
akan diterima lagi. Kalau begitu, sebaiknya aku melemparkan diri
dari bukit ini ke lembah, setelah itu aku akan menjadi setan di
Bukit Kou Dei. Aku akan menjadi legenda bagi setiap pelancong yang
melewati tempat ini, mereka dapat berkisah bahwa dulu ada manusia
tolol seperti aku. Mungkin hanya inilah jalan akhir yang bisa
kutempuh. Jalan akhir hidupku."
Dengan langkah lunglai, dia mulai
berjalan menyusuri bayang-bayang pekat.
Kecnam belas orang
lainnya masih tergeletak di tanah, tidak bersuara. Mungkin dia
paling cepat tersadar karena hanya dia yang minum setengah mangkuk
arak. Meskipun demikian, bagi dirinya yang sekarang sudah berdiri di
depan jurang kematian, hal itu sama sekali tidak ada
untungnya.
"Sejaklahir sampai sekarang aku sudah hidup selama
tiga puluh tahun lebih. Apakah aku harus mati dcngan cara seperti
ini? Sebenarnya untuk apa aku lahir?"
Pada saat You Shi memandang
kc bawah, ke jurang kcmatiannya, kilasan-kilasan episode hidupnya di
masa ialu selama tiga puluh tahun lebih terlihat kembali dengan
sangat cepat bagaikan kilat.
Bayang-bayang ayah dan ibunya
muncul. Terdengar suara adik-adiknya. Guru ilmu bela diri, guru ilmu
sastra, semua orang di dunia ini yang telah mendidiknya, yang telah
mendukungnya untuk menjalani berbagai macam kehidupan, dengan kuat
mcmegang lengan bajunya. Mereka seolah-olah berusaha menghentikan
niarnya dan berkata, "Kenapa kau memihh kematian?" atau "Mati itu
gampang, tetapi kau takkan dapat hidup lagi."
"Oh, menakurkan.
Begini menakutkan kematian yang tak bermakna. Ternyata aku tidak mau
mad. Aku ingin menemukan suatu makna, enrah itu makna kematian atau
makna kehidupan."
Dia segera melompat mundur dari bibir jurang,
seolah-olah melepaskan diri dari mulut dewa kematian.
Ketika dia
kembali ke tempat semula, keenam belas sosok yang tampak buruk itu
masih tergeletak dcngan mata mendelik dan ujung mulut
berbusa.
"To...Tolol!"
Suara dari tubuhnya meluncur ke luar
dengan sendirinya. Setelah teriakan tersebut, perasaannya mulai agak
lega.
"Baiklah. Aku tidak akan mati. Siapa yang mau mati bersama
orang-orang sepeni ini? Nyawaku tidakJah semurah icu. Mulai esok,
menangkap perampok-perampok itu akan menjadi salah satu misiku.
Seianjutnya bagaimana aku harus menggunakan nyawaku yang ada ini,
akan kupikirkan setelah menjalam kehidupan di dcpan."
Pedangnya
yang sampai saat itu ridak terpikirkan olehnya ternyata tergeletak
di tanah. Dia memungut pedang itu ialu menyandangnya di pmggang.
Ketika dia menengadah ke langit, terlihat sekumpulan burung maJam
sedang menukik. Dia menganggap arah menukik burung-burung tersebut
sebagai petunjuk dari langit ke arah yang harus dia tuju. Akhirnya
You Shi mulai berjalan dengan sempoyongan menuju kakl gunung, ranpa
mengetahui akan sampai di mana dirinya nanti.
Malam scmakin
iarut.
DI satu sudut Bukit Kou Dei, akhirnya, kepala rumah tangga
dan para temara yang kuat itu tersadar kembali akibat dinginnya
embun malam, dan mereka mulai merayap bangkit.
"Apa yang harus
kita lakukan?" Mereka saling mengcluhkan keteledoran mereka. "You,
dia melarikan diri," Kepala Rumah Tangga Sha serta-merta
memaki-maki, mcnutupi kesalahannya sendiri.
"Kalau dipikir-pikir, mungkin dia sudah tahu arak itu
beracun. Apa pun yang terjadi di sini, kesalahannya kita timpakan
kcpada dia saja. Apa kalian semua mengerti?"
"Apa pangeran tidak
akan menyalahkan kita juga?"
"Kalau kita jelaskan apa adanya,
kepala kita bias dipenggal. Karena itu, kita harus berpikk jauh.
Besok pagi-pagi sekali kita harus mclaporke kantor pemerintah di
daerah ini. Mengerti?"
"Ya. Bagaimana caranya?"
"Kita laporkan
bahwa semuanya merupakan perbuatan You Shi. Dia bekerja sama dengan
perampok di Bukit Kou Dei. Dengan lihai dia menyuruh kita minum arak
beracun, mengambil sernua barang hadiah ulang tahun, lalu
menghilang. Begitulah yang akan kita katakan. Kalian paham? Di mana
pun kita diinterogasi, pcrkataan kita harus tecap sama."
"Baik.
Lagi pula kami puaya dendam yang sangat dalam terhadapnya. Semua
kesalahan kita timpakan kepadanya saja."
"Kalian ini saksi hidup.
Dengan demikian, tergantung situasi dan kondisinya, mungkin saja
kalian akan disuruh tetap berada di kantor pemerintah setempat.
Kalau aku, aku akan kembali ke Hoku Kei untuk melaporkan segala
sesuatunya secara terperinci kepada Paduka Ryou Chu Sho. Sudah pasti
beliau akan marah bcsar. Tentunya, beliau akan segera mengirimkan
utusan kilac kepada Menteri Sai di ibukota, serta memerintahkan
dinas kepolisian Provinsi Sai untuk menangkap para perampok
itu."
Sementara itu, bagaimanakah nasib You Shi? Tidak sedikit
pun dia tahu bahwa setelah kepergiannya, perundingan jahat semacam
itu berlangsung.
Kesadarannya belum pulih sepenuhnya. Kepaianya
juga masih terasa seperti melayang, sampai-sampai dia tidak tahu di
mana dirinya sedang berjalan. Namun, menjelang subuh, dia sudah
menuruni Bukit Kou Dei bagian selatan, lalu melanjutkan perjalanan
menuju selatan tanpa tujuan pasti.
"Astaga! Gawat!"
Karena
cadi dia sudah berniat matt, maka dia tidak membawa bungkusannya
yang berisi surat izin jalan dan surat kecerangan ekspedisi. Dia
bahkan tidak membawa uang sepeser pun.
"Betul-betul lucu. Aku
barn menyadari sekarang bahwa dalam hidup, kita pasti merasakan
lapar. Tapi tentunya masalah ini dapat diatasi, meskipun tidak
sampai harus menjadi pengemis.
Dia memasuki sebuah perkampungan.
Perutnya sudah terasa sangat perih. Dia buru-buru memasuki warung
minuman yang biasa banyak terdapat di perkampungan. Seorang
perempuan yang ramah datang menanyakan pesanan.
Dia memesan
daging bakar dan nasi. Karena tempat itu merupakan warung minuman,
rasanya kurang lengkap kalau tidak memesan minuman pula, pikirnya.
Lalu dia berkata, "Mima sedikit arak juga," katanya dengan wajah
seolah-olah sudah biasa minum arak. Perempuan itu tampak scperti ibu
rumah cangga yang baik namun ternyata sangar fasih dalam menuangkan
arak.
Karena tidak terbiasa minum arak, wajah si Iblis Muka Biru
mulai berubah merah. Dia makan daging, menjejalkan nasi ke perurnya,
lalu memperbaiki letak pedang panjang dipinggangnya dan berdiri.
Kesadarannya yang hilang tadi malam sudah mulai pulih. Begitu pula
cara jalan dan tatapan matanya, semuanya sudah mulai kembali seperti
sediakala.
"Tunggu, Pak. Anda melupakan sesuatu."
"Apa
itu?"
"Uang bayarannya, Pak."
"Oh, benar juga."
"Jangan
bercanda, Pak."
"Sebenarnya, aku tidak membawa uang sesen pun.
Tapi karena aku ini laki-laki sejati, suatu saat aku pasti akan
datang kembali dan membayarnya."
"Mana mungkin kami membiarkan
pelancong melakukan hal semacam itu?"
Tetapi You Shi tidak
menggubrisnya. Si perempuan berteriak-teriak, Dia terus mengikuti
You Shi. Melihat itu, You Shi memelototinya sambil membentak, "Dasar
cerewet!" Lalu dia tertawa terbahak-bahak. "Nyonya, jangan
mendesakku! Biar begini, aku terlahir dari keluarga terhormat dan
dulu memiliki jabatan pula. Aku akan segera kembali dan membayarnya.
Jadi untuk kali ini, tolong anggap saja utang."
Sekonyong-konyong
dari belakang si perempuan terdengar suara seorang !aki-iaki muda,
"Jangan banyak omong. Kau ini past! tukang makan tanpa bayar. Hei!
Semua ke sini, bikin mampus gelandangan ini!"
Laki-laki itu
mungkin suami si perempuan. Dia membawa tombak bercagak dan
tingkahnya bagaikan orang yang hendak memadamkan kebakaran,
Mendengar teriakaiinya, dari sana-sini bermunculan teman-temannya
serta para petani yang masing-masing membawa senjata. Mereka
mengepung You Shi sambil meneriakkan caci maki kotor.
"Wah,
Banyak sekali."
You Shi memandang sekeliling dengan pandangan
yang masih agak mabuk. Di wajahnya tergambar rasa heran menyadari ke
arah mana kondisi kini berkembang, yang menurutnya sangat
berlebihan.
"Kenapa gara-gara makan pagi saja bisa jadi sepertl
ini. Mungkin ini juga sesuatu yang harus kualami dalam menjalani
hidup, yang lupa kuperhitungkan. Kalau sudah begini keadaannya, apa
boleh buat. Aku akan bayar dengan tubuh
ini."
"AH. Tunggu! Tunggu! Tolong semua mundur
dulu!"
Entah apa yang ada dalam pikiran laki-laki
yang tampaknya suami si
perempuan. Tiba-tiba dia menghenukan gerakan
orang-orang kampung, lalu mulai mengamati
sosok You Shi mulai dari kepata ke ujung kaki. "Hei, jenderal
yang suka melarikan diri setelah makan di warung! Sepertinya aku
pernah melihatmu, entah di mana."
"Kalau boleh, aku ingin
memperkenalkan diri.' "Baik. Silakan."
"Kalau soal nama, aku
bukan laki-laki yang suka berbohong. Aku akan mengatakannya dengan
jelas, jadi dengarkan baiik-baik. Aku adalah You Shi, si Iblis Muka
Biru."
"Apa? Iblis Muka Biru?"
"Betul sekali. Kenapa kau
terlihat bingung seperti
"Kalau begitu, Anda dulu bekerja di
ketenraraan istana Tou Kei di Kai Hou?"
"Betul sekali. Sekarang
beginilah wujud pejabat ketentaraan istana itu."
"Wah... maaf
sekali." Laki-laki itu scgera mclempar tombak bercagaknya lalu
berkata, "Meskipun tidak menyadari bahwaTuan adalah Tuan You Shi,
saya sudah bersikap sangat kurang ajar terhadap Tuan. Mohon maaf
sebesar-besarnya."
"Eh—kokjadi begini?"Tampaknya You Shi merasa
agak malu mendengar orang bercerita tentang dirmya di masa lalu.
Mukanya terlihat agak memerah.
"Dan kau sebenarnya
siapa?"
"Saya juga sebenarnya kefahiran Kai Hou, anak pedagang
daging turun-temurun. Nama saya Sou Sei."
"Oh, begitu. Tidak
heran, kalau sebagai orang desa, gaya gertakanmu tadi itu terlalu
bagus."
"Aduh, memalukan sekali. Ketika tinggal di ibukota, saya
menjadi murid Rin Chu, pelatih di ketentaraan istana, dan
mempefajari ilmu tongkat sedikit. Orang-orang menjuluki saya Sou
Sei, si Setan Pemain Pedang, dan karenanya saya menjadi agak sok
jagoan. Setelah itu, untuk menggantikan ayah saya, saya pergi ke San
Tou untuk urusan dagang. Pada saat itu modal yang saya bawa habis
terpakai, sehingga akhirnya saya memasuki dunia hitam. Sekarang saya
menjadi pengelola warung arak untuk para petani. Lalu yang barusan
merengek-rengek kepada Tuan itu istri saya."
"Oh. Maafkan
aku."
"Sekarang, silakan Fuan kembali lagi ke warung kami. Kalau
dibiarkan seperti sekarang, istri saya tentunya juga akan merasa
tidak enak terhadap Anda."
Karena Sou Sei dan istrinya kemudian
malah mengajak You Shi masuk ke warung araknya, orang-orang yang
berkumpul karena keributan tadi pun membubarkan diri.
Tanpa
disangka-sangka, You Shi mendapatkan bantuan suami-istri Sou Sei.
Selama beberapa hari d'ia melewatkan waktu di sebuah kamar di warung
arak desa itu. Tentu saja kemudian dia berkisah tentang kejadian
yang dia alami di Bukit Kou Dei, juga tentang dirinya yang berada di
dalam kondisi terpuruk, dan betapa saat ini dia tidak lagi memiliki
tempat di masyarakat.
"Begitu. Mengirim hadiah ulang tahun
senilai seratus ribu kan dari Hoku Kei ke ibukota dengan selamat,
dalam kondisi masyarakat yang sangat kelaparan seperti sekarang ini,
merupakan sesuatu yang mustahil. Tuan tidak usah khawatir. Apa pun
yang terjadi, kami akan berusaha keras mcnycmbunyikan Anda. Jadi,
untuk sementara waktu silakan Tuan beristirahat di sini."
"Terima
kasih. Tapi tetap saja saya bersalah karena barang-barang itu dicuri
perampok. Dengan demikian, mungkin saja baik Ryou Chu Sho di Hoku
Kei maupun Menteri Sai di ibukota akan menuduhku dengan tuduhan yang
lebih buruk. Bagaimanapun, aku sekarang dianggap buronan negara. Aku
akan merasa sangat bersalah jika gara-gara menyembunyikanku, kalian
mendapat masalah besar."
"Tidak perlu sungkan, Tuan." "Oh, tidak.
Laki-laki macam apa yang membalas budi yang diterimanya dengan
memberi musibah. Besok aku mohon pamit."
"Tapi, apakah Tuan
mempunyai tujuan yang pasri?" "Kalau dalam kondisi
seperti ini, yang terpikir olehku hanya Ryou Zan
Paku."
"Katanya Pclatih Rin Chu juga ada di sana." "MasaJahnya di
sana ada lelaki yang menyebalkan. Pemimpin yang bernama Ou Rin. Dia
itu penakut dan penuh curiga. Dia juga selalu memarnerkan
pengcta-huannya yang cuma sedikit. Orang ini betul-bctul tidak
menyenangkan."
"Kafau begitu, bagaimana kalau Bapak pergi ke
Ku'il Hou Ju di Gunung Ni Ryu? Tempat itu seperti Ryou Zan Paku,
namun skaianya lebih kecil."
"Hmm. Ada juga tempat persembunyian
yang bagus seperti itu?"
"Di situ mungkin ada sekitar tiga atau
empat ratus orang yang bersembunyi. Gunungnya terletak di Provinsi
Sei selatan. Pemimpinnya bernama Tou Ryu yang dijuluki si Harimau
Bermata Emas."
Mendengar itu, You Shi gembira. Racun yang telah
membuatnya tak sadarkan diri di Bukit Kou Dei sepertinya juga sudah
lenyap sepenuhnya dari tubuhnya. Keesokan harinya, dengan mengenakan
pakaian pengembara serta berbekal sedikit uang jalan dari pasangan
suami-istri yang membantunya, You Shi berangkat menuju Provinsi
Sei.
Demiklanlah, setelah berjalan cukup lama, akhirnya dia
memandang gunung di satu sudut langit Provinsi Sei yang tingginya
melebihi gunung lainnya.
"Jadi, inilah Gunung Ni Ryu yang
terkenal," gumamnya sambil terus berjalan menuju kaki gunung.
MaJamnya, di tengah-iengah embusan angin yang menyusup di celah
pohon cemara, dia berputar-putar mencari tempat untuk tidur.
Pada
saat itu, dari pokok pohon cemara tiba-tiba terdengar seseorang
membentak ke arahnya dari arah belakang,
"Hei, hati-hati! Tidak
punya mata ya?"
"Oh, ternyata ada manusia juga di sini," kata You
Shi sambil menoleh. Dilihatnya seorang pendeta bertubuh besar dan
berbau arak sedang mcmungut tongkat besi yang membuat kaki You Shi
terantuk. Lalu dia menegakkan tongkat itu di atas tanah.
"He!!
Walang sembah! Jangan diam saja!"
"Apa?"
"Dasar sok gagah!
Pakai memalang pedang panjang di pinggang segala. Orang sedang
enak-enak tidur, kenapa kauganggu dengan menendang tongkatku yang
berharga ini? Lalu iancang benar kau, hendak pergi begitu saja tanpa
meminta maaf."
"Kusangka aku tadi cuma menginjak ranting kering,
tap! ternyata tongkat pendeta. Lagi pula, mana ada orang tolol yang
tidur di tengah jalan?"
"Jangan macanvmacam. Tempat ini pintu
gerbang ke Gunung Ni Ryu. Jadi bukan tempat yang blasa dilintasi
orang. Ayo, minta maaf!"
"Sayang sekali, aku punya sifat benci
meminta maaf. Sepertinya pendeta pengemis ini mau cari gara-gara
demi mendapatkan uang receh."
"Berani betul kau! Apakah aku
pendeta pengemis atau bukan, rasakan dulu tongkatku
ini!"
Serta-merta embusan angin yang sangat tajam mengarah ke
tempat You Shi berada. Kalau saja You Shi tidak segera melompat ke
belakang, tentu tubuhnya sudah hancur.
Hyaa!" You Shi juga segera
mencabm pedang panjang dari pinggangnya. Dia kembali berteriak, tapi
kali ini penuh kekagetan. Karena tepat saat itu, pendeta besar yang
menjadi lawannya membuka pakaian, dan memperlihatkan rajah yang
bagaikan bunga di sekujur tubuhnya.
"Hei! Pendeta Bunga!
Singkirkan tongkatmu."
"Takut ya? Dasar pengecut!"
"Jangan
ketus begitu. Klta ternyata punya ikatan."
"Wah, pintar sekali
omonganmu. Memangnya kau ini siapa?"
"Kau dan aku dulu sama-sama
berada di ibukotaTou Kei, di Kai Hou. Tolong lihat dulu rajah di
dahiku ini. Aku You Shi yang dibuang ke Hoku Kei sebagai prajurit
biasa akibat tuduhan kesalahan yang tidak kuperbuat, hasil tipu
muslihat para pejabat jahat kaki tangan Kou Kyu."
"Oh, kau ini
You Shi si Iblis Muka Biru yang menjual pedang pusaka di Jembatan
Ten Kan Shu itu? Peristiwa kau menebas Gyu Ji, si lelaki pengganggu,
sangat terkenal pada saat itu."
"Betul. Itu aku. Pada saat itu
kau, Ro Chi Shin, si Pendeta Bunga sedang mengurus kebun sayur di
Kuil negara Dai Sou di pinggiran kota, bukan?"
''Wah. Ini
pertemuan yang sangat kebetulan. Kenapa kau tahu
tentangku?"
"Rajah yang ada di tubuhmu sangat terkenal di
ibukota. Anak usia tiga tahun saja tahu namamu.
Pendeta Bunga.
Lamas, kenapa kau berada di tempat seperti ini?"
"Kalau
diceritakan akan sangat panjang. Bagaimana kalau kita berjalan
sedikit ke sana. Itu tempat pemujaan Dewi Kasih Sayang Kepala Kuda,
dan di sana ada arak.
Aku akan menceritakan pengalamanku dan aku
juga ingin mendengar kisahmu."
Ro Chi
Shin berjalan lebih
dulu. Waktunya sangat tepat, You Shi sendiri memang
sedang mencari tempat untuk tidur. Sepanjang malam mereka berdua
berbincang-bincang di balai-balai tempat pemujaan. Tentu saja sejak
itu, telah terjadi perubahan yang sangat besar pada diri Ro Chi
Shin. Berikut inilah ceritanya.
Pada saat Rin Chu yang
telah mengikat tali persaudaraan dengannya tanpa daya digiring
menuju tempat hukuman berat di Provinsi Sou, Ro Chi Shin
mengikutinya sampai setengah perjalanan. Dia pun berhasil
menggagalkan niat para pengawal yang bertugas mengantar Rin Chu
unruk membunuh saudaranya itu, bahkan menjadikan mereka budaknya,
Akhirnya, berita itu sampai pula ke telinga Menteri Kou melalui
mulut kedua pengawal yang kembaii ke ibukoia.
Segera saja muncul
perintah "Tangkap Pendeta Bunga" dan ladang sayuran di Kuil negara
Dai Sou pun dikepung beratus-ratus tentara.
Keributan pada malam
itu sungguh luar biasa. Untuk menangkap Ro Chi Shin, scluruh wilayah
istana Tou Kei Kai Hou begitu bergetar, sampai-sampai penduduk
ibukota tidak bisa tidur. Ro Chi Shin sendiri membakar gubuk yang
ada di ladang sayuran, lalu berlari menyusuri atap besar Kuil negara
Dai Sou dan bersembunyi di dalam kota. Saat fajar menjelang, dia
muncul lagi di gerbang istana yang dipenuhi para tentara penjaga,
lalu dengan mudah menumbangkan berpuluh-puluh tentara yang ada di
sana. Dalam sekejap mata, dia melompat ke atas gentlng menara genta
dan dengan lincah menyusuri tembok istana, lalu menghilang entah ke
mana.
"Sejak itu aku kembaii berkelana tanpa tujuan. Sebelumnya,
aku bertugas sebagai polisi militer di wilayah En An. Tapi, akibat
terlalu mengandalkan kekuatan diriku, aku naik ke Gunung Go Dai dan
menjadl pendeta di sana. Aku pun berjanji pada Buddha serta pada
mendiang ibuku untuk mengubah sikap, namun tampaknya aku tidak dapat
menepatinya. Aku bertanya-tanya, sebenarnya apa yang membuatku
seperti ini? Apakah karma jahat yang ada di dalam diriku? Aku selalu
berusaha untuk hidup tenang dengan hanya makan dan minum, tetapi
jika terjadi sesuatu, tampaknya karma jahat itu selalu muncul
lagi."
Setelah Ro Chi Shin bercerita tentang nasib dirinya, You
Shi berkata, "Yang membangkitkan karma di dalam diri seseorang yang
berniat memperbaiki sikap itu adalah para pejabat jahat. Kalau aku,
ceritanya sedikit berbeda."
You Shi mulai bercerita secara
terperinci tentang nasibnya hingga sampai di Gunung Ni Ryu.
"Ini
kebetulan yang sangat tepat," kata Chl Shin sambil menepuk paha.
"Aku juga berpikir bahwa tempat yang paling tepat untuk
menyembunyikan diri itu hanyalah Kuil Hou Ju di Gunung Ni Ryu ini.
Karena itulah aku datang ke sini untuk menemui Tou Ryu, pemimpin di
tempat tersebut."
"Kalau begitu, kau sudah pernah memasuki
benteng gunung tersebut?"
"Justru itu. Si Tou Ryu tidak man
menunjukkan batang hidungnya. Dia hanya menyuruh anak buahnya
menyampaikan pesan bahwa jika aku bisa mengalahkan dirinya dalam
pertandingan di kaki gunung, dia akan menghormatiku sebagai tamu dan
akan membawaku ke dalam benteng. Karena memercayai kata-katanya, aku
turun Iagi ke kaki gunung. Tapi ternyata begitu aku turun, dengan
licik dia menutup tiga pintu gerbang yang menuju ke dalam benteng
dan mengikatnya dengan rantai. Setelah itu, tidak ada kabar apa pun
darinya. Aku membeli arak dari desa dan menunggu, hingga hari ini
aku sudah menunggu selama empat hari. Tapi tampaknya untuk
perrandingan kali ini, aku telah termakan tipuan."
"Pendeta
terlalu baik, apa kau tidak merasa kesal?"
"Tenm saja aku kesal
sekali. Terpikir olehku untuk menghancurkan ketiga gerbang tersebut,
tapi ternyata gerbang-gerbang itu kukuh sekali. Sekuat apa pun
diriku, aku ridak mungkin mampu bergulat dengan gerbang-gerbang
tersebut. Memaksakan diri menghancurkannya, sama saja dengan
bersikap konyol."
"Kalau begitu, tidak ada cara untuk
rnemasukinya selain dengan menggunakan akal. Mungkin kau heran
mendengar pendapat ini keluar dari mulutku, mengingat aku sendiri
termakan tipuan 'perebutan hadiah ulang tahun dengan
akal'."
"Kalau kau punya gagasan, tolong beritahu saja. Aku tidak
bisa meninggalkan tempat ini dalam keadaan seperti
sekarang."
"Tidak. Untuk sekarang, kita harus turun dulu. Kita
akan pergi ke tempat Sou Sei yang tadi kuceritakan, Karena
dirinyalah yang membentahuku tentang Gunung Ni Ryu ini, kalau kita
berunding dengannya, mungkin akan muncul gagasan bagus."
Setelah
beberapa hari kemudian, dengan membawa serta Pendeta Bunga, You Shi
kembali ke warung arak Sou Sei.
"Kalau berkumpui bertiga, gagasan
bagus pasti muncul."
Malam itu, sambil minum arak, mereka bertiga
tertawa-tawa, entah gagasan bagus apa yang bakal mereka
dapatkan.
KUIL Hou Ju di Gunung Ni Ryu yang dulu
sangat terkenal kini sudah menjadi sarang perampok. Doa-doa yang
dilantunkan seribu pendeta serta bunyi genta kuil pun sudah tidak
terdengar lagi. Sebagai gantinya, kini seorang laki-laki bertubuh
besar bagaikan raksasa merah sedang tertidur di atas kursi rotan
bertilam kulit macam kumbang.
"Wah, ada ribut-ribut apa di
kejauhan? Jangan-jangan di gerbang. Hei! Coba lihat ke sana!"
Tou
Ryu yang terbangun di ruang sangha yang ada di dalam bergegas naik
ke panggungan. Dengan mulut seperti harimau, dia berteriak-teriak
pada anak buahnya yang ada di sekitar situ.
"Siap!" kata lima
atau enam anak buahnya yang ada di situ. Mereka berdiri, namun saat
itu pula dari bawah mtmcul kepala regu perampok bersama beberapa
anak buahnya.
"Tuan Kepala! Penduduk kampung sekitar mengikat
pendeta besar yang beberapa waktu lalu datang ke sini, dan sekarang
mereka membawanya ke sini. Apa yang mesti kita lakukan?" tanya si
kepala regu sambil berbaris di bawah panggungan.
"Apa?" Tou Ryu
tampak heran. "Aneh sekali. Bukankah pendeta besar itu Pendeta Bunga
Ro Chi Shin yang pernah membuat keributan di Gunung Go Dai? Dia juga
yang membakar ladang sayur di Kuil negara Dai Sou, lalu melarikan
diri dari Tou Kei di Kai Hou, kan? Karena dia buronan besar, maka
aku mengusirnya dari sini dengan menggunakan tipuan. Tapi aneh
sekali. Tidak mungkin dia bisa tertangkap petani dan orang semacam
mereka. Sebaiknya kalian periksa dulu baik-baik, baru bawa ke
sini."
"Tetapi, Tuan, ketika saya tanyakan kepada petani-petani
itu, tampaknya mereka tidak berbohong."
"Apa maksudmu dengan
'tidak berbohong'?"
"Setelah diusir dari sini, tampaknya dia
kelaparan. Lalu dia pergi ke waning arak yang dikelola orang bernama
Sou Sei. Sejak itu, dia terus-menerus datang ke sana untuk minta
makanan."
"Memang apa salahnya dengan minta makanan?
"Bukan
itu saja, Tuan. Setiap kali mabuk, dia akan masuk ke rumah orang
dengan seenaknya, minta diberikan tempat menginap atau minta uang
jajan. Kalau ada yang mengeluh, dia mengamuk. Katanya penduduk desa
betul-betul dibikin pusing olehnya. Selain itu, dia juga raengadakan
pembicaraan dengan pihak Ryou Zan Paku dan membual bahwa Tou Ryu di
Gunung Ni Ryu akan segera menjadi anak buahnya. Bukankah itu
ketetlaluan, Tuan?"
"Sungguh kelewatan. Rupanya dia menyebarkan
igauan seperti itu."
"Lalu suatu malam, Sou Sei, si pemilik
warung arak, dan orang-oiang terkemuka di desa mengundang si
PendetaBunga.Metekabetpura-puramemperlakukannya sebagai tamu
kehormatan dan menjamunya secara besar-besaran. Pada saat itulah,
mereka memasukkan obat bius ke dalam arak. Bukankah itu hebat,
Tuan?"
"Hmm. Memang bagus sekali. Apakah dia dibawa ke sini dalam
keadaan terikat?"
"Ya. Dia diikat kuat-kuat dengan tali kasar,
lalu pada saat dia terjaga dari obat bius, penduduk desa
beramai-ramai menendang dan memukulinya. Penampilan si Pendeta Bunga
sekarang ini sungguh mengenaskan. Lalu bagai pemburu yang menyeret
babi hutan hasil buruan, penduduk desa ramai-ramai membawanya ke
sini. Mungkin mereka takut jika sampai membunuhnya dengan tangan
sendiri, jadi mereka datang ke sini
memohon
agar Tuan Tou Ryu
yang menjatuhkan hukuman, begitu kata mereka."
"Oh, begitu.
Jadi masalah inilah yang menyebabkan ribut-ribut tadi. Baik, biar
kutangani. Bawa dia ke sini. Tapi tunggu dulu. Meskipun dia dalam
keadaan terikat, kita harus tetap berjaga-jaga dengan
mengepungnya."
Tak lama kemudian, setelah melewati gerbang pagar
yang dilengkapi pelempar batu, kawat berduri, dan kayu tajam,
naiklah sekelompok petani dan si Pendeta Bunga yang terikat
dikelilingi para perampok. Begitu sampai di atas, Ro Chi Shin segera
didorong keras sehingga duduk berlutut di bawah panggungan. Para
petani pun ikut duduk berlutut menengadah ke arah sosok Tou
Ryu.
"Apakah Anda Tuan Kepala? Tuan Kepala, kami penduduk desa
sudah begitu sering dibuat merana oleh pendeta besar ini. Karena itu
kami mohon Tuan sudi menghukumnya. Mau dicincang juga kami tidak
keberatan."
"Hmm. Tindakan kalian bagus sekali. Apakah kau yang
bernama Sou Sei, pemilik warung arak itu?"
"Bukan, Tuan," jawab
petani itu, lalu dia mendengus sampai kerut di hidungnya terlihat
jelas dan menoleh pada petani lain yang duduk di dekatnya. Siapa pun
tidak akan menduga bahwa petani itu You Shi, si Iblis Muka Biru yang
menyamar sebagai petani. Tou Ryu yang memiliki tatapan tajam, segera
menoleh pada Sou Sei.
"Hei! Apa yang kauletakkan di sampingmu?"
"Oh, ini congkat dan pedang yang kami ambil dari pendeta
ini."
"Senjata pendeta ya. Coba bawa ke sini!" "Baik!" Sou
Sei mengangkatnya untuk memper-lihatkan bahwa tongkat itu
betul-betul berat, lalu dia meletakkan kedua senjata itu
di bawah tangga. Lebih tepatnya menaruhnya tepat di depan hidung Ro
Chi Shin. "Tolol kau!" bentak Tou Ryu. "Aku minta kau merabawanya ke
atas. Kenapa kau meletakkannya di situ?"
Tiba-tiba Ro Chi Shin
yang dari tadi tertunduk lunglai berkata, "Letakkan di situ
saja."
Mendengar itu, Tou Ryu terkaget-kaget sampai
meloncat.
"Hei! Apa yang kaubilang, tahanan?" "Hei, Tou Ryu!
Lehermu sebentar lagi tidak akan bisa menoleh lagi."
Setelah
berkata seperti itu, Ro Chi Shin melepaskan ikatan di tubuhnya,
meraih tongkat, lalu dengan teriakan keras menaiki tangga dan
memukul bagian tengah kepala Tou Ryu yang terjerembap ke
belakang.
Tubuh Ro Chi Shin sesungguhnya tidak benar-benar
diikat. Serentak dengan Ro Chi Shin, You Shi dan Sou Sei juga
melakukan hal yang sama terhadap para anak buah perampok yang panik.
Lalu tentu saja akhirnya para perampok menyerah brena tidak tahu
lagi apa yang harus berbuat apa.
Dengan demikian, sejak saat itu,
pemimpin benteng perampok di Kuil Hou Ju pun berganti. Si Pendeta
Bunga dan si Iblis Muka Biru sama-sama dijadikan pemimpin, dengan
empat ratus anak buah yang berjanji untuk bersatu dalam menjalankan
kebenaran. Malam itu, seluruh arak yang ada di gudang dikeluarkan
dan pesta besar pun diadakan.
Keesokan harinya, Sou Sei kembali
ke desa bersama para petani lain. Sejak itu, seluruh wilayah Gunung
Ni Ryu, baik pepohonan maupun pemandangan di desa-desanya tampak
seolah berubah. Di antara para penghuni Gunung Ni Ryu dibuat
kesepabtan bahwa jika ada penjahat yang suka menganiaya orang-orang
lemah, mereka harus diperingatkan. Lalu meskipun berstatus perampok,
mereka harus bersibp sebagai laki-laki sejati yang berani menjalani
kehidupan susah, juga bersemangat untuk berjuang melawan kebusukan
pemerintahan Dinasti Sou.
Demikianlah. Sampai saat ini kita dapat
melihat arah perjalanan serta tempat menetap You Shi, yaitu Kuil Hou
Ju di Gunung Ni Ryu. Tetapi untuk kelanjutan pcrisiiwa Bukit Kon
Dei, pcnyelesaiannya bclum scdikit pun kelihatan.
Ah tidak, lebih
tcpatnya pcmccahan untuk peristiwa .inch ini masih samar-samar.
Barang-barang bcrharga senilai seratus ribu kan, yang dibawa pergi
bagaikan tertiup angin dalam tujuh gerobak dari Provinsi Kou itu,
entah di mana keberadaannya sekarang. Lalu siapakah sebenarnya para
perampok itu? Di masyarakat tersebar kabar angin yang tidak
menentu.
"Kalau sudah begini keadaannya, saya tidak bisa lagi
meminta maaf atau memberikan alasan apa pun. Namun, bisa saya
katakan di sini bahwa yang betul-betul harus dipersalahkan adalah si
Iblis Muka Biru You Shi, anak buah yang Paduka asuh secara langsung.
Gara-gara dia kami terkecoh. Di tengah perjalanan pengiriman barang,
enam belas orang yang menuruti perintahnya dengan tak berdaya
dicekoki arak beracun. Demikianlah adanya, Paduka."
Sha sang
kepala rumah tangga keluarga Ryou menghadap majikannya setelah
kembali dari Bukit Kou Dei ke ibukota Hoku Kei. Dia melakukan
perjalanan siang dan malam tanpa henti untuk melaporkan bahwa pelaku
perampokan itu adalah You Shi, yang menurutnya pasti sudah membuat
kesepakatan dengan tujuh perampok yang menunggu mereka di tengah
jalan.
Ryou Chu Sho sangat kaget mendengar laporan itu.
Dia
berpikir bahwa dalam kata-kata Sha yang berbicara sambil meneteskan
air mata dari mata tuanya, tidak mungkin ada kebohongan. Wajah Ryou
Chu Sho tatkala mendengar laporan ini sungguh dapat digambarkan
dengan ungkapan "kemarahan yang naik sampai ke ubun-ubun."
"Apa?
You Shi di tengah perjalanan berkomplot dengan perampok, lalu
memberi kalian arak beracun dan membawa pergi barang-barang itu?
Tidak tahu membalas budi. Berani sekali dia mengkhianatiku. Dia
harus segera ditangkap. Akan kucincang dia sampai jadi
serpihan."
Sementara itu, di istana Menteri Sai, di ibukotaTou
Kei di Kai Hou, meskipun hari ulang tahun Menteri Sai sudah tiba,
kiriman hadiah dari keluarga Ryou tidak kunjung datang.
"Apa yang
terjadi?" katanya sangat cemas. Pesta ulang tahun yang dipenuhi tamu
kehormatan pun berlangsung tidak meriah, kemudian berakhir dalam
kekeccwaan Menteri Sai yang sangat dalam. Akhirnya ketika hari telah
larut malam, datanglah seorang pembawa berita kilat dari Hoku
Kei.
"Apa! Tahun ini juga?"
Setelah membaca surat permintaan
maaf serta laporan perincian kejadian dari Ryou Chu Sho, sang
menteri merasakan kemarahan yang luar biasa dalam dirinya. Meski
begitu, bulu kuduknya juga meremang memikirkan bagaimana ulang
tahunnya seolah dikutuk para perampok hingga dua kali
berturut-turut.
Tanpa menunggu pagi, dia memanggil para bawahan
kepercayaannya.
"Bukit Kou Dei berada dalam wilayah pemerintahan
Provinsi Sai. Segeralah kau pergi ke dinas kepolisian provinsi.
Sampai pelaku perampokan tertangkap, kau harus tinggal di dinas
kepolisian itu sebagai pengawas yang mewakiliku dengan memberikan
ancaman kepada para polisi di sana," demikian dia memberikan
perintah keras.
Malam itu juga, pejabat yang diserahi tugas
sebagai pengawas segera memacu kudanya dengan kencang ke Provinsi
Sai.
Ketika tiba di kantor dinas kepolisian Provinsi Sai, keadaan
di sana sangat sibuk.
Tidak perlu heran sebenarnya. Dari Istana
Hoku Kei siang-malam berdatangan surat perintah resmi untuk segera
menangkap perampok, beserta surat-surat peringatan bila perintah
tidak terlaksana.
"Kita kedatangan petugas pengawas langsung atas
perintah Paduka Yang Mulia Menteri Sai."
Mendengar laporan itu,
kepala polisi semakin kalut. Selama berhadapan dengan petugas
pengawas, dia berada dalam kondisi yang sangat kacau karena selain
kurang tidur, dia merasa sungkan terhadap orang yang harus
dihadapinya itu.
"Terima kasih Tuan Pengawas sudah sudi datang
dari jauh. Kami di sini, mulai dari pengintai, penyidik, serta para
anak buah mereka, dengan seluruh kekuatan yang ada, sejak awal
berusaha keras untuk cepat menangani masalah yang kita hadapi
sekarang. Hamba sudah menekan mereka untuk bekerja mati-matian.
Hamba juga sudah memperingatkan bahwa siapa pun yang
bermalas-malasan dalam menjalankan tugas akan dipecat atau
mendapatkan pengurangan gaji. Dengan begini, dalam waktu dekat,
hamba kira kasus ini dapat segera dipecahkan. Untuk itu, hamba mohon
agar Bapak memberikan sedikit waktu lagi."
"Astaga!" kata si
pengawas dengan wajah marah. "Kata-kata 'dalam waktu dekat' sama
sekali tidak cukup. Kau pasti sudah paham alasan Menteri Sai sampai
mengutusku sebagai pengawas ke sini, bukan? Beliau mengeluarkan
perintah untuk segera menangkap tujuh pedagang pala, seorang penjual
arak yang sering muncul di Bukit Kou Dei, serta seorang pengkhianat
keluaiga Ryou, si Iblis Muka Biru You Shi. Dalam waktu kurang dari
sepuluh hari, kau harus sudah mengikat dan menggelandang mereka
keTou Kei."
"Wah! Hanya sepuluh hari, Tuan?"
"Kalau sampai
lewat dari sepuluh hari, sayang sekali, mungkin malah kau sendiri si
kepala polisi yang harus pergi ke Sha Mon, pulau terpencil tempat
dibuangnya orang-orang terhukum. Aku sendiri pun tidak mungkin dapat
pulang ke ibukota dengan tangan kosong. Jadi kurasa kini kau paham
bahwa aku datang ke sini dengan niat untuk sehidup semati
denganmu."
Kepala polisi menjadi pucat pasi.
Sampai saat ini,
tentunya dia sudah berusaha memecahkan masalah dengan cepat, namun
kalau sudah begin! keadaannya, dia harus lebih melecut diri untuk
berpacu dengan waktu.
"Panggil kepala unit polisi rahasia Ka
Tou!"
Dia segera kembali ke ruang kerja, lalu mengalihkan tugas
berat di bahunya kepada anak buahnya yang terraasuk orang-otang
tetpilih itu.
"Ka Tou! Apa saja yang sebenarnya kaulakukan setiap
hari?"
"Pak Kepala, apa menurut Anda, kerja karai raasih kutang
memadai?"
"Jangan berkilah! Kau sendiri harusnya tidak
tenang-tenang saja di ruanganmu."
"Tidak begitu, Pak Saya sudah
menyebar ratusan penyidik bawahan saya ke berbagai tempat, tanpa
memedulikan siang atau malam, agar segera raen-dapatkan petunjuk
keberadaan para perampok itu. Saya kira pelaksanaan penyidikan tidak
akan tepat guna kalau saya sendiri sebagai kepala unit polisi
rahasia ikut berkeliaran seperti mereka. Meskipun kelihatan hanya
sedang berpangku tangan dan merengut, apakah Bapak tidak mengerti
saya pun sedang memeras otak?"
"Diam! Tak perlu dijelaskan aku
juga sudah tahu, aku pun pernah mengalaminya. Sebelum menjadi kepala
polisi, aku harus mengikuti ujian kenaikan pangkat dan menghadapi
berbagai macam kesulitan. Tidak mudah mencapai posisi kepala polisi.
Namun sekarang intinya, apa pun caranya, kau sudah harus dapat
menangkap semua perampok itu dalam waktu sepuluh hari."
"Astaga,
itu mustahil, Pak. Kita ini bukan para dewa."
"Aku tidak mau
dengar! Pokoknya kita harus menggunakan cara apa pun. Ini perintah
keras dari Menteri Sai. Bahkan sang menteri sudah mengirimkan
pengawas ke sini. Kalau kau tidak dapat menangkap para perampok itu
dalam waktu sepuluh hari, aku akan dipecat sebagai kepala polisi dan
kau sendiri akan bernasib sama. Sedikitnya, kau akan dibuang ke
pulau terpencil."
"Itu terlalu kejam, bahkan untuk desakan dari
pengawas menteri."
"Ucapanmu membuktikan bahwa kau tidak serius
dalam melakukan penyidikan. Baiklah kalau begitu. Agar kau tahu
perintah ini bukan main-main, kau akan kubuat tak lupa meskipun
sedang tidur. Sekretaris, panggil tukang rajah ke sini!"
Kepala
polisi tampaknya sangat naik pitam. Dia menyuruh petugas yang ada di
sana untuk segera memegangi kedua lengan Ka Tou. Lalu dia menyuruh
tukang rajah membuat tanda di dahi KaTou dengan kata-kata yang
berbunyi "Dibuang ke provinsi..." dengan nama provinsi masih
dikosongkan. Seakan menempelkan tanda harga yang angkanya belum
pasti kepada penjahat yang belum betul-betul dianggap
penjahat.
"Huh. Sakit sekali. Mungkin ini ganjaran atas
keme-wahan yang terus-menerus kudapat sclama ini. Kalau sudah
begini, bekerja di kantor kepolisian ternyata menyengsarakan
juga."
Sambil menahan darah yang meleleh di dalii, Ka Tou kembali
ke ruang kepala unit polisi rahasia. Saat senja mulai menjelang,
dilihatnya para polisi rahasia sudah berkumpul kembali dan mengobrol
ramai di kantor unit, meskipun mungkin saja mereka kelelahan setelah
mondar-mandir ke sana kemari selama beberapa hari berturut-turut.
Melihat itu, Ka Tou naik darah, lalu dari pintu ruangannya dia
berteriak, "Hei! Kalian ini sudah berhenti jadi polisi, ya? Atau
sudah pensiun?"
"Astaga, Pak Kepala! Ada apa dengan wajah
Bapak?"
"Coba lihat wajahku ini!"
"Wah! Sungguh
parah."
"Hei! Kalian jangan berkata seolah-olah ini masalah orang
lain saja. Dengar baik-baik! Kalau kalian tidak bisa membereskan
peristiwa Bukit Kou Dei dalam sepuluh hari, aku diancam akan dibuang
ke pulau yang jauh. Aku heran, kenapa kalian santai-santai seperti
itu, padahal orang lain sedang kebingungan?"
"Maafkan kami, Pak.
Tapi kami juga terus-menerus melakukan penyelidikan ke sana kemari
sampai kaki kami sungguh terasa pegal."
"Dan dengan hasil seperti
itu kalian bisa tertawa terbahak-bahak seperti tadi? Sungguh
keterlaluan kalian. Kalau memang serius, kalian seharusnya
menyelidiki sampai ke sudut-sudut gunung, ke ujung-ujung padang, ke
dalam semak-semak. Jangan bisanya cuma menitikkan air mata dan
memelas-melas saat minta dibelikan arak di tengah hari, meminta izin
tak masuk dengan dalih di rumah ada yang sakit, atau alasan-alasan
omong kosong lain."
"Hei, teman-teman. Seusai beristirahat
sebentar, ayo kita kembali melakukan penyelidikan secara terpisah.
Begitu melihat dahi Bapak Kepala, aku jadi bersemangat. Mari kita
menyelidiki sepanjang malam. Apa boleh buat, malam ini anggap diri
kita jangkrik yang menyelinap di antara semak-semak."
Tanpa
memedulikan pembicaraan anak buahnya, Ka Tou, dengan perasaan masih
muram, pulang ke rumah.
Ketika menghadapi makan malam, istrinya
yang melihat wajah suram suaminya bertanya, "Astaga! Kenapa di
dahimu ada rajah?"
"Ini gara-gara peristiwa Bukit Kou Dei. Karena
kau istri seorang kepala unit polisi rahasia, kau mestinya maklum
dan tidak bertanya ini-itu."
"Tentu aku berusaha memahami, tapi
apa perlu sampai merajah dahimu?"
"Bagaimanapun caranya, dalam
sepuluh hari ini, aku sudah harus bisa menangkap para perampok itu.
Begitu perimahnya. Sulitnya, sedikit pun belum ada tanda-tanda
keberadaan mereka. Istriku, mungkin saja penerangan di dalam rumah
kita ini tinggal untuk sepuluh hari lagi saja."
"Jangan bilang
begitu. Membuat cemas orang saja."
"Apa daya kita? Perintahnya
sekarang tidak hanya berasal dari kepala polisi, tapi langsung dari
Menteri Sai. Tampaknya aku salah mengambil jalan
hidup..."
"Lihat! Ada orang di gerbang. Apakah dia
tamu?"
"Pasti yang datang Ka Sei. Adikku itu, tentunya dia baru
saja kalah judi lagi dan datang untuk memperlihatkan wajah lesunya.
Malam ini aku tidak mau menemuinya."
"Baiklah. Biar aku saja yang
menghadapinya. Nanti akan kuberi dia minum arak dan memaksanya
segera pulang."
Dari ujung koridor, terdengar istrinya berbicara
lebih rarnah daripada biasanya. Ka Sei, adik Ka Tou, diberitahu
bahwa kakaknya sudah tidur karena masuk angin. Dengan enggan, Ka Sei
mulai mengambil cangkir arak yang kelihatannya tidak enak di hadapan
kakak iparnya.
"Malam ini sepertinya sangat muram. Sampai-sampai
wajah Kakak juga terlihat suram."
"Sei, kau tentunya juga sudah
tahu, bukan?"
"Tahu apa?"
"Kekhawatiran yang dihadapi suamiku.
Hei, mengapa wajahmu malah menghina? Kau ini tidak berbakti kepada
kakakmu rupanya."
"Aku tidak tahu apa-apa, Kak. Bukankah kepala
unit polisi rahasia tidak pernah merasa kekurangan apa pun? Lagi
pula, kadang-kadang dia juga mendapatkan pemasukan dari pintu
belakang. Dia sangat disegani masyarakat, selain itu punya istri
yang cantik seperti Kakak. Jadi bagiku betul-betul aneh kalau dia
sampai mempunyai kekhawatiran."
"Jangan main-main. Padahal
sebenarnya kau sudah tahu, kan? Tidak mungkin kau belum dengar
berita mengenai peristiwa Bukit Kou Dei."
"Aku sudah
tahu."
"Nah, benar, kan?"
"Hahaha."
"Kenapa kau tertawa?
Apa kau gembira mendengar nasib kakakmu seperti itu?"
"Jangan
berprasangka buruk seperti itu, Kak. Aku juga ada karena kakakku.
Tapi sepertinya kakakku bernasib malang memiliki adik yang tidak
beres sepertiku. Jadi kadang-kadang dia masuk angin."
"Malam ini
kau betul-betul aneh. Apa arti sindiran pedasmu itu?"
"Yah,
terkadang aku juga ingin melakukan pengakuan dosa. Untuk hal-hal
seperti sekarang ini, aku dituangi arak oleh kakak ipar yang
sebenarnya tidak mau menghadapiku."
"Aku tidak akan menuangkannya
lagi. Kenapa kau jadi menyebalkan begini? Hari ini datang pengawas
dari Menteri Sai ke kantor kakakmu. Dia berkata bahwa kalau tidak
bisa menangkap perampok-perampok itu dalam sepuluh hari, kepala
polisi akan dipecat dan kakakmu akan dibuang ke pulau yang jauh. Dia
pun pulang ke rumah dengan dahi yang diberi rajah. Kau boleh saja
minum arak, tapi tolong Jangan melontarkan lelucon yang
buruk."
"Yang ini aku baru dengar, kalau begitu mestinya aku
datang lebih cepat. Tapi karena adik yang berandalan ini seperti
biasa akan dianggap hanya datang untuk minta uang dan minum arak,
aku agak sungkan untuk datang ke sini."
"Tunggu sebentar, Sei!
Apa maksud perkataanmu barusan?"
"Ah, bukan apa-apa. Tapi adik
berandalan sepertiku ternyata bisa berguna juga."
"Kenapa kau
bicara berputar-putar seperti itu? Jangan-jangan kau tahu sesuatu
tentang peristiwa Bukit Kou Dei."
"Begitulah. Soalnya aku ini
penyidik yang diandalkan kakak dan berada di bawah pimpinan kakak,
meski selalu diberi uang kecil oleh kakak."
"Apakah tidak bisa
kaukatakan saja?"
"Bisa saja. Kalau kakakku berada dalam keadaan
terjepit, tentunya aku juga tidak akan tinggal diam. Tapi kakakku
lean kepala unit polisi rahasia yang lihai. Kalau kuberitahu,
bisa-bisa aku nanti malah dikata-katai sebagai orang yang sok tahu.
Oh ya, Kak, terima kasih atas araknya. Kapan-kapan aku datang
lagi."
"Hei, tunggu dulu. Kenapa kau buru-buru pulang? Sebentar,
kupanggilkan suamiku dulu."
"Tapi, dia sedang masuk angin, kan?
Hahaha."
"Suamiku! Suamiku..."
Tanpa dipanggil oleh istrinya
pun, sejak tadi Ka Tou sudah mendengarkan pembicaraan mereka dari
balik kamar di belakang koridor. Begitu muncul, dia segera menjabat
tangan Ka Sei erat-erat sambil berkata, "Maafkan aku. Tolong jangan
dimasukkan ke had. Sekarang, kau minum saja lagi."
"Ah, Kakak.
Kalau arak, aku sudah cukup. Astaga, bctul juga. Wajah Kakak
ternyaca bctul-betul hancur."
"Kadang-kadang aku memang bersikap
keras terhadapmu, tapi itu karena aku mencemaskan dirimu. Seumur
hidup baru kali ini kakakmu memohon kepadamu. Sekarang, kalau kau
tahu sesuatu, tolong katakan padaku."
"Hmm. Soal pencuri kecil di
Bulcit Kou Dei itu, kan?"
"Pencuri kecil? Kau jangan salah kira."
"Soalnya aku tahu betul rentang mereka" "Eh? Benarkah?"
Ka Tou
berlari ke belakang, mengambil uang sepuluh ryoti dari kotak, lalu
kembali lagi. Diletakkannya uang itu di dekat minuman
adiknya.
"Meski cuma sedikit, terimalah ini untuk hadiah semen
tara."
"Kak, maaf sekali, tapi kau tahu aku tak mudah goyah.
Kalau disodori iming-immg begini, aku tidak bisa
mengatakannya."
"Kenapa? Apa uangnya kurang?" "Bukan begitu.
Kalau diberi uang seperti itu, aku justru semakin sulit
memberitahumu. Aku ini adik berandalan yang sama sekali tidak
berguna, bukan? Tapi kali ini, aku bisa bersikap sombong seperti ini
di hadapan Kakak. Ini tidak bisa tergantikan dengan uang."
"Kalau begitu, apa yang harus kulakukan agar kau bersedia
bicara?"
"Wah, sungguh menyenangkan bisa bersikap sombong seperti
ini di depan kakak dan kakak iparku."
"Jangan besar kepala. Uang
itu hadiah dari pemerintah. Sei, kalau itu kurang, aku bersedia
menundukkan kepala kepadamu untuk memohon."
"Hmm. Boleh saja aku
memberitahumu, Kak."
"Terima kasih. Nah, di mana sarang penyamun
itu?"
"Di sini," kata Ka Sei sambil menepuk perut. "Semua
perampok itu ada di dalam dompet tempat kertas pengelap mulutku.
Mereka tidak akan bisa melarikan diri, Kak. Jadi Kakak tenang
saja."
"Jadi mereka ada di dalam tempat kertas pengelap mulut,
begitu?"
"Aku bukan tukang sulap, tapi aku akan memperlihatkannya
tanpa trik, tanpa tipuan. Buktinya adalah ini."
Ka Sei memasukkan
kedua tangan ke bagian perut, lalu mengeluarkan tempat menyimpan
kertas pengelapnya. Di dalam dompet kulit tipis itu terdapat catatan
kecil yang dilipat-lipat. Dia meletakkan catatan kecil itu di
tangannya.
"Nah. Untuk ini, kalau tidak diberi penjelasan, Kakak
tentunya tidak akan bisa memahaminya. Kakak Ipar, tolong tutup semua
jendela dan pintu belakang.
Di saat seperti ini dinding mungkin
juga bertelinga, bahkan serangga hams kita waspadai. Dengar
baik-baik. Sebenarnya inilah yang terjadi."
"Kejadiannya dua
bulan lalu. Sekitar pertengahan bulan enam."
Ka Sei mulai
bercerita dengan suara yang dipelankan.
"Seperti yang Kakak
ketahui, di Desa An Raku ada penginapan murah bernama Ou. Dalam
peraturan penginapan, semua tamu yang menginap disuruh menuliskan
tempat tujuan, pekerjaan, tempat tinggal, usia, dan sebagainya.
Ketika para tamu tidur, petugas akan menyalin catatan itu, lalu pada
hari ketujuh menyampaikannya kepada kepala desa. Kepala desa
kemudian akan menyusunnya kembali dan sebulan sekali melaporkannya
ke kantor pemerintah. Bagi Kakak, cerita seperti ini tidak aneh,
bukan? Memang seperti itulah peraturannya."
"Hm, benar."
"Tapi
pemilik penginapan Ou itu jatuh sakit sejak awal musim panas,
sedangkan para pemuda yang bekerja di sana semuanya buta huruf. Saat
itu, uangku terkuras habis di tempat perjudian Desa An Raku, namun
aku tetap memberanikan diri menginap di sana meskipun tidak punya
uang sesen pun. Nah, pada hari aku harus meninggalkan penginapan,
aku tidak bisa membayar biaya menginap. Aku nekat berkata bahwa
biayanya akan kubayarkan di kemudian hari, anehnya mereka menyetujui
perkataanku dengan mudah. Keadaan jadi jelas ketika istri si pemilik
penginapan muncul. Dia berkata, aku boleh membayarnya di kemudian
hari, tapi sebagai gantinya aku diminta bekerja di bagian pencatatan
tamu selama setengah bulan hingga suaminya sembuh. Begitulah, meski
dengan setengah had, aku bekerja selama dua puluh hari di penginapan
itu. Di sana aku ditugaskan mengantar dan menyambut tamu."
"Wah.
Bisa juga kau."
"Di sinilah, ketika memasuki bulan tujuh, terjadi
sesuatu yang tidak akan kulupakan."
"Tanggal tiga bulan
tujuh?"
"Betul. Sore itu, tujuh orang penjual pala datang dan
membariskan tujuh gerobak pengangkut di depan penginapan. Aku kaget.
Lalu aku segeta mengawasi salah seorang dari mereka. Mengapa begitu?
Karena di antara mereka bertujuh, rasanya aku mengenali orang yang
tampaknya menjadi pemimpin. Orang itu tidak banyak bicara. Aku tidak
bisa langsung mengingatnya, tetapi ketika berbaring, aku baru ingat
bahwa bebetapa tahun lalu, aku pernah pergi ke suatu tempat bersama
teman-teman berandalanku. Pada saat itulah aku sekilas melihatnya.
Pasti majikan di rumah itu. Penghulu besar Desa Ton Kei tli
Kabupaten Un Jo. Kalau cidak salah, laki-laki itu bernama Chou
Gai.
"Hmm. Lalu?"
"Esok paginya aku memeriksa buku catatan
penginapan untuk melihat apa yang mereka tulis malam scbelumnya.
Ternyata ketujuh orang itu semuanya bermarga Li, seperti Li Shun, Li
Chou, LiTatsu, Li Shu, dan sebagainya. Mereka berasal dari desa yang
sama di Provinsi Go. Tujuan mereka ke Tou Kei dan pekerjaan mereka
berdagang pala. Dengan kata lain, mereka akan menjual pala itu di
Tou Kei. Aneh juga, pikirku, padahal pemimpin mereka itu penghulu.
Kemudian aku mengantar mereka pergi sambil mengucapkan selamat
jalan. Selang sehari kemudian, teman berandalanku datang mengajakku
pergi judi. Sebenarnya aku tidak punya uang, tapi aku ingin melihat
tempat judi di desa. Malamnya, aku pulang bersama temanku yang kalah
judi itu, dan saat itulah di jalan pertigaan desa ada orang yang
berlari sambil membawa pikulan tong
kosong."
"Begitu..."
"Temanku berkata bahwa orang yang barusan
itu kelihatannya Haku Shou, si Tikus Siang. Lalu dia berteriak
memanggilnya 'Kak Haku,' namun orang itu menghilang begitu saja
tanpa menjawab atau menoleh sedikit pun. Temanku berkata mungkin dia
salah orang dan kami pun tertawa. Dari situ aku berpisah dengan
temanku, lalu pulang. Keesokan harinya, berita tentang peristiwa
Bukit Kou Dei itu sampai di Desa An Raku. Katanya ada tujuh penjual
pala dan seorang pedagang arak yang bersandiwara mengecoh tujuh
belas tentara yang mengantar hadiah ulang tahun. Mereka membuat para
tentara itu minum arak beracun, dan dalam sekejap berhasil membawa
pergi barang-barang senilai seratus ribu kan, begitu katanya. Semua
orang di desa membicarakan peristiwa itu dengan sangat bersemangat.
Kehebohan berlangsung selama empat atau lima hari. Oh, begitu,
pikirku. Lalu aku mencarat seluruh nama yang ada di buku catatan
penginapan untuk diriku sendiri. Begitulah. Nah, bukti ini akan saya
berikan kepada Kakak. Jadikanlah ini alat untuk keberhasilan
kakak."
"Terima kasih banyak. Akan kusimpan." Ka Tou sangat
gembira. Dia bergegas pergi ke kantor polisi sambil membawa Ka Sei.
KepaJa polisi segera menggelar pertemuan rahasia di kamar tertutup.
Tak lama kemudian terpilih sepuluh orang pasukan penangkap yang
lihai dan mereka segera menuju Desa An Raku.
Setibanya mereka di
desa, waktu sudah lewat tengah malam. Rumah si Tikus Siang sudah
diketahui penyelidik. Mereka mengetuk pintu. Istri si Tikus Siang
yang memakai baju tidur muncul. Dia menjerit dan berusaha masuk
kembali, namun para pasukan menerobos ke dalam.
"Hei, Tikus
Siang! Kami datang menjemputimi dari Bukit Kou Dei!"
Begitu Ka
Tou membentak, si Tikus Siang muncul dari balik
selimutnya.
"Astaga! Apa maksud Bapak? Seperti Bapak lihat,
karena cuaca yang sangat terik di musim panas ini, saya terus
terbaring karena demam tinggi."
"Benarkah begitu? Kalau kau sakit
lebih bagus lagi. Sebaiknya kau jangan macam-macam. Nanti aku yang
akan merawatmu, jadi sekarang terimalah ikatan tali ini tanpa
berulah."
Si Tikus Siang bersama istrinya segera diikat. Lalu
para pasukan memeriksa belakang atap dan bawah lantai tumah mereka.
Barang curian ditemukan di bawah tempat tidurnya, beberapa puluh
sentimeter tertanam di bawah tanah. Sekepal emas berlian di dalam
kantong kasa.
Mereka memasang penutup mata pada si Tikus Siang
yang pucat pasi dan pada istrinya yang gemetaran, lalu menaikkan
mereka ke punggung kuda dan kembali ke kantor polisi. Setibanya di
sana, mereka didudukkan di halaman pengadilan. Saat itu sudah
menjelang subuh. Tetapi keduanya dengan gigih tidak mau membuka
mulut.
Mereka diistirahatkan sebentar, kemudian pengadilan resmi
pun dimulai. Penyiksaan berlangsung selama setengah
hari. Istrinya sudah
tidak bisa bertahan. Akhirnya, si Tikus
Siang membuka mulut dan mengaku.
"Kalau sudah begini, tidak ada
lagi sumpah atau janji. Saya akan mengatakannya. Yang menjadi
pemimpin perampokan itu memang Chou Gai, penghulu Desa Tou Kei.
Karena dulu pernab dibantu olehnya, saya diminta mereka memainkan
peran sebagai penjual arak, dan saya bekerja sesuai perintah mereka.
Itu saja. Hal lainnya saya tidak tahu. Enam orang lainnya pun tidak
saya kenal"
"Ya. Itu sudah cukup. Enam orang lainnya akan segera
ditangkap satu demi satu."
KaTou dibekali sehelai surat resmi
oleh kepala polisi. Karena dia akan mendatangi kabupaten lain, perlu
ada kesepakatan antar-kantor dinas demi keabsahan hukum saat
bertindak.
Namun jika terlalu banyak waktu yang terbuang hanya
untuk mengurus segala macam prosedur, lalu rencana ini keburu bocor
ke luar, dampaknya akan sangat merugikan. Tentunya, tantangan yang
akan dihadapi Ka Tou pada saat itu tidaklah sederhana. Pertama-tama,
guna memastikan wajah para pelaku kejahatan, diperlukan persiapan
untuk mengikutsertakan tiga tentara pengangkut yang tergabung dalam
barisan pengantar hadiah ulang tahun, sebagai saksi hidup.
"Untuk
sementara, biar aku sendiri yang pergi ke Kabupaten Un Jo untuk
melakukan perundingan dengan kepolisian di sana. Setelah itu,
barulah petugas penangkap dapat menyusul clcngan membawa serta
saksi-saksi yang akan memastikan wajah para pelaku
kejahatan."
Setelah member! instruksi kepada anak buahnya, di
tengah malam Ka Tou berangkat seorang diri dengan memacu kudanya ke
luar kabupaten.
PEMANDANGAN di depan kantor pemerintahan
hampir sama di mana saja. Di jalan besar di depan istana Kabupaten
Un Jo juga berjajar tukang jual jasa penulisan, pedagang kaki lima,
warung teh, dan sebagainya.
"Hei! Apa pun lauknya tidak masalah,
pokoknya segera sediakan sarapan buadcu. Apa? Sudah hampir tengah
hari? Buatku ini masih waktu sarapan, meski bagi orang lain mungkin
sudah makan siang."
Ka Tou, kepala unit polisi rahasia yang dba
setelah berkuda sepanjang malam dari kabupaten lain, mendatangi
sebuah warung makan dan sedang menunggu makanan untuk mengisi
perut.
"Ini, Pak. Silakan!"
"Perutku betul-betul keroncongan.
Omong-omong..."
"Ya, Pak?"
"Sejak tadi kuperhatikan gerbang
utama kantor pemerintah begitu sepi, padahal bukan hari libur.
Kenapa bisa begitu? Apakah bupati di sini selalu datang setelah
siang hari?"
"Oh, bukan begitu, Pak. Kesibukan di kantor itu
sudah beres sebelum tengah hari, dan sekarang baik petugas
pengadilan maupun pejabat lainnya sedang beristirahat
siang."
"Rupanya begitu. Aku yang salah melihat waktu. Oh ya, aku
ingin bertanya, siapa nama sekretaris kabupaten ini?"
"Wah,
kebetulan, orang yang baru datang itu adalah sekretaris kabupaten
ini."
"Apa? Yang mana?"
Ka Tou berdiri dari kursinya lalu
memandang ke arah yang ditunjuk pemilik warung.
Betul juga,
seorang pejabat kabupaten yang memakai seragam sekretaris sedang
berjaian melewati halaman kabupaten dan keluar dart gerbang
utama.
Tubuhnya sedang, tidak begitu tinggi, dan sepertinya
berusia tiga puluhan. Kulitnya hitam, namun matanya terlihat sejuk,
dan di kedua telinganya terpasang giwang. Dari caranya berjaian,
terlihat dia orangyang bermartabat tinggi dan memiliki daya tarik
khusus.
Ka Tou bergegas meninggalkan warung dan menemuinya
dengan penuh hormat.
"Tuan Sekretaris, mungkin ini sangat kurang
ajar, tetapi apakah Tuan bersedia mampir sebentar ke warung teh
itu?"
"Oh..." Si sekretaris terlihat kaget.
"Anda dari
mana?"
"Saya kepala unit polisi rahasia di kabupaten tetangga,
Sai, dan nama saya Ka Tou. Saya ingin membicarakan hal yang cukup
penting dengan Bapak. Karena itu, mari kita minum teh di
sana."
Dengan setengah memaksa, Ka Tou mengajaknya masuk ke
warung teh. Lalu, untuk memulai percakapan, dia menanyakan nama si
sekretaris.
"Maaf, sebelumnya saya ingin tahu nama Tuan
siapa."
"Wah, maaf, saya belum memperkenalkan diri. Marga saya
Sou, dan nama kecil saya Kou. Setiap hari saya datang dari Desa Sou
Ka yang dekat dari sini untuk bekerja di kantor kabupaten."
"Oh?
Jadi Anda ini Tuan Sou Kou yang terkenal sebagai pembawa hujan
berkah itu?"
"Haha. Saya bukan orang hebat seperti itu."
"Oh,
maaf, silakan Tuan yang duduk di kepala meja."
"Wah, jangan.
Justru Anda tamu dari jauh yang harus duduk di kepala meja.
Sebenarnya ada keperluan apa, sampai-sampai seorang kepala unit
polisi rahasia dari kabupaten tetangga datang ke
sini?"
"Sebenarnya begini..." Ka Tou menebarkan pandangan tajam
khas seorang polisi rahasia ke sekelilingnya, lalu memelankan
suara.
"Di kabupaten yang Tuan bawahi ini ada beberapa pelaku
kejahatan yang ingin saya tangkap."
"Begitu. Jadi, Anda datang
untuk mengurus prosedurnya?"
"Betul sekali. Saya membawa surat
resmi dari kepala polisi di Provinsi Sai. Untuk itu, saya ingin Tuan
member! kemudahan."
"Baiklah. Tapi saya harus tahu dulu perincian
peristiwanya. Masalahnya, saya belum tahu apakah peristiwa itu
menjadi yurisdiksi saya atau badan lain."
"Tuan tentu sudah tahu
kabar angin yang beredar di masyarakat. Tentang peristiwa di Bukit
Kou Dei."
"Saya pernah dengar tentang perampokan hadiah ulang
tahun untuk Menteri Sai, hadiah itu senilai seratus ribu kan dan
dikirim pejabat pemerintah Hoku Kei. Memangnya ada petum'uk yang
berkaitan dengan peristiwa itu?"
"Ada. Kami sudah menangkap
suami-istri si Tikus Siang yang menjadi kaki tangan aksi kejahatan
tersebut. Ternyata, menurut pengakuan mereka, tujuh orang penjahat
utamanya berasal dari Kabupaten Un Jo ini. Untuk itu, kami sudah
mempersiapkan pasukan penangkap, namun sebagai tindakan awal, saya
datang ke sini untuk lebih dahulu mendapatkan persetujuan tempat
kedinasan Anda. Karena itu, saya mohon Anda bisa memberikan izin
sesegera mungkin."
"Baik. Omong-omong, sebenarnya siapa saja
ketujuh orang penjahat itu?"
"Kami belum tahu semua nama
pelakunya, Tuan. Tapi untuk gembong pemimpinnya kami sudah tahu. Dia
penghulu Desa Tou Kei di wilayah Tuan. Namanya Chou Gai. Apakah Anda
tahu tentang orang ini?"
Ka Tou luput memerhatikan, namun saat
itu sekilas muncul kekagetan di wajah Sou Kou. Akan tetapi Sou Kou
tampak begicu tenang, sehingga Ka Tou tidak mungkin bisa
menyadarinya.
"Entahlah. Mungkin saja ada penghulu bernama Chou,
namun saya tidak ingat. Saya hanya berkutat dengan pekerjaan kantor,
jadi tidak kenal dengan penghulu desa. Tetapi kalau keterangan yang
didapatkan sudah sampai di situ, akan mudah sekali menangkap
penjahatnya."
"Ini tentu akan merepotkan Tuan juga, namun saya
mohon agar Bapak menyerahkan langsung surat resmi ini kepada Tuan
Bupati."
"Wah, itu tidak mungkin. Segel surat resmi harus dibuka
oleh bupati sendiri. Selain itu, sebagai prosedur, kalau melalui
saya itu tidak baik. Sekarang ini memang waktunya istirahat siang
dan bapak bupati sedang beristirahat di rumah dinasnya, namun tetap
saja sebaiknya Anda yang menyerahkan langsung kepada
beliau."
"Kalau begitu, kalau bisa Bapak menemani saya
menemuinya?"
"Itu soal mudah. Saya akan menemani Anda."
"Maaf
jadi merepotkan. Tapi saya mohon Bapak membantu saya."
"Itu
memang tugas saya. Tidak usah merasa sungkan. Tapi katena bupati
baru saja beristirahat, lalu saya juga akan pulang sejenak ke rumah
untuk mengambil barang yang ketinggaJan, untuk sementara Anda
tinggal dulu saja di sini sambil beristirahat."
"Baiklah, Tuan.
Silakan Anda bereskan dulu urusan Tuan."
"Kalau begitu, sampai
nanti."
Setelah berjanji seperti itu, Sou Kou meninggalkan tempat
tersebut.
Tetapi ketika sampai di persimpangan terdekat, dia
langsung menuju pintu belakang kantor dinas, dan memanggil pesuruh
yang ada di sana. Kepadanya dia berpesan, "Sebentar lagi Tuan Bupati
akan kembali ke kantor. Jika melihat itu, segeralah pergi ke warung
teh yang ada di depan gerbang utama, temui KaTou, utusan dari
kepolisian Provinsi Sai, dan katakan kepadanya agar jangan
meninggalkan tempat itu sebelum Sekretaris Sou kembali. Sampaikan
pesan ini baik-baik. Mengerti?"
Kemudian Sou Kou berangkat lagi,
namun kali ini dengan menuntun kuda dari istal kantor dinas. Setelah
naik, cepat-cepat dia memecut dan melarikan kudanya. Gerak-geriknya
mengundang tanya. Dalam sekejap, dia sudah berada di jalan desa yang
menuju Desa Tou Kei, tempat penghulu Chou Gai tinggal.
Mungkin
perlu dijelaskan secara lebih terperinci siapa sebenarnya Sou
Kou.
Keluarganya secara turun-temurun merupakan dokter di Desa
Sou Ka di Kabupaten Un Jo, Sou Kou adakh anak kedua dari tiga
bersaudara. Dia sangat berbakti kepada orangtua, dan karena
menjunjung tinggi kebenaran, orang-orang desa memanggilnya putra
kedua si hitam pembela kebenaran.
Julukan ini muncul karena
kulitnya yang hitam. Dia juga kerap dipanggil sebagai Sou Kou si
Hitam. Selain itu, ada julukan lain baginya, yaitu Sou Kou si Hujan
Berkah.
Nama julukan biasanya dibuat berdasarkan rasa sayang,
meledek, dan menghina, tetapi julukan karena rasa hormat sangat
jarang. Dalam julukan-julukan yang dimiliki Sou Kou ini terkandung
rasa hormat dan segan. Julukan hujan berkah dilekatkan pada orang
yang patut disyukuri karena bisa menurunkan hujan tatkala
dibutuhkan. Dengan ini saja bisa diketahui bahwa schari-hari dia
disayangi banyak orang. Dia selalu menghibur orang miskin, menolong
yang lemah, dan kerap berhubungan dengan orang bijak di masyarakat.
Dia juga memiliki ilmu pedang yang tinggi, dapat mengunakan tongkat
dengan terampil, namun sekali pun belum pernah menunjukkan
kepiawaiannya itu di depan umum. Sebagai sekretaris kabupaten,
reputasinya sangat bagus, sekali pun tidak pernah terdengar dia
melakukan korupsi seperti layaknya pejabat pemerintah.
Begitu
memasuki Desa Tou Kei, Sou Kou segera menuju rumah penghulu, lalu
mengikatkan kudanya pada pohon pagoda.
"Saudara Chou
ada?"
Dengan napas tersengal-sengal dia memberi salam. Chou Gai,
yang segera muncul setelah diberitahu pembantunya,
seperti biasa menyambutnya dengan
ramah.
"Wah! Saya pikir siapa. Ternyata Tuan Sekretaris. Silakan
masuk."
"Tidak. Hari ini saya tidak datang untuk bertamu. Saudara
Chou, saya ingin bicara di ruangan yang tidak bisa didengar orang
lain."
"Tuan tampaknya terburu-buru sekali. Silakan ke sini. Di
sini siapa pun jarang datang. Ada apa sebenarnya?"
"Saudara Chou
Gai!"
Sou Kou terus menatap Chou Gai. Entah mengapa, air matanya
mulai menggenang. Chou Gai sendiri merasa tersentuh, lalu dia
menjawab dengan nada resmi, "Ya?"
"Anda rupajnya telah berbuat
sesuatu yang membuat saya terlibat kesukaran."
"Apa?"
"Saya
senantiasa menganggap Anda sebagai saudara dan orangtua. Anda
sendiri juga kerap raembantu orang, serta mendahulukan kepentingan
desa. Sebagai keluarga tua sekaligus penghulu di Desa Tou Kei, Anda
bukan orang jahat. Anda juga sangat dipercayai banyak orang. Jadi,
bagaimana mungkin saya membiarkan Anda dibunuh."
"MaksudTuan apa?
Saya tidak mengerti."
"Tadi ada kepala polisi rahasia bernama
KaTou yang datang membawa surat tugas dari kantor polisi Provinsi
Sai. Dia datang ke kantor kabupaten untuk mengurus prosedur
penangkapan Chou Gai beserta enam orang anggota
kelompoknya."
"Ah! Jadi sudah terbongkar."
"Katanya kantor
polisi Provinsi Sai sudah mene-mukan bukti-bukti peristiwa Bukit Kou
Dei berdasarkan pengakuan dari si Tikus Siang."
Sou Kou
menggenggam tangan Chou Gai erat-erat, la!u berkata, "Saudara Chou
Gai, saya bisa memahami apa yang ada di dalam hati Anda,
sampai-sampai Anda yang tidak kekurangan apa pun akhirnya melakukan
perbuaran berani tersebut. Tapi sekarang, kita tidak punya waktu
lagi untuk bicara. Dengan perintah keras dari Menteri Sai serta
pencarian yang dilakukan pemerintah Hoku Kei, sekarang ini petugas
penangkap sudah menyebar di mana-mana bagaikan sarang laba-laba.
Bagaimana Anda akan melarikan diri?"
"Tuan Sekretaris, saya sudah
membulatkan tekad. Kalau saya ditangkap oleh orang baik, bagi saya
itu bagus. Sekarang, silakan ikat saya."
"Saudara bicara apa?
Kalau Anda memang orang yang tepat untuk ditangkap dan diikat, saya
tidak akan datang ke sini. Saya datang bukan sebagai pejabat
pemerintah, melainkan sebagai rakyat biasa yang tidak bisa
memutuskan hubungan baik di antara kita. Nah, sekarang, cepatlah
Anda melarikan diri."
"Sampai sejauh itu Anda menganggap
saya?"
"Ya. Baik orangtua maupun kerabat saya telah banyak
menerima budi baik Anda. Selain itu, sampai saat ini kita sudah
seperti saudara. Bagaimana saya bisa mengabaikan kebenaran itu?
Selagi kita berbicara ini pun, petugas penangkap dari kepolisian
Provinsi Sai tentunya sudah masuk ke wilayah ini. Ka Tou yang saya
suruh menunggu di warung teh pun akan langsung mengunjungi Bupati.
Jika prosedur surat resmi sudah bisa didapat, semuanya akan
terlambat. Sebaiknya Anda segera meninggalkan tempat
ini."
"Terima kasih banyak."
Chou Gai memegang tangan Sou Kou
erat-erat, air matanya berlinang.
"Budi baik Anda tidak akan saya
lupakan. Seumur hidup."
"Cepatlah! Soal itu tak usah dipikirkan.
Saya juga hams cepat kembali. Saya harap Anda segera
bergerak."
Setelah berkata demikian, Sou Kou beranjakpulang.
Seolah-olah enggan berpisah, dia mengikuti Chou Gai berjalan di
koridor dekat halaman belakang. Lalu di sebuah rumah yang terpisah,
Chou Gai memanggil nama tiga orang yang berada di situ.
Mendengar
panggilan itu, tiga orang muncul ke halaman. Mereka adalah
Cendekiawan Go, Kou Son Shou, dan Ryu Tou.
Sambil menuding
mereka, Chou Gai memberitahu Sou Kou, "Saya tidak bisa
menyembunyikan apa pun dari Anda. Mereka ini kelompok saya. Selain
mereka, ada juga tiga bersaudara Gen. Tetapi, mereka sudah kembali
ke desa mereka, Desa Sekka, setelah menerima bagian seratus ribu kan
itu... Hei, kalian! Ini Saudara Sou Kou dari kabupaten. Silakan
kalian memberi salam dan menyebutkan nama masing-masing."
Sou Kou
membaJas salam mereka dengan anggukan kepala. Lalu dia membalikkan
tubuh dan segera berlari ke luar gerbang. Dia menaiki kuda dan
melesat bagaikan burung srigunting, semakin lama tarapak semakin
mengecil di kejauhan.
Setelah mengamar kepergian Sou Kou dengan
pandangan mata, Chou Gai kembali ke haiaman belakang. Dalam had Chou
Gai merasa menyesal.
"Sungguh pelik," pikirnya. "Kalau cuma aku,
mungkin ttdak raasalah. Tapi dia sekretaris kabupaten. Kalau di
kemudian hari diketahui bahwa pejabat pemerintah telah membantu
pelarian buronan negara, kehidupannya akan hancur. Hmm, aku
sepertinya hanya memikirkan diri sendiri. Sampai tidak menanyakan
hal itu kepadanya."
Pada saat dia sedang melamun, Ryu Tou, Kou
Son Shou, dan Cendekiawan Go menghampirinya.
"Siapa orang yang
barusan pulang itu?" tanya salah satu dari mereka.
"Apa ada
kejadian yang menghebohkan?" tanya yang lain.
Chou Gai
menceritakan semuanya secara terperinci.
"Kalau Sou Kou tidak
datang memberitahuku, kita pasti tertangkap. Kita harus segera
memikirkan sesuatu."
"Apa itu artinya perbuatan kita sudah
terbongkar? Si Tikus Siang ternyata payah juga. Hanya karena
siksaan, dia langsung buka mulut."
"Guru Go! Apa kira-kira yang
mesti kita lakukan?"
"Tidak ada cara selain melarikan diri.
Tetapi siapa sebenarnya Sou Kou itu?"
"Dia sekretaris kabupaten.
Bisa dikatakan dia saudara angkat saya. Hubungan kami sehari-hari
sangat balk."
"Oh. Jadi dia Sou Kou yang terkenal dengan julukan
Hujan Berkah itu. Pantas dia sampai rela mengorbankan diri untuk
memberitahukan bahaya yang mengancam Anda. Kita harus segera
menyelamatkan diri. Itu ten-tunya juga harapan dia."
"Tapi...
kita harus pergi ke mana?"
"Untuk sementara kita pergi dulu ke
Desa Sekka, dan tinggal di rumah Gen bersaudara."
"Tapi, Guru,
mereka bertiga hanya nelayan. Mana mungkin kita bisa tinggal di
gubuk sempit mereka?"
"Kita hanya akan berada di sana sementara.
Coba kalian ingat-ingat tempat apa yang ada di sisi seberang Danau
Sekka."
Mendengar itu, Kou Son Shou dan Ryu Tou ber-gumam
bersamaan, "Ryou Zan Paku. Tempat di seberang danau itu Ryou Zan
Paku!"
"Betul sekali!" ujar Cendekiawan Go dengan mata
berbinar-binar, tidak seperti orang yang sudah tua.
"Kalau
begitu, kita harus menyeberang ke Sana, dan minta mereka menerima
kita sebagai anggota mereka."
"Tapi, Gum, apakah mereka bakal
bersedia melakukan itu?"
"Tidak usah khawatir. Kita punya emas
dan perak. Kalau kita berikan sebagian milik kita.
"Betul
juga."
Tekad mereka semakin bulat. Mereka segera me-masukkan emas
permata yang dulu mereka rebut di Bukit Kou Dei ke dalam lima atau
enam bungkusan, lalu menyuruh sepuluh pelayan muda untuk menjaganya
disertai Cendekiawan Go dan Ryu Tou. Kemudian rombongan itu
berangkat lebih dahulu menuju Desa Sekka.
Chou Gai dan Kou Son
Shou yang masih tinggal mengumpulkan semua keluarga dan pekerja,
lalu dengan sederhana menyampaikan salam perpisahan, serta
mem-bagikan semua barang yang ada di situ. Mereka juga akan segera
berangkat ke Desa Sekka, tetapi sangatlah sulit bagi Chou Gai untuk
pergi karena di antara orang-orang yang akan ditinggalkannya
terdapat pula perempuan yang sudah lama dicintainya, orangtua, dan
anak-anak yang disayanginya. Linangan air mata pun kian membuat
perpisahan sungguh berat.
#
Sementara itu,
Sou Kou melarikan kuda kembali ke kota. Kemudian setelah mengikat
kuda di istal kuda kabupaten, dia bergegas menuju warung teh yang
tadi dikunjunginya.
Dilihatnya Ka Tou sedang berdiri di depan
warung teh, sepertinya sudah tidak sabar menunggu.
"Maaf membuat
Anda menunggu lama. Tadi saya kedatangan tamu di
rumah."
"Akhirnya Tuan datang juga. Saya kira telah terjadi
sesuatu padaTuan."
"Maafkan saya. Saya akan segera mengantar Anda
ke ruangan bupati. Silakan ke sini."
Saat itu, di ruangan bupati,
Bupati Ji Bun Bin sedang serius memeriksa dokumen-dokumen di
hadapannya.
Perlahan Sou Kou membuka pintu.
"Saya datang
menghadap sambil membawa Ka Tou, kepala unit polisi rahasia Provinsi
Sai. Dia datang secara mendadak karena ada urusan yang sangat
penting. Dia pun membawa surat resmi dari kabupaten tetangga kita.
Kami mohon Bapak sudi melihat surat tersebut."
"Mana
suratnya?"
Bun Bin mengalihkan pandangan dari meja besar yang
terbuat dari kayu karin, lalu secara resmi menerima surat dinas dari
tangan Ka Tou. Dengan segera, dia membukanya.
"Hmm. Saudara Ka
Tou, Anda mendapat tugas yang berat. Tentunya Anda sangat
repot."
"Ya. Hamba mohon bantuan Paduka."
"Tentu saja. Menurut
surat yang kubaca, pengawas dari Menteri Sai juga datang dan tinggal
di kantor polisi Provinsi Sai. Mereka diperintahkan untuk menangkap
semua perampok itu dalam jangka waktu sepuluh hari. Karena kita
sama-sama pegawai pemerintah, aku bisa merasakan betapa sulitnya
melaksanakan perintah seperti itu. Baiklah. Aku akan mengumpulkan
bantuan dari kabupaten ini. Mari kita segera tangkap kelompok
perampok itu. Sou Kou, aturlah semuanya."
"Baik, Pak. Tapi kalau
rahasia ini sampai bocor, kita bisa gagal. Untuk itu, bagaimana
kalau kita menunggu hingga hari gelap dahulu, baru secara kilat
menangkapnya? Kalau kita berhasil menangkap penghulu Chou, saya kira
enam orang yang tersisa tidak lama lagi juga bakal dapat kita
tangkap."
"Semuanya kuserahkan kepadamu. Tapi aku agak
bingung."
"Bingung kenapa, Pak?"
"Reputasi penghulu Desa Tou
Kei itu sangat baik. Selain itu, aku belum pernah mendengarnya
berurusan dengan kepolisian karena tindak kejahatan. Mendengar kini
dia menjadi gembong perampok, betul-betul sulit
dipercaya."
"Manusia memang sulit untuk dimengerti. Kita tidak
mungkin tahu apa yang ada dalam pikiran seseorang."
"Kalau
melihat dari penampilan luar saja, petugas penyidik tidak mungkin
bisa bekerja. Nah, segera panggil petugas penyidik dan kepala
petugas penangkap ke ruangan lain. Saya akan memberikan pengarahan
kepada mereka."
Bupati Bun Bin benar-benar manusia pilihan.
Begitu semuanya sudah berkumpul, dia menuju ruangan besar yang lain,
lalu menjelaskan mengenai seberapa gentingnya situasi ini. Dia juga
mendorong semua yang ada di sana agar bekerja dengan penuh
semangat.
Sekitar satu jam kemudian, di alun-alun kabupaten,
secara diam-diam dikumpulkan petugas penyidik, para bawahannya,
serta pasukan petugas penangkap.
Ada dua kepala petugas
penangkap. Yang satu adalah Shu Dou, si Janggut Indah, dan yang satu
lagi Rai Ou yang pernah muncul sebelumnya, pemilik julukan si
Harimau Bersayap.
Semuanya membawa pedang, panah dan busur,
tongkat besi, dan lain-lain. Penampilan mereka terlihat sangat
garang.
"Ayoberangkat!"terdengar aba-aba penuh semangat. Saat itu
senja sudah menjelang, awan berarak bagaikan bendera yang
berkibar.
"Tunggu dulu!" kata Shu Dou. "Kalau sudah memasuki Desa
Tou Kei, kita tidak boleh memiliki keraguan. Bagaimana strateginya?
Kukira itulah yang paling penting."
"Betul. Itu penting sekali,"
Rai Ou mengiyakan.
"Kepala penyidik! Bagaimana
strateginya?"
"Hmm. Di depan rumah Chou ada jalan desa dan di
belakangnya ada jalan lain."
"Betul. Kalau kita menyergapnya dari
satu arah saja, sama saja dengan melepaskan mereka. Bagaimana kalau
kita menyergapnya dari dua arah?"
"Baik. Satu pasukan menunggu di
gerbang belakang sambil bersembunyi. Tandanya adalah siulan. Begitu
terdengar siulan, satu pasukan lagi mendobrak gerbang depan dan
menyergap ke dalam rumahnya."
"Tapi," kata Shu Dou lagi sambil
mengelus-elus janggutnya yang indah, "ada satu lagi jalan untuk
melarikan diri di rumah Chou Gai. Kukira jalan ini tak diketahui
siapa pun."
"Apa? Jadi ada tiga jalan?"
"Kukira sehari-hari
mereka pasti menggunakan 'jalan buangan' itu."
Mendengar itu,
kepala penyidik terkejut.
"Wah, itu berbahaya. Bukankah itu yang
biasa disebut 'jalan tersembunyi'? Shu Dou, kalau kita lengah
mengawasi jalan itu, mereka bisa meloloskan diri. Aku akan
menyerahkan setengah pasukan di bawah komandomu dan kau harus
menutup jalan tersembunyi itu. Jangan sampai lengah."
"Tidak
usah sebanyak itu karena jalannya sempit. Tiga puluh orang sudah
mencukupi. Kalau begitu, aku berangkat duluan."
Setelah itu, baik
kepala penyidik maupun Rai Ou sudah berada di punggung kuda, berdiri
di depan pasukan. Kemudian sebelum malam menjelang, mereka telah
bergerak cepat menuju Desa Tou Kei.
"Wah!
Kebakaran!"
"Bukankah rumah penghulu terletak di arah
sana?"
"Mungkin mereka sudah menyadarinya!"
Dengan cepat
rombongan manusia itu mendobrak gerbang utama. Dari balik kobaran
api, bayangan pasukan penangkap yang membawa pedang, tongkat, tombak
dan tombak bercagak, bergelombang masuk menerobos asap
tebal.
"Sumber kebakarannya ada di beberapa tempat. Hei! Jangan
hanya menerobos masuk. Perhatikan juga sekitar sini. Periksa di
balik pepohonan!"
Suara Rai Ou yang keras dan serak terus-menerus
bergema.
Meskipun demikian, sebenarnya dalam hati Rai Ou
terpendam rasa simpati terhadap Chou Gai. Terpikir olehnya untuk
menciptakan kesempatan agar Chou Gai dapat melarikan diri. Karena
itu, dengan sengaja dia terus bersuara keras, mengacaukan perhatian
anak buahnya.
Bukan hanya dia, perasaan Shu Don yang bertugas
menutup jalan belakang pun sama.
Ucapan Shu Dou bahwa ada tiga
jalan yang bisa digunakan untuk melarikan diri itu sebenarnya
ke-bohongan. Dia berpikir, dengan membagi dua anggota pasukan yang
diserahkan kepadanya, jalan untuk melarikan diri bagi Chou Gai akan
terbuka lebar. Ini terlihat ketika dia dan pasukannya hanya bergerak
ke sana kemari tak tentu arah.
Adapun Chou Gai sendiri, saat itu
masih berada di sebuah ruangan. Dia memerintahkan pelayan dan para
pemuda untuk membakar rumahnya di beberapa titik.
"Kukira sudah
cukup! Hei! Kou Son Shou! Ayo kita berangkat! Kita serahkan nasib
kita kepada Langit!"
Lalu dia mendobrak jendela samping ruangan
dan melompat. Selanjutnya dengan melompati benteng-benteng tanah,
dia berusaha keluar.
Pada saat itu, Shu Dou yang melihat
bayangannya dari gerbang belakang berteriak, "Hei! Benteng sebelah
barat itu tampak mencurigakan. Kita ke sana!"
Dengan sengaja dia
mengarahkan pasukannya ke arah berlawanan, dan begitu sampai di
sana, dia sengaja mengentak-entakkan kaki seolah-olah kesal, lalu
kembali memerintah anak buahnya, "Sepertinya mereka lewat gerbang
depan. Ayo kita pergi ke jalan desa yang ada di depan!"
Namun,
apa yang diharapkan sering kali betbeda dengan kenyataan. Baik Shu
Dou maupun anak buahnya, melihat bayangan Chou Gai dan Kou Son Shou
yang berlari bagaikan kelinci di sebelah timur, sehingga tak ayal
lagi kini mereka berhadap-hadapan.
"Mereka di sini. Jangan sampai
kabur!"
Sejak awal para anak buah pasukan penangkap tidak tahu
apa-apa mengenai permasalahan yang sebenarnya. Demikian pula
mengenai sosok sejati Chou Gai yang mereka kejar-kejar itu. Namun
karena kondisi yang mengharuskan, tiada pilihan lain bagi mereka
selain mencabut pedang.
"Apakah kalian ingin mati? Kalau ingin
mati, ayo serang!"
Kou Son Shou ikut mengacungkan pedang lurusnya
yang biasa dibawa pendeta, dan memasang kuda-kuda.
"Siapa pun
yang mencoba menghalangiku, akan kutebas!"
Pada saat mereka
mundur ketakutan, Chou Gai berteriak, "Son Shou! Sebaiknya kita
tidak melakukan pembunuhan sia-sia. Kita lari saja!"
Mereka
berdua pun meloncat bagaikan kijang ke arah kegelapan.
Saat itu,
datanglah kepala penyidik yang mengendarai kuda. Dengan sangat
tegang dia bertanya, "Hei, Shu Dou! Apa kau melihat
penjahatnya?"
"Ah! Kepala penyidik datang tcrlambat. Tolong
pinjami aku kuda itu."
"Memangnya kau mau apa?"
"Kalau saja
tadi ada kuda. Tentunya mereka tidak akan bisa melarikan din. Kami
baru saja kehilangan mereka. Cepat! Cepat!"
Dengan patuh kepala
penyidik meminjamkan kudanya kepada Shu Dou. Lalu sambil memandang
anak buah yang ada di depan dan di belakangnya, dia berteriak, "Hei!
Kalian! Kalian ini lamban sekali. Ikuti aku dari belakang
kudaku!"
Meskipun dibentak seperti itu, kalau harus mengikuti
kuda yang berderap begitu cepat setelah dicambuk, mereka tidak
mungkin bisa mengikutinya. Shu Dou dengan mudah mengecoh anak
buahnya, sementara kedua sosok yang berlari terlebih dahulu itu
segera terkejar. Untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang
melihatnya dia menoleh ke belakang. Ketika di belakangnya tidak ada
siapa-siapa, dia memanggil kedua sosok itu.
"Hei! Pak Penghulu!
Masuklah ke jalan setapak. Ambillah jalan hutan di sebelah
sana!"
Chou Gai menoleh ke belakang dengan heran.
"Astaga. Kau
Shu Dou, bukan?"
"Saya tidak akan menangkap Bapak Penghulu.
Sekarang larilah lebih cepat."
"Kenapa kau melakukan ini,
padahal kau salah satu pengejar kami?"
"Tidak usah bertanya dulu.
Itu bukan masalah. Salah satu alasannya tentu karena orang-orang
desa akan merasa sedih bila melihat Anda tertangkap. Anda penghulu
yang tidak mungkin saya ikat dengan tali dalam genggaman saya ini.
Saya harap Anda bisa hidup terus sampai mencapai Ryou Zan
Paku."
"Terima kasih. Aku tidak akan melupakan kata-katamu
barusan."
"Gawat! Pasukan Rai Ou yang mengincar jalan hutan sudah
muncul dari arah kampung sebelah sana. Pak Penghulu! Jangan berpikir
panjang lagi, larilah terus ke selatan dengan melewati ladang
jewawut yang ada di sana."
Setelah berkata seperti itu, Shu Dou
sengaja berlari ke arah munculnya Rai Ou.
Melihat Shu Dou datang
dengan menaiki kuda, Rai Ou segera menegurnya.
"Hei, Shu Dou!
Mana penjahatnya?"
"Justru aku yang ingin bertanya, apakah di
kampung tidak ada yang mencurigakan?"
"Aneh. Kepala penyidik tadi
terus berteriak-teriak bahwa penjahatnya akan segera ditangkap Shu
Dou."
"Itu tidak benar. Aku tadi mengejar ke arah yang salah.
Jangan-jangan mereka ada di jalan di hutan itu."
"Kalau begitu,
tidak ada jalan lain lagi. Hei, kalian! Masuklah ke hutan itu,
lakukan penyisiran!"
Tindakan ini ridak salah lagi merupakan
hasil pemikiran dua orang yang sehati. Bahkan kini di dalam hati,
mereka sama-sama berdoa agar Chou Gai berhasil melepaskan diri.
Dukungan kedua orang inilah yang memastikan pelarian Chou Gai tidak
mungkin gagal.
Setelah setengah malam berlalu, para petugas
penangkap merasa lelah dan lapar. Rai Ou dan Shu Dou sengaja
mengeluh dengan suara agak keras agar bisa didengar yang
lain.
"Betapa cepat mereka berlari. Mungkin merekalah yang
disebut penjelmaan setan atau dewa itu."
"Lagi pula, tidak
seperti biasa, malam ini betul-betul gelap. Bagaimana kalau kita
hentikan saja pengejaran ini? Bukankah kita sudah berusaha sekuat
tenaga?"
Mendengar laporan ini, kepala penyidik merasa kecewa dan
yang paling muram adalah Ka Tou. Dia membawa pasukan yang baru saja
datang dari Provinsi Sai, urusan perizinan pun sudah dirampungkan
secara sempurna, namun karena tidak mengenal situasi geografi
wilayah itu, kemudian tidak mungkin menggabungkan diri dengan
pasukan yang dipimpin Rai Ou dan Shu Dou, maka mereka hanya bisa
menjadi pasukan pendamping. "Huh, sungguh orang-orang yang tak bisa
diandalkan. Harus seredah apa lagi aku harus menundukkan wajah saat
pulang ke kantor polisi di Sai?" gumam Ka Tou.
Malam itu di
ruang kerjanya, Bupati Bun Bin yang sangat serius bekerja belum
berganti palcaian. Sepanjang malam dia menunggu laporan
penggerebekan itu.
"Apa boleh buat," komentarnya setelah
mendengar laporan.
Meskipun kecewa, Bupati Bun Bin tidak
bertanya-tanya lebih lanjut mengenai apa yang sudah terjadi. Dia
juga tidak sedikit pun menaruh curiga terhadap anak buahnya yang
telah diserahi tugas itu.
"Sayang sekali kalian tidak berhasil
menangkap Chou Gai, tapi pastilah di rumahnya ada tamu, pelayan,
serta para pemuda pembantunya. Apakah mereka kalian bawa ke
sini?"
"Kami membawa dua tetangganya, dua tamunya, dan tiga
pekerjanya sebagai saksi."
"Segera interogasi mereka!"
Sampai
hari berikutnya interogasi tidak menghasilkan apa-apa. Meskipun
begitu, tidak dapat dikatakan tidak membuahkan hasil. Salah satu
tamu akhirnya membuka mulut, menceritakan segala sesuatu yang
diketahuinya. Yang raclarikan diri dalam kobaran api adalah Chou Gai
dan Kou Son Shou. Sebelumnya, Cendekiawan Go yang merupakan guru
anak-anak desa, serta Ryu Tou, si Setan Rambut Merah, pergi lebih
dulu menuju Desa Sekka ke rumah tiga bersaudara Gen. Mereka juga
sempat bcrunding untuk pergi ke Ryou Zan Paku. Seluruh pengakuan itu
pun dicatat.
Dengan hanya membawa Catalan pengadilan serta surat
balasan dari bupati, akhirnya Ka Tou kembali ke Provinsi Sai dengan
menahan malu. Kemudian, setelah melaporkan semuanya kepada kepala
polisi yang sudah lama menunggunya, sang kepala polisi pun
memberikan perintah.
"Baiklah kalau begitu. Sekarang, bawa lagi
si Tikus Siang yang sudah ada di dalam penjara ke pengadilan.
Tanyakan kepadanya siapa sebenarnya tiga bersaudara Gen itu."
Ka
Tou sama sekali tidak putus asa. Dia masih menggantungkan harapan
pada petunjuk terakhir yang dimilikinya. Tanpa perlawanan, si Tikus
Siang menceritakan semuanya. Setelah mendapatkan infor-masi,
dilaksanakanlah perundingan di tempat tertutup. Beberapa jam
kemudian, meskipun masih terlihat lelah, di wajah pucat Ka Tou sudah
mulai muncul rona merah.
"Ternyata penangkapan kali ini
benar-benar mem-butuhkan upaya besar," katanya sambil meneguk teh.
Dia sedang memberikan penjelasan terperinci kepada anak
buahnya.
"Masalahnya sungguh pelik. Desa Sekka terletak di
seberang danau Ryou Zan Paku, bukan?" tanya anak
buahnya.
"Nelayan di sana bilang, wilayah itu lokasi tersulit di
daerah San Tou. Sejauh mata memandang, perairannya hanya dipenuhi
gelagah dan alang-alang. Tidak diketahui berapa luas permukaan air
yang ada di antaranya, entah danau, entah rawa. Selain itu,
perairannya pun berkelok-kelok. Dengan kata lain, tempat itu
sebenarnya tidak cocok ditinggali manusia."
"Kalau kita pergi
untuk menangkap penjahat yang bersembunyi di tempat semacam itu,
sama saja pergi memburu burung liar dengan tangan kosong. Lagi pula,
orang yang kita kejar bukanlah penjahat sembarangan."
"Kalau kita
tidak mempersiapkan perlengkapan yang memadai, kalau kita tidak
menggunakan kuda dan perahu, serta kalau pasukan penangkapnya hanya
berjumlah kecil dan bukan pasukan besar yang terdiri atas tentara
pemerintah, sekeras apa pun upaya kita menyerbu ke sana, hasilnya
akan sia-sia saja."
Sejujurnya, Ka Tou sendiri juga tidak yakin
akan berhasil. Dia merasa beruntung mendapatkan masukan dari anak
buahnya. Dia menyampaikan semua kepada kepala polisi secara apa
adanya, dan menyarankan untuk memikirkan kembali pembentukan pasukan
penangkap.
"Gagasan yang masuk akal."
Kepala polisi pun
membuat keputusan besar.
"Baiklah. Kalau begitu, aku akan
menambah satu lagi petugas kepala. Lalu jumlah pasukannya ditambah
menjadi lima ratus orang. Untuk perlengkapan, gunakan semua
persenjataan yang ada di gudang. Karena tindakan kita dilakukan
berdasarkan perintah pembesar di Hoku Kci dan instruksi keras dari
Menteri Sai, maka pasukan ini bisa dikatakan sebagai pasukan resmi
pemerintah. Sangat berbeda dengan penangkapan penjahat biasa.
Pergilah kalian dengan kcwenangan yang dimiliki tentara
pemerintah."
Selama dirinya menjabat, kepala polisi Provinsi Sai
belum pernah mengambil langkah yang seperti ini. Hingga kini, belum
pernah pasukan sebesar itu dikerahkan untuk menangkap buronan
hukum.
Dalam beberapa hari itu, di sebuah rumah nelayan yang
dikelilingi rimbunnya gelagah dan alang-alang, siang dan malam
tampak gerak-gerik mencurigakan.
Tiga bersaudara Gen, yaitu Gen
Shou Ji yang berjuluk si Jupiter Periang, Gen Shou Go si Anak Kedua
Pemarah, dan Gen Shou Shichi si Raksasa secara mendadak kedatangan
empat orang temannya, yaitu Chou Gai, Cendekiawan Go, Ryu Tou, dan
Kou Son Shou di rumah nelayan mereka yang sempit. Hari itu juga
mereka segera mengeluarkan semua peralatan yang ada di dalam rumah,
memuatnya ke dalam perahu, lalu mendayung perahu ke rumah mereka
yang lain, yang berada di atas muara danau yang cukup jauh dari
rumah mereka sekarang.
"Silakan, Bapak-bapak...," mereka
mempersilakan. Gen Shou Go pun mempersiapkan minuman, sementara Shou
Ji dan Shou Shichi membuat masakan.
"Anggap saja malam ini kita
pesta pindah rumah. Istri Shou Ji dan ibu kami telah kami suruh
bersembunyi di tempat yang jauh, tentu saja dengan dibekali uang,
jadi kami tidak mempunyai beban lagi."
"Selain itu, Guru," kata
Shou Shichi kepada Cendekiawan Go, "sekeras apa pun semangat para
penangkap itu, mereka tidak mungkin sampai ke danau ini. Untuk
masalah ke depan, kita pikirkan nanti saja. Untuk malam ini, silakan
kalian bersantai sepuasnya."
"Begini, Shou Shichi. Untuk
menyeberang ke Ryou Zan Paku, bagaimanapun kita harus lewat air,
bukan? Bagaimana cara kita pergi ke sana?"
Mereka sedang
mengelilingi meja yang dipenuhi arak dan makanan. Shou Shichi
menjawab, "Itulah masalarmya. Sulit sekali mendarat di tempat itu.
Dapat diibaratkan bagai benteng yang sukar ditaklukkan. Teman-teman
nelayan juga tak ada yang tahu tempat yang mudah untuk melabunkan
perahu di sana. Karena itu, kita harus naik dulu ke jalan darat San
Tou, lalu pergi ke waning teh di perempatan Ri Ke, di sana kita
minta izin masuk."
Sambil minum arak, Chou Gai bertanya, "Apa
yang kaumaksud dengan warung teh? Mana mungkin pemilik warung teh
itu bersekongkol dengan orang-orang Ryou Zan Paku."
"Justru itu.
Dia konco mereka."
"Apa? Pemilik warung teh itu konco mereka?
Lalu?"
"Orang-orang yang ingin bergabung dengan Ryou Zan Paku
harus bicara dulu dengan laki-laki bernama Shu Ki yang setiap hari
melakukan pengawasan di warung teh itu. Kalau Shu Ki mengizinkan,
dia akan melepaskan anak panah yang berbunyi sangat keras ke arah
Ryou Zan Paku. Barulah setelah mendapatkan tanda itu, dari sela-sela
ilalang di sebelah sana akan muncul perahu penjemput. Begitulah
prosedurnya. Selain itu, tidak ada cara lain untuk dapat menyeberang
ke sana."
Semua tertawa mendengar uraian tersebut.
"Betul
juga. Ini lebih sulit daripada yang kudengar. Rasanya jadi ingin
mencoba pergi ke sana, tapi bukan sebagai buron yang dikejar-kejar
petugas penangkap."
Malam itu di tengah danau, tak satu pun
penerangan yang terlihat. Arak sudah banyak meresap ke dalam tubuh
mereka dan suasana semakin semarak. Pada saat itu, seorang nelayan
yang sehari-hari diasuh tiga bersaudara Gen datang mendayung
perahunya dengan terburu-buru.
"Saudara-saudara sekalian. Ada
bahaya besar. Katanya tentara pemerintah sudah berada di dekat desa.
Jumlahnya sekitar lima atau enam ratus tentara.
Kini semua
penduduk desa dalam keadaan panik," dia berkata.
"Begitu ya,"
kata tiga bersaudara itu dengan tenang. "Baguslah kau memberitahu
kami. Sebelum kau pulang, ikutlah minum-minum dulu."
Dengan
tercengang, laki-laki itu segera berlalu. Sejenak suasana hening,
namun tak lama kemudian, pembicaraan ketujuh orang itu kembaJi
seperti semula.
"Di luar dugaan, mereka cepat juga datang. Kalau
pasukan pemerintah, tentunya mereka datang dengan persiapan yang
cukup."
"Kak Shou Ji, kalau mereka sudah datang, janganlah
berkeluh kesah."
"Tentu saja. Ini berbeda dengan di darat. Kita
ini seperti makhluk air. Siapa pun yang menyerangku akan kuseret ke
dalam air agar bisa melihat pemandangan di dasar danau."
"Lalu
sisanya akan dibuat sate dengan tombak Sho Shichi dan Shou
Go!"
Tiba-tiba, dengan separuh bercanda, sambil memegang cangkir
araknya, Kou Son Shou berkata, "Hei, Gen bersaudara! Kalian boleh
saja sangat bersemangat, tapi jumlah mereka lima ratus orang. Kalau
cuma dengan teknik itu terlalu gampang. Itu nanti kalian lakukan
setelah melihat kebolehanku."
Dari tadi Chou Gai diam saja, namun
kali ini dia membuka mulut dan berkata kepada Cendekiawan Go, "Guru
sudah tua dan tentunya tidak terlalu paham soal peperangan, hanya
tahu soal kuas dan tulisan. Oleh karena itu, silakan Guru memuat
barang-barang yang penting saja ke dalam perahu. Setelah itu,
pergilah ke warung teh di perempatan Ri Ke yang tadi dikatakan Shou
Shichi, lalu tunggulah kami di Sana. Saya akan menyuruh Ryu Tou
menemani Guru... Hei, Kuda Merah, temani Guru Go dan pergilah dari
sini sebelum fajar menyingsing. Tidak perlu kaukhawatirkan keadaan
di sini. Ini permintaanku."
Bersambung ke Jilid
2... |